Ziarah ke Museum of Innocence

Kemal menemukan kebahagian mencintai seorang Füsun dengan segenap warna dan misteri.

Saat itu ibuku menangis

Buat kakakku Hermanto Junaidi yang sedang damai bersemayam di bawah pohon ketapang, tempat aku selalu menjengukmu, saat pulang, atau saat pergi sekalipun.

Indeks Perdamaian Kota Itu Perlu

By measuring the state of peace, we can further our understanding of the social, political and economic factors that help develop more peaceful environments

Tentang Ingatan dan Ideologi

The struggle of man against power is the struggle of memory against forgetting” — Milan Kundera (The Book of Laughter and Forgetting).

A Journey: from Border to Border

Midyat is one of a must visited historical places in Mardin beside Old Mardin. Overall this city is cited as paths of the early civilizations named Mesopotamia or far before it—if we talked about Christianity and Jews history as well for its strategic location with rocky hill and plain near the Tigris River.

Monday, June 29, 2015

Kemenangan Kelompok Minoritas di Turki

Versi cetak dari tulisan ini dimuat di Majalah GATRA, edisi 1 Juli 2015

Pemilihan Umum Turki 7 Juni 2015 silam menyajikan hasil mencengangkan dan sekaligus akan menjadi turning point bagi masa depan demokrasi di Turki sendiri. Pasalnya, partai politik yang didukung oleh mayoritas suku Kurdi (dan tidak pernah mendapatkan tempat di parlemen sepanjang sejarah Republik Turki) akhirnya meraih tiket duduk di DPR dalam periode empat tahun ke depan. Partai HDP (Halkların Demokratik Partisi/ Peoples' Democratic Party), partai berhaluan sosialisme demokratik dan anti-kapitalis terkuat di Turki, telah melampaui persyaratan Seçim Barajı (Parliamentary Threshold) dengan mendapatkan 13 % suara nasioanl. Turki adalah satu-satunya negara demokrasi yang mematok Seçim Barajı dengan minimal 10% suara pemilu nasional.

Data terakhir hitung cepat yang dilakukan media-media lokal telah membeberkan perolehan suara dan kursi di parlemen: AKP (Partai Pembangunan dan Keadilan) 258 kursi (40.86%), CHP (Partai Rakyat Republik) 132 kursi (24.96%), MHP (Partai Gerakan Nasionalis) 80 kursi (16.29%), dan HDP (13.12%) dengan 80 kursi. Perolehan suara HDP tidak lepas dari partisipasi pemilih luar negeri yang signifikan. Selain merebut suara mayoritas di daerah Turki timur dan tenggara, sebagai basis suku Kurdi, HDP mengantongi suara berlimpah dari warga Turki di luar negeri. Seperti dilaporkan, perolehan suara dari luar negeri tercatat: AKP 49.30%, HDP 21.03%, CHP 17.02% dan MHP 9.15%. Perebutan kursi di parlemen Türkiye Büyük Millet Meclisi yang berjumlah 550 sudah final dengan kehadiran kandidat baru yang akan meramaikan proses demokrasi di Turki.

Sejak awal berkiprah di ranah politik nasional, sepak terjang HDP mengundang memang decak kagum kelompok-kelompok minortas. Sejak pemilihan presiden Turki yang dihelat secara langsung 10 Agustus 2014 silam, Selahattin Demirtaş sebagai ketua partai dan sekaligus calon presiden hadir di pentas politik nasional dengan penuh simpatik dan kharismatik. Namun begitu, dia harus rela berada di posisi ketiga dengan perolehan suara 9.76%, tertinggal jauh dari Presiden Turki Recep Tayyip Erdoğan yang meraup suara 51.79%. Sementara tren dukungan positif yang ditunjukkan oleh pemilih dikelola dengan sangat cerdik oleh HDP sebagai bekal menghadapi Pemilu yang sebenarnya ini.

HDP didirikan tahun 2012 oleh kelompok sayap kiri yang bertekad menembus Seçim Barajı di parlemen Turki, sekaligus sebagai satu-satunya corong pro-Kurdi di panggung politik, setelah partai-partai sebelumnya seperti BDP  (Peace and Democracy Party) atau BDP (Democratic Regions Party) gagal menarik simpati. Partai ini dibentuk dengan kematangan ideologi dan strategi politik yang nyaris tanpa celah. Jika ditilik ke dalam sistem internal partai, sudah sangat jelas dipersiapkan bagaimana nilai-nilai demokrasi, partisipasi dan kesetaraan yang menjadi jualannya tercermin sangat jelas. HDP adalah satu-satunya parpol di Turki yang memakai sistem kepemimpinan co-presidential dengan dua ketua yang terwakili secara gender: Demirtaş dan Figen Yüksekdağ. Di samping itu, calon anggota DPR yang maju dari partai ini pun sangat beragam dalam aspek latar belakang dan kelas sosial.

Diskriminasi Minoritas

Meskipun suara mayoritas milik AKP, kehadiran HDP di parlemen akan mewarnai proses politik di parlemen. Kebijakan pluralis dan multikultiralis yang diusung HDP menjustifikasi geliat kelompok-kelompok di minoritas di Turki. Sebagai parpol pro-Kurdi, yang sekaligus dapat ditandai sebagai simbol gerakan minoritas, suara disumbang penuh oleh Kurdi diaspora, kelompok-kelompok minoritas seperti pemeluk Yahudi, Kristen dan LGBT ataupun kelompok left-wing yang ingin melihat keterwakilan mereka di di parlemen Turki. Keberhasilan HDP adalah kemenangan kelompok minoritas. Perjuangan suku Kurdi di Turki khususnya setelah Era Republik menjadi simbol penting gerakan minortas yang tak pernah padam.

Ahli Kurdi terkemuka Martin van Bruinessen, antropolog dan profesor di Utrecht University, telah menyajikan serangkaian hasil penelitian penting selama puluhan tahun untuk melihat secara komprehensif gerakan suku Kurdi baik di Turki, Iran ataupun Irak. Bersama intelektual lokal Turki seperti Ismail Beşikçi dan Kemal Burkay, Bruinessen adalah ahli Kurdi terdepan yang menerabas isu maha tabu tersebut sejak akhir 60-an. Identitas Kurdi digencet rapat selama puluhan Tahun. Bahasa, pakaian, cerita-cerita rakyat, nama-nama dan simbol-simbol lokal dilarang oleh pemerintah Turki (Bruinessen,1984). Dalam perjalanan ke daerah Turki tenggara seperti Diyarbakir, Mardin dan Batman musim panas tahun kemarin, saya bertemu dengan masyarakat Kurdi yang tidak bisa berbahasa Turki. Meksipun daerah-daerah tersebut sudah dibangun secara pesat di bawah pemerintahan AKP, fakta ini tidak bisa dinafikan bahwa diskriminasi selama puluhan tahun telah menyiksa mereka.

Tidak hanya secara kultur mereka diredam, aspirasi di ranah politik pun dijegal. Batas Parliamentary Threshold setinggi 10% secara tersurat untuk mengekang suara-suara minoritas seperti Kurdi. Di tengah tekanan yang bertubi-tubi, justru semangat kemerdekaan Kurdistan semakain benderang. Tidak mendapatkan kebebasan di Turki, mereka menjadi diaspora di Inggris dan negara-negara Eropa lainnya. Di sana energi perlawanan terus dipupuk. Ditambah oleh kepentingan negara-negara tetangga yang tidak suka Turki semakin kuat telah ikut andil mendukung penuh gerakan-gerakan Kurdi di luar negeri.

Bagaimana pun, kehadiran HDP di pentas politik akan memperkuat proses demokrasi yang plural dan mewakili kelompok-kelompok minoritas di Turki. Partai yang berafiliasi kuat dengan gerakan sosialis transnasional seperti Syriza di Yunani dan Podemos di Spanyol ini akan mengawal era baru politik Turki dengan ideologi politik minoritas.

Kebangkitan left-wing?

Menariknya, keberhasilan HDP di Turki bisa dilihat juga dalam konstelasi politik sayap kiri transnasional yang semakin bergeliat khususnya di Eropa setelah mengalami kemunduran ekonomi akibat resisi tahun 2010. Di Eropa, khususnya negara-negara Mediteranea, potensi kebangkitan politk buruh, kelompok minoritas dan kaum sosialis mulai terbaca setidaknya dalam lima tahun terakhir. Dalam dua tahun terakhir milsanya kita menyaksikan tren positif kebangkitan partai Syriza di Yunani. Terbukti pada Januari 2015 silam partai yang mendukung penuh massa turun ke jalan melawan penghematan pemerintah merebut 149 dari 300 kursi parlemen dan mendaulat ketua umum partai Alexis Tsipras menjadi PM Yunani. Tak berselang lama, pada pemilu regional akhir bulan Mei kemarin di Spanyol, muncul kebangkitan baru politik sayap kiri Podemos.

Uniknya, ketiga partai politik yang beroperasi di tiga negara berbeda ini mempunyai afiliasi ideologis yang kuat. Syriza yang mulai hadir sebagai sentral kekuatan baru dalam politik sayap kiri di Eropa menjadi barometer dan pengayom benih-benih ideologis dari partai politik yang menyebar di beberapa negara termasuk Turki. Bahkan Iglesias melalui akun Twitter-nya @Pablo_Iglesias_ menyampaikan ucapan selamat kepada kompatriot idologisnya: The wind of change keeps blowing. Congratulations, @HDPgenelmerkezi. ¡Venceremos!

Dalam empat tahun ke depan, kita akan menyaksikan kiprah politik sayap kiri di Turki yang sudah absen dalam 20 tahun terakhir. Di samping itu, suara-suara minoritas akan semakin semarak mewarnai diskursus politik parlemen ataupun di ranah praktis.

Note: photos thanks to Byan and Mbak Akriz

Friday, June 26, 2015

Shalat Terawih in Konya, Turkey



Saya selalu menikmati perbedaan sebagai rahmat dan keindahan. Termasuk dalam praktik shalat terawih di halaman masjid yang bersebelahan dengan makam dan museum Jalaluddin Rumi. Praktik-praktik seperti shalawat dan syair setelah shalat isya', sebelum kemudian mendirikan terawih, dibaca dengan khas Turki, seperti irama syair-syair Rumi. Islam di Turki adalah Islam yang menyatu dengan sufisme dan tasawuf. Di sini, konteks lokal menyatu dan berasimilasi dengan praktik keislaman.

Friday, June 05, 2015

Taman Kota Amed

Siang renta di awal musim gugur. Angin tak menentu bertiup dari segala arah, sesekali menghantarkan aroma akar dan batang-batang sayuran yang baru saja dipanen dari tepi Sungai Tigris. Ia, tokoh kita kali ini, tersedot di tengah-tengah denyut massa yang memadati sebuah alun-alun kota Amed yang telah menjadi tempat kedua setelah rumahnya. Semasa kecil ia biasa datang ke taman itu untuk bermain ragam permainan rakyat seperti kurt kardeş dan tarian-tarian tradisional seperti çepik, delilo, dan çaçan. Taman itu telah membuat hidupnya begitu berwarna.

Sementara itu suara riuh yel-yel dan lagu tradisional dengan gendang dan terompet terdengar meledak-ledak. Gendang ditabuh semakin kencang. Massa membikin lingkaran sambil menari dan sesekali meneriakkan protes di sela musik yang melengking.

“Ini waktu yang tepat!”

Menjauh dari pusat keramaian yang berkonsentrasi tepat di bagian sayap kanan alun-alun, ia melenggang ringan ke sebuah patung yang disanggul beton.

Ia menatap patung itu dengan muka masam. Geram!

“Engkau telah mencabik-cabik tanah kami!” Kalimat ini akhirnya melesat begitu saja bagai peluru buta arah. Setumpuk orang yang hilir mudik di sampingnya pasti mendengar teriakannya. Ia tak peduli meski ada dua orang (sepasang kekasih bergandengan tangan di tengah gejolak massa) sedari awal menatapnya dengan muka penuh tanya. Ia hanya berbekal satu keyakinan bahwa mereka yang berjubel di taman itu adalah saudara satu bangsa yang sama-sama memperjuangkan haknya.

Semakin lama menatap pelipis patung itu (seingatnya, ia tak pernah melihat senyum ramah dari foto, sketsa ataupun patung yang bertebaran di setiap taman kota, sejak İlkokul sampai Lise), ia seperti melihat kobaran api—menyembur dari kedua mata patung. Mungkin saja patung itu marah kepada massa demonstran yang kerap berteriak menyumpahserapahi namanya. Lehernya mulai terasa lelah menyanggah kepala yang sedari tadi mendongak ke patung yang tingginya sekitar 10 meter itu.

Dua meter dari patung itu, sebuah bendera menjulang dan berkibar. Kibaran bendera berwarna merah dengan bulan sabit dan sebiji bintang berwarna putih di tengahnya. Bendera dan sosok dalam patung itu bagi kembar identik. Dua simbol yang disakralkan itu pasti dijumpai di sekolah, kantor pemerintah, bangunan milik negara, taman kota dan bahkan tak jarang di rumah pribadi sekalipun. Bendera dan sosok pada patung itu dikenalnya sejak di bangku İlkokul. Setiap pagi sebelum pelajaran dimulai, ia ditunjuk menjadi pemimpin di kelas untuk membaca öğrenci andı (dan sumpah ini berlaku untuk semua sekolah dasar seantero negeri). Ketika di akhir ortaokul, ia menyadari telah membohongi dirinya sendiri. Ia tak ingin menyalahkan para guru yang telah mewajibkan semua murid membaca sumpah. Ini sudah menjadi kewajiban nasional. Akhirnya, sumpah yang ditulis oleh seorang dokter itu dikenangnya sebagai kepalsuan yang telah dialami dalam hidupnya. Sejak saat itu, ia mulai terang-terangan menunjukkan sikapnya kepada teman-teman dekat yang biasa bermain di sekitar taman. Mengajak mereka untuk membaca sejarah dan pertentangan sengit yang terus menghantam kotanya.

“Seandainya aku sudah tahu sejak di bangku İlkokul, Vallah aku tidak akan pernah memimpin pembacaan öğrenci andı di depan kelas. Tidak pula membaca sumpah itu!” Ia ingat betul kalimat ini suatu kali pernah disampaikannya kepada Beritan dan Murat, dua teman dekatnya yang selalu satu kelas hingga Lise. Meskipun waktu itu kedua temannya diam, ia yakin apa yang dipikirkannya sama seperti teman-temannya yang lain.

“Kita masih bocah ingusan waktu itu. Tidak tahu apa-apa,” tanggap Murat.

“Betul. Mulai saat ini, ajak dan kasi tahu orang-orang terdekat. Kita orang Kurdi, bukan orang Turk! Tak perlu mengucap sumpah palsu seperti itu!”

Murat bergeming. Pandangannya kosong. Sebuah peristiwa di tahun pertama ortaokul ketika neneknya harus dirujuk ke rumah sakit di kota Amed lamat-lamat menyergapnya bagai hembusan angin musim gugur. Peristiwa itu lalu ditandainya sebagai tragedi: nenek dan keluarga yang mengantarnya dilarang berbahasa Kurdi oleh pihak rumah sakit. Neneknya yang sama sekali tidak bisa berbahasa Turki menatap Murat dengan remang airmata. Saat itu, Murat melihat diri dan keluarganya bagai orang asing di tanah kelahirannya sendiri!

“Seharusnya kita bersumpah atas nama tanah dan dan bangsa kita sendiri!” suaranya terdengar serak, sembari menatap patung dan kibaran bendera.

Ia mendekat ke beton yang menyanggah patung tembaga berwarna hitam legam itu. Tangan kanannya meragah tiang bendera yang berdiameter 10 cm. Sementara tangan kirinya menyentuh beton dingin berwarna putih pucat. Saat tangannya dibuka lebar mendepa, ia kembali mendongak menatap langit, tepat di tengah-tengah antara patung dan bendera. Saat itu, ia menatap langit yang begitu sempit, diapit patung dan kibaran bendera yang sesekali ditiup angin ke arah patung. Lalu melepas kaos dan melemparkannya ke patung. Tapi sayang, kaos itu keburu disergap angin dan kembali jatuh ke tanah berumput. Ia biarkan kaosnya tergeletak begitu saja di atas tanah bekas jejak kaki yang mengubur kenangan masa kecilnya. Kini yang ada dalam pikirannya adalah kebebasan. Ia ingin segera menjelangnya.

Sementara di ujung taman yang menghadap jalan raya lima arah, suara para demonstran semakin menggaung. Terdengar terompet yang ditiup dengan nafas penuh seluruh. Ia menoleh ke arah kanan, lalu mendekap tiang bendera. Saatnya ia menjemput kebebasan nan maha luas. Suara-suara gemuruh membuat tubuhnya begitu ringan.

Satu panjatan terasa begitu berat. Ia memang bukan orang kampung, seperti Beravan, Serdem, Fatih atau Veysel, yang dikenalnya sejak di bangku Lise. Mereka yang datang dari pinggiran Amed untuk sekolah di kota terkenal dengan kelihaian memanjat dan meniti jembatan kecil sekalipun. Sayangnya, ia tak pernah belajar bagaimana teknik meringankan tubuh ketika meliuk-liuk di atas sebilah batang kayu tipis. Panjatan kedua, ketiga dan seterusnya semakin meringankan tubuhnya. Suara-suara gemuruh para demonstran seolah menyulap dirinya bagai seekor tupai. Tiang besi yang dingin meresap ke jantungnya, seperti ada partikel dari surga maha jernih yang merasuk di balik dadanya.

Pada dakian keduabelas, ia mendengar gelegar makin hebat. Gelegar itu, suara-suara jeritan yang telah menyembulkan semangat, menyeruak arahnya. Ia makin fokus segera sampai di puncak tiang. Telinganya ditempelkan pada tiang besi, mereguk spirit yang mengalir deras dari tanah kelahirannya. Pada tiang itu, getar dan pekik perjuangan menggumpal. Saat tangannya keerakan, ia bertumpu pada kedua kakinya dan bersengkelit pada batang tiang.

Di puncak tiang nanti, ia ingin meluapkan semua amarah yang membuncah, berteriak kepada teman dekatnya, Beritan dan Murat: “Hewal, lihatlah kemenangan kita hari ini. Aku ingin kalian mendengarnya, dan melihatku dengan hati nurani. Entah dimana pun kalian berada kini. Setelah kita berpisah dan memilih meninggalkan sekolah di tahun kedua Lise, kalian memilih pergi ke Ankara dengan alasan belajar teori-teori gerakan dan gerilya kepada hoca efendi. Setelah kita berpisah sejak lima tahun silam, aku tidak lagi melihat batang hidung kalian! Biarkan kalian menyaksikan sendiri apa yang kuperjuangkan sejak di akhir ortaokul terus bergelora!”

Makin tinggi getar kibaran bendera berukuran 1,5 meter itu makin bergegar. Angin berhembus aneh. Ia pun lupa ini panjatan keberapa. Jantungnya berdetak kencang ketika melihat tubuhnya sejajar dengan kepala patung. Seandainya bisa meloncat, ia ingin menerjangnya keras-keras hingga kepalanya terjungkal. Satu kali gayutan lagi ia sudah melampaui ketinggian patung itu. Pekikan suara massa semakin menukik. Ia tak tahan menggerakkan mukanya ke arah kepala patung. Alangkah terkejutnya, ribuan massa telah berjubel mengelilinginya.

Her biji…. Her biji…. Her biji…!!!”

Mereka meneriakkan kalimat-kalimat yang makin membangkitkan jiwanya. Ia tak bisa menahan bulir-bulir gerimis yang tumpah dari sudut matanya. Dalam remang pandanganya, ia melihat massa yang meneriakkan her biji dengan kepalan tangan dan muka yang ganas. Dua dakian lagi ia akan sampai di ujung tiang. Dan ketika menyentuh bendera, tubuhnya seperti dialiri ribuan kromosom kemerdekaan yang tak terwariskan.

“Abdullaaaah….!!!” sebuah teriakan seperti memekakkan gendang telinganya.

Lolongan suara itu membuatnya terperangah. Ia seperti tersengat listrik ketika menoleh ke sumber suara. Di sana ada Murat yang tengah memanjat patung dengan sebilah kapak besar.

“Lihatlah ini, Abdullaaaaah!” teriaknya histeris sembari memenggal kepala patung berkali-kali hingga tersungkur. Sontak suara massa melengking saat kepala patung terkapar di tanah. Dengan gagah Murat meloncat dan membiarkan kapaknya menancap pada leher patung.

Pada waktu bersamaan, Abdullah dengan beringas merobek kain bendera dengan gigi dan tangan kidalnya. Serupa singa yang kalap memangsa. Bendera itu langsung dilemparkan sekenanya ke tengah kerumunan massa. Sebelum bendera mendarat ke tanah, lamat-lamat ia mendengar namanya disebut berulang-ulang oleh mereka. Pasti si Murat telah menggerakkan masa untuk menyanyikan namanya. Namun tiba-tiba suara mereka tak terdengar lagi di telinganya. Tubuhnya sendiri amruk. Matanya padam. Abdullah jatuh seperempat detik sebelum bendera itu sampai di tangan massa. Tersungkur di atas kaosnya sendiri berwarna merah-putih-hijau-kuning.

Dua timah panas telah memecah jantugnya!

Di tengah jeritan dan gemuruh massa yang makin melesat, Murat meloncat dan memeluknya sembari menyebutkan namanya berkali-kali; membiarkan darah Abdullah berlumuran di dadanya. Massa berhamburan kalang-kabut. Bom-bom molotov yang sedari tadi disimpan para demonstran akhirnya dilemparkan ke mobil-mobil baja milik polisi.

Menyaksikan kabut hitam yang mulai membumbung dan teriakan histeris di tengah taman kota Amed, dari lantai lima Hotel Dicle, aku meringis melanjutkan cerita ini. Satu hal ingin kusampaikan sebagai penutup: Demi Tuhan aku yakin, penembak jitu yang telah mengirimkan dua timah panas tepat di jantung tokoh kita kali ini ada di hotel yang sama, bahkan di lantai yang sama: di kamarku!


(Untuk Ömer Mutlu, pemuda yang kini menjalani hukuman 13 tahun penjara karena menurunkan bendera Turki di Diyarbakir, Juli 2014)
Versi cetak cerita ini dimuat di Kedaulatan Rakyat, Ahad 17 Maret 2015

Keterangan:

Amed (Kurdi)                          : Nama lain Diyarbakir
Kurt kardeş (Turki)                 : Permainan tradisioanl di Diyarbakir dan sekitarnya
Çepik, delilo, çaçan,
dan şemame (Turki)                : Tarian rakyat khas Turki Tenggara.
İlkokul (Turki)                         : SD
Ortaokul (Turki)                      : SMP
Lise (Turki)                              : SMA
Vallah (Turki)                          : Demi Allah
Hewal (Kurdi)                         : Sebutan akrab untuk teman karib
Her biji (Kurdi)                       : Semoga Tuhan memberkati (doa semangat).
Hoca effendi (Turki)                : Sebutan untuk guru alim yang dihormati.
Biber gazi (Turki)                    : Gas airmata
Öğrenci andı (Turki)               : Sumpah siswa (isi sumpah):

Aku Turk, jujur, pekerja keras; prinsipku adalah menjaga generasi muda, menghormati orang-orang tua, mencintai tanah kelahiran dan bangsaku melebihi diri sendiri; eksistensiku akan didedikasikan kepada eksistesi Turki.