Thursday, December 29, 2011
Fee!
Ini sebuah fragmen hidupku yang lain.
Titik yang memuat ketegangan dan kulminasi. Aku menulisnya sebagai catatan
waktuku sendiri, buat aku dan ketidakmengertianku sendiri. Aku menandai setiap momentum
hanya dengan tulisan, jalan rekonsiliasi bagi diriku sendiri. Dan itu yang hanya aku punya. Karena dengan
menuliskan apapun yang telah kuanggap sebagai penanda waktu dan penulis tentang
bagian lain sejarah hidup adalah sebuah keniscayaan. Di sana aku menemukan
kejujuranku sendiri. Entah bagi orang lain, itu tentu akan menjadi sebuah fase
yang menakutkan.
Tahun 2008 ini aku mengenal seseorang
yang masih sangat belia, duduk di kelas akhir sekolah menengah pertama. Saat-saat
seperti ini aku hanya seorang pendendam dan sekaligus pemuja kesendirianku
sendiri dengan beribu bayangan. Di saat seperti itu aku biasa menciptakan serangkaian
dunia, semacam karnival untuk merayakan keberadaanku yang hanya serupa seekor
semu hitam di malam gelap. Saat begini ia datang.
Ia mungkin adalah perempuan pertama
yang biasa bermain denganku, melalui email ataupun sekedar berkirim pesan. Entah
dari mana kita bisa bersambung, seperti sebuah gerbong kereta yang saling
menyeret. Dari cerita goyonan dari teman ke teman. Begitulah permainan itu
begitu mudah dibuat disepakati.
Darinya aku tahu betul bahwa setiap
orang mempunyai sejarah masing-masing: cerah ataupun kelam. Ia dengan jujur
bercerita tentang dirinya, soerang yang terpaut usia cukup renggang denganku. Tapi
keberaniannya menantangku untuk bertemu, menikmati pertemuan telah membuatku
bertanya-tanya. Seberapa percaya ia? Siapa aku. Aku tertantang sekali untuk
menemuinya bersama dengan perjalan waktu yang cukup lama: tiga tahun
berikutnya. Aku tidak banyak hirau sebenarnya dengan perjalanan ruang yang
memisahkan kita. Ia di Pemalang sana dan aku di Yogyakarta.
Tahun baru 2010, pas di ulang
tahunnya. Ia nekat datang ke Jogja. Katanya ingin menemuiku. Ia baru saja lulus
dari SMA dan aku di semester 6. Ternyata betul, ia datang ke Jogja dengan bekal
keyakinan kepada perasaan atau apalah namanya. Saat kujemput di terminal, aku
masih tidak percaya kenapa ia harus datang ke Jogja. Dan aku tanyakan itu
berkali-kali. “Aku hanya ingin menemui, Bee!” singkat dan padat.
Tapi bukan aku namanya bila tidak
menyimpan keingintahuan yang besar….
Dan, ketika aku menulis skripsi aku
mencantumkan tokoh imajiner ini sebagai seseorang yang memberikan sentuhan pengalaman
dalam hidupku. Sayang, ketidakpedulianku di waktu-waktu ini begitu menggebu. Aku
menuliskan namanya di ucapan terimakasih dan selalu bikin orang lain tidak
percaya. Itulah aku, seorang dengan egoisme kesendiraannya yang tak terperi.
Menakar Kekerasan Agraria
INDONESIA adalah negara agraris, sebuah negara yang berpijak pada
dunia pertanian dengan berbagai jenis hasil produksinya. Namun, sejauh
itu pula, sosok petani dan eksistensi tanahnya, sebagai bagian yang tak
terpisahkan dalam negara agraria, selalu menjadi pil pahit bagi rakyat.
Di negeri ini, petani seperti dilahirkan dengan nasib malang, kelam dan
selalu dirugikan oleh pihak negara dengan kebijakan yang tidak
kontekstual dengan kondisi riil rakyat. Anehnya, keganjilan-keganjilan
semacam itu terus berkembang dan merambat kepada semua komponen
kebangsaan dan kenegaraan kita.
Sepanjang sejarah bangsa, konflik pertanahan memang selalu menyeruak di negeri ini. Berdasarkan rekaman berbagai kasus sengketa tanah yang pernah ada, mulai dari zaman pemerintahan kolonial Hindia Belanda hingga rezim Orde Baru, mulai dari kasus Cilegon Banten (1888), Cimacan Bandung (1989), Jenggawah Jember (1995), hingga Kalibakar Malang Selatan (1997), selalu saja mendiskreditkan posisi petani di tengah ketidakpastian kebijakan negara.
Tak ayal, kondisi tersebut melahirkan resistensi petani. Manifestasi ketidakpuasan terhadap pelbagai kebijakan negara itulah yang melatari resistensi ribuan petani Simojayan dan Tirtoyudo di ngarai Gunung Semeru, Malang Selatan. Resistensi petani tersebut harus diterima sebagai jawaban yang dilakukan para petani dalam mencari eksistensi dirinya di tengah kekacauan negara.
Sejarah radikalisasi petani bisa dibedakan menurut masanya. Misalnya, antara masa kolonial, masa Orde Lama, Orde Baru, dan masa transisi (reformasi) yang memiliki karakteristik yang berbeda. Radikalisasi petani pada era kolonial terjadi karena pengambilan tanah (adat) secara paksa oleh negara untuk kepentingan penguasaan tanah oleh pemerintah kolonial Belanda dan Inggris untuk aktivitas usaha perkebunan.
Radikalisasi pada era Orde Lama lebih diakibatkan oleh intervensi partai politik dalam mem-blow-out masalah tanah sebagai isu kepentingan partai. Sementara karakteristik konflik pertanahan masa Orde Baru bersifat vertikal antara pemegang hak penguasa yang berkolaborasi dengan pengusaha (birokrasi pemerintah). Tanah pada kurun waktu ini dipandang sebagai bahan komoditas sebagai akibat pilihan paradigma pembangunanisme, developmentalisme (Mustain, 2007).
Beda dengan paradigma Orde Baru yag mengedepankan program pembangunan pertanian melalui revolusi hijau, pertumbuhan ekonomi dan komersialisasi tanah, radikalisasi penata masa reformasi lebih dicirikan oleh reklaiming tanah sebagai akibat tidak jelasnya paradigma dalam penanganan sektor pertanian. Sehingga, nasib petani tetap termarjinalisasi oleh pemilik modal.
Ironisnya, persoalan laten ini hingga sekarang terus mewarnai dinamika kebangsaan. Hampir setiap hari kita disuguhi “sandiwara” sengketa hak milik tanah hanya karena tanah yang bersangkutan tidak tersertifikasi, yang oleh nenek moyang mereka diwariskan secara turun-temurun. Di tengah kondisi demikian, pemerintah tidak pernah cekatan memberikan jalan keluar demi eksistensi mereka. Hari-hari ini petani kita seperti selalu dihantui ketakutan-ketakutan yang tidak jelas ujung persoalannya.
Ironi agraria
Kekacauan dunia agraria kita telah melahirkan paradoks yang tidak bisa ditoleransi lagi. Di tengah produksi pertanian yang mulai kehilangan progresivitasnya, negara kita harus “tebal muka” mengimpor hasil tanah negara orang lain yang terus meningkat dari tahun ke tahun, seperti: beras (3,7 juta ton), gula (1,6 juta ton), dan jagung (1,2 juta ton). Kita kalah dengan Thailand, Malaysia, dan Vietnam yang luas tanahnya jauh di bawah kita.
Terbaru kita bisa menyelisik tragedi Mesuji dan Sape, Bima. Petani dan tanahnya menjadi bulan-bulanan struktur negara yang bersekongkol dengan pemilik modal. Petani selalu menjadi pihak yang dikalahkan. Kedua kasus ini adalah ironi dunia agraria kita yang terekspos ke media massa. Bukan tidak mungkin kasus-kasus kekerasan serupa, yang telah memakan korban nyawa, menjadi bom waktu dan bola salju yang akan terus mewarnai sejarah kelam agraria kita.
Dalam konteks menakar kekerasan dunia agraria, saya merujuk kepada sebuah buku hasil riset karya Dr Mustain berjudul Petani vs Negara, Gerakan Sosial Petani Melawan Hegemoni Negara. Hasil penelitian untuk disertasi ini membeberkan secara transparan resistensi petani yang marak meletus di masa lalu dengan didasarkan pada fakta dan data yang akurasinya bisa dipertanggungjawabkan. Fokus yang dibidik dalam penelitian ini adalah di Malang Selatan.
Secara khusus buku ini membongkar sindikat tanah milik petani di kawasan Desa Tirtoyudo dan Simojayan, dua desa di Kalibakar, Malang Selatan, yang sempat menjadi milik perkebunan kakao (PTPN) sejak Belanda berkuasa sekitar 1942 hingga tahun 1997, hal mana rakyat serentak melakukan reklaiming (perjuangan merebut kembali tanah hak milik) untuk menuntut hak tanah mereka yang sah.
Setelah diteliti secara seksama oleh para LSM dan juga penulis buku ini, ternyata tanah perkebunan itu adalah milik sah penduduk desa yang pada masa kolonial dikontrak oleh Belanda untuk dijadikan perkebunan cokelat dan kakao. Tapi naifnya, setelah kontrak dengan Belanda habis, tanah rakyat itu bukan langsung dikembalikan kepada pemilik sah, melainkan dimanipulasi oleh pihak PTPN XII dan perkebunan itu tetap dikembangkan. Dari kasus inilah resistensi dan radikalisasi petani di kecamatan itu tak pernah padam hingga banyak makan korban. Penanganan dari pihak PTPN banyak melibatkan militer, seperti Batalyon Zipur 5.
Pasca-reklaiming tanah dengan membabat habis kebun cokelat dan kakao di sekitar 2.050 hektare itu bukan berarti persoalan petani dengan tanah mereka selesai. Petani kembali menghadapi sebuah problem baru terkait pembagian tanah yang tidak adil. Kekacauan pun sempat menyeruak di Kalibakar. Namun akhirnya dengan bantuan banyak pihak seperti LBH dan pihak pemerintahan di Malang, pembagian tanah itu dapat terselesaikan dengan baik.
Begitu tanah sudah terbagi dengan adil kepada yang berhak, geliat dan gairah kerja petani sangat meningkat tajam. Dampaknya terhadap kehidupan sosial-ekonomi pun meningkat dan menciptakan kesejahteraan yang diidamkan masyarakat. Perkumpulan tani dibentuk dan geliat produksi lahan pun sangat progresif di desa itu. Sekarang, semangat seperti itu harus menjadi kesadaran bersama masyarakat petani di Indonesia sehingga mereka bisa berdialog secara proporsional dalam menghadapi dunia korporasi dan modal.
Sepanjang sejarah bangsa, konflik pertanahan memang selalu menyeruak di negeri ini. Berdasarkan rekaman berbagai kasus sengketa tanah yang pernah ada, mulai dari zaman pemerintahan kolonial Hindia Belanda hingga rezim Orde Baru, mulai dari kasus Cilegon Banten (1888), Cimacan Bandung (1989), Jenggawah Jember (1995), hingga Kalibakar Malang Selatan (1997), selalu saja mendiskreditkan posisi petani di tengah ketidakpastian kebijakan negara.
Tak ayal, kondisi tersebut melahirkan resistensi petani. Manifestasi ketidakpuasan terhadap pelbagai kebijakan negara itulah yang melatari resistensi ribuan petani Simojayan dan Tirtoyudo di ngarai Gunung Semeru, Malang Selatan. Resistensi petani tersebut harus diterima sebagai jawaban yang dilakukan para petani dalam mencari eksistensi dirinya di tengah kekacauan negara.
Sejarah radikalisasi petani bisa dibedakan menurut masanya. Misalnya, antara masa kolonial, masa Orde Lama, Orde Baru, dan masa transisi (reformasi) yang memiliki karakteristik yang berbeda. Radikalisasi petani pada era kolonial terjadi karena pengambilan tanah (adat) secara paksa oleh negara untuk kepentingan penguasaan tanah oleh pemerintah kolonial Belanda dan Inggris untuk aktivitas usaha perkebunan.
Radikalisasi pada era Orde Lama lebih diakibatkan oleh intervensi partai politik dalam mem-blow-out masalah tanah sebagai isu kepentingan partai. Sementara karakteristik konflik pertanahan masa Orde Baru bersifat vertikal antara pemegang hak penguasa yang berkolaborasi dengan pengusaha (birokrasi pemerintah). Tanah pada kurun waktu ini dipandang sebagai bahan komoditas sebagai akibat pilihan paradigma pembangunanisme, developmentalisme (Mustain, 2007).
Beda dengan paradigma Orde Baru yag mengedepankan program pembangunan pertanian melalui revolusi hijau, pertumbuhan ekonomi dan komersialisasi tanah, radikalisasi penata masa reformasi lebih dicirikan oleh reklaiming tanah sebagai akibat tidak jelasnya paradigma dalam penanganan sektor pertanian. Sehingga, nasib petani tetap termarjinalisasi oleh pemilik modal.
Ironisnya, persoalan laten ini hingga sekarang terus mewarnai dinamika kebangsaan. Hampir setiap hari kita disuguhi “sandiwara” sengketa hak milik tanah hanya karena tanah yang bersangkutan tidak tersertifikasi, yang oleh nenek moyang mereka diwariskan secara turun-temurun. Di tengah kondisi demikian, pemerintah tidak pernah cekatan memberikan jalan keluar demi eksistensi mereka. Hari-hari ini petani kita seperti selalu dihantui ketakutan-ketakutan yang tidak jelas ujung persoalannya.
Ironi agraria
Kekacauan dunia agraria kita telah melahirkan paradoks yang tidak bisa ditoleransi lagi. Di tengah produksi pertanian yang mulai kehilangan progresivitasnya, negara kita harus “tebal muka” mengimpor hasil tanah negara orang lain yang terus meningkat dari tahun ke tahun, seperti: beras (3,7 juta ton), gula (1,6 juta ton), dan jagung (1,2 juta ton). Kita kalah dengan Thailand, Malaysia, dan Vietnam yang luas tanahnya jauh di bawah kita.
Terbaru kita bisa menyelisik tragedi Mesuji dan Sape, Bima. Petani dan tanahnya menjadi bulan-bulanan struktur negara yang bersekongkol dengan pemilik modal. Petani selalu menjadi pihak yang dikalahkan. Kedua kasus ini adalah ironi dunia agraria kita yang terekspos ke media massa. Bukan tidak mungkin kasus-kasus kekerasan serupa, yang telah memakan korban nyawa, menjadi bom waktu dan bola salju yang akan terus mewarnai sejarah kelam agraria kita.
Dalam konteks menakar kekerasan dunia agraria, saya merujuk kepada sebuah buku hasil riset karya Dr Mustain berjudul Petani vs Negara, Gerakan Sosial Petani Melawan Hegemoni Negara. Hasil penelitian untuk disertasi ini membeberkan secara transparan resistensi petani yang marak meletus di masa lalu dengan didasarkan pada fakta dan data yang akurasinya bisa dipertanggungjawabkan. Fokus yang dibidik dalam penelitian ini adalah di Malang Selatan.
Secara khusus buku ini membongkar sindikat tanah milik petani di kawasan Desa Tirtoyudo dan Simojayan, dua desa di Kalibakar, Malang Selatan, yang sempat menjadi milik perkebunan kakao (PTPN) sejak Belanda berkuasa sekitar 1942 hingga tahun 1997, hal mana rakyat serentak melakukan reklaiming (perjuangan merebut kembali tanah hak milik) untuk menuntut hak tanah mereka yang sah.
Setelah diteliti secara seksama oleh para LSM dan juga penulis buku ini, ternyata tanah perkebunan itu adalah milik sah penduduk desa yang pada masa kolonial dikontrak oleh Belanda untuk dijadikan perkebunan cokelat dan kakao. Tapi naifnya, setelah kontrak dengan Belanda habis, tanah rakyat itu bukan langsung dikembalikan kepada pemilik sah, melainkan dimanipulasi oleh pihak PTPN XII dan perkebunan itu tetap dikembangkan. Dari kasus inilah resistensi dan radikalisasi petani di kecamatan itu tak pernah padam hingga banyak makan korban. Penanganan dari pihak PTPN banyak melibatkan militer, seperti Batalyon Zipur 5.
Pasca-reklaiming tanah dengan membabat habis kebun cokelat dan kakao di sekitar 2.050 hektare itu bukan berarti persoalan petani dengan tanah mereka selesai. Petani kembali menghadapi sebuah problem baru terkait pembagian tanah yang tidak adil. Kekacauan pun sempat menyeruak di Kalibakar. Namun akhirnya dengan bantuan banyak pihak seperti LBH dan pihak pemerintahan di Malang, pembagian tanah itu dapat terselesaikan dengan baik.
Begitu tanah sudah terbagi dengan adil kepada yang berhak, geliat dan gairah kerja petani sangat meningkat tajam. Dampaknya terhadap kehidupan sosial-ekonomi pun meningkat dan menciptakan kesejahteraan yang diidamkan masyarakat. Perkumpulan tani dibentuk dan geliat produksi lahan pun sangat progresif di desa itu. Sekarang, semangat seperti itu harus menjadi kesadaran bersama masyarakat petani di Indonesia sehingga mereka bisa berdialog secara proporsional dalam menghadapi dunia korporasi dan modal.
Tanah Itu, Ya Darah!
Tulisan kali ini saya kutipkan dari Twitter saya @_bje yang mungkin hanya galau semata, tidak perlu, sia-sia, atau apatah namanya! Saya hanya suka berbagi, dan selebihnya adalah pikiran kita masing-masing yang menangkapnya!
Tanah Itu, Ya Darah! Ingin iseng-iseng bercerita ttg tanah #tanah
malam-malam, ketika tubuh ini telentang, pikiranku ingat tentang tanah, suatu yang urgen tapi kita jarang menghargai keberadaannya #tanah
atau mungkin kita lupa, atau mungkin belum sempat memikirkannya #tanah
Kita memang tidak sedang tidur di atas tanah secara langsung, tapi ingat bahwa tubuh kita dekat dengan tanah, yang setia menyanggah! #tanah
Namun, ia menjadi entitas yang berpisah—karena kebiasaan kita sering meludahi, memberaki dan menyumbatnya dg sampah #tanah
ia tidak pernah menyumpahi kita atas semua itu karena memang tanah diciptakan untuk memberi ruang hidup sekaligus memendam kematian #tanah
tanah sudah memberikan kita segalanya. Sebagai rumah kematian, tanah sudah menampung kita. Mungkin untuk itulah tanah diciptakan #tanah
Kekerasan dan pencaplokan yang berdasarkan penguasaan tanah sudah terjadi sejak ribuan tahun. Karena tanah sesuatu ttg kemerdekaan #tanah
dan di situlah tanah menjadi rebutan. penjajahan berawal dari perebutan tanah dan territori, penguasaan terhadap kekayaan tanah (SDA) #tanah
pada awalnya tanah adalah ttg territori, tapal batas yang memberikan ruang bagi trcptanya dinamika khdpan, dan kemerdekaan #tanah
tentang tanah telah mengobankan darah: ada Mesuji dan Sape. Itu yang baru aja muncul, entah di mana lagi yang akan menyusul #tanah
ingat lho, para pejuang kemerdekaan berperang hingga darah penghabisan, demi tanah air, kemerdekaan #tanah
krn kalau tanah hanya dinisbatkan dg petani, semakin jelas bahwa mereka yg berada di luar kpntingan itu merasa sah memperalat tanah #tanah
tanah itu ibarat Ibu kehidupan itu sendiri--bagi manusia, bukan hanya bagi petani #tanah
jk ingat petani, yg semua hidupnya digantungkan pada tanah, maka tanah adalah darah yang mengalirkan khpan bg mereka #tanah
saya merasakan itu, karena saya adalah anak petani, dan ikut bercocok tanam di atas tanah #tanah
saya percaya bahwa tanah adalah sebidang harapan masa depan, krn hidup berawal dari sana #tanah
pantas banget jika, umpanya, banyak petani yang tidak mau tanahnya dijual untuk perkebunan atau pertambangan #tanah
petani di Kulonprogo diobok-obok utk melepas #tanah mereka dg harga mahal, tapi mereka tidak pernah mau krn tanah adlh masa depan bkn uang
taruhlah sebidang tanah dihargai olh korporasi dg uang yang cukup untuk hidup 10 thn. Stlh 10 th, mrk disuruh mati apa? #tanah
di kampung saya, tanah adlh martabat, harga diri, dan harga mati! tidak boleh ada yang mengotak-atik itu #tanah
jk kita kenal CAROK, duel ala Madura yang sampai bikin darah bersimbah, salah satu pemicunya adlh TANAH. Tanah warisan #tanah
saya paham kenapa petani di Mesuji atau Bima rela hingga darah penghabisan--karena itu kemerdekaan bg mereka #tanah
para founding fathers bangsa ini sangat sadar ttg kebangsaan mereka, ttg tanah dan territori yg kita singgahi ini: negeri agraris! #tanah
sehingga Undang-Undang Dasar 1945 (UUD’45) Pasal 33 ayat 3 menyematkan ttg semangat tanah yang memakmurkan utk bangsa #tanah
aneh memang sih, ketika pola pikir teknokrat, atau pola-pola urban selalu dipaksakan dg menafikan esensi lokal #tanah
selamat malam tanah, selamat malam ibu kehidupanku, #tanah
Tuesday, December 27, 2011
Bulan Siluman
Versi cetak dari tulisan ini di Jurnal Nasional, 17 Desember 2011
DESEMBER selalu menjadi “bulan siluman" bagi para birokrat bangsa ini: di setiap Desember, banyak para pejabat publik menyamun. Desember selalu mengajarkan cara-cara bagaimana menghabiskan anggaran negara yang ada di kementerian/lembaga pemerintahan. Orientasinya: sekadar menghamburkan sisa uang sehingga hasilnya pun akan nihil.
Monday, December 12, 2011
Omong Kosong Lembaga Agama
Versi cetak dari tulisan ini ada di Jurnal Nasional, 09 Desember 2011
TERMA “agama" agaknya akan menjadi ruang omong kosong di Republik ini, khususnya ketika agama sudah dipecundangi atas nama pelembagaan; ketika nilai-nilai luhur agama didistorsi demi klaim pembenaran beberapa kelompok; ketika agama hanya diperjuangkan sebagai ruang kosong di mana manusia seperti sosok asing di dalamnya. Dari situ pelembagaan agama kemudian melahirkan generasi kebencian dan hipokrit hanya karena salah kaprah orang-orang yang berdiam dan memperebutkan kuasa-legitimasi di dalamnya. Sudah banyak bukti yang menegaskan hal itu: kekerasan, pembunuhan, dan kebencian di antara umat beragama.
Tuesday, November 29, 2011
Andai Ia Tak di Jalanan…
Liburan memang tidak selamanya sesuai dengan rencana awal. Adakalanya di tengah perjalanan, sesuatu bisa terjadi dan memberikan banyak pelajalan (lesson learned) dari peristiwa itu. Bahkan kejadian-kejadian di luar rencana membuat liburan menjadi semakin memorable dan sangat impresif. Dan itu aku temukan di sini, saat aku dan teman-teman ramai-ramai menikmati liburan weekend bersama setumpuk kawan dari Jakarta yang liburan di Yogyakarta, 27-28 Nov 2011.
Langit masih menumpahkan gerimis,dan Malioboro dalam surup hari. Aku dan teman-teman tetap semangat menembus rintik gerimis demi menikmati Malioboro di senja hari, di samping itu mereka akan belanja oleh-oleh untuk kerabatnya. Saya, Seto, Dila, Doni dan tiga teman dari Ibu kota: Ita, Tya, dan B’de berjalan bergerombolan setelah check-in di salah satu hotel di belakang Malioboro.
Langit masih menumpahkan gerimis,dan Malioboro dalam surup hari. Aku dan teman-teman tetap semangat menembus rintik gerimis demi menikmati Malioboro di senja hari, di samping itu mereka akan belanja oleh-oleh untuk kerabatnya. Saya, Seto, Dila, Doni dan tiga teman dari Ibu kota: Ita, Tya, dan B’de berjalan bergerombolan setelah check-in di salah satu hotel di belakang Malioboro.
Thursday, November 10, 2011
Mewaspadai Gaya Baru Terorisme
versi cetak ada di sini
SEJAK terbongkarnya kamp pusat pelatihan teroris tahun lalu di Aceh, kekhawatiran dan peringatan banyak pengamat tentang berkembang biaknya cara-cara teroris dalam melaksanakan aksi mereka di Indonesia kini benar-benar terbukti. Bom buku yang sempat menggegerkan masyarakat, yang hingga hari ini polisi belum sanggup mengidentifikasi pelakunya, adalah salah satu cara yang perlu diawasi secara cermat.
Bukan tidak mungkin kelompok teroris terus mengembangkan aksi mereka dan berekspansi secara masif dengan cara-cara yang bahkan bisa mengancam siapa pun, di mana pun. Lihat misalnya serangan bom bunuh diri di masjid di Kompleks Polres Cirebon Kota, Jumat, 15 Maret 2011. Banyak orang, bahkan polisi dan badan intelijen sekalipun, tidak mengira peristiwa itu akan terjadi.
SEJAK terbongkarnya kamp pusat pelatihan teroris tahun lalu di Aceh, kekhawatiran dan peringatan banyak pengamat tentang berkembang biaknya cara-cara teroris dalam melaksanakan aksi mereka di Indonesia kini benar-benar terbukti. Bom buku yang sempat menggegerkan masyarakat, yang hingga hari ini polisi belum sanggup mengidentifikasi pelakunya, adalah salah satu cara yang perlu diawasi secara cermat.
Bukan tidak mungkin kelompok teroris terus mengembangkan aksi mereka dan berekspansi secara masif dengan cara-cara yang bahkan bisa mengancam siapa pun, di mana pun. Lihat misalnya serangan bom bunuh diri di masjid di Kompleks Polres Cirebon Kota, Jumat, 15 Maret 2011. Banyak orang, bahkan polisi dan badan intelijen sekalipun, tidak mengira peristiwa itu akan terjadi.
Sunday, October 30, 2011
Edukasi Damai, Apa Kabar?
(Tulisan ini adalah serangkaian resume atau, lebih tepatnya, refleksi kecil-kecil dari penelitian yang saya lakukan tentang "Pola-Pola Peacebuilding Pemuda di Komunitas Peace Generation Yogyakarta" untuk skripsi saya yang sangat lambat selesainya. Posting sebelumnya berjudul Menakar Kekerasan Sipil adalah hasil pernik-pernik kecil dari skripsi saya juga. Tulisan ini sebelumnya sudah dimuat di Tabloid Bisnis Indonesia edisi Jumat, 28 Oktober 2011 dengan judul Memacu Semangat Edukasi Damai. Sebagai share lebih lanjut, saya posting di sini dengan harapan semoga teman-teman dan pembaca sekalian bisa mengaksesnya secara lebih mudah. Demikian semoga bermanfaat terima kasih).
Foto hasil print screen, BI edisi 28 Oktober 2011 |
Kekerasan pemuda, kalangan pelajar SMA khususnya, mulai mencemaskan akhir-akhir ini. Awalnya, kekerasan yang dipraktekkan memang terfokus kepada lingkungan sekolah seperti bullying antar teman, kekerasan antar gank, hingga tawuran antar sekolah. Namun, kekerasan dan bentrokan pelajar SMA 6 Jakarta dengan wartawan adalah suatu fakta baru bahwa kekerasan pelajar kini mulai berimbas kepada ruang publik dengan akses warga sipil yang lebih luas.
Menambal Teks Religiositas (yang) Getas
Versi cetak dari tulisan ini dimuat di Jurnal Nasional, Minggu, 30 Oktober 2011
"Jika bumi, langit dan seisinya dicipta selama
enam hari, apa yang dilakukan Tuhan sejak jauh
sebelum hari pertama, dan jauh setelah
hari keenam?"
(Ahmad Nurullah, Setelah Hari Keenam)
personal doc |
Wednesday, October 26, 2011
Di Kampungku, Ternyata SBY Pembohong!
Anak-anak kampung bermain bola di tepi kuburan |
Sekitar 2 tahun 2 bulan yang lalu, harian Kompas edisi Rabu, 19 Agustus 2009 menurunkan laporan bertajuk “Presiden: Tahun 2010 Semua Desa Terhubung Internet”. Cukup segar dalam ingatan bahwa saya begitu passionate menyimpan berita itu dalam file notebook karena saya berpikir bahwa pernyataan SBY itu adalah janji yang harus dipegang—(secara dia presiden yang paling besar (tubuhnya) sepanjang sejarah Indonesia!). Sejak awal menyimpan soft file itu, saya sebagai orang desa ingin membuktikan pernyataan itu, apakah benar janji SBY terlaksana di lapangan, seperti di desa saya, atau hanya omong kosong belaka!
Saya cuplikan bahasa SBY versi harian Kompas: "Pembangunan infrastruktur informatika dan telekomunikasi dasar ke seluruh pelosok tanah air adalah wujud nyata dari tekad bersama membangun kesatuan Indonesia," kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, saat berpidato pada Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, di Gedung DPR-RI, Jakarta, Rabu (19/8).
Friday, October 21, 2011
Menakar Kekerasan Sipil
Sambil lalu mengerjakan penelitian untuk tugas akhir kuliah tentang Pola-Pola Peacebuilding Komunitas Peace Generation di Yogyakarta, saya selalu digelisahkan oleh berbagai macam kekerasan (sipil) yang tumpah ruah di mana-mana. Apa yang saya lakukan untuk skripsi sepertinya menjadi suatu tantangan yang telanjang begitu saja, di depan mata saya sendiri. Betapa tidak, April 2011 ada seoarang anak SMA GAMA yang ditusuk dengan pisau oleh "musuh sekolah"-nya, yaitu SMK Bopkri 2. Kejadian ini sangat dekat, dan isu-isu seperti ini ternyata menjadi salah satu concern komunitas yang saya teliti itu. Jangan dulu menengok daerah yang jauh-jauh soal kekerasan, daerah yang memang rentan dengan kasus-kasus kekerasan. Di lingkungan dekat kita sendiri begitu mudah kita menemukan praktik-praktik kekerasan.
Tuesday, July 05, 2011
Together to Spend the State’s Budget In the Year-End!
taken from the ceremony |
Am I a corruptor? Don’t answer yes or no before capturing this note below. It's actually done after the case but I kept it on my file-shelf to fit a good time to publish.
Having had long and exhausted trip to spend 2011 new year holiday with my Peace Generation friends—staying awake for whole night on shore, playing games, singing, dancing together, also grasping and praying for our hopes in one year ahead—I got my body lay down on bed for about half of the day, January 1, 2011. On that day I was utterly wearied of doing everything and wanted to make free of my body and feelings for stalking a new spirit of tomorrow. Yeah, I dedicated that day for only taking a rest.
Sapi Australia, Rakyat Indonesia
(versi lain dari tulisan ini ada di Jurnal Nasional)
Dalam kunjungan saya selama dua minggu di Australia, ada yang benar-benar berbeda dan membikin saya berpikir lebih dalam lagi soal harga diri dan nilai tawar sebuah bangsa, dan tentu dengan peran negara yang menyanggah dan mewadahi martabat mereka di mata negara lain. Dalam konteks ini, saya benar-benar terhenyak mendengar dan menyaksikan sendiri kehebohan rakyat Australia terhadap kekejaman rumah pemotongan hewan (RPH) Indonesia terhadap sapi-sapi ekspor dari Negeri Kangguru itu.
Dalam kunjungan saya selama dua minggu di Australia, ada yang benar-benar berbeda dan membikin saya berpikir lebih dalam lagi soal harga diri dan nilai tawar sebuah bangsa, dan tentu dengan peran negara yang menyanggah dan mewadahi martabat mereka di mata negara lain. Dalam konteks ini, saya benar-benar terhenyak mendengar dan menyaksikan sendiri kehebohan rakyat Australia terhadap kekejaman rumah pemotongan hewan (RPH) Indonesia terhadap sapi-sapi ekspor dari Negeri Kangguru itu.
Thursday, June 30, 2011
Shepparton's Albanian Mosque, Suatu Senja
Chapter 1
Hamdy, Mbak Mila, Bje |
Shepparton in solitude. Ya, Shepparton telah menyajikan kesunyian yang istimewa bagi saya, suatu lanskap khusus dengan pengalaman realita hidup rural (pinggiran) dengan atmosfir sederhana yang cukup mengesankan. Shepparton memberikan kesan begitu dalam bagi saya, tentang kesunyian sebuah countryside di Victoria, Australia. Dalam kunjungan saya ke tiga tempat—Melbourne, Canberra dan Sydney—adalah Shepparton yang memberikan warna berbeda. Apalagi ditemani oleh Mbak Mila Sudarsono (koordinator program dan sekaligus in charge selama di Shepparton dan Canberra) yang selalu menyediakan ruang eksploratif, keakraban yang hangat, kepada saya dan teman-teman yang berkunjung di sebuah rural area yang dicuplikkan kepada nama shahibul bait (first settler) pertama di Shepparton, yaitu Sherbourne Sheppard.
Tuesday, June 28, 2011
Synagogue, Shabbat Shalom, dan Kebencian yang Memudar
Langit Melbourne sangat
cerah. Such a lovely day pada hari Sabtu 18 Juni 2011. Masih
pagi sekitar pukul 09.10 am waktu Melbourne ketika saya berkesempatan mengikuti
ibadah pemeluk agama Yahudi pada hari Sabtu. Hari Sabtu bagi kaum Yahudi
disebut Shabbat Shalom (peaceful Sabbath) atau
Sabtu yang damai, sebagai hari yang mereka sakralkan,
seperti hari Jumat bagi umat Islam atau hari Minggu bagi umat Kristiani. Ini kali
pertama saya secara langsung bertemu, salaman, mengobrol dan ikut mengaji kitab
suci Taurat dalam suasana ibadah yang khidmat, tenang dan syahdu dengan
lagu-lagu bahasa Hebru.
Saya memasuki sinagog bersama
dua orang kawan dari Indonesia dan ditemani dua orang Australia, sebagai person in charge Muslim
Exchange Program (MEP) di Melbourne: Rowan Gould dan Christina Rafferty-Brown.
Saya memasuki area sinagog dengan rasa penasaran yang membuncah hebat. Mata
saya pasang dengan ekstra awas, mencoba mengamati setiap detail ornamen apapun
dalam ruangan itu—merekamnya pelan-pelan dengan penuh khusuk.
Ruangan dengan kira-kira
jumlah jamaah yang berkumpul sekitar 70-an orang itu terasa sangat tenang,
tertib dan khidmat, meski kadang ada beberapa orang masih mengobrol dengan
suami, anak, atau rekan-rekannya yang duduk di samping mereka. Sinagog yang
saya kunjungi ini beraliran Progressive Judaism, bukan Orthodox
Judaism.
Progressive Judaism sebuah istilah untuk menamai kelompok-kelompok umat
Yahudi yang berhaluan liberal, reformis dan
mengalami rekonstruktionis. Mereka bernaung di bawah World Union for Progressive Judaism (WUPJ)
yang berkembang di banyak negara yang jadi pusat diaspora kelompok yang berasal
dari bani Israel ini. Sementara Orthodox Judaism adalah kelompok mayoritas dalam agama Yahudi
yang memegang teguh ajaran mereka secara ketat dalam menginterpretasi dan mengamalkan
hukum-hukum Yahudi yang mereka jalankan secara tradisional.
Di sinagog Progressive
Judaism, perempuan boleh menjadi imam dan jamaah laki-laki dan
perempuan bercampur. Jadi maklum saja jika mereka yang sedang
memegang kitab, di kiri-kanan saya, tidak terlalu menyakralkan ritual seperti
ini. Mereka masih mengobrol asyik satu sama lain. Namun, masih ada seorang
laki-laki, tepat di depan kiri saya, kira-kira sudah berkepala enam yang dengan
suara desisan—tentu dengan muka yang gusar—menegur seorang ibu dengan anaknya
yang sedang asyik mengobrol dengan cekikikan tawa yang sedikit samar. Saya menikmati
beragam ekspresi mereka dengan penuh khidmat tapi santai.
Yahudi bagi saya adalah
sebuah lanskap paradoksal, atau bahkan ibarat labirin maha mencekam. Sebagai
seorang Muslim yang belajar Islam dengan cara tradisional di pondok pesantren,
satu sisi agama Yahudi menjadi sahabat baik, karena merupakan agama yang
sama-sama disebut agama samawi—agama dari langit—dengan segala
ragam sejarah yang saya kenal melalui kitab al-Qur’an, al-Hadis ataupun
kitab-kitab klasik (kitab kuning) lainnya.
Di sisi lain, kata Yahudi
menjadi lanskap kelam dan menakutkan bagi saya waktu itu, terutama ketika
bacaan bacaan saya di pondok pesantren juga banyak dari berita dan majalah-majalah
yang setiap terbit selalu menghadirkan kengerian perang Palestina vs Israel, misalnya
seperti Sabili dan Hidayatullah, dua majalah yang
banyak masuk ke pesantren dan menghiasi rak-rak perpustakaan. Di samping itu koran
seperti Jawa Pos yang sekali dua kali
menjadikan konflik tak-terselesaikan Israel-Palestina sebagai headline. Dua majalah ini setidaknya sudah
sangat cukup membentuk perspektif kebencian saya kepada Israel khusunya, dan
dengan sendirinya mereka telah mempengaruhi pikiran saya tentang Yahudi sekaligus.
Sementara itu, kisah-kisah
tentang umat Nabi Musa yang bertebaran baik di kitab-kitab klasik ataupun riwayat
hadis ikut melukiskan sepenggal potret kehidupan pemeluk Yahudi yang penuh
intrik dan bahkan munafik.
Sempurna sudah pikiran
saya waktu itu tentang Yahudi dan Israel, bahwa Yahudi adalah suatu momok yang
mengerikan. Tak jarang terma Yahudi menjadi bahan umpatan atau ledekan ketika
masa kanak-kanak saya untuk menyebut orang dengan “terkutuk”, seperti kalimat “huh
Yahudi reyah (ah, dasar Yahudi)” dan semacamnya. Di waktu yang sama saya
belajar tentang Yahudi hampir saja tidak bisa dibedakan dengan Israel. Ketika
mendengar Yahudi, terbayanglah Israel di belakangnya dengan aksi brutal dan
kekejaman-kekejaman terhadap saudara seiman di Palestina. Ketika melihat bangsa
Israel membunuh dengan begitu mudah, mencabik-cabik saudara seiman saya,
perempuan-perempuan hamil dibunuh, anak-anak kecil ditembak, dan dinjak-injak
dengan kekuatan supercanggih mereka bantuan Amerika, pikiran saya waktu itu
adalah balas dendam dan kebencian demi kebencian yang teramat dalam untuk
Israel pun menyublim!
Jadi, jangan salahkan
saya atau orang lain yang tengah membenci atau mengutuk apapun/siapa pun di
buka bumi ini. Mereka pasti dibesarkan dan dibentuk oleh latar belakang
masing-masing. Di sini ada proses self-radicalization
yang lahir dengan porsi masing-masing. Jika latar belakang para pemuda-pemudi
dan pelajar tampak ekstrem dan radikal (mungkin sedikit banyak pernah saya
alami waktu itu), karena faktor penenaman kebencian kepada kelompok, agama,
etnis dan bangsa lain, tak salah jika mereka begitu sulit lepas dari
bayang-bayang itu. Karena kita dibangun dan dibesarkan oleh masa lalu kita
masing-masing.
Detik ini saya datang
sendiri ke tempat ibadah Yahudi, kepada mayoritas bangsa Israel (dan warga
Australia) yang ada di tempat peribadatan itu. Bayang-bayang masa lalu memang
tidak bisa mudah terhapus begitu saja tapi saya tetap berpegang dengan satu hal
bahwa saya sudah belajar banyak ihwal semua ini, setidaknya selama empat tahun
saya menimba ilmu dan berproses di Yogyakarta. Namun, perasaan dan mata saya
tetap awas dan begitu tajam mengamati sekeliling untuk meyakinkan bahwa saya
sudah bersitatap dan saling sapa dalam kedamaian dengan mereka sebagai hamba
Tuhan yang sama.
Kitab suci Yahudi
berbahasa Hebru dan Inggris saya pegang erat-erat di tangan, dibaca
bersama-sama dengan mengikuti irama lagu yang dipanjatkan oleh seorang pemimpin
di depan kami. Fonik dan birama bacaan-bacaan dari bahasa Hebru seperti ada
yang mirip-mirip dengan alunan tartil dalam bahasa Arab, bahasa al-Qur’an.
Banyak halaman yang sudah saya baca di tengah-tengah umat Yahudi sendiri.
Nama-nama tempat penting dan bersejarah dalam agama Yahudi, pun agama Islam,
seperti Jerusalem, Gurun Sinai dan Mesir disebutkan berkali-kali dalam kitab
yang saya pegang kali ini.
Ya, Jerusalem menjadi satu
medan multi magnet yang hingga hari ini masih terus berderu kencang, memanggil
nama-nama dan menghapus yang mereka lemah….
***
Jerusalem adalah tanah
bertuah! Jerusalem bukan hanya sebidang magnet yang menyedot perhatian dunia,
tapi di tanah ini pula lahir tiga agama besar dunia: Yahudi, Nasrani dan Islam.
Yang pasti, tidak ada satu kota di dunia ini yang menyamai eksistensi
Jerusalem. Di samping menyimpan kisah masa silam yang gemilang, kota ini telah
menjadi area paling ramai dengan perisitiwa-peristiwa besar sepanjang sejarah.
Kota ini menyimpan kisah-kisah tentang penaklukan, sengketa dan konflik agama
dan kemanusiaan dengan kekelaman latar sejarah yang menyertainya. Tercatat
sejak zaman Chalcolithic pada 4500-3200 SM, kota ini telah dimukimi. Dan nama
Jerusalem muncul dalam periode Hyksos (1750-1500 SM) dengan nama Urusalim.
Tepat pada 500 tahun kemudian, sekitar tahun 1000 SM, ketika Raja Daud, raja
bangsa Yahudi pertama, berkuasa, penaklukan Jerusalem dimulai. Begitu juga laku
sejarah kelam masa-masa berikutnya, terutama diawali ketika meletus Perang
Salib pada 25 November 1095 yang dikenal sebagai tragedi paling kelam dalam
sejarah Jerusalem. Perang selama 90 tahun itu di bawah komando Paus Urbanus II
di Konsili Clermont.
John D Garr dalam Jerusalem, World Capital for the Messianic
Age menulis nama Yerushalayim yang
berarti orang, rumah atau tempat tinggal yang damai. Sementara itu, kata Salem selain diartikan ”keseluruhan”
atau ”dalam harmoni” juga ”damai.” Kitab Kejadian atau Genesis, yakni kitab
pertama dari lima Kitab Taurat Musa atau Kitab Pertama dari Kitab Suci
Perjanjian Lama, sudah menerbitkan nama Jerusalem. Dalam Genesis 14:18, kota
itu disebut bernama Salem (Trias
Kuncahyono, 2008: 137).
Sebagai wartawan senior
yang malang melintang di kawasan konflik Timur Tengah, Kuncahyono melaporkan
dalam buku yang sangat bagus berjudul Jerusalem bahwa tuah
Jerusalem yang paling kuat sebenarnya bukan berasal dari warisan sejarah
panjangnya, melainkan dari arti spritualnya. Bagi Yahudi, Jerusalem adalah
satu-satunya kota suci di dunia karena kota ini merupakan ”tempat kediaman
nama-Ku”, tulis Kitab Tawarikh. Bagi umat Kristen, Jerusalem dalah kota suci
yang sangat penting karena di kota itulah Yesus hidup, berkarya, wafat, dan
bangkit untuk menebus dosa umat manusia serta naik ke surga. Sementara bagi
umat muslim, Jerusalem adalah kota tempat Nabi Muhammad SAW melakukan
perjalanan malamnya dari Mekkah ke Jerusalem lalu ke Sidrat al Muntaha dalam
peristiwa Isra’ Mi’raj.
Dengan demikian, tanah
Jerusalem mempunyai arti yang sangat penting bagi agama-agama samawi di atas.
Mengutip Leah Sullivan, kaum Yahudi, Kristen, dan Islam memandang
Jerusalem sebagai ”pintu ke surga” karena di sanalah diyakini terjadi pertemuan
antara surga dan bumi.
Selain itu di Jerusalem
berjejer sekian simbol yang menyimpan doktrin-religius seperti Tembok Ratapan,
Gereja Makam Kristus, Masjid al Aqsha, Dome of The Rock (Masjid Kubah Batu),
dan Via Dolorosa, jalan ketika Yesus memanggul salib menuju Bukit Golgota.
Dan, hari-hari sakral
dan terhormat (untuk ibadah) bagi ketiga agama samawi tersebut
berjejer rapi seperti sebuah bangunan yang kokoh dan saling melengkapi, tanpa
bolong dan meloncati: Jumat untuk Islam, Sabtu bagi Yahudi dan Minggu kepada umat
Nasrani. Hari-hari tersebut bukanlah suatu ketepatan, tapi isyarat betapa
bersaudaranya ketiga agama tersebut!
***
Pada kitab yang saya
pegang ini, sekilas saya membaca tentang tanah bani Israel atau land of
Israeli. Sekarang land of Israeli menjadi isu utama
sebagai tanah yang dijanjikan (the promised land) dibalik
gerakan Zionisme hasil gagasan Theodore Hertzl untuk menegakkan negara Yahudi.
Saya tanyakan ihwal land of Israeli kepada mereka sehabis
ibadah dan mereka menyebutnya bahwa tanah itu sekarang ada di Jerusalem dan sekitarnya.
Memang topik yang saya bicarakan ini sangat sensitif dan tampak dari ekspresi
orang di hadapan saya yang tidak suka, dan sering bilang tidak tahu. Segera
saya alihkan ke topik lain yang lebih umum sebagai bahan obrolan kami.
Shabbat Shalom
kala itu sangat istimewa bagi saya karena kedatangan saya ke sinagog bertepatan
dengan acara Bar Mitzvah, suatu ritual bagi anak yang
menginjak usia 13 tahun (Progressive Judaism) dan 13 tahun untuk Orthodox Judaism. Bar Mitzvah atau
Bat Mitzvah adalah
ritual yang menandakan tentang tanggung jawab seorang anak terhadap semua
perilaku dan tindakannya menurut hukum agama Yahudi. Seoarang anak yang sudah
di-Bar Mitzvah berarti ia sudah mempunyai tanggung jawab moral dan
hukum menurut agama Yahudi. Setiap ritual Bar Mitzvah, bisa
dipatikan sinagog akan dipenuhi oleh makanan kecil, buah-buahan dan minuman,
namun bergantung kepada ekonomi dan kemampuan orangtua anak tersebut. Hari itu,
seperti kata pengurus sinagog, hidangan kecil cukup mewah.
Sehabis ibadah Sabtu
saya bisa menikmati makanan ringan, buah-buahan dan minuman di ruangan kiri
belakang sinagog, dan tentu saya bisa mengobrol lebih banyak lagi bersama
mereka tentang agama Yahudi dan hubungan komunitas beragama di Melbourne
khususnya.
Di kesempatan yang lain,
sebagai serangkaian acara dalam program MEP, saya mengunjungi Sydney Jewish
Museum, The Holocaust and Australian Jewish History yang terletak di
kota Sydney dan mendapatkan jawaban ihwal land of Israeli. Museum ini
sangat istimewa bagi saya karena menyimpan sejarah pembantaian kaum Yahudi oleh
Nazi (Holocaust) dan awal mula sejarah diaspora komunitas Yahudi hingga
sampai di Australia. Sehabis mengelilingi museum, kami bersama guide Ahmet
Keskin selama di Sydney, menikmati secangkir kopi di café museum, dengan
obrolan-obrolan mengalir tentang Yahudi bersama pegawai museum (saya lupa
namanya) yang menjelaskan ihwal hal-hal penting dalam museum. Kesempatan ini
saya manfaatkan dengan serius. Saya tanya tentang land of Israeli lagi
dan ideologi Zionist. Baginya, orang Yahudi percaya dengan ideologi Zionist dan
tanah yang dijanjikan bagi mereka adalah Jerusalem. Namun, bukan berarti
orang-orang Yahudi yang sudah berdiaspora harus kembali lagi semua ke sana.
Obrolan kami terus
mengalir sambil menikmati hidangan dari buah-buahan dan minuman di ruang
kiri-belakang. Salah seorang pengurus dari sinagog itu melontarkan suatu
kalimat yang sangat berkesan dalam hati saya, hingga pun sekarang. Dia bilang
bahwa “Kita sama-sama menyembah Tuhan yang sama, tapi beda nabi (utusan)
saja."
Jleb… kalimat tersebut menohok begitu dalam,
benar-benar impresif! Saya menunduk pelan, lalu bergemim kepada diri saya
sendiri: “sebenarnya kita adalah saudara—dalam satu keturunan—seperti Musa,
Isa, dan Muhammad sebagai putra-putra luhur Nabi Ibarahim.” Sebenarnya, tidak
ada masalah apapun di antara saya dan mereka. Kami sama-sama menyembah Tuhan
yang sama, seperti halnya mereka, tidak perlu dicemaskan bahwa agama adalah rahmatul
lil alamin.
Saya jadi teringat suatu
fase sejarah perdamaian dan toleransi di Jerusalem ketika Khalifah Umar
menguasai tanah sakral itu. Awal-awal periode Arab ini dikenal sebagai periode
yang penuh toleransi antaragama. Para pemeluk agama Yahudi, Kristen, dan Islam
dapat hidup berdampingan secara damai dan melaksanakan ibadah mereka tanpa
rintangan dan hambatan. Khusus bagi kaum Yahudi, masa Umar adalah masa paling
damai karena setelah 500 tahun mereka terusir mereka bisa kembali ke Jerusalem
dan menjalankan ibadah mereka masing-masing. Pada 637 M, setelah mengepung
Jerusalem lahirlah kesepahaman (agreement) antara Patriark
Elya Al-Quds Sophronius dengan Khalifah Umar yang dikenal dengan perjanjian
Umar. Pada masa ini disebut Dore Gold dengan masa toleransi agama dikembangkan
(Kuncahyono, hlm 150 dan 154).
Terakhir untuk tulisan
ini, sebagai doa untuk perdamaian yang kita idam-idamkan, saya cuplikkan pidato
terkenal Anwar Sadat ketika dia berada di tengah-tengah parlemen Israel (Israeli
Knesset) pada 20 Novemver 1977. “I come to you today on solid
ground to shape a new life and to establish peace. We all love this land, the
land of God, we all, Moslems, Christians and Jews, all worship God....”
Melbourne-Jogja, 18-28
June 2011
Tuesday, May 10, 2011
Terorisme: Kegagalan Ulama?
Dimuat di Jurnal Nasional | Selasa, 3 May 2011
BERKALI-kali
serangan dan aksi terorisme telah terjadi di Indonesia dengan menelan korban
tidak sedikit. Reproduksi dan modus operandinya setiap saat terus berubah.
Mulai dari aksi bom dengan skala masif seperti tragedi bom Bali, hingga kasus
bom buku. Setiap aksi terorisme tersebut selalu berafiliasi dengan agama Islam.
Satu sisi, Islam telah dieksekusi oleh para teroris menjadi “kambing
hitam" dengan muka monster. Tapi di sisi lain, aksi teror ini justru
menunjukkan ironi kegagalan para kaum agawaman itu sendiri. Mengapa demikian?
Para
dai yang melakukan dakwah terhadap masyarakat seringkali dipahami sebagai
penerus risalah para nabi dengan asumsi bahwa mereka menguasai (alim)
tentang Islam. Sehingga petuah-petuah mereka kerap menjadi panutan yang diikuti
oleh masyarakat awam di Indonesia. Jika cara dakwah salah atau doktrin yang
disebarkan di dalamnya penuh dengan praktik-praktik agama yang parsial dan
bahkan menyesatkan, seperti menganjurkan bentuk-bentuk kekerasan, posisi para
dai perlu dipertanyakan integritas pengetahuan agamanya.
Monday, May 09, 2011
Lets Count You In "Peace Camp: Bee Yourself"
Teman-teman mahasiswa yang suka dengan isu-isu perdamain dan resolusi konflik, silahkan ikut acara Peace Camp dari Peace Generation Yogyakarta.
Apa itu Peace Camp?
Peace Camp merupakan agenda rutin yang dilakukan oleh komunitas Peace Generation. Tema Peace Camp kita kali ini adalah “Berdamai dengan Caramu”. Pada acara Peace Camp ini teman-teman akan diajak untuk belajar bersama mengenai tema-tema perdamaian yang sangat dekat dengan kehidupan kita sehari-hari. Dengan metode kegiatan yang menyenangkan, narasumber yang asyik, fasilitas yang terjamin, tentunya acara ini akan sangat menyenangkan. Kesemuanya dapat teman-teman dapatkan secara gratis. Peace Camp kali ini adalah yang kali ke-7 dilakukan. Untuk mengetahui Peace Camp terdahulu, silakan membuka halaman aktivitas komunitas Peace Generation di sini.
Monday, April 18, 2011
Damai dari Hati untuk Semua
komunitas dimana saya bisa belajar dan memaknai |
Kira-kira apa yang terbayang dalam benak Anda jika melihat teman-teman satu sekolah Anda terlibat perkelahian antar geng seperti marak terjadi? Apakah mengklaim itu hanya sebagai oknom, karena perilaku anak nakal misalnya? Atau merasa ikut ‘bertanggung jawab’ bahwa kasus seperti itu merupakan persoalan bersama? Atau cuek-cuek bebek?
Bagaimana pula sikap Anda jika banjir, tanah longsor, polusi udara, pencemaran air, dan dampak-dampak global warming benar-benar telah mengancam kehidupan kita? Apakah perdamaian dan ketentraman hidup bisa terjadi di tengah ancaman alam dan lingkungan seperti itu? Lingkungan yang ramah adalah sumbangsih dan intisari perdamaian itu sendiri. Karena perdamaian bukan hanya dalam konteks hubungan horizontal manusia dengan manusia, tapi hubungan dengan lingkungan sekitar secara luas harus terjalin secara baik. Dua hal inilah yang hari ini perlu kita pegang.
Tuesday, April 12, 2011
Yang Semakin Takut Sekolah
Dalam dua hari ini, pikiran saya melingkari isu-isu dunia pendidikan dan kampus secara khusus. Imajinasi saya tentang dunia pendidikan dan kampus setidaknya disentil oleh dua hal. Pertama, karena saya menjumpai kawan-kawan dan adik angkatan di kampus yang sudah pada wisuda dengan selempang cumlaude atau nama-nama gelar lain yang mereka raih. Kedua, saya mendapati sebuah artikel di harian Kompas ditulis oleh seorang sastrawan Yudhistira ANM Massardi, seorang penulis puisi yang saya suka. Artikel betajuk Berhentilah Sekolah Sebelum Terlambat! benar-benar mengajak saya, dan mungkin pembaca lain, merenung lebih dalam lagi: ihwal pendidikan dan tetek bengek di dalamnya.
Artikel itu terbit tanggal 8 April 2011, sehari sebelum senat terbuka di kampus saya: UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dihelat. Bukan karena rencana, tapi betul-betul kebetulah! Bagi orang lain artikel tersebut mungkin tidak berefek apa-apa. Tapi bagi saya, seorang mahasiswa di tahun ke-5 di kampus, tulisan itu ibarat kado terindah yang mengiringi prosesi wisuda teman-teman dan adik-adik angkatan.
Sunday, March 27, 2011
Muda yang (Mem)Bangga(Kan)
Youth is not only a leader for tomorrow but also a partner for today.
(Kofi Annan)
taken by BJ from the photo sessions |
Beberapa waktu kemarin, tepatnya tanggal 20-25 Februari 2011, saya mengikuti konferensi pemuda internasional bertajuk Youth Awareness of Climate Change dan dihadiri oleh perwakilan pemuda dari 36 negara (Asia, Afrika, Eropa, dan Amerika). Di samping mendapatkan pengetahuan tentang pemanasan global dan kondisi terkini ihwal krisis pangan dan semacamnya, saya mendapatkan banyak kesempatan untuk berbagi bersama representasi pemuda dari berbagai benua. Mereka yang potensial dan mempunyai visi progresif mengenai keberlangsungan masa depan lingkungan ekologi betul-betul mencurahkan semua potensi dan semangatnya demi menyelamatkan kondisi lingkungan dimana laju pemanasan global semakin hari semakin mengancam.
Entah kenapa, setiap kali saya terlibat dan mengikuti suatu forum baik lokal maupun internasional, saya selalu tertantang untuk menuliskannya kembali menjadi sebuah narasi, sebagai buah pikiran dan pengalaman yang saya catat dan saya share ke teman-teman semua. Karena kebiasaan saya, setiap akali mengikuti forum dan kegiatan yang melibatkan banyak elemen dengan kesadaran tentang kemanusiaan yang membanggakan, adalah berkontemplasi dan melakukan flash back terhadap kondisi riil di negeri saya sendiri. Ya, hanya begitulah kemampuan saya untuk saat ini, bahwa perubahan itu akan saya mulai dari dan sejak dalam pikiran, dan perilaku keseharian.
Dan Lalu Lintas yang Semakin Membunuh
taken from google images |
Ketika saya berjalan kaki, seperti sudah biasa saya lakukan hampir setiap hari dari kost ke kampus, ada ketakutan besar yang menghantui saya selama di jalan: yaitu lalu lintas yang semakin gila dan menakitkan. Untuk mencapai kampus, saya harus menyeberangi jalan protokol yang sangat ramai: jalan Adisucipto atau jalan Solo. Sama sekali bisa dikatakan bahwa pejalan kaki tidak punya hak di jalan raya karena pengendara motor khususnya semakin gila-gilaan menancap gas dengan tanpa memudilakan kanan-kiri dan pejalan kaki yang sedang melintas. Bahkan saya harus mengalah menunggu selama 3-4 menit untuk bisa menyeberangi jalan raya. Tidak ada seorang pengendara pun yang berhenti atau pelan-pelan untuk sekedar menyilakan pejalan kaki agar melintas dahulu. Tidak ada!
Apa yang Anda pikirkan ketika melihat jalanan macet total (traffic jam) pada jam-jam sibuk: sepeda motor dengan kecepatan tak terperikan menyalib kanan-kiri tanpa mempedulikan keselamatan diri dan orang lain; klakson menjerit sana-sini bagai sirine Ambulance; dan ditambah umpatan kotor para pengendara dari semua macam kendaraan? Dalam kondisi seperti itu, saya hanya bisa bergemim melihat kenyataan yang terjadi di Tanah Air tercinta ini, khususnya di kota-kota besar dan terutama di Jakarta.
Tuesday, March 22, 2011
"Kiai Kampungan", he said
After having prayed Jumat this week, I stopped by my neighbor’s simple house whose many books I borrowed, then just killed the time as usual to discuss about latest Islamic issues. As a zealous reader of several books of Islamic literature, he definitely masters the latest issue dealing with Islam like radicalism showed up with booby trabs which terrorize people on two weeks later. He is strikingly enthusiastic to explain the basic knowledge of Islam before going ahead of assuming the motives of terror in advance.
We know that terrorists’ ways have increased rapidly by lots of ways to kill their enemy, the opposite person or group which become particular target. Modification of bomb terrors speaks that terrorists’ groups are still alive and ultimately creative to set an attack of terror by underground maneuver in which many people are less to know their real movement. They specifically refer to personal as an enemy against their groups. They have seemingly stopped bombarding the enemy with common ways like public bombing attack that has become a trend at past one decade. They has appointed personality with specific way to maybe reduce a myriad of innocence tolls. Ulil Abshar-Abdalla, Dhani Ahmad, and other are the personals who become a target even though it fortunately failed to kill them. But, we must keep wondering about what another newest way would be the terrorists do then?
Thursday, March 17, 2011
Kampusku Sayang, Kampusmu Malang (Part 2)
Tulisan saya yang dipublikasikan di media Facebook beberapa hari lalu sudah menuai banyak hujatan dan tanggapan panas dari banyak kawan. Tulisan bejudul “Kampusku Sayang, Kampusmu Malang” itu benar-benar menemukan ruhnya sebagai medan kontroversi, dengan beragam jenis respon: mulai dari yang berkepala dingin dengan mengedapankan akal sehat, membuka diskursus, sharing dan saling koreksi, hingga yang paling mematikan, yaitu menyerang karakter individu! Yang terakhir sungguh suatu yang tidak saya harapkan pada awalnya. Karena saya menulis catatan itu hanya sebagai refleksi dan koreksi bersama semua kawan yang saya kenal, mereka yang telah membantu dan membesarkan saya, mereka yang telah menjadi guru-sahabat saya, dan mereka yang kerap menjadi inspirasi bagi hidup saya. Begitulah tulisan; selalu akan bercakap kepada pembacanya sendiri dan penulisnya, dalam kondisi seperti itu, benar-benar mati atau tidak hadir sedikit pun dalam tulisan itu.
SMS masuk pada 15 Maret 2011, pukul 22:31: 41 WIB, Nomor +6287850071xxx. Ini saya cuplikan isinya dengan tidak mengubah sehuruf pun SMS itu: “Mf sy tdk sepintar ANDA pak BJ, tp bg saya, mendngarkan crta kemudian mengambil kesimpulan bukanlah hal yg bgus buat orang SECERDAS ANDA. Jujus saya KECEWA dg tulisan ANDA. Anda sudah mengecewakan banyak orang. Kuran bkn dlm tulisan Pak, tp mau brpartisipasi, biar tau yg sbnrnya. Apakah Anda seorang pemberani?”
Sunday, March 13, 2011
Kampusku Sayang, Kampusmu Malang
(Info: sehabis tulisan ini diturunkan melalui media FB, caci-maki pun menyeruak dari kalawan para aktivis gerakan di sekitar kampusku. Bahkan orang-orang terdekatku pun ikut berang dan menebar teror dengan sangat berapi-api. Karena tulisan ini, saya bertambah dewasa....)
Hari ini, Senin 14 Maret 2011, di kampusku akan dilangsungkan sebuah perhelatan penting-demokrasi di kalangan mahasiswa yaitu Pemilwa, semacam pemilihan presiden mahasiswa. Ini memang tidak terlalu menyedot perhatian karena memang tidak penting apa-apa. Namun bagi sebagian orang dan kelompok, terutama mereka yang terlibat secara langsung sebagai calon ataupun partai-partainya, kegiatan ini tentu sangat penting karena demi kekuasaan, popularitas dan tentu uang!
Hari ini, Senin 14 Maret 2011, di kampusku akan dilangsungkan sebuah perhelatan penting-demokrasi di kalangan mahasiswa yaitu Pemilwa, semacam pemilihan presiden mahasiswa. Ini memang tidak terlalu menyedot perhatian karena memang tidak penting apa-apa. Namun bagi sebagian orang dan kelompok, terutama mereka yang terlibat secara langsung sebagai calon ataupun partai-partainya, kegiatan ini tentu sangat penting karena demi kekuasaan, popularitas dan tentu uang!
Jauh hari, kasak-kusuk tentang momen ini—sekali lagi bagi mereka yang berkepentingan—sangat santer terdengar di sana-sani, di pojok-pojok kampus hingga pun di warung-warung kopi. Ini serupa pertarungan kelas dan status bagi sebagian kelompok, juga ejawantah soal eksistensi. Jika ruang publik seperti ini digunakan secara dewasa dengan asas akademis dan menjunjung idealisme-inteletual yang ideologis, tentu tak ada yang sia-sia dan bahkan sangat bermanfaat bagi semua kalangan baik itu di internal kampus maupun di lingkungan sosial karena, bagaimana pun juga, pengaruh baik dari kampus akan menuju/dirasakan langsung oleh lingkungan sosial-masyarakat.
Friday, March 04, 2011
Kawan dengan Seribu Macam Warna
diambil saat pembuatan SIM di Kab. Sumenep |
Di suatu petang yang terlanjur biasa, saya mengobrol dengan seorang kawan dari pulau Sumatra sana, seorang perempuan dengan paras, seperti yang saya tangkap dari foto di jejering sosial Facebook, cukup cantik. Dia memulai obrolan pertama kali setelah saling memperkenalkan diri bahwa dirinya sebagai penerima beasiswa dari IIE, program sama seperti yang pernah saya terima bulan Juni-Juli 2010 kemarin: belajar bahasa dan budaya di Amerika.
Jujur, saya lupa nama wanita itu. Nama bagi saya—kadang—tak seberarti daripada apa yang diobrolkan, setidaknya pada saat itu. Percakapan dimulai dari basa-basi soal program beasiswa ke negeri Paman Sam itu: sebuah obrolan standar, tak istimewa, selain berbagi soal persiapan, dan hal-hal apa saja yang mesti dibawa. Obrolan satu langkah lebih lanjut: menanyakan kuliah dan jurusan. Saya tegas soal ini, bahwa saya mahasiswa Sosiologi (hehe meski jadi mahasiswa tua yang tak rampung-rampung kuliah!) di sebuah universitas negeri yang tak terlalu berkelas di Jogja. Namun saya tetap mencintai almamater ini karena sudah terlanjur membesarkan saya dan sekaligus menjerumuskan saya kepada jalan-jalan yang penuh lika-liku!
Saturday, February 05, 2011
DPR Menyandra
Versi lain dari tulisan ini ada di Suara Merdeka
Awalnya, saya tidak pernah membayangkan bahwa drama di pagi itu, 31 Januari 2011, akan benar-benar terjadi di depan mata saya. Meskipun saya tidak bisa cepat percaya kepada setiap “koar-moar” wakil rakyat (DPR) di Gedung Senayang sana, drama itu tidak bisa tidak telah mencuri perhatian saya. Beberapa saat, saya hanya bisa bergumam bahwa anggota DPR masih belum—sepenuhnya—mengajarkan praktik berdemokrasi yang substansial bagi bangsa dan negara di mana kepentingan rakyat menjadi aras utama di balik terciptanya lembaga ini. DPR di tanah air ini justru menjadi tangan pertama bagi terselenggaranya kekuatan dan kepentingan ekonomi yang mendomplang secara nyata kepada dunia politik, di samping itu manuver nafsu kekuasaan masih mewarnai cara kita berdemokrasi. Sehingga setiap poin persoalan selalu menjadi bola pingpong yang bisa digadang ke sana ke mari. Jarang menemui titik cerna hukum yang berkeadilan!
Ini bukti salah satunya. Kemarin, 31 Januari, kita disuguhi sebuah drama politik baru yang dimainkan oleh wakil rakyat di Komisi III DPR. Sasarannya adalah Komisi Pemberantasan Korupsi yang ditolak kehadiarannya—karena Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah, sebagai tersangka yang sudah di-deponeering oleh Kejaksaan Agung ikut hadir—dalam rapat konsolidasi antara Komisi III dengan KPK.
Friday, February 04, 2011
Rakyat yang Dijual
[Mengintip Mesir]
taken form google |
Rakyat akan selalu bernasib celaka di tengah-tengah penguasanya yang lalim. Mereka dibeli, lalu diadu domba sesama rakyat kecil. Luka dan darah pun tumpah ruah di tengah penderitaan mereka sendiri. Tak ada yang lebih kelam selain ketidakpastiaan harapan bagi masa depan bangsa mereka, yang kini tercabik dalam sobekan-sobekan kepentingan.
Negara dan kekuasaan yang telah menggadaikan rakyatnya pada akhirnya akan terperosok di titik nadir!
Tuesday, February 01, 2011
Have You Got Drunk?
Think not those faithful who praise all thy words and actions; but those who kindly reprove thy faults.
(Socrates)
(Socrates)
It was such a weird day for me after taking apart in applying for a job as editor on the publication house. I was asked by friends to apply for that job as my other experiences in having a part-time job like this and I nodded, convincing myself about it, as I had worked for the same in many times. So, expanding to another part of the experiences is one of the passionate thing to do. I never hesitate to try the new thing in my lifetime!
I didn’t have any special preparation at all but just a CV and statement letter required by the institution for the applicant. I completed it then coming over to the office. Shaking hand and saying something with the officer to ensure myself as the applicant. I kept quieting for a minute while waiting for the other instruction to do by my application or another stuff to complete. Yes, that’s true. Someone coming to me brought me a form of the official statement for appliers who are interested In the job. I received it calmly then completing it in the table of narrow waiting room. Name, place and birthday, address, educations, and work experiences were completed in hurry. I moved on the bottom line of the form. I found the freaking question I didn’t find it ever.
After asking me about my religion, it bombarded me about another question still related to religion. Do You Keep Praying? The answers listed are: a). routine, b). sometimes, c). ever, and d). never. I stuck in my sensory perception for while, thinking hard to answer the proper one. I am not a routine prayer of five-times prays in a day thought I try to obey it since I never put my deed of religion in haste or ignorance. But, I'm a human being with disability and limited will. I shortly chose “b” to convince myself. The game was not over since I had to finish another question.
Have You Got Drunk? That's the hard one but it actually was easier to answer. I didn’t need to take a time to finish it. The answers listed are a). never tried and b). have tired. I chose “b”. Then, the form was completed!
I kept thinking on my mind to know how urgent the religion is for the people. Yes, I said to myself who was born in and for my religion to keep it real until the day after. It was not religious on the paper I need, otherwise I am eager to see all people behaving in values of the religion as routine so that the harmony and peace will be reached and functioned in this life.
Finally I stepped out from the office, ensuring the institution’s affiliation by gazing the billboard embedded on the wall. Then I thought it out. Yes, I went away by motorcycle as if I did wronged activity for the day. It was sucked!
Monday, January 31, 2011
Urat Leher: “Allahu Akbar”
Hari itu, Senin 31 Januari 2011, kasus Ariel Peterpan dengan video porno bersama Cut Tari dan Luna Maya memasuki babak putusan hakim di Pengadillan Tinggi Bandung. Ariel harus menerima kurungan 3,5 tahun, meski vokalis yang punya suara serak-khas itu masih punya hak untuk naik banding. Semua orang ramai berdatangan: para fans, handai tolan, kawan karib, dan para pendemo. Suara mereka terdengar riuh rendah—ada senyum sumbringah, harapan, dan kecemasan. Sesekali teriakan dengan urat leher yang menjilat ke luar terlontar dari luar gedung pengadilan.
Ariel yang sedang duduk di bangku pesakitan itu terlihat dengan sangat yakin. Senyum khasnya menyebar ke siapa pun yang sempat menjalin muka. Proses di pengadilan dengan pasal pornografi kepada Ariel adalah yang pertama, dan Ariel menjadi saksi sejarah terhadap Undang-Undang yang sempat molor dan kontroversi itu. Jelas ini pengadilan selebritis, artis, dan pablik figure—penuh gengsi dan perlu ditonton bagi yang menyukainya.