Sunday, August 30, 2015
Film Turki dan Intrik Budaya Populer di Indonesia
Versi Cetak, Jawa Pos 29 Agustus 2015
Acara Meet &
Greet Elif and All Stars di salah satu stasiun swasta di Indonesia telah
menggoda saya untuk menulis catatan singkat ini. Dengan mengggunakan bahasa
Turki, para pemain Elif menyapa penggemar setia serial Elif yang sudah tayang di
SCTV dalam beberapa bulan terkahir. Panggung budaya populer khususnya dunia
tontonan Indonesia pun mulai dihiasai oleh salah satu pendatang baru yang kali
datang dari Negeri Dua Benua (Eurosia) tersebut, bukan lagi melulu dari
Amerika/Eropa, India dan Korea/Jepang.
Budaya populer Turki (yang diwakili oleh dunia sinema)
bisa dibilang baru satu tahun terakhir mulai merambah publik Indonesia,
setidaknya bisa ditandai khususnya setalah serial Abad Kejayaan ternyata disukai oleh penonton telivisi di tanah air.
Setelah itu, secara beruntun drama-drama Turki pun mulai ditayangkan di
Indonesia seperti Zahra, Elif dan Cinta di Musim Cherry.
Sejauh ini kita mengenal Turki lebih karena faktor
sejarah dan peradaban tua yang masih bisa dikunjungi, termasuk situs perjumpaan sejarah
Islam dan Kristen seperti Hagia Sophia
dan Blue Mosque yang menjadi ikon
dunia. Selain itu, pelajaran sejarah perkembangan Islam banyak menyebutkan imperior
Islam terakhir bernama Ottoman di mana Turki menjadi suksesornya.
Nuansa drama Turki jelas berbeda dengan drama-drama yang
sebelumnya sudah membombardir kita. Misalnya drama Korea. Turki
mempunyai perbedaan yang signifikan dalam aspek tradisi dan kebudayaan. Semua
pemiarsa Indonesia saya pastikan akan menemukan cirikhas dan karakter yang
berbeda dalam konteks tradisi dan budaya secara signifikan. Turki menjadi
salah satu negara yang cukup tertutup dalam aspek kebudayaan luar. Secara kebudayaan,
jika pandangan kita bersepakat dengan kaca mata dan perspektif globalisasi dan
liberalisasi, Turki termasuk negara dengan mayoritas masyarakat yang mempunyai pandangan
inward-looking, sebuah perspektif
yang meyakini bahwa Turki-lah segala-galanya sehingga mereka tidak tertarik dengan
gedebus perkembangan budaya popular di luar sana.
Meskipun film-film Hollywood, Jepang dan negara-negara
Eropa bisa masuk, aspek-aspek tradisi dan kebudayaan komunal mereka tetap
dijaga dengan baik, atau setidaknya bisa bertahan lebih alot. Salah satu faktor yang menjaga mereka adalah kebanggaan
kepada negara republik yang dibangun oleh Mustafa Kemal Ataturk dan sejarah-sejarah
kebesaran mereka yang terus ditanamkan secara kuat sejak di bangku sekolah
dasar. Di samping itu, rasa nasionalisme dengan setangkup mitos-mitos kebesaran
sebagai bangsa terus dipupuk subur, seperti keyakinan bahwa Turki adalah
bangsa penakluk, pekerja keras, pernah menguasai setidaknya sepertiga dunia dan sebagainya.
İmplikasi dari penanaman nilai-nilai sejarah republik Turki
adalah nasionalisme yang sangat kental dan kuat di jiwa masyarakatnya. Bisa
dipastikan bahwa Turki menjadi satu dari sedikit negara yang bangsa terus-menerus
mengibarkan bendera di banyak tempat hingga ke pelosok negeri. Di Turki Anda akan
kesulitan menemukan nama-nama orang selain nama khas Turki itu sendiri, padahal
masyarakat Turki terdiri dari suku-suku bangsa yang berbeda. Alih-alih bergaya
nama Barat seperti Michael, Bernando, Robert, Johanna, dll. Dalam konteks ini, proyek
nasionalisme Turkinisasi oleh Ataturk
berhasil. Hingga hari ini film-film yang masuk di Turki dan tayang di bioskop
pasti melewati sensor ketat dengan rata-rata sistem dubbing.
Sementara itu, dalam satu dekade terakir apabila ada film-film
baru dari bahasa Inggris masuk ke Indonesia, dipastikan judulnya tidak akan berubah.
Bahkan film-film lokal yang dibikin oleh sineas kita justru memakai judul
bahasa Inggris (buat gaya atau apa?). Di Turki, Anda tidak akan menemukan
panorama demikian. Meskipun ada, itu hanya satu dua. Tidak masif. Judul film semudah apapun teks bahasa Inggris pasti
dialihbahakan ke Turki, misalanya Final
Destination menjadi Son Durak dan
Don Quixote pun menjadi Don Kişot.
Ada satu kebijakan lagi yang membuat saya begitu kagum dan
sekaligus respek: semua pelajar internasional yang mendapatkan beasiswa dari
Pemerintah Turki (Türkiye Bursları)
harus melewati kursus bahasa Turki di kelas persiapan. Meskipun di kelas
pengantarnya akan memakai bahasa Inggris, skenario beasiswa oleh pemerintah kali
ini harus diikuti. Penerima beasiswa yang jumlahnya mencapai sekitar 50 ribu
dari semua negara harus melewati kursus bahasa Turki dengan sertifikat. Skenario Turki untuk
menjadi suatu kekuatan dunia pada tahun 2030 sudah dipersiapkan secara rapi
sejak satu dekade terakhir di bawah pemerintahan AKP (Partai Keadilan dan
Pembangunan). Salah satunya dengan “memaksa” pelajar asing yang dibiayai oleh
negara harus tahu bahasa Turki yang secara gamblang bisa dipahami bahwa mereka
akan menjadi agen-agen kebudayaan Turki di masa depan, setelah para pelajar ini
lulus dan kembali ke negara masing-masing. Bisa dibayangkan betapa
akan terus bertambah jumlah kuantitas generasi muda dari negara-negara
berkembang yang bisa berbahasa Turki!
Strategi Budaya
Semakin maraknya nama Turki disebut dan disiarkan ke
publik Indonesia baik oleh sebagian partai politik sebagai fans berat Recep
Tayyip Erdogan dan partainya, apresiasi besar dari kelompok keagamaan tertuntu,
hingga berkembangnya budaya populer Turki di Indonesia semakin menjustifikasi
bahwa Turki telah masuk di depan mata kita. Saya tidak akan mempersoalkan buruk
atau tidaknya fenomena masif yang berkembang tersebut. Tetapi, sebagai mahasiswa
Indonesia di Turki, saya cukup merasakan gesekan dan intrik di balik strategi kebudayaan
melalu jalur-jalur hubungan politk, ekonomi dan politik kebudayaan itu sendiri.
Salah satu intrik terbaik dari strategi budaya tentu saja lewat kerjasama
beasiswa besar-besaran yang dipraktikkan Turki terhadap negara-negara
berkembang lainnya.
Perlu dicatat bahwa Indonesia tidak menjadi prioritas Turki
atau mungkin begitu juga sebaliknya. Hubungan kerjasama Indonesia-Turki bisa
dibilang kecil dan tidak masif, tidak seperti kerjasama dengan China, Jepang
dan Amerika. Tengarai ini bisa saja berujung pada satu titik, yaitu karena aliran investasi dan uang Turki dilihat
tidak cukup menggiurkan bagi Indonesia yang akhir-akhir ini makin kepitalis-liberal.
Tetapi kenapa aspek budaya populer Turki justru hadir dengan mulus? Yang pasti,
ada aspek menarik atau mungkin intrik ke tengah kondisi masyarakat kita yang
makin haus budaya populer-bombastis dan pola pikir yang bergeser ke arah sekuler-liberal begini.
Intrik dan strategi budaya inilah yang harus
digarisbawahi sebagai pelajaran penting bagi kita di Indoneisa. Karena kenyataannya
produk-produk kebudayaan kita banyak kalah bersaing di depan negara-negara berkembang
sekalipun atau bahkan kita kurang kelihatan sebagai negara yang aspek
kebudayaannya patut diperhitungkan. Tetapi sebaliknya, Indonesia sebagai negara
dengan penduduk besar justru menjadi objek jualan yang potensial oleh pasar internasional.
Aspek budaya populer menjadi pintu masuk menanamkan dan menjual branding.
Lebih lanjut, strategi budaya yang berkembang dewasa ini,
miminjam istilah Douglas Holt dan Douglas Cameron dalam Cultural Strategy: Using Innovative Ideologies to Build Breakthrough
Brands, berlumur strategi branding
yang memanfaatkan spirit cultural
innovation dengan tujuan untuk
menciptakan dan sekaligus menjual brand
itu sendiri. Cultural mimicry yang disebut oleh penulis sebagai cultural orthodoxy sudah dilampau dengan membentuk budaya baru yang
sembunyi dalam penyediaan ruang subculture
(2010). Aspek-aspek masif subcultures
inilah yang kemudian membuka ruang-ruang bebas terbentuknya inovasi-inovasi kultural
dalam masyarakat. Pesan dan warna kebudayaan yang dibawa oleh drama-drama Korea
atau Turki akan menciptakan branding
baru di tengah masyarakat kita yang makin sekular dan liberal tetapi lemah dalam
aspek kesadaran kultural.
Akhirnya, secara sadar harus diakui bahwa dalam konteks
kebudayaan kita adalah bangsa yang sangat aktif mencari bentuk-bentuk ekspresi subculture yang datang dari luar untuk
mengisi ruang-ruang kosong atau memodifikasi kejemuan waktu luang pada ruang
tontonan yang monoton. Budaya populer Turki dengan cirikhasnya dapat menambah dan
sekaligus menambal ruang ekspresi kebudayaan kita, dan di waktu bersamaan kita
harus siap menerima berbagai branding
yang dijual sebagai strategi inovatif dari keubudayaan. Mari kita cermati bersama-sama
bagaimana ikon-ikon tradisi, bahasa, emosi, sejarah dan kebudayaan Turki akan
menjadi salah satu tontonan alternatif yang mengisi memori pemiarsa televisi di
Indonesia.
Foto oleh Ahmad Muhli Junaidi
Saturday, August 29, 2015
Ada Kopi Tiwus, tapi Dapatnya dari Jawa Barat
Features Jawa Pos, Sabtu, 29 Agustus 2015
"Desain kedai Filosofi Kopi maupun kopi racikan dibuat
seperti dalam cerita karya Dewi Lestari. Diharapkan jadi tempat bertemunya para
kaum kreatif."
Oleh Gunawan Sutanto, Jakarta
MEMASUKI Filosofi Kopi untuk kali pertama tak ubahnya memasuki sebuah
arena teka-teki. Seperti diajak menebak: hayo, bagian mana dari kedai di Blok
M, Jakarta, itu yang dititiskan dari buku, film, atau yang malah tidak ada di
dua-duanya?Oleh Gunawan Sutanto, Jakarta
Bar tempat barista yang terletak di tengah kedai? Itu ada di buku
Filosofi Kopi, kumpulan cerita pendek dan prosa karya Dewi "Dee" Lestari. Lantai dan dinding yang terbuat dari kayu
berserat kasar? Itu juga ada di buku yang masuk lima besar Khatulistiwa
Literary Award 2006 tersebut. Tapi, perangkat kopi yang ditata rapi, berbaris
memanjang di atas meja bar, itu sepertinya tak dideskripsikan secara mendetail
di buku. Itu “bahasa” dalam film yang diangkat dari buku tersebut dan dirilis
April lalu itu.
Di sana, diurut dari kiri, ada mesin espresso merah menyala merek
Nuova Simonelli. Di sebelahnya berjejer tiga mesin grinder. Lalu kompor
elektrik tanam dan ketel. Tak ketinggalan alat seduh manual: Syphone,
Aeropress, dan V60. “Saya ingin tak sekadar membuat film, tapi juga
membuat sebuah brand tentang kopi Indonesia,” kata Handoko Hendroyono, salah
seorang pemilik kedai dan produser film Filosofi Kopi.
Di kedai itu pula penggambaran film yang disutradarai Angga Dwimas
Sasongko tersebut dilakukan. Desainnya pun dipertahankan seperti dalam film
yang antara lain dibintangi Rio Dewanto (sebagai Jody) dan Chico Jericho
(sebagai Ben) itu. Kisah Filosofi Kopi berfondasi pada kedai yang didirikan Ben
dan Jody. Di dunia nyata, kedai tersebut dibangun empat orang:
Handoko, Anggia Kharisma, Rio, dan Chico. “Selain kami berempat, tentu banyak
teman yang men-support kami dengan berbagai macam cara,” ucap Handoko.
Nah, kuatnya citraan fiksi itulah yang barangkali membedakan kedai
tersebut dengan berbagai kedai kopi lain yang belakangan menjamur di Jakarta
dan kota-kota lain di Indonesia. Kedai Filosofi Kopi mungkin kedai kopi pertama
yang dibangun berdasar karya fiksi. Mirip Museum of Innocence di Istanbul,
Turki, yang dibangun berdasar novel dengan judul serupa karya Nobelis Sastra
Orhan Pamuk.
Museum itu berisi simbol dan artefak yang dicuplik dari isi novel
dengan judul dalam bahasa Turki Masumiyet Muzesi tersebut. Penulis Bernando J.
Sujibto dalam esainya di Jawa Pos pada 22 Februari menulis, mengunjungi museum
itu seperti sebentuk ziarah untuk merasai luka perih dan ketulusan cinta fiktif
yang pernah dialami tokoh cerita bernama Kemal.
Di kedai Filosofi Kopi, nama-nama house blend atau kopi racikan
pun dibuat seperti dalam karangan Dee. Kopi tiwus misalnya. Bedanya, kalau di
buku disebutkan kopi itu didapat dari kebun kecil milik Pak Seno di sebuah desa
daerah Jawa Tengah, dalam realitasnya di kedai di Blok M tersebut, kopi tiwus
merupakan hasil pencarian Handoko dkk dari perkebunan kopi di daerah Malabar,
Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat.
Rabu sore lalu itu (26/8) Jawa Pos sempat menjajal kopi yang
diseduh manual menggunakan saringan V60 tersebut. Sedap! Handoko memang berharap
kedai Filosofi Kopi tak hanya berhenti sebagai “monumen” dari karya fiksi. Tapi
juga turut berperan mengangkat kopi Indonesia. Sebelum film Filosofi Kopi
tayang, sebenarnya Handoko, Anggia, Rio, dan Chico “empat orang itu” telah
menggagas wujud kedai kopi. Tapi, konsepnya berupa food truck, tepatnya VW
Combi yang dimodifikasi.
VW Combi Filosofi Kopi itu tiap akhir pekan mendatangi sebuah
ruang publik. Mereka lantas menginformasikan keberadaan kedai kopi mobile
tersebut secara viral, via media sosial dan aplikasi smartphone. Tiga bulan
setelah film Filosofi Kopi tayang di bioskop, empat sahabat itu lantas
mematangkan niat membuka kedai kopi yang sesungguhnya. Sebuah kedai yang sama
persis seperti dalam cerita Filosofi Kopi.
Upaya tersebut diawali dengan hunting bangunan yang akan disewa
sebagai kedai. Mereka sempat memiliki beberapa pilihan tempat di Jakarta. “Kami
sempat cocok dengan sebuah bangunan di kawasan kota tua. Tapi, kami pikir lagi
kurang pas,” kenang Handoko.
Rio, yang sore itu sibuk menjadi kasir, kemudian punya usul kedai
dibuat di sekitar kompleks Blok M Square, kawasan Jalan Melawai. Alasannya,
keberadaan kedai harus mampu menghidupkan kembali citra positif kawasan
Blok M. “Dulu ini tempat anak muda banget. Rasanya belum gaul kalau tidak
nongkrong di Blok M dan Melawai,”ujar aktor kelahiran 28 Agustus itu saat
meluangkan waktu menemani Handoko menemui Jawa Pos.
Empat serangkai tersebut akhirnya menyewa sebuah bangunan yang
sudah 17 tahun tak terpakai. Lokasinya berada di tengah kompleks Blok M Square.
Bangunan ruko itu terdiri atas dua lantai. Namun, pemiliknya hanya menyewakan
lantai dasar yang luasnya sekitar 80 meter persegi. “Tidak tahu kenapa yang
punya bangunan tidak mengizinkan lantai 2 digunakan” ujar Handoko.
Menurut Handoko, meski hanya boleh menggunakan lantai 1, hal itu
sama sekali tidak mengurangi kemiripan kedai yang ada dalam cerita fiksi.
“Dalam cerita filmnya kan kedai kopi itu dibangun di atas bekas toko kelontong
milik orang tua Jody,” ujarnya. Empat sekawan tersebut butuh waktu sekitar 2,5
bulan untuk mendesain interior dan eksterior kedai Filosofi Kopi. Desain luar
dan dalam tentu dibuat semirip cerita asli seperti di buku dan film.
Selain kopi tiwus, di kedai itu tersedia kopi lestari dan
perfecto. Kopi lestari merupakan house blend berbagai biji kopi dari Gayo,
Aceh. Sementara perfecto yang juga bisa ditemukan di dalam buku merupakan
campuran kopi terbaik dari Kintamani, Bali. Handoko mengatakan, kedainya
sangat serius dalam membuat house blend. Mereka melibatkan sejumlah pakar kopi
Indonesia. ”Kami juga lakukan tes rasa agar menghasilkan racikan yang terbaik,”
katanya.
Handoko berharap keberadaan kedai Filkop (Filosofi Kopi) menjadi
tempat bertemunya para kaum kreatif. Dia mulai menginisiatori hal itu dengan
berbagai cara. Misalnya dengan mengajak kolaborasi para seniman untuk membantu
membuatkan furnitur dan merchandise Filosofi Kopi. “Ini kursi kami bukan beli
jadi, tapi buatan teman-teman seniman. Itu ada yang belum jadi,” tunjuk Handoko
ke sebuah kursi di teras kedai.
Handoko menyebutkan, dari sisi bisnis, kedai Filkop mulai
menguntungkan. Bahkan, akhir tahun ini mereka sudah membuka cabang di dua
tempat, yakni di Bintaro, Jakarta Selatan; dan Renon, Denpasar, Bali. Tapi
sayang, ada satu gimmick dari cerita di buku yang hilang dari kedai tersebut.
Sejak Jawa Pos datang, memesan kopi, dan mengakhiri wawancara, tak ada secarik
kartu kecil yang menerangkan filosofi dari kopi yang baru diminum. Kertas itu
diberikan Ben kepada pengunjung yang memesan kopinya. Mungkin karena sore itu
Ben sedang tidak di tempat, jadi kartu tersebut lupa diberikan. Mungkin. (jpg/p2/c1/fik).