Tuesday, September 10, 2013

Muurgedichten: Puisi dan Ruang Kota

Syahdan, di salah satu tembok kota bersejarah, ada puisi “Aku” karya Chairil Anwar, penyair kesohor yang mati muda dan nyaris menjadi kultus sebagai nama besar dalam sejarah kesusastraan Indonesia, potongan teks La Galigo dalam bahasa Bugis, dan puisi Ranggawarsita dengan aksara Jawa terpancang di sana. Dua puisi tersebut terpahat di sebuah tembok kota—sebagai mural—bersanding dengan puisi-puisi hebat dari sastrawan dunia, seperti William Shakespeare, Rainer Maria Rilke, Jorge Luis Borges, Marina Ivanova Tsvetayeva, dan Fakir Baykurt dengan bahasa mereka masing-masing.

Tembok-tembok kota yang saya maksud itu berada di sebuah kota dari negeri yang secara emosi dan kultural sangat dekat dengan Indonesia: Leiden, Belanda. Ya, Belanda dengan kota Leiden yang dipilihnya telah menginisiasi sebuah proyek penting dan membanggakan yang dikenal dengan sebutan Muurgedichten (The Wall Poems).

Melalui tangan dua seniman bernama Ben Walenkamp dan Jan-Willem Bruins di bawah Yayasan Tegen-Beeld dengan sokongan perusahaan dan pemerintah kota setempat, proyek yang dimulai tahun 1992 dengan menampilkan sebuah puisi Marina Tsvetajeva dan berakhir tahun 2005 dengan dipungkasi sebuah puisi dari García Lorca telah menghimpun setidaknya 101 Muurgedichten, termasuk puisi Pablu Neruda, Hendrik de Vries dan Adam Mickiewicz.

Pekerjaan Ben Walenkamp dan Jan-Willem Bruins adalah sebuah ikhtiar menghadirkan puisi, sebagai karya sastra yang telah memanggil jiwa humanisme, ke ruang-ruang publik di mana manusia hilir mudik dan menikmati ruang-ruang kemanusiaan di tengah gedebum kota. Bahasa puisi ingin dihadirkan di tengah ketegangan-ketegangan manusia modern dengan intensitas kesibukan yang tak kepalang. Upaya Muurgedichten adalah untuk mengajak manusia kota dengan simbol-simbol bahasa sibuk mereka menjadi lebih bermakna dari sekedar parsialitas, atau untuk menjawab kejengahan Wiji Tukul yang terpotret dalam puisi berjudul Kota: bahasa sibuk adalah bahasa kota yang tak bisa/ diajak bicara/ bahasa sibuk adalah bahasa untung rugi. 

Jika ditelisik secara seksama, puisi Tukul dan proyek Muurgedichten menemukan titik sinergis.

Jika kota terus dibiarkan menjadi ladang transaksi untung-rupi, silang-sengkarut pertukaran materil dan logika kapitalistik yang telah membuat bahasa—bukan hanya sibuk—tapi menjadi suntuk dan nyaris buntu, saat itulah kota menjadi perwujudan dari pratanda artificial civilization yang berjalan di sebuah lorong gamang tanpa jiwa dan nurani. Bahasa akhirnya dirampok untuk menjelirkan kepentingan meraup untung. Puisi pun semakin lesap ketika kota menilap bahasa dan ruang kesadaran untuk meraup uang. Tak pelak, kota telah melakukan ritual pembunuhan massal kemanusiaan secara esensial. Pada saat itu, lokus senjakala humanisme mulai ditabuh di tengah ruang kota. Di sana tak ada lagi karya seni dari hati kemanusiaan yang merayakan makna eksistensialnya dinikmati secara bebas dan gratis.

Muurgedichten menjadi oase di tengah kerumun manusia dan bahasa kota yang sibuk itu. Puisi perlu dicarikan tempat agar berada di antara ruang dan tembok kota. Di tengah pola pikir jalan-pintas, puisi perlu dihantar agar membuka ruang interaksi kepada audiens yang lebih beragam. Karena faktanya, di negeri ini belum ada upaya yang benar-benar bisa menghadirkan puisi ke dalam laku keseharian melalui media yang mudah diakses, dekat dan dinikmati secara gratis oleh semua lapisan rakyat.

Untuk itu gagasan menghadirkan puisi di ruang kota adalah upaya yang bukan saja menghadirkan puisi kepada audiens yang beragam, tatapi juga, secara otomatis, mengapresiasi puisi sebagai sebuah karya yang perlu menyatu dengan kehidupan manusia modern yang kerap kali pangling.

Sebenarnya Dewan Kesenian Jakarta sudah pernah mengangkat kegelisahan ini dalam acara Jakarta Biennale 2009 bertajuk ‘Sastra di Ruang Kota’. Lewat acara ini puisi-puisi dari para penyair kenamaan seperti Chairil Anwar, Sapardi Djoko Damono, Sitor Situmorang, Ajip Rosidi, Toto Soedarto Bachtiar, hingga puisi Eka Budianta hadir ke ruang publik melalui tiga bentuk: stiker, kaos, dan mural yang dipajang di tembok kota dan kolong jembatan di sepuluh titik padat ibukota. Namun sayang momentum empat tahun silam itu hanya selesai bersamaan dengan acara serinomial dan upaya untuk mengembangkannya menjadi proyek berkelanjutan tak terdengar lagi.

Kehadiran puisi di ruang kota, seperti dalam bentuk mural, kaligrafi atau dipahat pada dinding dan tembok, sudah banyak dilakukan di beberapa kota yang menghargai puisi sebagai bagian dari karya yang menjunjung nilai-nilai etis kemanusiaan. Kota-kota seperti Leiden, Paris, London, Cairo, dan New York adalah beberapa kota yang menyajikan puisi di tembok/dinding kota mereka. Bahkan puisi juga hadir di tempat transit (busway station) di Warsaw, London, Paris, Washington, D.C., San Francisco dan terminal bis lainnya di Amerika. Kota-kota tersebut jelas ingin menghadirkan sesuatu bernama kemurnian, resepsi atas nilai-nilai kemanusiaan tanpa kalkulasi uang yang berarti dan sekaligus pengakuan terhadap karya sastra itu sendiri.

London juga termasuk kota yang cukup agresif dengan kesadaran memuitiskan kota. Proyek nirlaba seperti Poetry as Landmark yang ditangani penyair Lemn Sissay disebut-disebut sebagai upaya menghadirkan puisi kepada audiens yang lebih banyak, di samping juga proyek Poems on the Underground yang digagas oleh Judith Chernaik sejak 1986. Sissay sendiri menyebut pekerjaan begitu sebagai proyek pribadi yang tumbuh secara natural (a quiet lone project that has grown naturally). Untuk itu, kita patut belajar kepada lembaga-lembaga nirlaba yang mempunyai kepedulian terhadap karya sastra dan merayakan kemurnian tentang nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri.

Satu fakta yang spektakuler terjadi tahun 2012 saat London menghelat Olimpiade. Panitia sengaja mengundang para ahli dan penyair untuk memilih penggalan puisi yang nantinya akan dipahat secara permamen di tembok arena Olimpiade, sebuah ajang olahraga termegah sejagat itu. Melalui penjurian ketat diwakili oleh penyair terkemuka Inggris seperti Daljit Nagra dan Carol Ann Duffy dan elemen-elemen lain seperti penulis dan jurnalis Sebastian Faulks dan Dan Sow, panitia akhirnya memilih puisi Ulysses karya penyair legendaris mereka, Alfred Tennyson (1809-1892). Empat larik puisi tersebut: //...that which we are, we are;/ One equal temper of heroic hearts, / Made weak by time and fate, but strong in will / To strive, to seek, to find, and not to yield...// diukir pada sebuah tembok di arena Olimpiade London 2012. Oleh Daljit Nagra, larik puisi itu disebut sebagai “hentakan keras” (clarison call) yang sangat cocok untuk mengenjot semangat juang demi meraih yang terbaik (medali emas). 

Muurgedichten adalah kesadaran untuk mengisi relung hati kemanusiaan yang tersumbat dan menyediakan mereka gizi segar tentang makna dan eksistensi penciptaan, di mana puisi meretas jalannya. Di samping itu, semangat puisi sebagai ruang murni penghayatan akan membantu membersihkan penyakit-penyakit sosial-politik seperti korupsi, meminjam adagium John F. Kennedy, dan keserakahan kota yang dibiarkan berlari dalam kecemasan dan frustasi.

Akhirnya, menghadirkan puisi ke ruang kota adalah menghadirkan makna esensial kemanusian itu sendiri.... 

Digunting dari Esai di Kedaulatan Rakyat, 8 September 2013.

0 comments: