Ziarah ke Museum of Innocence

Kemal menemukan kebahagian mencintai seorang Füsun dengan segenap warna dan misteri.

Saat itu ibuku menangis

Buat kakakku Hermanto Junaidi yang sedang damai bersemayam di bawah pohon ketapang, tempat aku selalu menjengukmu, saat pulang, atau saat pergi sekalipun.

Indeks Perdamaian Kota Itu Perlu

By measuring the state of peace, we can further our understanding of the social, political and economic factors that help develop more peaceful environments

Tentang Ingatan dan Ideologi

The struggle of man against power is the struggle of memory against forgetting” — Milan Kundera (The Book of Laughter and Forgetting).

A Journey: from Border to Border

Midyat is one of a must visited historical places in Mardin beside Old Mardin. Overall this city is cited as paths of the early civilizations named Mesopotamia or far before it—if we talked about Christianity and Jews history as well for its strategic location with rocky hill and plain near the Tigris River.

Wednesday, June 02, 2010

Kisah Sepatu Kita #1

1

"Andre, apa yang bisa mempertemukan kita setelah dari tanah asing ini?"
"Bukankah kita bisa saling berkunjung? Kamu di Madura dan saya di Salatiga."
"Bukan itu maksudku."
"Lalu?"
"Aku ingin kita punya momentum ingatan, dan syukur jika itu bisa menjadi mimpi kita bedua."

Andre diam. Ia seperti tidak ingin melanjutkan obrolan di malam itu. Bulu matanya seperti sebuah pintu yang minta segera dikatupkan. Seperti juga mataku. Kantuk semakin mengeratkan jendela kamar apartemen. Mengunci suara-suara burung aneh yang berseleweran di luar kamar. Malam itu benar-benar senyap. Hanya bunyi kereta barang yang ketika jam dinding mematok angka 12 bagai serdadu perang.

"Kau sudah benar-benar mau tidur, Andre?"

Suaraku tidak digubris. Aku coba menatapnya dengan sisa tenagaku yang seharian kuperas untuk menikmati kota yang baru satu bulan lebih kutinggali. "Oh, sleep tight, bro!"

Kubiarkan tubuhku telentang pada sebuah ranjang seukuran dua tubuh orang dewasa. Ranjang kami hanya dipisahkan oleh meja kecil seperti lemari kotak tempat kami menaruh barang-barang penting untuk keperluan kampus, tentu dokumen-dokumen imigrasi yang harus kami jaga. Berseprei putih dengan dua bantal dan satu guling. Kamar ini selalu menjadi peraduan yang tak ada duanya ketika kami lelah karena aktivitas seharian yang tak kepalang. Tak jarang kami terlelap sebelum sempat mengobrol satu patah kata pun--tentang pengalaman hari ini atau tentang apapun yang mungkin menurut kami bisa diceritakan.

Posisi tidur kami aneh, begitu komentar si Rima, teman dari Indonesia yang sudah satu tahun studi di kampus yang baru kami kunjungin untuk short course. Setiap datang ke kamar untuk sekedar mengobrol atau bawa masakan Indonesia, Rima selalu bilang kenapa tidak tidur dengan arah yang sama. Aku tidak terlalu mengubrisnya meski terkadang ingin sekali tanya kenapa Andre selalu tidur dengan membelakangi jendela. Suatu ketika aku pernah bilang "coba tidur menghadap jendela mumpung bulan mau tenggelam" tapi Andre yang hanya diam seribu bahasa. Andre biasa tidur dengan membelakangi jendela (berarti ia menatap lemari kamar besar yang berisi koper dan tas kami, yang otomatis juga menatap pintu keluar). Sementara aku lebih suka menatap jendela, tepat di atas lemari kecil.

Meski rasa kantuk sudah menyerang sedari tadi, aku belum bisa memejamkan mata malam itu. Mataku semakin liar menjelajahi sela-sela reranting dan dedaunan pohon oak di luar kamar yang diterangi sinar bulan malam itu. Sinar bulan tanggal 19 hijriah masih cukup kuat untuk menerangi celah-celah pohon. Mataku tengah membayangkan ada seekor burung tertidur di salah satu rantingnya. Lalu aku dan teman-temanku mengendap-endap membawa senter dengan cahaya terang yang cukup untuk menyilaukan mata seekor burung. Cahaya itu lalu ditembakkan di matanya, dan aku dengan pelan memanjat pohon itu. Selama aku tidak menimbulkan gerak, burung itu pasti akan tertangkap. Itu sudah aku buktikan waktu aku masih kanak-kanak di kampung.

Tapi apakah aku akan melakukan itu sekarang? Apakah di pohon ini ada burung tidur? Atau jangan-jangan burung mempunyai apartemen seperti tempatku sekarang? Ah... pikiranku benar-benar meracau.

Aku langsung beranjak dari tempat tidur dan mengambil balpen di atas meja kecil. Tak bantal yang sedari tadi sudah aku siapkan menyanggah kepala turut kubawa serta menuju ruang belajar di sebelah kamar tidurku. Di ruangan ini aku biasa menghabiskan waktu kesendirianku, baik ketika aku belajar, membaca, dan menulis ataupun ketika tidak bisa tidur. Ruangan ini rapi dengan sofa dan meja kaca yang cantik dan mengkilap. Ini cocok untuk ruang tamu sebenarnya. Tapi karena jarang ada tamu yang masuk ke apartemen kami, ruangan ini kami setting menjadi ruang belajar di mana buku dan laptop dibiarkan tergeletak di sana. Namun begitu, tak jarang aku terlelap di sana di atas sofa ketika kamar tidur tidak mampu meninabobokan mata dan pikiranku.

Kali ini aku inigin mencari kantukku di sana sembari membuka sebuah buku novel yang versi bahasa Indonesianya sudah pernah kubaca: The Old Man and The Sea, karya Ernest Hemingway, sebuah novel hadiah dari conversation partner-ku yang kebetulan sangat menyukai karya-karya sastra dunia. Tonis merasa sangat beruntung karena bertemu denganku yang sama-sama penyuka karya-karya sastra. Dia bahkan minta karya-karya prosais Indonesia yang rekommended. Saya tidak segan menyebutkan nama seperti Pramoedya Ananta Toer dan Umar Kayam. Tonis sudah pernah membaca sedikit informasi tentang Pram, tapi novel-novelnya belum pernah dia baca. Aku sudah menunjukkan beberapa novel Pram seperti tetralogi Pulau Buru yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Dia begitu antusias untuk membeli empat novel berkelas itu.

Dua hari setelah mengobrol tentang buku Pram, Tonis tiba-tiba mengeluarkan novel Child of All Nations dari tas gendongnya. "Aku beli dari e-bay."

Aku hanya melongo. "Yeah, fantastik!" Tak ada lagi kata yang bisa kusodorkan untuk memberikan apresiasi kepada Tonis.
"Aku juga ingin beli punya Umar Kayam yang kamu maksud. Tapi belum aku temukan di Amozon."
Aku kembali melongo. "Saya bantu carikan, ya."
"Wow, terima kasih banyak, Eson."

"Sama-sama."

Mataku berkedip berat. Semakin berat. Wajah Tonis pelan-pelan menghilang dari ingatanku. Stiker bertuliskan Columbia University yang menempel pada laptopku perlahan mengawang bagai fatamorgana; mengombak dan semakin menjauh, sebelum semuanya benar-benar hitam dalam lipatan mataku.


***

Manhattan memang bukan sekedar kota biasa bagiku. Di sini semua menjadi serba mungkin. Ia seperti seperangkat kotak mimpi di mana aku bisa menikmati semua ketidakmungkinan menjadi mungkin. Aku mendapati hal-hal baru di luar pengalamanku. Orang-orang bisa begitu mudah menenteng botol alkohol dan menenggaknya sepanjang jalan mereka mau; mereka dengan mudah berciuman seperti sedang memulai sebuah percintaan menuju ranjang di malam hari. Begtiu panas. Dan yang membuatku selalu waspada adalah ancaman kriminal yang kapan saja bisa menghukumku.

Aku sadar, begitu juga Andre, untuk menghindari area-area rawan kriminal. Kami tidak ingin terlibat atau mendengar sedetik pun letusan pistol yang legal di sini.

Iya. Aku seorang anak kampung yang hidup dengan duniaku sendiri. Tapi di sini aku dipertaruhkan untuk sebisa mungkin belajar kepada pengalaman mereka.

Hari ini aku sendiri. Andre sedang bersama teman-temannya ke gereja. Aku memilih memunuhi sebuah undangan hang out bersama teman-teman baru dari Eropa yang se- program denganku. Untuk hari Minggu ini aku tidak ikut Andre ke gereja. Aku sudah pamit ingin ikut jalan-jalan bersama teman-teman baru. Kurasa sudah cukup selama tiga bulan kemarin aku tidak pernah absen bersama Andre ikut ke gereja. Meskipun aku tidak paham ritual yang mereka jalankan di gereja, aku hanya percaya bahwa Tuhan ada di mana-mana dan aku bisa berdoa di mana pun. Di kota asing ini aku belajar melawan ketakutanku sendiri.

Sejak awal datang ke kota ini kita masing-masing sudah berkomitmen untuk saling membantu dan menyelamatkan. Karena kami di sini hanya berdua sebagai mahasiswa pertukaran. Mereka di luar sana adalah asing bagi kami. Kami sadar untuk saling menjaga diri kami masing-masing--sukses hingga program selesai selama satu semester ini.

Pengalaman bersama Andre adalah pelajaran yang sangat berharga bagiku. Agama tidak lagi menjadi sekat kami. Kami boleh berbeda keyakinan tapi jiwa kemanusiaan kami harus tetap saling dijaga, demi saling menyelamatkan. Aku juga sadar betapa baiknya Andre ketika dia bersedia menemaniku shalat Jum'at di sebuah masjid di tengah kota. Dia menawarkan diri agar bisa menemaniku ibadah di hari Jumat di minggu pertama aku sampai di Manhattan. Meski tidak masuk masjid, kesediaannya menemaniku ibadah sudah luar biasa. Dia Katolik taat yang mengerti agama sebagai ritual yang imbang antara kemanusiaan dan ketuhanan.

"Kring... kring.... kring...."

Bel kamar apartemen berdering. Tanpa pikir panjang aku segera membukakan pintu. Ternyata betul, mereka datang tepat waktu, seperti janji kami sebelumnya: pukul 3 pm.

"Hey man, bring your camera," sergap Susan ketika melihatku hanya dengan tangan kosong.
"Ohya, pasti dong. Mau masuk dulu?" pangkasku singkat.
"Tidak. Teman-teman sudah siap di bawah. Andre mana?"
"Okay. Beres. By the way, it's Sunday, Susan. Church time!" 

Susan hanya melongo polos. Begitu juga si Thomas. Hanya senyum datar yang terpintal dari muka mereka. Tanpa banyak basa-basi, kami langsung menuju halaman apartemen.

Setelah masuk ke dalam mobil, Susan memperkenalkan dua teman barunya. Michael dan Kelly. Mereka bertiga adalah pemuda asli Manhattan, sepantaranku. Di jok belakang ada Stovak dari Rumania dan Muller dari Jerman. Mereka berdua sudah aku kenal. Mereka satu program bersama Susan, perempuan sintal dari Itali. Sementara dengan Thomas aku sudah kenal di kantin kampus saat makan bareng Susan.

"Dimana Andre?" tanya Stovak.
"Bareng teman-temannya ke gereja."
"Oh anak alim..."
"I think so."
"Ah kamu juga, Son."
"Itu bagian dari hidupku."
"Don't talk about it anymore!" Susan menyergap kami.

Kami hanya diam sebentar lalu tertawa lebar. Aku menikmati tawa mereka yang lepas dan menikmati juga ketika mereka tidak suka dengan segala urusan ibadah, seperti yang aku dan Andre lakukan.

"Kita mau kemana?"
"It's weekend, Eson. Time to hang out."

Susan benar-benar seperti seorang bos yang sudah mengatur semua rencana. Aku hanya mengangguk dan siap mengikuti arah perjalanan mereka.

Aku berada di jok belakang bersama Stovak dan Muller. Dengan suara kecil aku melanjutkan obrolan bersama mereka di tengah suara musik R&B yang mendominasi. Kami kadang lelah sendiri untuk mengobrol di tengah situasi seperti itu. Aku memilih menabur pandang menikmati suasana baru yang belum ketemui di sepanjang jalan yang kami lewati. Aku masih tidak tahu kemana tujuan kami.

"Sebenarnya kita mau kemana?" tanyaku seraya berbisik di telinga Muller.
"Saya tidak mengerti mau kemana ini." Muller lalu menggeleng.
"Ah, sudah. Ini weekend yang pasti bakal seru," Stovak ikut menenangkan pikiranku.

Aku masih tak habis pikir kenapa mereka berdua juga tidak tahu kemana akan hang-out. Saya curiga ini semua adalah skenario mereka bersama. Tapi aku percaya kepada Susan, Muller dan Stovak. Mereka adalah teman baik yang hangat dan akrab selama ini.

Sekitar 40 menit perjalanan, akhirnya mobil kami menepi dan mau parkir. Secara awas aku perhatikan sekeliling melalui kaca mobil yang terbuka. Aku tidak menemukan tempat istimewa untuk hang-out di sekitar. Kami pun keluar mobil. Susan sibuk mengeluarkan bungkusan plastik. Ada sekitar lima bungkus plastik bersama kami.

"Let's go!" suara Susan begitu nyaring terdengar di telinga kami.

Aku dan Muller membuntut dari belakang mengikuti langkah gontai mereka. Oh, di bawah sana ternyata ada taman luas dan orang-orang sedang ramai menikmati sore di musim panas. Ternyata tempat ini yang menjadi pilihan Susan untuk menghabiskan akhir pekan. Susan langsung mengeluarkan semacam piringan karet dari tasnya.

"Let's play Frisbee," ujar Susan
"Saya belum pernah main," akuku jujur kepada mereka.
"Jangan khawatir. Saya akan ajari," timpal Thomas.

Kami pun bermain Frisbee. Ternyata permainan ini tidak terlalu sulit bagiku dan aku pun langsung dengan baik bisa melempar dan menangkap piringan Frisbee. Kami membentuk lingkaran luas dengan tujuh orang.

Matahari sudah mulai tenggelam dan cahaya lampu taman menggantikan cahaya matahari. Kami sudah berhenti main Frisbee. Sebagian dari kami ada yang jogging ringan seperti kebanyakan orang-orang di taman ini. Aku, Muller dan Stovak hanya rebahan di atas rumput sambil menikmati air mancur buatan di sebelah kiri yang dibangun seperti sebuah bukit kecil. Taman Columbus ini sangat cocok untuk tempat jogging dan bermain di akhir pekan bagi masyarakat kota Manhattan. Mereka bisa menikmati akhir pekan dengan murah dan sehat. Sebelum matahari benar-benar tenggelam, kami langsung mengambil tempat duduk. Susan mengeluarkan cola dan fast food: pizza dan kentang. Kami makan malam bersama-sama.

Perlahan mereka yang sedari tadi bermain di taman mulai berkumpul dan duduk-duduk santai di halaman yang sangat luas. Ada yang tiduran dengan alas seprai yang mereka bawa, ada pula yang membawa tempat duduk lipat dari kain yang mereka pasang di tengah taman. Di sore yang mulai remang itu, suasana seantero taman berubah menjadi semacam kafe-kafe kecil dengan hidangan masing-masing. Tanpa kusadari dari arah kananku ada sebuah panggung yang baru saja mereka pasang, panggung kecil dari lapak kayu dengan kain putih yang menutupi latarnya.

"Ada acara apa malam ini?" aku tanya kepada teman-temanku yang tengah menikmati kola.
"Nonton film bareng," jelas Thomas.
"Nonton bareng di taman begini?"
"Iya. Bagi yang suka silahkan. Saat musim panas begini kegiatan seperti ini pasti ada."
"Kita mau nonton?"
"Jelas dong!" timpal Susan.

Aku menatap wajah mereka sekilas. Mereka sepertinya sudah merencanakan nonton banreng di taman ini. Aku pun lalu mengangguk sembari pamit ke toilet. 

Cara pamit ke toilet seperti ini sudah menjadi senjataku untuk menyempatkan diri shalat Maghrib. Aku tahu di kota ini tidak mudah mencari tempat ibadah. Masjid ada tapi itu pun jarang dan jaraknya cukup jauh. Menghadapi situasi seperti ini aku tidak hilang akal untuk selalu menyiapkan segala perlengkapan ibadah di bodybag: sejadah kecil, sarung dan peci. Meski tidak pasti aku pakai, tiga barang tersebut akan selalu ada di tasku. Aku khawatir bila celanaku kena najis dan sarung bisa menyelematkan ibadahku, begitu juga sejadah akan sangat bermanfaat bagiku bila harus melaksanakan shalat di tepian taman seperti ini. 

Pengalaman seperti ini bukan hanya sekali dua kali aku lakukan selama di kota Manhattan. Aku sudah tidak ketar-ketir lagi dengan lirikan mata sinis mereka atau pertanyaan-pertanyaan yang mereka melontarkan sehabis aku selesai shalat. Pernah suatu waktu aku shalat di pojokan ruang baca perpustakaan di kampusku. Mereka pada awalnya memang banyak tanya dan penasaran mengapa aku hingga sebegitunya melaksanakan ibadah. Namun pelan-pelan mereka mengerti tentang kewajiban yang sudah jadi kepercayaan bagiku, juga umat agama lain. Menghadapi kenyataan seperti itu aku merasa punya kewajiban untuk memberikan pemahaman tentang Islam kepada mereka agar perkenalan mereka tentang Islam yang hanya lewat media tidak lagi menjadi dasar klaim atas apa yang belum dipelajari secara tekun dan benar. Mendengarkan cerita-cerita seperti itu, banyak teman-temanku mulai beranjak paham dan berpikiran terbuka. Aku sangat senang bila penjelasanku bisa mengantarkan pemahaman Islam yang lebih terbuka dan aspek-aspek sosial dalam agama tidak lagi terhalangi oleh praktik-praktik kekerasan yang mencoreng nama agama Islam.

Selesai shalat, aku pun kembali bersama mereka. Aku tidak terkejut lagi jika di hadapan kami ada botol bir seperti yang kulihat saat itu. Dan pemandangan di taman itu pun menjadi berubah saat temaram seperti itu. Pasangan muda mudi mulai sibuk dengan aktivitas mereka masing-masing. Aku tidak terkejut lagi menyaksikan mereka bebas berciuman sepuasnya. Suasana taman terasa menjadi liar dan panas di saat senja seperti itu.