Ziarah ke Museum of Innocence

Kemal menemukan kebahagian mencintai seorang Füsun dengan segenap warna dan misteri.

Saat itu ibuku menangis

Buat kakakku Hermanto Junaidi yang sedang damai bersemayam di bawah pohon ketapang, tempat aku selalu menjengukmu, saat pulang, atau saat pergi sekalipun.

Indeks Perdamaian Kota Itu Perlu

By measuring the state of peace, we can further our understanding of the social, political and economic factors that help develop more peaceful environments

Tentang Ingatan dan Ideologi

The struggle of man against power is the struggle of memory against forgetting” — Milan Kundera (The Book of Laughter and Forgetting).

A Journey: from Border to Border

Midyat is one of a must visited historical places in Mardin beside Old Mardin. Overall this city is cited as paths of the early civilizations named Mesopotamia or far before it—if we talked about Christianity and Jews history as well for its strategic location with rocky hill and plain near the Tigris River.

Monday, December 10, 2012

Pengalaman Banjir Pertama di Kota Imajiner

Senin, 10 Desember 2012, sekitar pukul 14.40 menuju sore. Aku terjebak hujan di tengah jalan pulang dari daerah Kemang ke Kelapa Dua Depok. Dari angkot aku harus menepi dulu di emperan sebuah warung makan untuk beteduh, tepat di seberang sebuah rumah ibadah Pure, jalan menuju perumahan Bukit Cengkeh.

Ohya. Aku sangat lemah mengidentifikasi nama-nama daerah, khususnya di Jakarta. Bayangin, Kelapa Dua Depok saja aku imajinasikan sebagai Jakarta. Padahal bukan. Secara demografi dan pemerintahan berbeda. Tapi entahlah, pikiranku masih saja tidak bisa kompromi bahwa Jakarta dan sekitarnya adalah Jakarta. That's it all!

Di depan mataku hujan gemerincing deras. Bulirannya seperti logam yang memencar di tengah jalanan aspal. Hujan makan sekitar 1 jam!

Ke Jakarta kali ini sebenarnya aku cuma sebentar: menyiapkan bahan-bahan untuk riset di lapangan. Setelah itu minggat lagi ke kota lain: Makassar. Nah, pengalaman kali ini luar biasa karena aku merasakan bajir meski cuma selutut. Tapi setidaknya seru! Pengalaman ini bersanding dengan pengalaman pertama kali aku ke Jakarta. Pertama kali sekitar tahun 2008 awal, saat masih di semester 4, di dekat Istana Presiden, di Jalan Veteran sana, yang hanya selemparan ludah dengan deretan kantor Jaksa Agung dan Istina.

Entah kenapa, kota Jakarta bagiku adalah kota imajiner, tempat semua bayangan dan halusinasi menyerangai. Jangan salahkan aku sebagai pengunjung kota ini bilamana ingatan tentang Jakarta adalah perihal ini: korupsi, banjir, macet, dan kriminalitas. Jangan salahkan pengunjung sebuah kota seperti aku ini, ya! Karena kota sejatinya akan bercerita secara jujur kepada pengunjungnya.

Sekarang aku sudah benar-benar merasakan tentang Jakarta. Terkena banjir adalah cita-citaku untuk merasai kota Jakarta. Sepertinya, tanpa dikena banjir belum merasakan Jakarta!

Hujan reda. Hanya gerimis tipis saja. Aku memanggil ojek untuk kembali ke kantor, di Bukit Cengkeh 2. "Tidak banjir kan, Pak, menuju Bukit Cengkeh Dua?" Aku coba meyakinkan si tukang Ojek. "Iya, tapi dikit."

Akhirnya tubuhku dibawa ojek motor. Jalan di depanku masih hanya dilapisi aliran air sedikit. Ojek melejit. Makin jauh makin air semakin tebal. Semakin tebal. Semakin tebal, dan tebal. "Yakin, Pak, tidak apa-apa?" "Ayok coba aje." Tak sampai 100 meter lagi, ojek mati. Gleg gleg gleg..... Mungkin mesin motor kebanyakan minum air. Motor mati. Jarak arahku masih tinggal separuh. Jarak dari Pure ke tempatku sekitar 2 km. Ehm... motor sudah tak tertolong. 

"Sudah, Pak. Aku jalan kaki saja ya. Sudah dekat, kok." Kukasi goceng. Dia tersenyum. "Oh maaf, Dik." Aku paham motor tidak bisa diandalkan. Aku memilih jalan kaki dan menebas luapan air dari kali di sepanjang jalan itu. Ternyata bukan cuma ojek kami yang mati, di sepanjang jalan itu banyak juga motor yang dituntun. Oh.... kaki dalam sepatu basah, celana selutut juga basah. Oh, hatiku basah juga. Ih!

Aku jalan kaki. Di depanku air riuh rendah. Sesekali air naik sepaha ketika ada mobil lewat di sampingku.

Terima kasih Jakarta, eh Depok maksudku,  aku sudah merasakan air banjir!

Sunday, December 09, 2012

Jogja dalam Bingkai Puisi

Di mata penyair Jogja adalah puisi yang tak henti-henti mengalirkan inspirasi. Begitulah kesan salah satu teman penyair yang berkunjung ke Yogyakarta untuk bertemu beberapa penyair dan penulis yang dikaguminya di kota gudeg ini. Dia di Jogja hanya dalam tempo yang singkat: satu minggu saja. Tapi dia sudah mengaku bahwa begitu banyak puisi yang minta lahir di kota ini.

Cerita teman di atas adalah salah satu testimoni yang menegaskan bahwa Jogja adalah kota yang telah menjadi impian para penyair untuk dikunjungi. Untuk sebagian orang, Jogja Ibarat kota Paris untuk mengabadikan kisah romatisme cinta atau seperti Vienna untuk menegaskan tentang kesempurnaan musik-musik klasik. Karena di kota ini begitu banyak sejarah kesenian dan momentum kesusastraan yang tersimpan, di mana para penyair besar pernah tinggal dan berproses, dan simbolisme Jogja yang selalu diabadikan dalam karya-karya sastra sepanjang masa. Sepertinya,  siapa pun belum merasa sempurna proses kepenyairannya sebelum menginjakkan kaki di kota yang dikenal sebagai kawah candradimuka ini.

Monday, December 03, 2012

Menulis Cerita sebagai Kesenangan

(Esai ini ditulis tempo hari sebagai pengantar sebuah kumpulan cerita pendek adik-adik saya di Pondok Pesantren Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep. Tapi saya tidak tahu wujud bukunya macam apa, karena sayangnya saya belum mendapatkan cetakannya :p)

Dalam salah satu novelnya yaitu The Black Book, yang kemudian menjadi penanda penting lahirnya postmodern style dalam karya-karya selanjutnya, Orhan Pamuk, peraih anugerah Nobel Sastra 2006 menulis begini:“[N]othing is as surprising as life. Except for writing. Except for writing. Yes, of course, except for writing, the only consolation.”

Pamuk sungguh jelas menempatkan dirinya sebagai penulis. Dari beberapa cita-cita yang diimpikannya—menjadi pelukis, penyair, jurnalis dan bahkan insinyur—Pamuk banting setir untuk menjadi penulis. Sejak usia 23 tahun dia sudah memilih jalan menjadi penulis novel. Bisa dipastikan bagaimana proses “berdarah-darah” yang telah dilalui Pamuk untuk menunjukkan totalitas dan keseriusan dalam menekuni bidang kepenulisan. Dia bahkan selama lima tahun lebih tidak keluar rumah, mendekam di kamar dengan perpustakaan pribadi keluarga dan sebuah ransel yang berisi buku-buku koleksi ayahnya, membaca dengan tekun, hingga novel pertamanya lahir setelah tujuh tahun kemudian.

Pamuk adalah seorang Pamuk, sosok penulis yang hidup di negeri yang berbeda: Turki. Meski begitu, bukan berarti dia tidak bisa disamai dalam hal spirit kepenulisannya. Kita bisa membaca jejaknya melalui karya-karyanya sendiri, ataupun dari ulasan-ulasan orang lain.

Nah, dalam tulisan singkat ini saya diminta memberikan kata pengantar untuk sebuah antologi cerpen yang, sepertinya, hanya untuk dokumentasi dan seru-seruan belaka (?), semacam menerbitkan karya sastra dalam bentuk antologi cerpen karena faktor periodik. Saya katakan “periodik” karena kecenderungan umum yang terjadi di Annuqayah khususnya di masa saya dulu, mungkin juga termasuk masa dua penulis dalam antologi cerpen saat ini: Ummul Khaier El-Syaf dan Nurul Alfiyah Kurniawati (?), yang sudah mau lulus dari jenjang pendidikan SMA di Annuqayah, biasanya menggebu-gebu untuk membukukan karya-karya mereka sepanjang berproses menulis di pesantren.

Semangat antologi karya (puisi, cerpen, dll) seperti itu dalam sisi dokumentasi tentu sangat bagus--sebagai bentuk sharing tulisan dan karya kepada teman-temannya yang lebih muda atau baru masuk ke pesantren. Bahwa kakak-kakaknya pernah berkarya dan membukannya. Namun di sisi lain, cara seperti itu cenderung tergesa-gesa atau bahkan prematur. Sebenarnya, yang paling penting dalam menulis adalah berlatih dan terus berlatih. Tak peduli seberapa capai, lelah, dan bahkan lapar! Itu prasyarat yang harus dilalui tentunya.

Tapi jangan takut dengan keprematuran sebuah karya. Karya prematur mencerminkan tahapan dan proses dalam menulis itu sendiri. Tak perlu takut salah atau tulisan jelek. Keberanian dan tekad kedua calon cerpenis ini adalah kabar baik. Tapi dengan syarat proses menulis terus berlanjut. Kuncinya ketekunan tadi, berlaku untuk profesi dan pekerjaan apapun, lebih-lebih dalam menulis. Jika kamu sudah menekuni dengan senang dan sabar profesi apapun yang kamu pilih, karya dan semua hasil pekerjaan yang kamu bikin akan memukau dan sangat hebat pada akhirnya.

Saya percaya anak muda semacam Ummul Khaier El-Syaf dan Nurul Alfiyah Kurniawati ini akan menjadi the next short stories writer di masa akan datang bilamana mereka mampu menekuni dengan sabar dan passion yang kuat. Karena dari beberapa cerpen yang saya baca, khususnya yang berjudul  Percakapan Sepasang Sahabat dan Aku Malang, Ibuku Melintang. Saya sangat suka cerpen yang pertama, yaitu Percakapan Sepasang Sahabat. Teknik bercerita Ummul dalam cerpen itu bisa dibilang segar dan enak, mengalir, dan mengejutkan. Ummul seperti lepas bercakap-cakap begitu saja secara langsung dengan menyembunyikan tokoh-tokoh yang sedang terlibat dalam dialog. Kemasan cerpen seperti itu menurut saya perlu diapresasi lebih. Sementara cerpen punya Ummul yang lain tampak biasa-biasa saja, tanpa ada keistimewaan yang mengejutkan.

Sementara itu, Nurul Alfiyah Kurniawati mempunyai kemampuan pelukisan latar dan penguasaan kosa kata yang lebih bagus dari Ummul. Misalnya dalam cerpen berjudul Untuk Satu Nama. Teknik yang dipakai Nurul harus benar-benar detail dengan membangun narasi dalam bentuk fragmen, sehingga pembaca bisa mengikuti alur yang hendak disampaikan. Cara-cara bercerita seperti ini memang cukup baik dicoba dan dikembangkan.

Bagi saya, Nurul punya imajinasi bagus dan benar-benar mempunyai sebuah kisah dalam cerpenya. Ia menuliskan kisah apa adanya dan mengalir enak dengan kemampuan pemilihan kata yang cukup baik, dan kadang dengan bahasa yang mencengangkan. Misalnya lihat paragraf berikut:

“Aku tidak bisa membenci keindahan kota ini, seburuk apapun kenangan yang diberikannya. Aku tetap membungkus hatiku untuk satu orang yang sama selama tiga tahun kurang sehari.Tak peduli harus setia menenggelamkan diri di tengah keramaian Bucherer demi mencari hiburan, melelehkan kesepianku seperti halnya salju dan lampu pijar yang melelehkan kesan angker area pemakaman Zhukov. Ataupun membusuk sekalian di tepi Reuss.”

Saya suka terutama dua cerpen Nurul berjudul Untuk Satu Nama dan Puteri Bulan. Teknik bercerita Nurul yang berani mencoba hal-hal baru--dan keluar dari kebiasaan anak-anak sejawat MA menulis cerita—sangat bagus dan perlu terus dilatih. Nurul sepertinya enjoy ingin bercerita tentang cara-cara lain, misalnya dalam kalimat-kalimat awal pembukaan cerpen Puteri Bulan.

Sekilas dari sedikit cerpen yang dikirimkan dan saya baca, saya bisa menangkap bahwa si Nurul ini sudah terbiasa dengan bacaan yang lebih luas daripada Ummul.  Dari cerita-cerita yang dibangun seperti latar, konflik dan simbol-simbol yang diangkat menunjukkan bahwa wawasan Nurul sudah terlihat beragam dan kaya. Dalam menulis cerpen memang harus seperti itu. Menjadi penulis (cerpen ataupun novel) harus mempunyai pengetahuan yang kaya, wawasan luas dan perspektif yang beragam. Itu tentu demi menumbuhkan dan membubuhkan imajinasi-imajinasi yang cantik dan ciamik dalam cerita.

Namun begitu, Nurul tampak lalai dalam tataran teknis EYD, gramatikal, dan pembentukan paragraf, sehingga terasa bertumpuk-tumpuk. Entah apakah karena tukang ketiknya saja yang salah, saya kurang tahu pasti. Tapi cerpen-cerpen Nurul secara wawasan sudah sangat luar biasa untuk sekelas siswa MA. Nurul tinggal memperbaiki secara teknis kepenulisan saja. Setelah itu, saya sarankan untuk coba kirimkan ke media-media massa.

Sementara Ummul secara teknis menulis sudah lebih oke. Ummul butuh pengkayaan dan penambahan wawasan yang kuat untuk memberikan warna yang luas dalam cerpen-cerpennya ke depan. Caranya tentu dengan banyak membaca karya-karya orang lain. Tujuannya untuk memperkaya gaya dan bisa mengembangkannya secara maksimal dengan rasanya sendiri kelak. Perlu diingat bahwa tema dalam sebuah cerita tidak akan pernah bagus kalau cara penyampaiannya, cara bercerita/berkisah, perspektif yang diambil dan karakter yang dibangun rapuh. Sebagus apapun tema yang akan kalian tulis, kalau bangunan dan wawasan berceritanya lemah, ya tetap lemah. Dan sebaliknya, sesederhana apapun tema yang kalian angkat, tapi dikemas dalam bungkus cerita/kisah yang unik, tentu akan menjadi istimewa.

Akhirnya, saya mau menyampaikan salam kreatif buat adik-adik santri di Annuqayah. Jangan pernah lelah berkarya dan berkreasi (tidak harus dengan tulisan, masih banyak karya-karya lain yang bisa dijelang) untuk masa depan kalian. Saya secara pribadi sangat senang adik-adik di pondok terus menulis dan berkarya.

Salam

Yogyakarta, 3 Desember 2012

Sunday, December 02, 2012

Memang "Cuma" Puntung Rokok

Masih ingat dengan semboyan "small is beautiful" kan? Pasti dong. Tinggal klik aja di Google kata kunci itu. Di situ akan tertera nama E. F. Schumache, ekonom Inggris asal Jerman. Di era "tab" ini semuanya bisa berada dalam gengaman--cepat melampaui kilat. 

Nah, saya nggak ingin membahas semboyan itu. Saya justru ingin mengatakan bahwa "small is dangerous"! Kenapa tidak? Ceritanya begini: hal-hal besar itu berasal dari hal-hal kecil. Sebelum menjadi "universe", semesta ini hanyalah gumpalan-gumpalan atom; sebelum menjadi manusia, tubuh ini cumalah belesatan sperma dan ovum; dan sebelum menjadi banjir, hanyalah sumbutan-sumbatan kecil pada aliran air, sanitasi, gorong-gorong, lalu sungai yang tersumbat oleh barang-barang kecil (yang kita anggap tak bermasalah) seperti selembar sampah plastik, puntung rokok, dan pembalut yang kemudian menumpuk dan menggunung. 

Then, the small things become the biggest one!

Ceritanya saya masih nge-kost. Sejak awal ada beberapa pertemuan dan kesepakatan untuk tidak membuang puntung rokok, bungkus saset sampo, bungkus sabun, dll dalam kamar mandi. Hampir setiap 3-4 bulan kost saya mengadakan obrolan bersama dan membahas hal-hal penting, dan bahkan tak jarang gotong royong bersih-bersih bareng. Itu keren pastinya. 

Tapi soal yang satu ini: puntung rokok dan sejenisnya di kamar mandi tak pernah beres! Setiap hari pasti ada. Oh shit! Manusia macam apatah kita ini?

Saya jadi ingat komentar teman di luar sana: "boleh saja kalian mau berak, pipis, mabok, narkoba, ngesex dan bahkan bunuh diri pun asal di kamar, di ruang pribadi dimana tidak mengganggu orang lain. SILAHKAN! Budaya kita sebaliknya: di kamar sendiri di-pel se-mengkilat mungkin dengan aroma parfum kelas dunia, dipoles dengan sedemikian indah sebagai "rumah surgaku", dan dirawat dengan ekstra supercantik, sementara di luar pintu, di halaman, di jalan raya, kita kerap lalai tentang kewajiban sebagai makhluk sosial. Oh.

*Catatan menjelang senja, sehabis boker!