Ziarah ke Museum of Innocence

Kemal menemukan kebahagian mencintai seorang Füsun dengan segenap warna dan misteri.

Saat itu ibuku menangis

Buat kakakku Hermanto Junaidi yang sedang damai bersemayam di bawah pohon ketapang, tempat aku selalu menjengukmu, saat pulang, atau saat pergi sekalipun.

Indeks Perdamaian Kota Itu Perlu

By measuring the state of peace, we can further our understanding of the social, political and economic factors that help develop more peaceful environments

Tentang Ingatan dan Ideologi

The struggle of man against power is the struggle of memory against forgetting” — Milan Kundera (The Book of Laughter and Forgetting).

A Journey: from Border to Border

Midyat is one of a must visited historical places in Mardin beside Old Mardin. Overall this city is cited as paths of the early civilizations named Mesopotamia or far before it—if we talked about Christianity and Jews history as well for its strategic location with rocky hill and plain near the Tigris River.

Sunday, August 30, 2015

Film Turki dan Intrik Budaya Populer di Indonesia

Versi Cetak, Jawa Pos 29 Agustus 2015

Acara Meet & Greet Elif and All Stars di salah satu stasiun swasta di Indonesia telah menggoda saya untuk menulis catatan singkat ini. Dengan mengggunakan bahasa Turki, para pemain Elif menyapa penggemar setia serial Elif yang sudah tayang di SCTV dalam beberapa bulan terkahir. Panggung budaya populer khususnya dunia tontonan Indonesia pun mulai dihiasai oleh salah satu pendatang baru yang kali datang dari Negeri Dua Benua (Eurosia) tersebut, bukan lagi melulu dari Amerika/Eropa, India dan Korea/Jepang.

Budaya populer Turki (yang diwakili oleh dunia sinema) bisa dibilang baru satu tahun terakhir mulai merambah publik Indonesia, setidaknya bisa ditandai khususnya setalah serial Abad Kejayaan ternyata disukai oleh penonton telivisi di tanah air. Setelah itu, secara beruntun drama-drama Turki pun mulai ditayangkan di Indonesia seperti Zahra, Elif dan Cinta di Musim Cherry.

Sejauh ini kita mengenal Turki lebih karena faktor sejarah dan peradaban tua yang masih bisa dikunjungi, termasuk situs perjumpaan sejarah Islam dan Kristen seperti Hagia Sophia dan Blue Mosque yang menjadi ikon dunia. Selain itu, pelajaran sejarah perkembangan Islam banyak menyebutkan imperior Islam terakhir bernama Ottoman di mana Turki menjadi suksesornya.

Nuansa drama Turki jelas berbeda dengan drama-drama yang sebelumnya sudah membombardir kita. Misalnya drama Korea. Turki mempunyai perbedaan yang signifikan dalam aspek tradisi dan kebudayaan. Semua pemiarsa Indonesia saya pastikan akan menemukan cirikhas dan karakter yang berbeda dalam konteks tradisi dan budaya secara signifikan. Turki menjadi salah satu negara yang cukup tertutup dalam aspek kebudayaan luar. Secara kebudayaan, jika pandangan kita bersepakat dengan kaca mata dan perspektif globalisasi dan liberalisasi, Turki termasuk negara dengan mayoritas masyarakat yang mempunyai pandangan inward-looking, sebuah perspektif yang meyakini bahwa Turki-lah segala-galanya sehingga mereka tidak tertarik dengan gedebus perkembangan budaya popular di luar sana.

Meskipun film-film Hollywood, Jepang dan negara-negara Eropa bisa masuk, aspek-aspek tradisi dan kebudayaan komunal mereka tetap dijaga dengan baik, atau setidaknya bisa bertahan lebih alot. Salah satu faktor yang menjaga mereka adalah kebanggaan kepada negara republik yang dibangun oleh Mustafa Kemal Ataturk dan sejarah-sejarah kebesaran mereka yang terus ditanamkan secara kuat sejak di bangku sekolah dasar. Di samping itu, rasa nasionalisme dengan setangkup mitos-mitos kebesaran sebagai bangsa terus dipupuk subur, seperti keyakinan bahwa Turki adalah bangsa penakluk, pekerja keras, pernah menguasai setidaknya sepertiga dunia dan sebagainya.

İmplikasi dari penanaman nilai-nilai sejarah republik Turki adalah nasionalisme yang sangat kental dan kuat di jiwa masyarakatnya. Bisa dipastikan bahwa Turki menjadi satu dari sedikit negara yang bangsa terus-menerus mengibarkan bendera di banyak tempat hingga ke pelosok negeri. Di Turki Anda akan kesulitan menemukan nama-nama orang selain nama khas Turki itu sendiri, padahal masyarakat Turki terdiri dari suku-suku bangsa yang berbeda. Alih-alih bergaya nama Barat seperti Michael, Bernando, Robert, Johanna, dll. Dalam konteks ini, proyek nasionalisme Turkinisasi oleh Ataturk berhasil. Hingga hari ini film-film yang masuk di Turki dan tayang di bioskop pasti melewati sensor ketat dengan rata-rata sistem dubbing.

Sementara itu, dalam satu dekade terakir apabila ada film-film baru dari bahasa Inggris masuk ke Indonesia, dipastikan judulnya tidak akan berubah. Bahkan film-film lokal yang dibikin oleh sineas kita justru memakai judul bahasa Inggris (buat gaya atau apa?). Di Turki, Anda tidak akan menemukan panorama demikian. Meskipun ada, itu hanya satu dua. Tidak masif. Judul film semudah apapun teks bahasa Inggris pasti dialihbahakan ke Turki, misalanya Final Destination menjadi Son Durak dan Don Quixote pun menjadi Don Kişot.

Ada satu kebijakan lagi yang membuat saya begitu kagum dan sekaligus respek: semua pelajar internasional yang mendapatkan beasiswa dari Pemerintah Turki (Türkiye Bursları) harus melewati kursus bahasa Turki di kelas persiapan. Meskipun di kelas pengantarnya akan memakai bahasa Inggris, skenario beasiswa oleh pemerintah kali ini harus diikuti. Penerima beasiswa yang jumlahnya mencapai sekitar 50 ribu dari semua negara harus melewati kursus bahasa Turki dengan sertifikat. Skenario Turki untuk menjadi suatu kekuatan dunia pada tahun 2030 sudah dipersiapkan secara rapi sejak satu dekade terakhir di bawah pemerintahan AKP (Partai Keadilan dan Pembangunan). Salah satunya dengan “memaksa” pelajar asing yang dibiayai oleh negara harus tahu bahasa Turki yang secara gamblang bisa dipahami bahwa mereka akan menjadi agen-agen kebudayaan Turki di masa depan, setelah para pelajar ini lulus dan kembali ke negara masing-masing. Bisa dibayangkan betapa akan terus bertambah jumlah kuantitas generasi muda dari negara-negara berkembang yang bisa berbahasa Turki!

Strategi Budaya

Semakin maraknya nama Turki disebut dan disiarkan ke publik Indonesia baik oleh sebagian partai politik sebagai fans berat Recep Tayyip Erdogan dan partainya, apresiasi besar dari kelompok keagamaan tertuntu, hingga berkembangnya budaya populer Turki di Indonesia semakin menjustifikasi bahwa Turki telah masuk di depan mata kita. Saya tidak akan mempersoalkan buruk atau tidaknya fenomena masif yang berkembang tersebut. Tetapi, sebagai mahasiswa Indonesia di Turki, saya cukup merasakan gesekan dan intrik di balik strategi kebudayaan melalu jalur-jalur hubungan politk, ekonomi dan politik kebudayaan itu sendiri. Salah satu intrik terbaik dari strategi budaya tentu saja lewat kerjasama beasiswa besar-besaran yang dipraktikkan Turki terhadap negara-negara berkembang lainnya.

Perlu dicatat bahwa Indonesia tidak menjadi prioritas Turki atau mungkin begitu juga sebaliknya. Hubungan kerjasama Indonesia-Turki bisa dibilang kecil dan tidak masif, tidak seperti kerjasama dengan China, Jepang dan Amerika. Tengarai ini bisa saja berujung pada satu titik, yaitu  karena aliran investasi dan uang Turki dilihat tidak cukup menggiurkan bagi Indonesia yang akhir-akhir ini makin kepitalis-liberal. Tetapi kenapa aspek budaya populer Turki justru hadir dengan mulus? Yang pasti, ada aspek menarik atau mungkin intrik ke tengah kondisi masyarakat kita yang makin haus budaya populer-bombastis dan pola pikir yang bergeser ke arah sekuler-liberal begini.

Intrik dan strategi budaya inilah yang harus digarisbawahi sebagai pelajaran penting bagi kita di Indoneisa. Karena kenyataannya produk-produk kebudayaan kita banyak kalah bersaing di depan negara-negara berkembang sekalipun atau bahkan kita kurang kelihatan sebagai negara yang aspek kebudayaannya patut diperhitungkan. Tetapi sebaliknya, Indonesia sebagai negara dengan penduduk besar justru menjadi objek jualan yang potensial oleh pasar internasional. Aspek budaya populer menjadi pintu masuk menanamkan dan menjual branding.

Lebih lanjut, strategi budaya yang berkembang dewasa ini, miminjam istilah Douglas Holt dan Douglas Cameron dalam Cultural Strategy: Using Innovative Ideologies to Build Breakthrough Brands, berlumur strategi branding yang memanfaatkan spirit cultural innovation dengan tujuan untuk menciptakan dan sekaligus menjual brand itu sendiri. Cultural mimicry yang disebut oleh penulis sebagai cultural orthodoxy sudah dilampau dengan membentuk budaya baru yang sembunyi dalam penyediaan ruang subculture (2010). Aspek-aspek masif subcultures inilah yang kemudian membuka ruang-ruang bebas terbentuknya inovasi-inovasi kultural dalam masyarakat. Pesan dan warna kebudayaan yang dibawa oleh drama-drama Korea atau Turki akan menciptakan branding baru di tengah masyarakat kita yang makin sekular dan liberal tetapi lemah dalam aspek kesadaran kultural.

Akhirnya, secara sadar harus diakui bahwa dalam konteks kebudayaan kita adalah bangsa yang sangat aktif mencari bentuk-bentuk ekspresi subculture yang datang dari luar untuk mengisi ruang-ruang kosong atau memodifikasi kejemuan waktu luang pada ruang tontonan yang monoton. Budaya populer Turki dengan cirikhasnya dapat menambah dan sekaligus menambal ruang ekspresi kebudayaan kita, dan di waktu bersamaan kita harus siap menerima berbagai branding yang dijual sebagai strategi inovatif dari keubudayaan. Mari kita cermati bersama-sama bagaimana ikon-ikon tradisi, bahasa, emosi, sejarah dan kebudayaan Turki akan menjadi salah satu tontonan alternatif yang mengisi memori pemiarsa televisi di Indonesia.

Foto oleh Ahmad Muhli Junaidi

Saturday, August 29, 2015

Ada Kopi Tiwus, tapi Dapatnya dari Jawa Barat

Features Jawa Pos, Sabtu, 29 Agustus 2015
"Desain kedai Filosofi Kopi maupun kopi racikan dibuat seperti dalam cerita karya Dewi Lestari. Diharapkan jadi tempat bertemunya para kaum kreatif."

Oleh Gunawan Sutanto, Jakarta


MEMASUKI Filosofi Kopi untuk kali pertama tak ubahnya memasuki sebuah arena teka-teki. Seperti diajak menebak: hayo, bagian mana dari kedai di Blok M, Jakarta, itu yang dititiskan dari buku, film, atau yang malah tidak ada di dua-duanya?

Bar tempat barista yang terletak di tengah kedai? Itu ada di buku Filosofi Kopi, kumpulan cerita pendek dan prosa karya Dewi "Dee" Lestari. Lantai dan dinding yang terbuat dari kayu berserat kasar? Itu juga ada di buku yang masuk lima besar Khatulistiwa Literary Award 2006 tersebut. Tapi, perangkat kopi yang ditata rapi, berbaris memanjang di atas meja bar, itu se­pertinya tak dideskripsikan secara mendetail di buku. Itu “bahasa” dalam film yang diangkat dari buku tersebut dan dirilis April lalu itu.

Di sana, diurut dari kiri, ada mesin espresso merah menyala merek Nuova Simonelli. Di sebelahnya berjejer tiga mesin grinder. Lalu kompor elektrik tanam dan ketel. Tak ketinggalan alat seduh manual: Syphone, Aeropress, dan V60.  “Saya ingin tak sekadar membuat film, tapi juga membuat sebuah brand tentang kopi Indonesia,” kata Handoko Hendroyono, salah seorang pemilik kedai dan produser film Filosofi Kopi

Di kedai itu pula penggambaran film yang disutradarai Angga Dwimas Sasongko tersebut dilakukan. Desainnya pun dipertahankan seperti dalam film yang antara lain dibintangi Rio Dewanto (sebagai Jody) dan Chico Jericho (sebagai Ben) itu. Kisah Filosofi Kopi berfondasi pada kedai yang didirikan Ben dan Jody. Di dunia nyata, kedai tersebut dibangun empat orang: Handoko, Anggia Kharisma, Rio, dan Chico. “Selain kami berempat, tentu banyak teman yang men-support kami dengan berbagai macam cara,” ucap Handoko.

Nah, kuatnya citraan fiksi itulah yang barangkali membedakan kedai tersebut dengan berbagai kedai kopi lain yang belakangan menjamur di Jakarta dan kota-kota lain di Indonesia. Kedai Filosofi Kopi mungkin kedai kopi pertama yang dibangun berdasar karya fiksi. Mirip Museum of Innocence di Istanbul, Turki, yang dibangun berdasar novel dengan judul serupa karya Nobelis Sastra Orhan Pamuk. 

Museum itu berisi simbol dan artefak yang dicuplik dari isi novel dengan judul dalam bahasa Turki Masumiyet Muzesi tersebut. Penulis Bernando J. Sujibto dalam esainya di Jawa Pos pada 22 Februari menulis, mengunjungi museum itu seperti sebentuk ziarah untuk merasai luka perih dan ketulusan cinta fiktif yang pernah dialami tokoh cerita bernama Kemal. 

Di kedai Filosofi Kopi, nama-nama house blend atau kopi racikan pun dibuat seperti dalam karangan Dee. Kopi tiwus misalnya. Bedanya, kalau di buku disebutkan kopi itu didapat dari kebun kecil milik Pak Seno di sebuah desa daerah Jawa Tengah, dalam realitasnya di kedai di Blok M tersebut, kopi tiwus merupakan hasil pencarian Handoko dkk dari perkebunan kopi di daerah Malabar, Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat.

Rabu sore lalu itu (26/8) Jawa Pos sempat menjajal kopi yang diseduh manual menggunakan saringan V60 tersebut. Sedap! Handoko memang berharap kedai Filosofi Kopi tak hanya berhenti sebagai “monumen” dari karya fiksi. Tapi juga turut berperan mengangkat kopi Indonesia.  Sebelum film Filosofi Kopi tayang, sebenarnya Handoko, Anggia, Rio, dan Chico “empat orang itu” telah menggagas wujud kedai kopi. Tapi, konsepnya berupa food truck, tepatnya VW Combi yang dimodifikasi. 

VW Combi Filosofi Kopi itu tiap akhir pekan mendatangi sebuah ruang publik. Mereka lantas menginformasikan keberadaan kedai kopi mobile tersebut secara viral, via media sosial dan aplikasi smartphone. Tiga bulan setelah film Filosofi Kopi tayang di bioskop, empat sahabat itu lantas mematangkan niat membuka kedai kopi yang sesungguhnya. Sebuah kedai yang sama persis seperti dalam cerita Filosofi Kopi. 

Upaya tersebut diawali dengan hunting bangunan yang akan disewa sebagai kedai. Mereka sempat memiliki beberapa pilihan tempat di Jakarta. “Kami sempat cocok dengan sebuah bangunan di kawasan kota tua. Tapi, kami pikir lagi kurang pas,” kenang Handoko.

Rio, yang sore itu sibuk menjadi kasir, kemudian punya usul kedai dibuat di sekitar kompleks Blok M Square, kawasan Jalan Melawai. Alasannya, keberadaan kedai harus  mampu menghidupkan kembali citra positif kawasan Blok M. “Dulu ini tempat anak muda banget. Rasanya belum gaul kalau tidak nongkrong di Blok M dan Melawai,”ujar aktor kelahiran 28 Agustus itu saat meluangkan waktu menemani Handoko menemui Jawa Pos.

Empat serangkai tersebut akhirnya menyewa sebuah bangunan yang sudah 17 tahun tak terpakai. Lokasinya berada di tengah kompleks Blok M Square. Bangunan ruko itu terdiri atas dua lantai. Namun, pemiliknya hanya menyewakan lantai dasar yang luasnya sekitar 80 meter persegi. “Tidak tahu kenapa yang punya bangunan tidak mengizinkan lantai 2 digunakan” ujar Handoko.

Menurut Handoko, meski hanya boleh menggunakan lantai 1, hal itu sama sekali tidak mengurangi kemiripan kedai yang ada dalam cerita fiksi. “Dalam cerita filmnya kan kedai kopi itu dibangun di atas bekas toko kelontong milik orang tua Jody,” ujarnya. Empat sekawan tersebut butuh waktu sekitar 2,5 bulan untuk mendesain interior dan eksterior kedai Filosofi Kopi. Desain luar dan dalam tentu dibuat semirip cerita asli se­perti di buku dan film.

Selain kopi tiwus, di kedai itu tersedia kopi lestari dan perfecto. Kopi lestari merupakan house blend berbagai biji kopi dari Gayo, Aceh. Sementara perfecto yang juga bisa ditemukan di dalam buku merupakan campuran kopi terbaik dari Kintamani, Bali.  Handoko mengatakan, kedainya sangat serius dalam membuat house blend. Mereka melibatkan sejumlah pakar kopi Indonesia. ”Kami juga lakukan tes rasa agar menghasilkan racikan yang terbaik,” katanya.

Handoko berharap keberadaan kedai Filkop (Filosofi Kopi) menjadi tempat bertemunya para kaum kreatif. Dia mulai menginisiatori hal itu dengan berbagai cara. Misalnya dengan mengajak kolaborasi para seniman untuk membantu membuatkan furnitur dan merchandise Filosofi Kopi. “Ini kursi kami bukan beli jadi, tapi buatan teman-teman seniman. Itu ada yang belum jadi,” tunjuk Handoko ke sebuah kursi di teras kedai. 

Handoko menyebutkan, dari sisi bisnis, kedai Filkop mulai menguntungkan. Bahkan, akhir tahun ini mereka sudah membuka cabang di dua tempat, yakni di Bintaro, Jakarta Selatan; dan Renon, Denpasar, Bali. Tapi sayang, ada satu gimmick dari cerita di buku yang hilang dari kedai tersebut. Sejak Jawa Pos datang, memesan kopi, dan mengakhiri wawancara, tak ada secarik kartu kecil yang menerangkan filosofi dari kopi yang baru diminum. Kertas itu diberikan Ben kepada pengunjung yang memesan kopinya. Mungkin karena sore itu Ben sedang tidak di tempat, jadi kartu tersebut lupa diberikan. Mungkin. (jpg/p2/c1/fik).