Ziarah ke Museum of Innocence

Kemal menemukan kebahagian mencintai seorang Füsun dengan segenap warna dan misteri.

Saat itu ibuku menangis

Buat kakakku Hermanto Junaidi yang sedang damai bersemayam di bawah pohon ketapang, tempat aku selalu menjengukmu, saat pulang, atau saat pergi sekalipun.

Indeks Perdamaian Kota Itu Perlu

By measuring the state of peace, we can further our understanding of the social, political and economic factors that help develop more peaceful environments

Tentang Ingatan dan Ideologi

The struggle of man against power is the struggle of memory against forgetting” — Milan Kundera (The Book of Laughter and Forgetting).

A Journey: from Border to Border

Midyat is one of a must visited historical places in Mardin beside Old Mardin. Overall this city is cited as paths of the early civilizations named Mesopotamia or far before it—if we talked about Christianity and Jews history as well for its strategic location with rocky hill and plain near the Tigris River.

Monday, October 10, 2016

Kepada Adikku: Semakin Jauh, Hatiku Semakin Dekat

Selamat Ulang Tahun, Adikku Izza

Di kebun bareng adik-adikku...
Di tengah waktu terus mempersiapkan yang terbaik buat akhir studiku, rinduku kepada ibu, kamu dan keluarga sangat menggebu. Sesegera mungkin, ingin sangat aku ada di samping kalian, mendengarkan cerita dan pengalaman hidup selama ini kita berjauhan. Dan kamu sudah tumbuh dewasa, menjadi mahasiswi dengan beasiswa di salah satu Perguruan Tinggi terbaik. Semua ini adalah buah doa ibu, para guru dan perjuanganmu.

Aku menulis surat ini di tengah-tengah jeda di antara tumpukan buku untuk tesisku, di ruang perpustakaan kampusku. Perpustakaan, nama yang selalu akrab di antara kita, bukan? Di antara kakak kita dan saudara-saudara kita di rumah, perpus adalah warisan abadi. Karena keluarga kita tumbuh dari orang-orang yang suka membaca.

Adikku, aku tergerak harus menyelesaikan surat ini saat aku mendapatkan sebuah kabar tentang kejuaraan yang kamu menangi. Bukan soal kamu juara satu, dapat uang, lalu diucapkan selamat dan gempita di sekitarmu, atau apa-apa. Bukan. Senang, iya. Itu pasti dialami aku sebagai kakakmu. Tapi jauh ke depan, semua itu—kebahagiaan dan kesusahan di tengah perjalanan panjangmu ini—hanya ibarat penanda dan “catatan kaki” bagi lorong hidup yang kamu tempuh. Di situ, kamu harus diam, berefleksi, mengambil pelajaran dan bersyukur. Di tengah perjalananmu ada proses, ketekukan, kerja keras, istiqamah dan kesehajaan.

Adikku, tak ada batas untuk kreativitas. Allah memberikan kita akal, pikiran dan hati adalah agar kita berkarya buat agama, keluarga dan orang-orang di sekitar kita. Kamu harus tetap semangat dan optimis. Aku ingin selalu melihatmu tersenyum tegar, tumbuh jadi perempuan yang mempunyai prinsip dan memperjuangkan prinsipmu itu. Kamu mempunyai kemampuan, adikku. Kamu bebas mengembangkan keinginan dan cita-citamu untuk masa depanmu. Nikmati semua prosesmu dengan menyenangkan dan bersyukur kepada Allah. Karena semua itu adalah titipan dariNya.

Adikku, bekal ilmu dan pengetahuan yang kamu punya dari pesantren dan para kiai, jangalah sampai hilang. Kemampuan baca kitab kuning dan bahasa Arab tidak boleh luntur meski kamu belajar di jurusan umum. Seperti pernah aku bilang, kamu akan semakin hebat dan spesial di mata dosenmu dan teman-temanmu ketika kamu mampu menghadirkan referensi (bacaan) dari khazanah peradaban Islam klasik (bocoran: sangat-sangat sedikit dari dosen-doesenmu yang paham sumber-sumber dari kitab klasik). Sumber dan khazanah ilmu pengetahuan dari masa Nabi, masa-masa kejayaan Islam—khususnya yang sesuai dengan jurusanmu, tentang falsafah negara dan kewarganegaraan—sejak Abbasiyah hingga Ottoman ditambah kemampuanmu mengkomparasikan dengan sumber-sumber kontemporer berbahasa Inggris dari Barat akan membuatmu semakin kuat dan bukan “tong kosong”. Aku kakakmu ini yakin kamu akan lebih hebat dariku dan kakak-kakakmu yang lain. Terus asah dan kembangkan kemampuan dan bakatmu. Juga, harus dipegang: tetap tawadhu’.

Bagi orang macam kita, tumbuh dari keluarga pas-pasan dan miskin secara materi, tidak boleh merasa rendah diri. Kita diajarkan untuk tidak mundur atas prinsip dan kebenaran. Kita punya hati yang kaya, pikiran yang luas, keyakinan yang berlimpah dan kasih sayang yang tak terbatas. Kita tumbuh dari keluarga seperti itu, adikku. Insya Allah kamu akan memahaminya pelan-pelan.

Aku memang terbatas melihat perkembanganmu. Kamu kecil, aku di pesantren. Kamu remaja, aku di Jogja kuliah. Dan sampai kini aku semakin berjarak jauh dari keluarga. Aku pula yang memulai bagaimana cara memahami dan mengukur batas antar negara dan benua. Ternyata, semakin aku jauh, hatiku semakin dekat. Kalian di hati selamanya.

Adikku, tetap semangat, tersenyum selalu dan rendah hati ya. Kami menyayangimu, selalu...



Sunday, September 11, 2016

Teks Sastra Hudan

(Mas Hudan, semoga engkau menemukan blog sudut kecil ini. Saya menuliskannya setelah kita sempat ketemu di Komunitas KUTUB, diskusi, nyracau, gila, dan asyik. Setelah itu kau meninggalkan satu buku berjudul Nabi Tanpa Wahyu, suatu himpunan esai yang telah membuat engkau menjadi buah bibir orang-orang, menjadi kontroversi. Saya bersyukur di kancah kesusastraan Indonesia mempunyai sosok yang ‘licin’ dan ‘blur’ sepertimu. Ini adalah awal bagi suatu proyek masa depan sastra yang sebenarnya [?])

Teks adalah segalanya dan di luar teks tidak ada apa-apa. Itulah ungkapan ekstrem yang sempat terlempar dari sosok cair Hudan Hidayat. Adagium ini pula yang telah menjadi polemik sengit sepanjang paruh tahun 2007. Labih lanjut Hudan menandaskan bahwa nilai apapun tidak dapat menghalangi kebebasan berekspresi. Rupanya, filosofi dan komitmen terhadap konstruksi sebuah teks telah menjadi jalan hidup Hudan dalam menapaki jalan panjang kesusastraan Indonesia. Hingga sekarang, terutama dalam esai-esainya, Hudan tetap meneriakkan pembebasan teks sastra dari klaim dan kepentingan parsial-artifisial-komunal yang telah ikut campur membatasi dan melumpuhkan perkembangan kesusastraan kita ke depan. Teks dalam karya sastra tak ubahnya sebuah ’wahyu’ yang menuntut multitafsir dan bergantung kepada siapa saja yang membacanya.

Setelah meredanya polemik sengit yang sempat “membakar jenggot“ banyak tokoh sastrawan senior terutama Taufiq Ismail, Hudan kembali datang dengan jurus dan ajian-ajian yang lebih sempurna ditatal dalam bentuk kitab. Ia kembali datang dengan setumpuk maskot, sebuah buku kumpulan esai berjudul Nabi Tanpa Wahyu, yang semakin melengkapkan ide-ide cemerlang Hudan yang tercecer. Buku esai ini makin mengokohkan Hudan sebagai sosok tegar yang terus menyiarkan kebebesan menulis dan menafsir teks karya sastra yang disinyalir sebagai teks wakyu itu.

Hadirnya seorang Hudan bagi pentas kesusastraan Indonesia merupakan anugerah yang luar biasa. Hudan datang setelah menjalani berbagai proses dalam kesenian yang ‘berdarah-darah’ dan menawarkan penemuan dari balik pengembaraan panjangnya itu. Hudan menyadari sebelumnya akan nasib kesusastraan kita yang sedang mengalami sakit komplikatif. Dari kondisi carut-marut itulah Hudan bangkit dan membidani dunia kesusastraan dengan intens sehingga melahirkan karya novel yang jauh berbeda dari para pendahulunya, yaitu Tuan dan Nona Kosong yang ditulis bersama Mariana Amiruddin. Novel ini hingga sekarang masih menjadi ‘terdakwa’. Di samping itu, kumpulan dua cerpennya juga ikut menyertainya Orang Sakit dan Lelaki Ikan dan memastika sosok Hudan bukan hanya sekedar menebar omong kosong, seperti banyak dituduhkan oleh para pengkritiknya.

Bagi Hudan, kesusastraan adalah upaya membuat lubang atau terowongan, upaya merekonstruksi dunia. Ia adalah jembatan yang menghubungkan manusia dengan Semesta, juga dengan dirinya sendiri. Terowongan ini membuat dunia semacam pecahan yang tak utuh lagi. Sia-sia menampitkannya. Sebab dalam terowongan itu hadir bermacam lambang dan nilai-nilai (hal 141).

Benar adanya jika sosok Hudan bukan hanya liar-frontal dalam karya-karyanya berupa cerpen, novel dan esai-esai saja. Tetapi keliaran atau “kegilaan”, seperti disebut Nurel Javissyarqi dalam epilognya (hal 197), telah benar-benar hadir dan melekat pada sosok keseharian Hudan. Ia hidup mewakili karya-karya yang dihasilkannya itu. Jika mau diucap: Hudan bukanlah manusia munafik yang bersembunyi di balik karya sebagaimana dilakukan oleh penulis lain. Dia memperjuangkan apa yang telah dituliskannya!

Hudan telah menunjukkan bahwa hidup-dirinya adalah hasil sublimasi dari pergulatan panjang yang menyertai dalam pencaharian proses kepenulisannya, begitu juga yang terlahir lewat karya-karyanya yang sempat mencengangkan publik, terutama ketika lahir novel Tuan dan Nona Kosong. Novel ini, seperti dituturkan Hudan, adalah hasil puncak-klimaks dari masa inkubasi yang mendera Hudan selama kurang lebih 15 tahun yang memaksa memacetkan proses kepenulisannya karena dirinya dituntut harus menjalani lebih serius lagi proses kreatif yang tak berujung demi menemukan nilai kehidupan yang selama ini disamarkan dan dipasung oleh sebagian kelompok dan kepentingan. Dan hal itu pun telah dibuktikan dengan penuh semangat oleh Hudan lewat pemberontakan esai-esainya.

Dalam hal penciptaan karya sastra, Hudan ingin menghasilkan ciptaan yang berfungsi sebagai kenangan (hal. 43), demi kesinambungan proyek kemanusiaan yang sehat dan damai, melalui konstruksi memori dan ingatan. Tentu saja kenangan seperti itu berguna bagi manusia untuk menyempurnakan hidupnya. Itulah yang mendasari usaha Hudan dalam menangkap dan menafsirkan wahyu yang tanpa nabi itu.

Lebih fantastik lagi, dengan usaha serius yang hingga kini konfrontatif, Hudan ingin menuliskan apa saja tentang kehidupan dengan apa adanya. Ia hanya ingin menuliskan seperti apa yang menjadi iman rekan seperjuangannya, M. Fadjroel Rahman, bahwa “kita adalah warga negara bumi manusia dan negara hanya batasan hukum belaka, bukan batasan imajinasi, kreasi…” (hal 17). Maka tidak ayal jika kemudian dari tangan Hudan lahir karya sastra yang tidak biasa dan diklaim banyak orang sebagai “karya syahwat” (tentu terutama oleh Taufik Ismail!).

Kenyataan hidup demikian bagi sebagian orang dinilai sebagai tabu, jelek, dan cacat sehingga tak kurang dari Ayu Utami dan Djenar Maesa Ayu—yang paling lihai mengeksplorasi bidang ini—mendapat serangan pedas dari masyarakat luas. Padahal, menuliskan cacat kehidupan adalah menghormati hidup itu sendiri (hal 69). Penalaran ini diakui memang aneh. Tetapi itulah karya sastra, karya yang bermain di ranah metafor dengan piranti bahasa dan simbol sebagai perangkat urgen yang memungkinkan munculnya ambivalensi, multitafsir, dan ambiguitas. Sementara penciptanya (sastrawan) maupun pembacanya (publik) berhak menjadi seorang “nabi” yang bebas menafsirkannya.

Sekarang yang perlu dihadirkan dalam pembacaan karya sastra adalah bagaimana ia dikembalikan kepada hakikat awalnya sebagai sebuah demensi penciptaan yang terbangun di atas papan humanisme. Manusia dan kemanusiaanya menjadi keniscayaan dalam karya sastra, dan perjalanan riwayat kesusastraan itu sendiri. Karya sastra tidak boleh dibawa kepada hal-hal kecil dan ekstrim seperti dilalukan oleh sebagian kelompok. Di sini kita harus berusaha bagaimana sastra dikembalikan kepada konteks kemanusiaan yang universal itu.

Dari itu, Hudan akan selalu hadir menyertai setiap buku yang ada di tengah pembaca. Karena adagium “penulis mati ketika karyanya terbit ke publik” tidak berlaku bagi Hudan. Ia, seperti yang diteriakkannya sendiri, akan mengiringi karya-karya yang telah dilahirkannya. Karena karya, seperti mengutip perkataan Pram, adalah anak yang harus diasuh dan dijaga kesehatannya. Komitmen ini dilakukan Hudan selama 3 tahun dengan berkeliling hampir seantero Indonesia dengan membawa kumpulan cerpen terbitan awal ke tengah pembaca, terutama mahasiswa dan komunitas sastra.

Lebih jauh, buku ini akan menyajikan perspektif yang lebih luas tentang sastra yang diperjuangkan Hudan, terutama sejak setelah masa inkubasinya sekitar tahun 2002. Dalam konteks inilah kita perlu membaca tuntas perihal sosok Hudan dan karya-karyanya demi menghindari truth claim (klaim pembenaran) yang lahir dari tindakan parsial terhadap sebuah teks sastra. Karena bagaimapun, teks sastra adalah serupa wahyu yang tak selesai-selesai ditafsir bersama denyut kehidupan kemanusiaan kita sebagai penerus kenabian.

(Komunitas KUTUB, 2008)

Friday, August 12, 2016

Dicari Kejujuran Seorang Penulis

Harıan Analisa, Kamis, 19 Mei 2016
Oleh: Anthony Limtan
[Foto Harian Analisa]
Pekan lalu, media sosial maupun kumunitas penulis Harian Analisa  di facebook ‘ramai’ memperbincangkan seorang penulis yang berstatus mahasiswa melakukan plagiat dalam beberapa tulisannya, termasuk di rubrik Opini. 

Penulis berinisial HKH, bisa dikatakan pemula dan rajin mengirimkan berbagai buah pikirannya, soal politik, ekonomi dan masalah sosial lainnya. Dan namanya juga sering mencuat di berbagai media terbitan lokal.

Namun, seperti pepatah mengatakan, sepandai-pandainya tupai melompat, akan jatuh juga. Seperti itulah nasib HKH yang namanya sempat mencuat di jajaran kaum intelek kampus dalam menyuguhkan buah pikirannya, kini berakhir dengan  sumpah serapah.

Kejadian seperti ini bukan hal baru lagi yang terjadi di bidang akademis maupun non akademis. Dalam dunia akademis, penjiplakan karya tulis, seperti makalah dan skripsi sudah jamak dilakukan. Kurangnya kesadaran etika dalam mengutip suatu pendapat, sebagian atau seluruhnya menyebabkan terjadinya plagiarisme di kalangan mahasiswa.

Ketika seorang plagiat diklarifikasi redaksi soal keaslian tulisannya, masih saja bisa berdalih dengan mengatakan bahwa dia hanya mengutipnya dari tulisan tertentu. Tapi, jelasnya sering  terjadi mengambil hampir seluruh tulisan milik orang lain dan tanpa menyebut sumbernya.

Di Harian Analisa, redaksi mengoleksi sejumlah nama yang telah dibubuhi tinta hitam. Itu artinya, kejadian ini bukan hal baru yang muncul ke permukaan. Seperti pernah diberitakan dalam media, mereka yang pernah melakukan plagiat bukan hanya mahasiswa tapi juga sudah merambah ke berbagai profesi disiplin ilmu, khususnya dunia akademik, seperti dosen, dekan, maupun orang yang memiliki gelar terhormat Doktor.

Informasi Teknologi

Pemicunya adalah internet. Perkembangan informasi teknologi yang progresif semakin memudahkan seseorang untuk melakukan pembajakan dan tindakan plagiarisme. Hanya dengan melakukan copy paste tulisan orang lain, ubah judul, ubah sedikit kalimat dalam paragraf, jadilah itu tulisan miliknya.  

Mudah sekali bukan ? Tapi berkat perkembangan teknologi yang dapat menelusuri originalitas sebuah tulisan, dan ribuan bahkan jutaan masyarakat pembaca sebagai juri, hal ini seharusnya membuat para plagiat berpikir ulang melakukan perbuatan tercela itu.

Berbagai masukan disampaikan pembaca ke redaksi, ada yang mengatakan, Analisa kecolongan sampai membiarkan seorang plagiat berkarya. Masukan yang lain, mengatakan, sebaiknya tulisan yang akan dimuat diuji dulu melalui sebuah website yang dapat memeriksa keaslian sebuah tulisan.

Kami sampaikan terima kasih atas semua masukan yang diberikan, tujuannya untuk mencegah terjadinya plagiarisme. Namun, kami sampaikan, bukan kami tidak tegas dalam hal plagiarisme bila tidak melakukan pengecekan kembali untuk setiap tulisan yang akan dimuat. Terlalu banyak hal yang lebih penting yang dapat kami kerjakan di meja redaksi daripada harus mencek satu persatu persatu keaslian sebuah tulisan. Ibarat belanja di super market, pengelola membiarkan pembeli mengambil sendiri  produk yang diinginkan tanpa harus dikuntit, diawasi agar tidak terjadi pencurian.

Namun bila konsumen kedapatan mencuri, tentu hukuman moralnya jauh lebih berat daripada sekadar mendapat sanksi fisik. 

Demikian juga plagiarisme. Bila selama ini nama seseorang itu begitu dikagumi karena buah pikiran yang dituangkan dalam tulisan begitu menarik perhatian. Namun ternyata tulisan itu adalah hasil plagiat, saya kira hukuman blacklist bagi penulis itu adalah hal biasa. Namun hal yang mampu meruntuhkan martabat seseorang itu justru hukuman sosial dari komunitas penulis, pembaca, lingkungan akademik. Kata orang, sanksinya biasalah itu, tapi malunya ini mau letak dimana?

Kesempatan seluas-luasnya yang diberikan Analisa untuk penulis pemula untuk menuangkan buah pikirnya, menjadi kado intimewa. Manfaatkanlah kesempatan ini dengan sebaik-baiknya. Bukan karena Harian ini kekurangan narasumber sehingga peluang ini diberikan juga kepada mahasiswa.Bukan!

Bisa saja Analisa membuat seleksi ketat seperti koran ternama nasional terbitan Jakarta hanya memberikan kesempatan pada para pakar berbagai disiplin ilmu, semisal dosen, praktisi hukum, pelaku bisnis dan berbabai strata profesi. Namun, terus terang, bila kebijakan ini kami terapkan, penulis pemula atau juga identik dengan mahasiswa akan kehilangan kesempatan belajar menjadi penulis handal.

Harian Analisa berkomitmen memberikan kesempatan itu bagi pemula tanpa mengedepankan status sosial yang dimiliki. Siapapun boleh berpendapat selagi apa yang dituliskan itu bermanfaat bagi banyak orang. Tentu redaksi memiliki kriteria tulisan yang diinginkan, semisal yang lagi hangat dibicarakan (up date).

Namun terlepas dari semua itu, hal yang paling penting adalah kejujuran diri seorang penulis. Kejujuran merupakan dasar untuk menegakkan kebenaran, termasuk menegakkan dan membangun kebenaran ilmiah.

Suatu kejujuran yang hakiki hanya diketahui secara pasti oleh dirinya sendiri, sedangkan orang lain hanya bisa mengetahui ekpresi dari kejujuran itu. Saya yakin, di antara kita pasti ada yang pernah melalukan plagiat, tapi karena takut akan Tuhan, masyarakat pembaca, hati nurani, maka perbuatan tercela itu tidak berlanjut.

Redaksi Analisa memberikan sanksi atas perbuatan plagiarisme, berupa mem-blacklist nama tersebut. Oleh karenanya, para penulis mari berani jujur pada diri sendiri. Jika karya Anda yang selama ini dikagumi pembaca namun pada akhirnya terkuak bahwasanya semua itu adalah palsu, tentu kekaguman itu akhirnya berbuah sumpah serapah.

Jika demikian, masihkah Anda mau melakukan plagiarisme?***


Menyingkap Plagiasi Tulisan di Koran

Harıan Analisa, Kamis, 19 Mei 2016
Oleh: Junaidi Khab

Pada tanggal 8 Mei 2016 bagi dunia literasi mungkin harus menjadi cambukan kembali atas kasus plagiasi oleh salah seorang penulis. Sebenarnya, hal ini bukan isu aktual. Kasus plagiasi sudah pernah terjadi jauh hari sebelumnya. Misalkan di koran nasional Kompas oleh salah satu dosen Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta pada 2014. 

Namun, dengan bijak dosen UGM tersebut mengakui dan melakukan pengunduran dari status dosen UGM, karena hal itu mencoreng almamater. Kasus ini mungkin tidak menjadi jeweran bagi penulis lain. Sehingga, masih tetap ada penulis yang melakukan hal serupa di media massa.

Kejadian plagiasi kini terulang kembali di koran Harian Analisa Medan. Penulis dengan inisial HKH diklaim melakukan plagiasi tulisan milik Bernando J. Sujibto dengan judul “Perkara Prosa di Turki” dengan judul yang tak jauh berbeda. Bernando merupakan penulis asal Sumenep yang sedang menempuh pendidikan pascasarjana di Selcuk University, Konya Turki. Sementara HKH merupakan mahasiswa Universitas Sumatera Utara (USU) yang katanya ia mahasiswa sastra. Namun, tulisan yang dimuat di Harian Analisa pada Minggu, 8 Mei 2016 di dalamnya mengandung unsur plagiasi.
[Dari Situs Analisa]

Tulisan Bernando ini kali pertama tayang di media online kawakan basabasi.co Yogyakarta, pada 17 Maret 2016. Kemudian diposting secara pribadi di www.turkishspirits.org. Husnul dengan telaten menambal dan mengukir kalimat-kalimat asli dari tulisan Bernando. Judulnya cuma diganti satu kata, “Perkara” diubah menjadi “Masalah” dengan mengurai beberapa paragraf sebagai bumbu. Memang sedap dan enak untuk dinikmati oleh para pembaca. Namun, sebenarnya itu makanan milik orang lain yang diolah, lalu dimakan oleh publik tanpa mendapat ijin dari pemiliknya. Secara kaidah hukum Islam, publik telah menikmati hasil racikan hidangan otak yang haram.

Melihat kasus semacam ini memang sangat memalukan. Seseorang yang (dianggap) sudah dipercaya oleh media ternyata melakukan plagiasi. Terlebih menggunakan status perguruan tinggi yang tentunya bisa mencoreng almamaternya. Memang, ini kita akui sebagai kejahatan intelektual yang sulit dijangkau hukum negara. Tak ada undang-udang yang melindungi suatu karya tulis dengan sempurna, hanya setengah-setengah perlindungannya. Padahal, plagiasi merupakan kejahatan intelektual, yang secara tidak langsung membunuh peradaban yang telah kita bangun dengan baik melalui ilmu pengetahuan.

Namun, keuntungan masih berpihak pada HKH dengan mengikuti permintaan dari Bernando agar mengakui dan meminta maaf kepada publik. Hal itu dilakukan oleh HKH di dinding akun facebook Bernando dengan berterusterang bahwa ia telah melakukan plagiasi atas tulisan Bernando di basabasi.co. 
[Tulisan di Basabasi.co]

Dengan tangan terbuka, Bernando pun memberikan maaf dengan memberi peringatan kepada publik agar pelaku plagiasi yang meminta maaf jangan sampai dijauhi, tapi Bernando meminta agar menjauhi virus plagiasinya saja agar tidak menjangkit penulis-penulis yang lain. Sungguh mulia. Namun, entah pemberian maaf dari Harian Analisa, basabasi.co, universitas tempat HKH menempuh studi, dan pihak terkait lainnya. Hal itu ada dalam kebijakannya masing-masing untuk menyikapi kasus ini.

Bukan Salah Media

Melihat kasus plagiasi tulisan yang terbit di media (koran) dan lainnya, dalam hal ini masih ada dua pandangan. Pertama, publik mungkin akan memandang bahwa pihak yang bersalah itu penulis yang melakukan plagiasi. Kedua, pihak media yang telah ceroboh menerbitkan suatu tulisan tanpa melihat aspek-aspek tulisannya. Namun, publik tentunya sudah tahu dan cerdas untuk membedakan mana yang salah dan mana yang benar. Terlebih untuk menyalahkan publik memang sangat cerdas.

Dalam hal ini, saya menegaskan bahwa media (koran) yang memuat tulisan dari hasil plagiasi tidak serta-merta bisa disalahkan. Hal itu dengan alasan bahwa setiap media yang berupa koran atau lainnya sebelumnya tentu memberi ketentuan tentang tulisan yang boleh dikirim untuk dimuat. 

Salah satunya yang perlu diperhatikan yaitu tulisan harus asli, bukan hasil jiplakan atau plagiasi. Jika suatu hari ada tulisan yang dimuat, dan tulisan itu merupakan dari hasil plagiasi, pihak media tentu memiliki kebijakan tersendiri sebagai aturan yang ditentukan secara internal.

Mengingat kejadian kasus plagiasi tulisan yang masih terjadi di republik ini, media harus melakukan penyaringan secara ketat untuk menerbitkan suatu karya yang dikirim oleh publik. Memang, usaha ini sangat sulit dan tidak mungkin dilakukan karena pihak redaktur tentunya tidak hanya menerima satu atau dua tulisan di dapur redaksi. Ada banyak tulisan yang harus dipilah dan dipilih untuk menjadi konsumsi publik. 
[Tulisan Plagiat versi Harian Analisa]
Namun, jika ada usaha yang dilakukan oleh redaktur media, kemungkinan besar kasus plagiasi di negeri ini sedikit-banyak bisa dikendalikan dengan segera memberikan peringatan dan sanksi kepada pelaku plagiasi. Usaha ini bukan serta-merta untuk mematikan kreatifitas para penulis yang melakukan plagiasi, tapi sebagai pelajaran kita semua.

Maka dari itu, menjadi seorang penulis harus benar-benar profesional dengan menggunakan daya kreatifitas sebaik dan semaksimal mungkin. Melakukan plagiasi hanya akan menanam benih-benih kejahatan dan malu kepada publik. 

Selain itu, juga bisa membunuh secara mental jika plagiasi yang dilakukan diketahui publik. Ia bisa merasa terkucilkan dari lingkungannya. Mari, jadi penulis yang benar-benar kreatif dengan menuliskan ide-gagasan inspiratif yang ada di otak kita! ***

Penulis adalah Akademisi, lulusan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Ampel Surabaya. Alumnus #Kampus Fiksi DIVA Press 2016


Saturday, April 09, 2016

Tujuh Cerita di Taman Tulip

Pesona Tulip di Alladdin Tepesi, Konya
/1/
Kita tengah memburu aroma keindahan, handai
taman bunga yang tumbuh di tanah redam badai
kenangan lusuh dan kecemasan yang mengintai 
di pundak kita merayap, menyusun sunyi sendiri
tapi lupa aku bagaimana cara tersenyum, handai
di tengah pesona yang kau bawa dari seberang
di tengah aroma yang dipanjat dari tebing Toros
di tengah gelak tawa yang dititipkan di saku celana
para pengungsi
di tengah taman tulip...

/2/
Ke tengah-tengah taman kita datang dengan segala warna
masing-masing, dari lorong rahasia bernama masa lalu
ia yang disembunyikan selalu bercerita lebih jujur, bukan?
pengap sengketa dan kehendak-kehendak yang runtuh
menikmati buah takdir pada setiap ruas warna
hitam legam atau putih bercahaya, kuning atau merah
tetapi di langit, kenapa warna tak pernah berubah? 
Bisik seseorang yang sekali-kali menatap langit

/3/
Di mata seorang pemuda perang terus berkobar
kuncup tulip adalah selongsong peluru yang menembus
dada sanak saudaranya. Ia merapal doa dan sungging naas
pada wajahnya yang menatap tanah kelahiran di selatan
suriah, nama kenangan keindahan yang teramat getas
jadi taman air mata dan darah. Ia tidak pernah lupa
lambaian ayahnya mengiringi mereka pergi mengungsi

/4/
Di mata seorang kakek warna-warni tulip adalah sekantong doa
tersimpan di sudut jiwanya. Dia mamanjatkannya untuk langit
siapa tahu langit menampung warna pelangi dari lapisan tulip
anak-cucunya terbang menjadi bidadari dan tak pernah mendengar
cerita-cerita maha luka dan pekik tangis kepala dihantam timah
di langit tumbuh tulip yang akarnya dibasuh hujan pagi hari

/5/
Di mata seorang gadis aroma tulip adalah sisa kecupan pacarnya
parfum pada kerah bajunya selalu ia ingat sebagai riwayat terakhir
untuk sebuah pengkhianatan, sebelum ia diperkosa demi bukti cinta
demi lelaki bertubuh singa sebelum ia pergi menyisakan gempita
di celah celana dalamnya

/6/
Di mata lelaki tambun tulip adalah luka
setumpuk puja-puji demi menjaga kemegahan
di atas jerit tangis. “Jangan pernah tersenyum
di balik kecantikan bunga ini. Di tanah Anatolia
aku melihat ribuan rakyat kelaparan saat tulip
tumbuh dan ditanam di tubuh kami. Ini kebesaran
bagi orang-orang tuli dan buta!” Ia lalu menjauh
meninggalkanku

/7/
Di mataku, mata yang kupinjam dari keramaian,
tulip adalah maha pesona, privilege tanpa batas
menghimpitku dalam aroma nyeri yang tragis!


Turki, 2014-2015

Catatan:
The Tulip Period (Tulip Era) atau: Lâle Devri (July 1718-September 1730) adalah periode penting dalam sejarah Ottoman, di mana tulip menjadi simbol bagi kepongahan para pembesar Ottoman!


Wednesday, March 23, 2016

Di Balik Turkish Spirits

It's never too late to start over! Ya, kalimat ini yang terngiang di kepala waktu saya terpikir untuk star-up media berbasis online yang kelak kami kasi nama Turkish Spirits (TS). Sebenarnya saya tidak ingin ada huruf ‘s’ pada kata spirit, tapi karena ditolak Google oleh sebab sudah ada akun serupa, akhirnya dengan rela hati menerima nama Turkish Spirits dengan ‘s’.

Nama Turkish Spirit jelas penuh risiko, dan saya siap menjelaskannya. Misalnya, orang-orang yang detail tahu Turki dan jenis minuman khususnya, mendengar nama ini akan langsung mengarah kepada minuman arak tradisional khas Turki sendiri, yaitu rakı. Tagline rakı  memang Turkish spirit. Coba saja googling, entri pertama di google yang muncul dijamin rakı.

Tapi, bagi mereka yang jauh lebih detail tahu Turki—daripada sekedar menikmati hal-ihwal artifisalnya—saya yakin implikasi nama ini akan memuncratkan makna yang kompleks dan saya rasa semakin komprehensif. Karena Turkish Spirit sendiri adalah judul dari sebuah proyek besar novel yang tak selesai, dan naskah ini terus diperbincangkan hingga detik ini.

Nama Turkish Spirit saya ambil dari judul novel yang tak selesai tadi—penulisnya meninggal duluan sebelum merampungkannya. Novel itu ditulis oleh novelis besar Turki Oğuz Atay dengan judul Türkiye'nin Ruhu. Nah, berangkat dari ide dan proyek besar yang tak selesai itu, saya berpikir untuk sekedar memberikan warna—atau lebih tepatnya mengapresiasi judul itu—ke dalam media penerbitan website ini.

Di sela-sela lelah mengerjakan tesis, saya kemudian memulai situs ini yang awalnya dari blogspot, mengontak teman-teman dekat terlebih dadulu: Hari Pebriantok, Abdul Ghaffar dan Labib Syauqi (mereka semua pelajar dan juga alumni Turki). Lalu saya menghubungi Naelil Maghfiroh (Izmir) dan Durrotul Mas’udah (Kocaeli) untuk saya minta pandangan, masukan dan partisipasi mereka untuk media yang diniatkan untuk media penerbitan kolektif pelajar-pelajar Indonesia di Turki.

Seiring waktu, karena ternyata TS banyak diminati dan interaksi/korespondensi cukup padat, saya berpikir serius untuk membicarakan penerbitan online ini ke depan. Kemudian saya hubungi Roida Hasna Afrilita (Canakkale), Naufal Ubaidillah (Izmir), Kaharuddin Ali (Konya), Didit Haryadi (Istanbul) dan Azahra Nurhabiba (Zonguldak) dan Hadza Min Fadhli R (Eskisehir).

Kenapa harus star-up TS? Secara umum, saya tergerak untuk mewujudkan TS ini karena alasan-alasan berikut:
  • Setelah mendapati banyak foto dan berita hoax tentang Turki baik yang dimuat di media sosial atau di media-media online;
  • Sebagai pelajar ilmu sosial, saya berpikir bahwa kepekaan observasi terhadap fenomena sosial secara umum, rangsangan untuk mencermati dan kemudian sampai pada proyeksi penelitian adalah jalan tunggal ilmuwan sosial. Jadi awalnya saya ingin menyediakan wadah bersama berupa penerbitan online di mana teman-teman pelajar dari jurusan ilmu-ilmu sosial (khususnya dari S1) bisa menulis asyik dengan topik khas dan unik (hasil observasi mereka). Apalagi Turki adalah laboratorium yang superkaya, khususnya bagi pelajar yang mendalami isu konflik dan kekerasan;
  • Melihat banyak karya tulis berbasis blog dari pelajar-pelajar Indonesia di Turki yang bermanfaat dan perlu disatukan yang nanti diharapkan menjadi pusat dokumentasi dan informasi sekaligus tentang Turki;
  • Sebagai proyeksi media bagi para pelajar yang akan menerjemahkan karya Turki ke Indonesia atau sebaliknya.
Tagline TS
“Melenturkan yang kaku, menghadirkan Turki lebih seru.”

Apa Tujuan TS
Karena yang dikenal Indonesia tentang Turki sejauh ini rata-rata isu seputar ‘politik, agama, kekerasab/konflik dan baru-baru mulai hadir film/drama’, TS ingin melengkapi dan menghadirkan Turki lebih lengkap: mengkaver hal-hal yang unik, seru, out of the box dan tentu bermanfaat. Tentu anti hoax! Jadi, distorsi tentang Turki harus menjadi perhatian kita. Nah, TS ada di ranah itu. 

Secara gamblang, TS ingin:  
  • Menampung karya tulis para pelajar Indonesia di Turki;
  • Berbagi informasi/berita hal-ihwal Turki (budaya, studi, ekonomi) dengan menerjemahkan portal berita dari Turki;
  • Menerjemahkan karya-karya penulis Turki yang tak mainstream tapi perlu (misalnya puisi dan cerita-cerita pendek);  
  • Menyebarkan semua tulisan hal ihwal Turki yang positif dan kontributif.

Salam,


Bernando J. Sujibto

Wednesday, February 03, 2016

Betapa Dahsyatnya PPI Turki

.....sebuah cerita kerinduan

Di PPI Turki saya adalah orang luar, serupa seorang eksil. Kalimat wujuduhu ka adamihi mungkin sangat tepat untuk menggambarkan di mana posisi saya di organisasi untuk pelajar terbesar ini. Namun demikian, saya punya cerita tentang dahsyatnya PPI Turki.

Tepat di hari-hari kampanye calon ketua PPI Turki 2014, yang saat itu muncul dua calon (yaitu Arya Sandhiyuda dan satunya lagi Aditya Sasongko), sekitar akhir tahun 2013—hanya beberapa bulan saya tinggal di Turki—saya membuat sebuah pernyataan “menggelikan” bagi sebagian dan mungkin membahagiakan bagi sebagian yang lain.

“Arya, satu suara untukmu,” tulis saya di dinding Facebook grup PPI Turki.

Sebagian teman banyak mempertanyakan pernyataan di atas. Tak banyak neko-neko. Saya hanya ingin memastikan sejauh mana organisasi “mahasiswa di luar negeri ini” memosisikan diri di tengah dinamika intelektual dan diskursus kritis. Sejak awal saya tahu identitas Arya dari mana; saya juga sudah kenyang dengan pengalaman organisasi (pengkaderan dan perebutan massa) mahasiswa ala Indonesia. Apakah organisasi “mahasiswa di luar negeri” ini juga ikut cawe-cawe dengan urusan begini, atau ia mampu berdiri sebagai organisasi mini Indonesia?

Dan sekitar beberapa minggu setelah Arya terpilih jadi ketua PPI Turki, saya dihubungi oleh Arya melalui message Facebook agar bersedia terlibat dalam kepengurusannya. Tapi saya menolak dengan alasan ada banyak teman-teman lain yang butuh belajar dan terlibat dalam organisasi PPI.

Saya mungkin hanya seorang yang sentimentil, mengingat bahwa lembaga serupa ini pernah menjadi lokus untuk memperdebatkan kemerdekaan kita menjadi INDONESIA. Mohammad Hatta mendirikan Indonesisch Vereniging (Perhimpoenan Indonesia), sebuah organisasi yang menjadi cikal bakal Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia yang didirikan Raden Tumenggung Djaksodipoera tahun 1926 di Belanda. Mereka sengit membicarakan ruh kemerdekaan demi menjadi Indonesia dengan ribuan pulau dan bangsa-bangsa itu.

Betapa dahsyatnya PPI Turki hari ini. Cikal-bakal pengkaderan yang dikomandoi oleh Arya, ketua PPI yang saya pilih itu, bermula—di mana PPI Turki menjadi media perebutan massa (yang pada akhirnya) merebahkan diri dan penuh aroma politik. Karena Arya adalah seorang kader politik militan PKS.

Betapa dahsyatnya PPI Turki hari ini. Ada seorang teman seangkatan saya (sama-sama mendapatkan beasiswa YTB) bernama Fauzi Ahmad, salah satu didikan terbaik Arya dan teman-temannya. Menurut statuta dan skema beasiswa YTB, angkatan saya yang studi master hanya berdurasi 3 tahun (1 tahun belajar bahasa Turki dan 2 tahun studi formal). Tetapi Fauzi berani mencalonkan diri sebagai ketua PPI Turki dengan masa jabatan 1 tahun ke depan. Dan kasus ini membuat saya terperangah. Betapa dahsyatnya PPI Turki hari ini. Karena yang saya tahu penerima beasiswa Turki atau pelajar di Turki tujuan pertama adalah belajar (menyelesaikan studi) sebaik mungkin. Tetapi, Saudara Fauzi mempunyai semangat berbeda. Betapa dahsyatnya PPI Turki hari ini!

Misalnya, kalau Saudara Fauzi beasiswanya diputus oleh YTB (karena sudah lewat masa studi), berarti dia harus menanggung sendiri semua biaya baik di kampus ataupun living cost. Dalam konteks ini, saya sungguh salut, betapa hebatnya pengabdian Fauzi kepada PPI Turki (jika nanti terpilih). Atau dia sudah ditugaskan secara khusus oleh majelis internal kelompoknya? Allah bilir…

Di samping Saudara Fauzi, dua calon yang lain adalah Herry Cahyadi dan Azwir Nazar. Dua calon ini masih punya waktu panjang untuk studi di Turki.

Herry datang jauh-jauh dari Istanbul ke Konya untuk kampanye. Sebuah usaha yang luar biasa. Tetapi sayangnya, yang katanya sok sibuk, Herry datang ke Konya dari İstanbul tanpa sempat ziarah ke makam Rumi. Sebuah pengalaman yang istimewa dan unik di telinga saya. Ini menjadi pengalaman pertama yang saya dengar dari seorang pelajar Indonesia dan muslim. Saya tidak tahu apa alasannya. Apakah kebesaran nama dan kealiman seorang Rumi dan ayahnya—yang dijuluki sebagai sulthanul ulama dan sekaligus menjadi qadi kesultanan Saljuk Anatolia—itu tidak cukup mengetuk hati para generasi muda Muslim seperti kita hari ini?

Untuk Azwir, mohon maaf kita belum berjodoh jumpa di Konya….