Bulan puasa kali saya jalani di negeri orang, Turki, negeri yang mewarisi nama besar Ottoman dengan sebuah peradaban cemerlang dalam rentang abad 13 hingga awal akhir abad 19--sebuah imparator raksasa yang menjelang keruntuhannya diejek sebagai setumpuk "orang sakit dari Eropa". Iya saya menumpang hidup di situ, di negerinya Orhan Pamuk!
Ada satu hal yang cukup saya rasai di tengah kesendirian menikmati semburat cahaya sisa sore yang lamban, yaitu tentang malam, sebuah jeda waktu yang dalam banyak literatur sangat diistimewakan. Agama-agama memosisikan waktu malam hari sebagai sebuah keagungan, begitu juga bagi para pejalan ritual, tirakat, penyair, dan sebagainya. Malam menjadi misteri yang hanya bisa ditembus dengan kekuatan rasa dan moksa.
Malam hari adalah spasi yang memutus hiruk-pikuk dan gebyar linimasa siang yang bising. Malam adalah wahana luas bagi jiwa dan tempat berteduh bagi badan. Meski dunia malam mulai berkembang dan bahkan banyak kota yang secara fisik selalu ramai dan bergelora di malam hari, itu hanya konteks keramaian artifisial. Secara substansial, waktu malam hari adalah kesunyian dimana banyak orang mengisterahatkan kejenuhan dan kepeningan akibat hiruk-pikuk. Dan tubuh-tubuh mereka begitu lemah ketika meringkuk dan bersembunyi di balik selimut malam. Betapa raksasa waktu malam hari! Sehingga saya kerap tercenung dalam setangkup pikiran bahwa malam ibarat kuburan, dimana orang-orang mengakhiri dan sembunyi dari rentetan hidup di siang hari.
Summer di negara-negara yang jauh dari garis khatulistiwa akan mendapati malam begitu getas. Begitu yang saya rasakan sekarang. Saya seperti tak pernah menikmati malam sebagai sebuah jeda dan spasi waktu dimana saya bisa membunuh secara puas rutinitas siang. Waktu malam begitu terburu-buru dan tak mau memberikan ruang nafas spiritual yang maksimal, semacam ruang refleksi yang mendalam.
Bagaimana saya bisa merasakan keteduhan malam bila siang (waktu puasa) lebih dari 17 jam. Pukul 3.30 dini hari saya sudah harus mengakhiri sahur dan waktu subuh sudah ditabuh. Jam 20.25 adzan Magrib baru dikumandangkan. Satu setengah jam berikutnya adzan Isya'. Lalu teraweh hingga pukul 00.00 (jika pas ingin teraweh di masjid). Hanya ada sekitar tiga jam untuk menikmati malam dan jeda di dalamnya. Belum lagi harus mengerjakan beberapa hal untuk keperluan remeh temeh yang dianggap penting.
Bulan Ramadhan kali ini saya ditinggalkan malam, seorang yang sangat mencintai malam dan misteri di dalamnya menjadi si patah hati, sulit menemukan jeda waktu untuk mengadu kepada mayapada, kepada Tuhan kesunyian saya.
Begitulah. Nikmatilah malam hari sebegai ruang tanpa batas untuk mengukur kesempitan dan keterbatasan kita di planet ini.
Selamat malam...
Tuesday, July 01, 2014
Harga Waktu Malam Hari
Related Posts:
Kamu Dayak Aku Madura, & Kita Saling Berangkulan Normal 0 false false false EN-US X-NONE X-NONE MicrosoftInternetExplorer4 … Read More
DO-CI-RENG: The Youth’s Ways of Trauma Healing for The Child VictimsMount Merapi, the most active of Indonesia’s 130 active volcanoes and has erupted regularly since 1548, had stopped erupting and spewing the materials and ashes on last one month. But the victims –people with lost h… Read More
Geliat Penyair Muda Madura Esai S.Yoga digunting dari Suara Karya edisi 7 April 2007 From Suara Karya Madura selain terkenal sebagai pulau garam dan tembakau ternyata menyimpan banyak potensi, di antaranya dunia kepenyairan, sastrawan. Ini bisa … Read More
Together to Spend the State’s Budget In the Year-End! taken from the ceremony Am I a corruptor? Don’t answer yes or no before capturing this note below. It's actually done after the case but I kept it on my file-shelf to fit a good time to publish. Having had… Read More
Mengenang Gus Zainal Arifin ThohaDigunting dari sini “SEORANG filsuf Yunani pernah berkata bahwa nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tetapi mati muda, dan tersial adalah umur tua. Bahagialah mereka yang mati muda,” tuli… Read More
0 comments:
Post a Comment