Ziarah ke Museum of Innocence

Kemal menemukan kebahagian mencintai seorang Füsun dengan segenap warna dan misteri.

Saat itu ibuku menangis

Buat kakakku Hermanto Junaidi yang sedang damai bersemayam di bawah pohon ketapang, tempat aku selalu menjengukmu, saat pulang, atau saat pergi sekalipun.

Indeks Perdamaian Kota Itu Perlu

By measuring the state of peace, we can further our understanding of the social, political and economic factors that help develop more peaceful environments

Tentang Ingatan dan Ideologi

The struggle of man against power is the struggle of memory against forgetting” — Milan Kundera (The Book of Laughter and Forgetting).

A Journey: from Border to Border

Midyat is one of a must visited historical places in Mardin beside Old Mardin. Overall this city is cited as paths of the early civilizations named Mesopotamia or far before it—if we talked about Christianity and Jews history as well for its strategic location with rocky hill and plain near the Tigris River.

Wednesday, July 30, 2014

Aku Tidak Mengerti

---Duhai Mantan Jenderal
  
Di tengah kesenyapan merayakan hari raya idul fitri di Turki
Aku terngiang kembali ihwal pemilihan presiden di suatu negeri
Yang konon penuh etika dan nilai-nilai ketimuran: Indonesia

Sebenarnya, setelah 21 Juli 2014, pengumuman resmi pemilu
Aku sudah tidak ikut banyak berita tentangnya. Nyaris yakin
Bahwa rilis KPU apa adanya. Bisa dipertanggungjawabkan

Namun sayang, mereka yang kalah mengasah barisan sakit hati
Kebohongan dan fitnah terus berlanjut. Tak pernah ada jeda
Meski hanya untuk mengucap selamat hari raya idul fitri saja
Saya tidak mengerti, kenapa semua ini semakin menggurita
Mereka mencari legitimasi dengan cara apapun

Kedua kubu saling intrik, silahkan asal tidak di luar ring
Yang satu lebih santun dan terjaga, yang satu lagi
Berperangai seperti harimau kelaparan
Halalkan segala cara

Saudaraku, kalian sudah berlagak di luar akal sehat. Sungguh!
Kebohongan demi kebohongan terus diasuh bergemuruh riuh
Apakah sebegini kalutnya potret dunia perpolitikan kita?
Berita-berita dipalsukan. Photoshop, hacker, situs kamuflase
Terus bermunculan seperti mesin perang. Menyedihkan!

Duhai Mantan Jenderal
Masih ingat sebelum pengumuman resmi KPU?
Tuan menantang Jokowi menyatakan siap menerima kekalahan
Tapi giliran Tuan yang kalah, kata-kata jadi busuk di mulutmu!

Duhai Mantan Jenderal
Aku tidak suka cara Tuan bermain kepalsuan seperti ini
Nama baik Tuan yang dibangun sejak 5 tahun terakhir
Hancur oleh orang-orang di belakang Tuan
Mereka menjilat kiri kanan entah demi apa

Silahkan bukti tunjukkan, Tuan. Tak perlu belopotan lendir
Di mulutmu. Menggonggong seperti anjing kelaparan
Tapi banyak sekali yang bikin geli, karena di luar nalar
5 truk bukti kecurangan pemilu diesktrak menjadi sekian lembar
Dan sebagainya

Aku awalnya salut kepadamu, Duhai Mantan Jenderal
Tuan akan menjaga ketat pertarungan ini, di tanganmu sendiri
Tapi, keyakinanku ternyata rapuh dan salah seribu kali lipat
Tuan tidak bisa mengendalikan mulut Amien Rais
Tuan tidak bisa mengekang nafsu birahi orang-orang PKS
Tuan tidak bisa mengawal koalisi yang Tuan gawangi sendiri

Banmu kempes, Tuan
Jangan dipaksa berjalan
Sebelum rodamu benar-benar aus dan rumpang
Dan Gerindra akan hangus rubuh

Konya, 30 Juli 2014

Tari Sema (Whirling Dervish), Konya Part 1

Thursday, July 10, 2014

Neraka di Kepala Akutagawa


Judul:  Lukisan Neraka
Penulis:  Ryunosuke Akutagawa
Penerbit:  Kansha Publishing, 2013
Tebal:  200 halaman

Ryunosuke Akutagawa (1892-1927) adalah sosok yang kompleks, baik sebagai pribadi, gagasan, ataupun imajinasi-imajinasi liar yang tak-terhindarkan membubuhi karya-karyanya. Kompleksitas-diri tersebut, pengalaman hidupnya sendiri yang kemudian menggelandangnya dalam medan kreatif, telah mewarnai lanskap dan atmosfir proses kreatif dan risalah imajiner dalam prosa-prosanya yang sulit tergantikan, dan bahkan disebut-sebut menjadi tonggak cerita pendek (cerpen) Jepang modern.

"Asrul Yani"

(sebuah kenangan perjumpaan)

Ini malam terakhir untuk Asrul, seorang teman penerima beasiswa dari Pemerintah Turki namun memilih melepasnya setelah 6 bulan tinggal dan belajar bahasa (kelas persiapan) di Turki, teman satu angkatan dan sekaligus satu cohort dari Indonesia, teman tinggal satu kamar, teman diskusi yang hangat dan tak jarang sengit (bersama Mas Agung Chengho), teman berjiwa explorer, teman yang ringan tangan dan murah senyum, teman yang baik dan mengesankan….

Tuesday, July 01, 2014

Harga Waktu Malam Hari

Bulan puasa kali saya jalani di negeri orang, Turki, negeri yang mewarisi nama besar Ottoman dengan sebuah peradaban cemerlang dalam rentang abad 13 hingga awal akhir abad 19--sebuah imparator raksasa yang menjelang keruntuhannya diejek sebagai setumpuk "orang sakit dari Eropa". Iya saya menumpang hidup di situ, di negerinya Orhan Pamuk!

Ada satu hal yang cukup saya rasai di tengah kesendirian menikmati semburat cahaya sisa sore yang lamban, yaitu tentang malam, sebuah jeda waktu yang dalam banyak literatur sangat diistimewakan. Agama-agama memosisikan waktu malam hari sebagai sebuah keagungan, begitu juga bagi para pejalan ritual, tirakat, penyair, dan sebagainya. Malam menjadi misteri yang hanya bisa ditembus dengan kekuatan rasa dan moksa.

Kenangan Tentang Kota

(Suatu waktu di musim panas, sekitar awal bulan Juni 2013, sebelum saya mendapatkan kabar tentang diterima-tidaknya aplikasi beasiswa ke Turki, saya iseng menerjemahkan esai berikut dari versi bahasa Inggris yang ditulis oleh Orhan Pamuk (versi asli Bahasa Turki). Setelah tiba di Turki, merasai kultur dan mereguk sedikit pengalaman di tahun pertama, saya menemukan spirit esai Pamuk ini sebagai komplemen bagi dirinya yang berdiri tegak sebagai penulis yang independen--dalam artian membela nilai-nilai yang diyakininya di nyaris semua tulisannya. Saya temukan file ini terselip di folder dan langsung mengunggahnya di sini sebelum lenyap sama sekali.)