Friday, October 21, 2011

Menakar Kekerasan Sipil

Sambil lalu mengerjakan penelitian untuk tugas akhir kuliah tentang Pola-Pola Peacebuilding Komunitas Peace Generation di Yogyakarta, saya selalu digelisahkan oleh berbagai macam kekerasan (sipil) yang tumpah ruah di mana-mana. Apa yang saya lakukan untuk skripsi sepertinya menjadi suatu tantangan yang telanjang begitu saja, di depan mata saya sendiri. Betapa tidak, April 2011 ada seoarang anak SMA GAMA yang ditusuk dengan pisau oleh "musuh sekolah"-nya, yaitu SMK Bopkri 2. Kejadian ini sangat dekat, dan isu-isu seperti ini ternyata menjadi salah satu concern komunitas yang saya teliti itu. Jangan dulu menengok daerah yang jauh-jauh soal kekerasan, daerah yang memang rentan dengan kasus-kasus kekerasan. Di lingkungan dekat kita sendiri begitu mudah kita menemukan praktik-praktik kekerasan.

Artikel berikut ini adalah penggalan kecil skripsi saya. Senang sekali bisa dimuat di media nasional, yaitu Jurnal Nasional pada 24 September 2011, sebuah harian yang terbit di Ibu Kota. Selamat menikmati dan berbagi.....
Konflik dan kekerasan akhir-akhir ini begitu sangat mudah tersulut dan dipraktikkan oleh semua lapisan warga sipil, bahkan sejumlah pelajar. Kasus-kasus bullying di sekolah maupun kekerasan verbal dan nonverbal di lingkungan bermain di sekitar keluarga adalah bukti nyata betapa generasi masa depan bangsa ini berada dalam status “siaga satu" yang rentan kekerasan.

Fakta, tawuran antarpelajar dan bahkan bentrok antara pelajar dengan pihak luar (baca: wartawan) seperti kasus kekerasan kepada wartawan yang dilakukan oleh sekelompok siswa SMA 6 Bulungan, Jakarta Selatan, adalah setumpuk bukti tentang benih-benih kekerasan yang masih menggumpal (laten) dalam kultur di tengah-tengah masyarakat sipil. 

Kasus-kasus kekerasan di jalanan--tempat yang sangat mudah diakses oleh rakyat sipil--seperti konflik kekerasan di Ambon (11/9) yang menelan korban jiwa maupun material-- telah menegasi ruang-ruang publik yang semakin penuh horor. Inilah cermin ekstasi kekerasan-ekstrem yang dalam dua dekade terakhir begitu kasatmata dipertontonkan sebagai--pinjam istilah Noam Chomsky--a painful peace! Agaknya tidak berlebihan ketika Colombijn dan Lindblad dalam Root of Violence in Indonesia (2002)--sebuah buku yang mengupas tuntas tentang genealogi historis kekerasan--mengatakan bahwa Indonesia is a violent country jika melihat eskalasi kekerasan dalam segala bentuknya yang terus menghantui bangsa ini. 

Begitulah. Kekerasan-kekerasan sipil seperti demonstrasi anarkistis, tawuran antarpelajar, suporter, dan warga desa, dan tindakan-tindakan kekerasan yang dilakukan oleh organisasi masyarakat (ormas) beragama begitu mudah kita jumpai akhir-akhir ini. Apakah kekerasan sipil telah (mulai) menjadi syndrome baru di Indonesia? 

Civil Violence

Dalam terminologi ilmu sosial, pengertian sipil sering digiring ke dalam wacana kontramiliter atau nonmilitary (civilian). Jadi, kekerasan sipil dipahami sebagai bentuk kekerasan yang dilakukan (diaktori sendiri) oleh warga sipil, dan kekerasan ini terjadi di antara dan antarwarga sipil (masyarakat) sendiri.Warga sipil dengan nyata melakukan tindak kekerasan dan radikalisme terhadap warga lain, baik oleh kelompok masyarakat (ormas) yang sudah lama eksis ataupun kelompok dadakan (temporary groups) yang dibentuk hanya untuk kepentingan sesaat atau momentum semata seperti ketika mendekati peringatan 17 Agustus, Ramadan, dan momentum pemilu, baik presiden, gubernur, maupun bupati di daerah. 

Awalnya, kita jarang memedulikan fenomena kekerasan sipil. Bahkan sebagian dari kita tidak mengenalnya secara khusus. Selama 32 tahun, bangsa ini lebih kerap mengenal perihal kekerasan militer yang dipahami melalui istilah militerisme dan otoritarianisme. Kekerasan militer yang diproduksi oleh aparat negara untuk mempertahankan status quo dan kekuasaan Orde Baru telah memasung kebebasan kita sebagai manusia dan sebagai sebuah bangsa. 

Kita bisa melacak lahirnya kekerasan sipil di Indonesia dari perspektif struktur sejarah yang telah dirancang oleh rezim Soeharto. Kekerasan yang terjadi pada masa itu memakai modus operandi militer untuk mengukuhkan kekuasaan monarki ala kultur Jawa. Meski rezim Orde Baru sudah tumbang, akar-akar kekerasan ternyata tidak ikut lenyap, malah ikut mencetak karakter generasi bangsa. 

Martin Shaw (1993) dalam buku Post-Military Society mengupas militerisme ke dalam dua tipe. Pertama, militerisme tipe I (build-up) yang terbatas pada kalangan elit, juga menghasilkan militerisme pada tingkat elit. Artinya, militerisme build-up mempunyai ruang dan praktik kemiliteran secara partikuler yang hanya khusus dan fokus dikembangkan oleh tentara (hankam) dan urusan-urusan militer tingkat tinggi. 

Kedua, militerisme tipe II (build-in) tampil dalam dua bentuk: (1) intervensi dan dominasi militer dalam politik yang melahirkan militer pretoria dan rezim militer; dan (2) internalisasi nilai, ideologi, perilaku, organisasi, wacana militer dalam masyarakat sipil (dengan atau tanpa kehadiran militer). 

Tipe II telah menjadi praktik militerisme rezim Orde Baru melalui internalisasi nilai, ideologi, dan wacana militer yang dibangun melalui cara-cara seperti angkatan bersenjata, organisasi-organisasi politik, penataran P4, keperwiraan bagi mahasiswa, pendidikan Lemhanas untuk eselon I & II, dan seterusnya. Dalam tahap yang lebih ekstrem, bukan tidak mungkin praktik ideologisasi militer seperti itu melahirkan masyarakat berwatak militer. (Karl Liebknecht, 2004). Sehingga, aspek militer dan kekerasan menjadi bagian integral dan inheren dalam kehidupan masyarakat sipil. 

Sekarang ada kecenderungan lahirnya militerisme sipil karena di mana-mana--tak peduli di daerah tertinggal yang akses pendidikannya minim, melainkan juga di kota besar pun seperti Jakarta (tragedi Monas dan tragedi Koja) ataupun di Bandung--telah lumrah terjadi kekerasan yang dilakukan warga sipil sendiri. 

Menatap ke Depan

Apa yang keliru dengan negeri ini? Demokratisasi memang sudah berlangsung gegap-gempita. Partisipasi, pertunjukan, liberalisasi, dan persamaan hak sebagai elemen dasar demokrasi, telah mulai dirasakan bersama. Namun bersamaan dengan itu pula, kekerasan sipil terus tumpah-ruah di mana-mana; konflik dan kekerasan dengan berbagai modus lahir subur di belahan bumi pertiwi. 

Kebebasan sepertinya telah diterjemahkan secara bablas dan disalurkan dengan mengabaikan nilai-nilai dan prinsip demokrasi itu sendiri. Sehingga, demokrasi bergerak tertatih-tatih karena didistorsi oleh kekerasan sipil yang terus marak terjadi. Sistem demokrasi yang membutuhkan supremasi sipil, kedewasaan dan kontrol rakyat, serta partisipasi penuh dari masyarakat terdidik, pun buntu. 

Maka itu, tugas pemerintah dan pendidikan negeri ini masih sangat berat ke depan. Pendidikan politik baik melalui partai politik maupun media massa harus dibersihkan dari berbagai macam kepentingan sesaat yang selalu memanfaatkan kelompok tertentu. 
Peran pendidikan demi menuju bangsa yang terdidik harus dimaksimalkan oleh penyelenggara negara sehingga rakyat dapat memahami prinsip berdemokrasi secara dewasa dan menjadi kontrol checks and balances, dan ruang-ruang publik pun menjelma menjadi wahana terjalinnya dinamika sosial yang harmonis.

0 comments: