Ziarah ke Museum of Innocence

Kemal menemukan kebahagian mencintai seorang Füsun dengan segenap warna dan misteri.

Saat itu ibuku menangis

Buat kakakku Hermanto Junaidi yang sedang damai bersemayam di bawah pohon ketapang, tempat aku selalu menjengukmu, saat pulang, atau saat pergi sekalipun.

Indeks Perdamaian Kota Itu Perlu

By measuring the state of peace, we can further our understanding of the social, political and economic factors that help develop more peaceful environments

Tentang Ingatan dan Ideologi

The struggle of man against power is the struggle of memory against forgetting” — Milan Kundera (The Book of Laughter and Forgetting).

A Journey: from Border to Border

Midyat is one of a must visited historical places in Mardin beside Old Mardin. Overall this city is cited as paths of the early civilizations named Mesopotamia or far before it—if we talked about Christianity and Jews history as well for its strategic location with rocky hill and plain near the Tigris River.

Sunday, November 22, 2015

Surat Motivasi Aplikasi Program MEP-Australia

(Setelah ada beberapa teman ingin membaca surat mutivasi atau dokumen untuk kegiatan MEP (Muslim Exchange Program) yang saya ikuti tahun 2011 di Australia, saya berpikir file ini perlu diselamatkan sebelum hilang atau tertumpuk lapuk. Jika teman-teman merasa perlu membaca sebagai pengkayaan perspektif, dengan senang hati dipersilahkan. Semoga bermanfaat.)  

Sebagai pertimbangan mengapa saya melamar dan berminat program ini, secara komprehensif-kronologis, berikut saya ceritakan tentang “kegelisahan dan pergulatan” intelektual saya sejak pendidikan menengah pertama di pondok pesantren, perguruan tinggi, hingga aktivitas saat ini yang sedang saya geluti. Sejak saya belajar di Pondok Pesantren Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep, saya mulai bersinggungan dengan beberapa komunitas diskusi tentang isu-isu keagamaan secara luas. Saya beruntung langsung terlibat dengan banyak organisasi bersama santri-santri senior yang bisa memberikan inspirasi dan sharing pengalaman yang akhirnya melecutkan kreativitas dan minat belajar saya.

Semasih duduk di Pondok Pesantren Annuqayah, periode MTs-MA, saya bisa menyebutkan beberapa organisasi, lingkaran diskusi, dan media penerbitan yang telah menjadi bagian dari proses panjang dalam pergulatan intelektual saya, seperti IKSAPATRA sebagai Seksi Pengembangan Intelektual, Koordinator Diskusi RADIAN ALMERSERY, Forum Malam Selasa, Koordinator Perkumpulan Santri-Penulis Annuqayah, dan menjadi Pimpinan Redaksi Mading ARENA, Pimpinan Umum Jurnal PENTAS, dan Staff Redaksi Majalah PERMAI di salah satu penerbitan LSM ternama di Madura, Jawa Timur, yaitu BIRO PENGABDIAN MASYARAKAT (BPM) PP. Annuqayah.

Di BPM-PPA ini, saya mulai bertemu dengan orang-orang dari luar “area” latar belakang saya. Mereka adalah dari kalangan pemerintahan, jaringan LSM nasional mauppun internasional, dan tamu-tamu penting yang sedang melakukan penelitian. Saya beberapa kali diutus mengikuti workshop dan pelatihan tentang isu-isu sosial dan lingkungan di luar Madura mewakili BPM-PPA. Di BPM pula, saya menemani dua volunteers dari Australia (Margaret Rolling dan John Rolling) yang mempunyai program mengajar Bahasa Inggris di pondok pesantren. Saya kerap bertukar pikiran bersama dua orang ini, dan mereka pula yang telah melecutkan semangat saya untuk terus belajar dan belajar. 

Selama proses tersebut, saya beruntung tetap bergelut dengan buku-buku bacaan dan menulis. Saya menjadi ketua dan pembina Perpustakaan Annuqayah dan Kepala Bidang Pengembangan Kepustakaan di BPM-PPA. Di bidang penerbitan, saya bersama teman menginisiasi penerbitan Buletin KEJORA di lingkungan pondok pesantren sebagai media yang mewadahi kreativitas santri. Kedekatan saya dengan buku dan kreativitas menulis akhirnya mengantarkan saya kepada banyak kesempatan. Sejak Madrasah Aliyah (sederajat SMA) saya sudah banyak memenangkan lomba karya tulis di tingkat kabupaten, dan tulisan-tulisan saya sudah mulai dimuat di media lokal ataupun nasional.

Tahun 2006 saya datang ke Yogyakarta untuk melanjutkan S1. Namun sebelum kuliah, saya harus dihadapkan dengan pembiayaan yang harus saya tanggung sendiri karena orang tua saya (tinggal Ibu sendiri) sudah tidak sanggup lagi membiayai. Saya harus bekerja serabutan dulu. Alhamdulilah saya bertemu dengan sosok kiai muda dan penulis produktif bernama (alm) K.H.A. Zainal Arifin Thaha. Saya diizinkan oleh beliau agar tinggal di gubuk sederhana bernama Pondok Pesantren Mahasiswa Hasyim Asy’ari. Di Yogyakarta, saya bisa lebih bebas lagi berkomunitas baik keseniaan, agama, filsafat, sosial, dsb. Di sini saya terlibat dengan banyak organisasi dan komunitas: pembina di Ikatan Alumni Annuqayah (IAA) Yogyakarta, koordinator Komunitas KUTUB, Koordinator Program Sastra di Tetaer ESKA UIN Sunan Kalijaga, salah satu Person in Charge Youth Program komunitas Peace Generation yang bekerja sama dengan Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) UGM, American Friends Services Committee (AFSC), Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB) dll. Kebersamaan saya dengan mereka telah membuka ruang toleransi, multikultural, dan solidaritas sosial antara umat beragama dengan latar belakang yang beragam. Di sini pula saya bisa ikut terlibat di berbagai seminar dan konferensi  nasioanal ataupun internasional.

Sejak di Yogyakarta saya sudah menemukan “mini Indonesia” yang merepresentasikan multikulturalisme dan pluralisme. Di sini saya bisa membuka pemikiran dan perspektif saya yang lebih inklusif melalui pertemuan dan terlibat secara langsung dengan orang-orang dari berbagai latar belakang baik agama, ras, etnis, dan bangsa. Semangat pluralisme ini telah menjadi landasan saya dalam praktik keberagamaan lebih lanjut ke depan. Kantong-kantong keberagamaan yang radikalis, ekstremis, fundemintalis, dan militan coba saya masuki demi membangun jembatan komunikasi dengan nilai-nilai Islam yang substantif dan holistik, mencari arah solusi terhadap praktik keberagamaan yang mereka jalani sejauh ini, untuk kehidupan manusia yang harmonis dan rahmatul lil ‘alamin. Spirit seperti ini telah menjadi bagian terpenting dalam proses kehidupan saya ke depan dengan komunitas yang saya gawangi, bersama orang-orang yang saya temui di setiap saat. Semua ini saya lakukan demi restorasi dan spirit kebangsaan yang secara prinsipil membutuhkan ruang-ruang diskursus yang beragam dan multikultur.

Keran pemahaman tentang multikultarilme dan spirit kebangsaan itu saya temukan secara lebih spesifik ketika bulan Juni-Juli 2010 saya mendapatkan beasiswa dari The Indonesian International Education Foundation (IIEF) dan US Embassy untuk belajar bahasa dan budaya ke Amerika Serikat. Saya tinggal di negara bagian South Carolina, belajar di University of South Carolina, bertemu dan berinteraksi dengan mahasiswa asing, mempresenitasikan budaya Indonesia. Arti keberagamaan dan kebangsaan saya semakin menemukan jawabannya secara holistik ketika saya banyak berkomunikasi dan bertemu dengan orang-orang dari berbagai latar bangsa di dunia.

Jika saya terpilih dalam program ini, saya akan memanfaatkan pertemuan saya dengan berbagai pihak baik personal orang maupun lembaga-lembaga dan organisasi yang ada di Australia; saya akan sharing lebih dalam tentang pengelolaan organisasi dan penguatan jaringan dengan lembaga-lembaga luar. Program Pertukaran Tokoh Muslim Muda Indonesia-Australia 2011 ini tentu akan memberikan ruang yang lebih luas lagi bagi saya untuk berbagi pemahaman dan praktik-praktik riil di lapangan dari pengalaman banyak orang maupun organisasi dari perspektif yang lebih luas.

Setelah terpilih dari program ini, saya akan berbagai pengalaman dengan memberikan suatu perspektif baru tentang organisasi maupun nilai-nilai pemahaman yang overseas sebagai landasan bagi pengembangan organisasi saya di Pondok Pesantren Mahasiswa Hasyim Asy’ari dan organisasi lain yang sedang saya geluti. Program ini sangat membantu saya dalam proses transfer pengalaman dan transformasi pemahaman kepada lembaga dan komunitas masing-masing yang saya geluti sekarang. Proses interaksi dialogis yang lebih luas melalui program ini akan memberikan spirit dan nutrisi baru bagi keberlangsungan organisasi.

Masyarakat Indonesia yang saya rancang sebagai tujuan komunikasi dan gerakan setelah program ini adalah para pemuda (youth) karena mereka inilah yang akan meneruskan dan menentukan masa depan bangsa dan negara Indonesia. Saya akan mengajak para pemuda untuk berbagi dan sharing pemahaman tentang keberagamaan masing-masing demi restorasi kebangsaan. Saya melakukan kunjungan ke organisasi dan lembaga-lembaga pemuda yang ada di Yogyakarta. Sebagai contoh adalah ketika saya dan komunitas Peace Generation melalui kegiatan DO.Ci.Reng (Dolanan Cerita Bareng) melakukan assessment terhadap anak-anak korban erupsi Merapi di Magelang ataupun kegiatan Peace Camp, semacam program immerse yang mempertemukan mini Indonesia dalam satu kegiatan. Saya menemukan banyak pelajaran di sini bahwa pemuda harus menjadi elan-vital yang harus dipupuk kreativitasnya demi masa depan Indonesia.

Jika saya diberikan kesempatan untuk berpartisipasi dalam kegaitan MEP kali ini, organisasi/personal yang ingin saya kunjungi:
1.   Chaaban Omar, dari FAMSY Federation of Australian Muslim Student & Youth.
2.   Chair and Administrator of the Australian Federation of Islamic Council
3.   Dr Samina Yasmeen, the University of Western Australia
4.   Fadi Rahman, Muslim Youth Leader, ICRA (Independent Centre of Research Australia)
5.  Professor Abdullah Saeed, Sultan of Oman and Chair of Arab & Islamic Studies and Director of the Centre for the Study of Contemporary Islam.
6.   Ahmed Youssef, President of the Islamic Centre of Canberra
7. Anna Halafoff, Inter-religious & Intercultural Relations– Asia Pacific and Global Terrorism Research Centre at Monash University.
8.   Silma Ihram, Founder & Principal, Noor Al Houda Islamic College.






Thursday, November 12, 2015

Ayah

Dunia bermain adalah kehidupan utama bagi anak-anak seusiaku. Segala jenis permainan bersama, mulai dari permainan tradisional turun-temurun hingga permainan yang kami buat sendiri, selalu menandai masa-sama bahagia yang sederhana tak terlupakan bersama anak-anak tetangga.

Suatu hari menjelang sore, aku dan beberapa teman bermain sembunyi-sembunyian, semacam polisi-polisian. Di tengah berlangsungnya permainan, seorang ibu penjaja jajanan mampir ke halaman rumah nenek. Kami, seperti biasa, langsung mengerumininya. Tak peduli ada uang atau tidak. Biasanya kami serentak teriak “beliiii…..” dan menunjuk ini-itu.

Aku lalu langsung merangsek ke dapur, menemui Ayah, Ibu dan sepertinya ada paman atau bibi di sana—yang sedang menemani Ayah. Tanpa ba-bi-bu, aku merengek minta uang kepada Ibu untuk beli jajan. Sedikit berteriak, memaksa dan tentu rewel.

Ayah, yang sedang tergolek di lincak memanggilku, “sini, nak.” Aku segera mendekat. Dan plak! Sebuah tamparan mendarat di pipiku. 

“Ayah sedang sakit, cong.” Aku mendengar kalimat ini dari Ayahku sebelum berlari menangis ke halaman rumah. Ibu, atau nenekku, lalu mengejarku dan membelikan jajan.

Ini salah satu kenangan terindah bersama Ayah yang paling kuingat. Beberapa bulan setelahnya beliau meninggalkan kami karena sakit yang dideritanya, hanya berselang sekitar 37 hari setelah kedatangannya dari Tanah Suci (semoga Ayah damai selalu di sisiNya).

Saat itu, aku masih belum cukup umur untuk sekolah SD di kampungku. Juga belum disunat. 

Ayahku, semoga anakmu ini segara menjadi ayah yang mencintai anak-anaknya kelak dengan hati dan jiwa yang dalam. Selamat Hari Ayah. Doa selalu kupanjatkan setiap tarik nafasku....

Turki, 12 November 2015

Tuesday, November 03, 2015

Drama Kemenangan Partai Penguasa Turki

Pada 1 November kemarin pemilu ulang di Turki dihelat. Meskipun ada 16 partai politik yang ikut bertarung demi mengirimkan wakil di parlemen, hanya ada 4 parpol (AKP, CHP, MHP, HDP) yang mempunyai tempat signifikan di percaturan politik negara bekas Ottoman ini. Partai-partai sisanya tak lebih hanya sebagai penggembira setidaknya dalam satu dekade terakhir.

Di antara 4 besar tersebut, satu parpol baru HDP (Partai Demokrasi Rakyat) yang berdiri sejak Agustus 2012 boleh dibilang fenomenal. Mereka dapat menembus ambang batas parlemen (parliamentary threshold) di atas 10% pada pemilu nasional pertamanya. Hal tersebut tentu prestasi istimewa untuk sebuah parpol baru dari kelompok minoritas suku Kurdi.

Menurut hasil hitung cepat oleh media nasional seperti Anadolu Ajinsi dan Cihan Ajinsi, pemilu ulang kali ini menunjukkan hasil yang sangat menguntungkan bagi partai penguasa: AKP (Partai Pembangunan dan Keadilan) 49%, CHP (Partai Rakyat Republik) 25%, HDP (Partai Demokrasi Rakyat) 10% dan MHP (Partai Gerakan Nasionalis) 11%. Coba bandingkan dengan hasil pemilu 7 Juni lalu: AKP 40.86%, CHP 24.96%, MHP 16.29% dan dan HDP 13.12%.

Berkaca pada data di atas, suara dari partai nasionalis anjlok hingga lebih 5 persen dan suara dari komunitas suku Kurdi hanya berkurang sekitar persen. Sementara itu, partai warisan Mustafa Kemal Ataturk CHP menunjukkan bahwa mereka mempunyai konstituen paling loyal dengan hasil yang selalu sama, yaitu di angka 25 persen.

Kecemasan dan Harapan

Sejak hasil pemilu 7 Juni lalu situasi internal Turki penuh drama dan pelan-pelan merangkak ke arah kekerasan masif, di samping juga konflik laten bersenjata antara pasukan keamanan Turki versus PKK (Partai Pekerja Kurdi) di Turki timur dan tenggara terus berlanjut hingga hari ini. Salah satu kekerasan tak terkendali itu adalah ledakan bom bunuh diri yang terjadi di Suruc, Sanliurfa pada 20 Juni 2015. Ledakan pertama setelah pemilu 7 Juni itu memakan korban sekitar 30 orang. Puncaknya adalah ketika kembali ada ledakan bom bunuh diri di ibukota Ankara (10/10) yang memakan korban lebih dari 100 orang.

Menurut hasil investigasi otoritas setempat, pelaku, pola dan motif kedua ledakan di atas mirip-mirip: dilakukan oleh ISIS dan menyasar kepada “kelompok kiri” yang berafiliasi dengan massa HDP. Bedanya, bom bunuh diri yang pertama meledak di daerah mayoritas suku Kurdi sendiri di Sanliurfa, di tengah-tengah massa pemuda yang tengah berkumpul menggalang dukungan untuk pengiriman bantuan ke Kobani, daerah perbatasan Suriah-Turki yang pernah diluluhlantakkan ISIS selama musim panas 2014 dan sekaligus menjadi perhatian serius suku Kurdi yang merasa sebagai saudara-suku. Sementara ledakan bom di Ankara terjadi juga di tengah-tengah massa HDP yang ikut meramaikan pertemuan puncak nasional untuk persiapan dan konsolidasi pemilu ulang.

Kata kunci yang menarik di sini adalah: ledakan bom di ibukota, pusat pemerintahan dan aktivitas lintas negara diperagakan. Bagi saya, seperti juga dirasakan oleh rakyat Turki sendiri, ledakan tersebut telah menjadi lampu kuning kecemasan. Semacam ancaman yang mendatangkan kekhawatiran demi kekhawatiran bagi mereka. Kecemasan, sebuah drama paling ampuh yang dimainkan oleh kepentingan politik untuk mengocok emosi rakyat. Sebab, rakyat pada umunya tentu akan mengkhawatirkan terjadinya situasi chaos.

Meskipun posisi PKK sangat urgen dalam manuver politik Turki sejak 30 tahun terakhir, di sini saya tidak akan memaparkan konflik bersenjata PKK, kelompok yang dicap sebagai teroris oleh Uni Eropa, Amerika dan Turki sendiri. Meski operasi militer yang dilakukan pemerintah terhadap kelompok yang menuntut kemerdekaan suku Kurdi ini ditengarai sebagai “mainan” pemerintah Turki karena suaranya dari komunitas Kurdi banyak hilang diserap HDP, perseteruan konflik berdarah selama 30 tahun terakhir mempunyai aspek historis tersendiri yang tak mudah disimpulkan begitu saja. Sebagai otoritas negara sah demi menjaga stabilitas nasional, Turki bisa kapan saja melakukan operasi kepada kelompok-kelompok separatis yang ingin memecah-belah Turki, termasuk PKK.

Lebih lanjut, bom bunuh diri di Ankara, bagi saya, menjadi titik balik dan sekaligus shock therapy bagi rakyat Turki dalam situasi menunggu kepastian pemerintahan yang belum terbentuk. Dari banyak opini dan suara-suara lokal rakyat Turki, situasi pasca-bom di Ankara tidak boleh dibiarkan berlarut dan stabilitas internal negara yang sudah terkelola baik di bawah AKP akhirnya menjadi semacam common sense dan harapan mayoritas.

Karena bagaimana pun juga, ledakan di ibukota sebuah negara seperti Turki yang dikenal dengan sistem keamanaan tangguh akhirnya memunculkan banyak spekulasi dan kecurigaan. Kelompok anti-pemerintah dengan terang-terangan mengutuk bahwa bom di Ankara adalah proyek pemerintah dengan memanfaatkan kekerasan struktural demi meraih kembali tampuk kekuasaan.

Sebaliknya dari kelompok pro-pemerintah sendiri, opini yang terdedah adalah ledakan tersebut merupakan provokasi PKK. Apalagi ada kicauan di Twitter yang pada semalam sebelumnya menuturkan bahwa di Ankara besok akan ada ledakan bom. Usut-punya usut, akun Twitter tersebut adalah milik salah satu simpatisan HDP.

Sementara itu, dalam situasi mengambang dengan tensi emosi yang dimainkan oleh aktor-aktor khusus, komunikasi politik yang digagas AKP untuk membentuk interim government (pemerintah sementara) dengan menjembatani semua wakil dari empat partai besar tidak berhasil. CHP menolak mentah-mentah tawaran dari penguasa untuk membentuk pemerintahan. Meski sempat ramai dan penuh intrik, secara resmi MHP menolak.

Namun, ada salah satu terbaik tokoh dari partai nasionalis bernama Tuğrul Türkeş, yang kemudian menjadi salah satu penentu hilangnya jutaan suara konstituennya, menyeberang ke AKP dan menjadi calon anggota DPR dari partai penguasa.

Sebaliknya HDP menerima tawaran interim government dengan mengirimkan dua delegasi, Ali Haydar Konca dan Üslüm Doğan. Tapi, di tengah perjalanan, ketika perseteruan antara pemerintah melawan PKK semakin terbuka mereka melepas jabatannya pada 22 September kemarin. Akhirnya interim government pun cuma dihuni oleh partai penguasa plus Türkeş yang memang sudah siap bersama AKP.

Dalam situasi seperti di atas, sempurna nian kegamangan dan kecemasan rakyat Turki. Drama politik internal mereka berhasil mengocok emosi melalui sentimen-sentimen kekerasan. Di samping itu, ada isu yang tiba-tiba menjadi bola liar di tengah masyarakat bahwa ada kelompok-kelompok tertentu di Turki (termasuk PKK) yang ingin mengembalikan Turki ke era 1990, situasi terpuruk secara ekonomi dan politik. Serentak rakyat Turki di dua benua tersebut meradang, termasuk mereka yang tinggal di luar negeri.

Karena itu, tak ada jalan lain bagi rakyat Turki selain mempersiapkan diri untuk kembali dan melanjutkan arus pembangunan ekonomi dan keamanan yang sudah bagus di bawah kendali AKP. Rakyat Turki dari daerah Anatolia Tengah, sebuah kelompok masyarakat yang percaya sebagai representasi asli Turki baik secara budaya ataupun cara pikir, yang rata-rata hidup sebagai petani dan pedagang menjadi kunci kemenangan AKP. Meski kelompok masyarakat Anatolia Tengah ini kerap diledek oleh orang-orang kiri CHP sebagai “kepala tertutup”—karena jauh dari pantai dan selalu menjadi basis partai Islam—faktanya tidak bisa dikesampingkan bahwa harapan untuk Turki justru lahir dari kelompok mereka.

Akhirnya, kemenangan AKP harus diakui lahir dari drama politik yang dimainkan secara ciamik. Dengan keyakinan dan strategi politik penguasa, suara anjlok pada pemilu 7 Juni silam mampu diputarbalik secara mengejutkan sehingga dalam empat tahun ke depan AKP akan kembali memimpin Turki.

Ada dua kubu suara yang secara telanjang diambil AKP. Pertama adalah kelompok Islam nasionalis, massa yang rata-rata bernaung di bawah MHP. Suara kelompok ini paling mudah diambil oleh partai-partai Islam setidaknya sejak Necmatin Erbakan mendirikan partai Islam. Kedua adalah dari suku Kurdi. Dukungan terang-terangan HDP untuk PKK dan ajakan terbuka PKK kepada mayoritas suku Kurdi agar tidak memilih AKP justru menjadi keuntungan besar bagi partai penguasa untuk melanjutkan kekuasaan di Turki. Anjloknya suara 3 persen partai pro-Kurdi ini adalah bukti bahwa masyarakat Kurdi sendiri menginginkan proses perdamaian yang sudah dirintis pemerintah Turki. 

*versi cetak tulisan ini di Jawa Pos, 3 November 2015
**terima kasih kepada Nabila dan Rasyidi atas kiriman fotonya