Ziarah ke Museum of Innocence

Kemal menemukan kebahagian mencintai seorang Füsun dengan segenap warna dan misteri.

Saat itu ibuku menangis

Buat kakakku Hermanto Junaidi yang sedang damai bersemayam di bawah pohon ketapang, tempat aku selalu menjengukmu, saat pulang, atau saat pergi sekalipun.

Indeks Perdamaian Kota Itu Perlu

By measuring the state of peace, we can further our understanding of the social, political and economic factors that help develop more peaceful environments

Tentang Ingatan dan Ideologi

The struggle of man against power is the struggle of memory against forgetting” — Milan Kundera (The Book of Laughter and Forgetting).

A Journey: from Border to Border

Midyat is one of a must visited historical places in Mardin beside Old Mardin. Overall this city is cited as paths of the early civilizations named Mesopotamia or far before it—if we talked about Christianity and Jews history as well for its strategic location with rocky hill and plain near the Tigris River.

Sunday, April 21, 2013

Dan Ajal pun Tak Pernah Membunuh Visi

foto dari fb tasyriq
Guru dan sahabat saya, Tasyriq, izinkan saya bercerita tentang saat-saat pertama kali saya bertemu denganmu. Maaf kamu pasti tidak akan pernah tahu apa yang saya tulis ini (karena pada awalnya saya merasa tidak penting untuk diceritakan). Tapi setelah kepergianmu, di sebuah hari dimana bangsa ini tengah gegap-gempita merayakan hari bersejarah bernama Hari Kartini, dan di hari itu kamu pergi untuk selamanya, saya tak punya apa-apa lagi selain menuliskan sepenggal kisah yang saya ingat tentang kamu. Tak lebih dari itu. Daripada semuanya lenyap begitu saja dan dimakan angin lalu, lebih baik--sudah menjadi keyakinan saya sebagai penulis--saya menuliskannya demi melawan lupa!


Tuesday, April 16, 2013

Twitter (dan Dunia) yang Blingsatan

Sejak saya ikut bergaul dengan Twitter sekitar bulan Maret tahun 2010, pengalaman pertama saya tidak terlalu mengesankan. Saya mencoba ikut bikin akun Twitter karena pada waktu itu Obama berkampanye melalui akun jejaring sosial berlambang burung Larry itu. Pelan-pelan tapi pasti, saya menemukan arti Twitter ketika menyadari ihwal kecepatan informasi yang tumpah blingsatan begitu saja dari seantero dunia. Dari situ kemudian saya merasa ternyata Twitter menjadi salah satu satu media yang bisa dirujuk untuk menengok informasi yang berlarian itu. Bahkan akun ini sangat leading dalam hal updating berita terbaru berupa berita dadakan (breaking news) dan sebagainya.

Apresiasi Perdamaian Sipil

Versi cetak tulisan ini dimuat di Suara Merdeka, 16 Apri 2013

Dalam minggu-minggu ini, jika berkunjung ke wilayah DIY, terutama kota Yogyakarta Kabupaten Sleman, Anda menemukan suguhan menarik di ruang publik yang layak diperbincangkan lebih serius, yaitu kebertebaran spanduk di sejumlah ruas jalan utama ataupun hanya selebaran kecil yang disebarkan melalui kertas fotokopi seadanya. 

Nada pesan pada spanduk atau selebaran itu sama, yaitu rakyat Yogyakarta menolak premanisme. Penjabaran itu antara lain lewat kalimat, ’’Sejuta Preman Mati, Rakyat Jogja Tidak Rugi’’, ’’Anda Sopan Kami Hormat, Anda Preman Kami Sikat’’, dan agaknya ada pesan khusus untuk pelajar, ’’Ke Jogja Belajarlah yang Baik dan Jadilah Warga yang Baik. Jogja Nyaman Tanpa Preman’’.


Selain spanduk dan selebaran, di Yogyakarta banyak aksi yang secara khusus menolak segala bentuk kekerasan dan premanisme, baik yang dilakukan oleh kelompok pemuda maupun antaraliansi. Respons yang ditunjukkan warga Yogyakarta, jika bisa dikatakan demikian, adalah buntut dari kemerebakan kasus premanisme dalam satu tahun terakhir ini. Pemicunya adalah penganiayaan yang menewaskan anggota Kopassus Grup II Kandang Menjangan Kartasura Sukoharjo Serka Heru Santoso di Hugo’s Cafe Sleman pada Selasa (19/3). Insiden itu berlanjut pada eksekusi beraroma balas dendam terhadap 4 pelaku di LP Cebongan Sleman.


Mencermati respons masyarakat Yogyakarta terhadap premanisme, saya ingin kembali menelisik litani sejarah senada, yaitu operasi khusus yang dikenal sebagai penembakan misterius (petrus) tahun 1980-an yang bertujuan memberantas preman di Yogyakarta. Sejarah mencatat bahwa operasi itu konon dilancarkan oleh pemerintah, dan merembet ke beberapa kota di Jateng.


Yogyakarta menjadi salah satu daerah operasi pembunuhan banyak orang ’’tertuduh’’ preman, yang waktu itu kerap disebut gali (dari akronim gabungan anak liar) kelas kakap, tanpa melalui proses peradilan atau pembuktian semestinya. Terapi kejut berhasil menyiutkan nyali para gali, sekaligus menebar ancaman bagi warga.


Menarik mengutip penjelasan Muh Najib Azca, peneliti dari Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) UGM yang tersiar pada beberapa media massa dalam dua minggu terakhir. Ia mengatakan bahwa sejarah gali (preman) di Yogyakarta berawal dari massa satuan tugas (satgas) partai pada masa Orba, yang merekrut preman untuk kepentingan politik. Semisal Golkar pada masa lalu memiliki organisasi sayap Satgas Pasukan Khusus Cakra, PPP dengan Gerakan Pemuda Kakbah (GBK), dan PDI merekrut preman berbasis wilayah di Yogyakarta.


Dalam perkembangannya, premanisme di Yogyakarta berafiliasi dengan sejumlah kelas sosial yang bisa dikategorisasikan dalam beberapa kelompok menurut basis mereka; dari preman berbasis etnis, preman pasar, preman mahasiswa (biasa dilakoni mahasiswa drop out), hingga preman siswa/ pelajar. Basis dan kelompok mereka berjejaring satu sama lain menurut jenjang dan pengalaman masing-masing.


Di tengah fenomena pembiaran terhadap gejala patologi sosial berkelanjutan itu, bibit premanisme terus berkembang sejalan eksklusivitas kota. Akhirnya premanisme, ataupun gembong kekerasan lain, yang ’’dipelihara’’ oleh negara menjadi bom waktu yang hanya menunggu meledak atau diledakkan. Fakta di Jakarta pada akhir 2012 menjadi salah satu indikator bagaimana modus operandi premanisme sangat mengancam keamanan dan perdamaian warga Ibu Kota.


Respons warga Yogyakarta dengan membentangkan spanduk dan slogan mengecam premanisme adalah perspektif tindakan simbolik tentang perdamaian sipil. Perdamaian sipil dalam konteks Yogyakarta bisa dipahami sebagai proses peacemaking yang ditunjukkan secara persisten untuk mendialogkan tragedi kekerasan dan teror yang mengancam rasa aman mereka. 


Rakyat Yogyakarta ingin menjaga perdamaian sebagai bentuk self-defense terhadap aneka bentuk kekerasan. Kekerasan masif tersebut muncul sebagai tindakan di luar kultur mereka, di tengah kemelemahan dan ketidakhadiran negara dalam banyak kasus kekerasan di akar rumput.


Mediasi Terbuka


Sikap rakyat Yogyakarta yang ditunjukkan secara simbolik adalah sebentuk upaya awal yang coba mendekatkan diri pada proses dialog, mediasi, dan konsolidasi, terutama dalam internal masyarakat. Namun, slogan seperti itu, dan bahkan selebaran yang disampaikan langsung oleh Hamengku Buwono X, harus cepat-cepat dimediasi secara terbuka.


Artinya tak cukup hanya itu, tapi perlu menghadirkan kelompok-kelompok yang sedang dalam ketegangan dan perselisihan (dispute). Artinya, rakyat Yogyakarta dan pemda jangan hanya bersembunyi di balik slogan dan spanduk yang mengutuk dan menolak segala bentuk premanisme.


Sebagai sebuah inisiasi, saya sepakat dengan respons masyarakat Yogyakarta sejauh ini. Artinya, mereka menunjukkan diri sebagai pihak yang ingin menjaga dan mempromosikan perdamaian, baik untuk warga sendiri maupun pendatang. Bila langkah mereka hanya berhenti pada sebentuk slogan dan spanduk, saya khawatir tindakan ini tidak akan selesai. Publik akan menilai sebagai langkah tanggung, bahkan bisa menganggap sebagai ìprovokasiî yang lebih halus melalui media. Akibatnya, proses rekonsiliasi dan dialog asertif yang terbuka tidak pernah tercapai. Jika kekhawatiran terakhir ini yang mewujud maka akan melahirkan kecurigaan sosial dan prasangka yang menjurus pada segregasi dan pengkotak-kotakkan sosial.

Monday, April 15, 2013

Telaah Perjumpaan Islam-Kristen

Studi sejarah ihwal dua agama besar dunia (Islam-Kristen) selalu berada dalam pusaran magnet yang hebat. Ia ditulis untuk membongkar lipatan demi lipatan linimasa lalu yang sengaja tak dituliskan (atau belum dituliskan) demi kepentingan faksi yang ingin kerunyaman dengan memanfaatkan penulisan sejarah. Namun sejarah akan selalu ditulis untuk melengkapi serangkaian peristiwa yang bolong dan sekaligus, seperti diingatkan oleh Gustave Flaubert, agar kita terhindar dari umpatan-umpatan terhadap masa kita sendiri. Juga, umpatan-umpatan kebencian yang kerap mengiringi perjalanan dan interaksi antar pemeluk dua agama di atas.

Thursday, April 04, 2013

Suatu Waktu di Benteng Somba Opu

aku kembali menyaksikan
          sebuah irama
daun-daun kering
               yang diremas
dan batu-batu tua
yang ditinggalkan
menjadi tebing
          bagi para pendaki
          waktu
menghilangkan arah

di sini ada bau mesiu
pada aliran sungai
       kecemasan
tanpa hilir

                                                                                                        Sulsel, 2012/2013