Tuesday, June 28, 2011

Synagogue, Shabbat Shalom, dan Kebencian yang Memudar

Langit Melbourne sangat cerah. Such a lovely day pada hari Sabtu 18 Juni 2011. Masih pagi sekitar pukul 09.10 am waktu Melbourne ketika saya berkesempatan mengikuti ibadah pemeluk agama Yahudi pada hari Sabtu. Hari Sabtu bagi kaum Yahudi disebut Shabbat Shalom (peaceful Sabbath) atau Sabtu yang damai, sebagai hari yang mereka sakralkan, seperti hari Jumat bagi umat Islam atau hari Minggu bagi umat Kristiani. Ini kali pertama saya secara langsung bertemu, salaman, mengobrol dan ikut mengaji kitab suci Taurat dalam suasana ibadah yang khidmat, tenang dan syahdu dengan lagu-lagu bahasa Hebru.

Saya memasuki sinagog bersama dua orang kawan dari Indonesia dan ditemani dua orang Australia, sebagai person in charge Muslim Exchange Program (MEP) di Melbourne: Rowan Gould dan Christina Rafferty-Brown. Saya memasuki area sinagog dengan rasa penasaran yang membuncah hebat. Mata saya pasang dengan ekstra awas, mencoba mengamati setiap detail ornamen apapun dalam ruangan itu—merekamnya pelan-pelan dengan penuh khusuk.

Ruangan dengan kira-kira jumlah jamaah yang berkumpul sekitar 70-an orang itu terasa sangat tenang, tertib dan khidmat, meski kadang ada beberapa orang masih mengobrol dengan suami, anak, atau rekan-rekannya yang duduk di samping mereka. Sinagog yang saya kunjungi ini beraliran Progressive Judaism, bukan Orthodox Judaism. 

Progressive Judaism sebuah istilah untuk menamai kelompok-kelompok umat Yahudi yang berhaluan liberal, reformis dan mengalami rekonstruktionis. Mereka bernaung di bawah World Union for Progressive Judaism (WUPJ) yang berkembang di banyak negara yang jadi pusat diaspora kelompok yang berasal dari bani Israel ini. Sementara Orthodox Judaism adalah kelompok mayoritas dalam agama Yahudi yang memegang teguh ajaran mereka secara ketat dalam menginterpretasi dan mengamalkan hukum-hukum Yahudi yang mereka jalankan secara tradisional.

Di sinagog Progressive Judaism, perempuan boleh menjadi imam dan jamaah laki-laki dan perempuan bercampur. Jadi  maklum saja jika mereka yang sedang memegang kitab, di kiri-kanan saya, tidak terlalu menyakralkan ritual seperti ini. Mereka masih mengobrol asyik satu sama lain. Namun, masih ada seorang laki-laki, tepat di depan kiri saya, kira-kira sudah berkepala enam yang dengan suara desisan—tentu dengan muka yang gusar—menegur seorang ibu dengan anaknya yang sedang asyik mengobrol dengan cekikikan tawa yang sedikit samar. Saya menikmati beragam ekspresi mereka dengan penuh khidmat tapi santai.

Yahudi bagi saya adalah sebuah lanskap paradoksal, atau bahkan ibarat labirin maha mencekam. Sebagai seorang Muslim yang belajar Islam dengan cara tradisional di pondok pesantren, satu sisi agama Yahudi menjadi sahabat baik, karena merupakan agama yang sama-sama disebut agama samawi—agama dari langit—dengan segala ragam sejarah yang saya kenal melalui kitab al-Qur’an, al-Hadis ataupun kitab-kitab klasik (kitab kuning) lainnya.

Di sisi lain, kata Yahudi menjadi lanskap kelam dan menakutkan bagi saya waktu itu, terutama ketika bacaan bacaan saya di pondok pesantren juga banyak dari berita dan majalah-majalah yang setiap terbit selalu menghadirkan kengerian perang Palestina vs Israel, misalnya seperti  Sabili dan Hidayatullah, dua majalah yang banyak masuk ke pesantren dan menghiasi rak-rak perpustakaan. Di samping itu koran seperti Jawa Pos yang sekali dua kali menjadikan konflik tak-terselesaikan Israel-Palestina sebagai headline. Dua majalah ini setidaknya sudah sangat cukup membentuk perspektif kebencian saya kepada Israel khusunya, dan dengan sendirinya mereka telah mempengaruhi pikiran saya tentang Yahudi sekaligus. Sementara itu, kisah-kisah tentang umat Nabi Musa yang bertebaran baik di kitab-kitab klasik ataupun riwayat hadis ikut melukiskan sepenggal potret kehidupan pemeluk Yahudi yang penuh intrik dan bahkan munafik.

Sempurna sudah pikiran saya waktu itu tentang Yahudi dan Israel, bahwa Yahudi adalah suatu momok yang mengerikan. Tak jarang terma Yahudi menjadi bahan umpatan atau ledekan ketika masa kanak-kanak saya untuk menyebut orang dengan “terkutuk”, seperti kalimat “huh Yahudi reyah (ah, dasar Yahudi)” dan semacamnya. Di waktu yang sama saya belajar tentang Yahudi hampir saja tidak bisa dibedakan dengan Israel. Ketika mendengar Yahudi, terbayanglah Israel di belakangnya dengan aksi brutal dan kekejaman-kekejaman terhadap saudara seiman di Palestina. Ketika melihat bangsa Israel membunuh dengan begitu mudah, mencabik-cabik saudara seiman saya, perempuan-perempuan hamil dibunuh, anak-anak kecil ditembak, dan dinjak-injak dengan kekuatan supercanggih mereka bantuan Amerika, pikiran saya waktu itu adalah balas dendam dan kebencian demi kebencian yang teramat dalam untuk Israel pun menyublim!

Jadi, jangan salahkan saya atau orang lain yang tengah membenci atau mengutuk apapun/siapa pun di buka bumi ini. Mereka pasti dibesarkan dan dibentuk oleh latar belakang masing-masing. Di sini ada proses self-radicalization yang lahir dengan porsi masing-masing. Jika latar belakang para pemuda-pemudi dan pelajar tampak ekstrem dan radikal (mungkin sedikit banyak pernah saya alami waktu itu), karena faktor penenaman kebencian kepada kelompok, agama, etnis dan bangsa lain, tak salah jika mereka begitu sulit lepas dari bayang-bayang itu. Karena kita dibangun dan dibesarkan oleh masa lalu kita masing-masing.

Detik ini saya datang sendiri ke tempat ibadah Yahudi, kepada mayoritas bangsa Israel (dan warga Australia) yang ada di tempat peribadatan itu. Bayang-bayang masa lalu memang tidak bisa mudah terhapus begitu saja tapi saya tetap berpegang dengan satu hal bahwa saya sudah belajar banyak ihwal semua ini, setidaknya selama empat tahun saya menimba ilmu dan berproses di Yogyakarta. Namun, perasaan dan mata saya tetap awas dan begitu tajam mengamati sekeliling untuk meyakinkan bahwa saya sudah bersitatap dan saling sapa dalam kedamaian dengan mereka sebagai hamba Tuhan yang sama.

Kitab suci Yahudi berbahasa Hebru dan Inggris saya pegang erat-erat di tangan, dibaca bersama-sama dengan mengikuti irama lagu yang dipanjatkan oleh seorang pemimpin di depan kami. Fonik dan birama bacaan-bacaan dari bahasa Hebru seperti ada yang mirip-mirip dengan alunan tartil dalam bahasa Arab, bahasa al-Qur’an. Banyak halaman yang sudah saya baca di tengah-tengah umat Yahudi sendiri. Nama-nama tempat penting dan bersejarah dalam agama Yahudi, pun agama Islam, seperti Jerusalem, Gurun Sinai dan Mesir disebutkan berkali-kali dalam kitab yang saya pegang kali ini.

Ya, Jerusalem menjadi satu medan multi magnet yang hingga hari ini masih terus berderu kencang, memanggil nama-nama dan menghapus yang mereka lemah….

                                                          ***

Jerusalem adalah tanah bertuah! Jerusalem bukan hanya sebidang magnet yang menyedot perhatian dunia, tapi di tanah ini pula lahir tiga agama besar dunia: Yahudi, Nasrani dan Islam. Yang pasti, tidak ada satu kota di dunia ini yang menyamai eksistensi Jerusalem. Di samping menyimpan kisah masa silam yang gemilang, kota ini telah menjadi area paling ramai dengan perisitiwa-peristiwa besar sepanjang sejarah. Kota ini menyimpan kisah-kisah tentang penaklukan, sengketa dan konflik agama dan kemanusiaan dengan kekelaman latar sejarah yang menyertainya. Tercatat sejak zaman Chalcolithic pada 4500-3200 SM, kota ini telah dimukimi. Dan nama Jerusalem muncul dalam periode Hyksos (1750-1500 SM) dengan nama Urusalim. Tepat pada 500 tahun kemudian, sekitar tahun 1000 SM, ketika Raja Daud, raja bangsa Yahudi pertama, berkuasa, penaklukan Jerusalem dimulai. Begitu juga laku sejarah kelam masa-masa berikutnya, terutama diawali ketika meletus Perang Salib pada 25 November 1095 yang dikenal sebagai tragedi paling kelam dalam sejarah Jerusalem. Perang selama 90 tahun itu di bawah komando Paus Urbanus II di Konsili Clermont.

John D Garr dalam Jerusalem, World Capital for the Messianic Age menulis nama Yerushalayim yang berarti orang, rumah atau tempat tinggal yang damai. Sementara itu, kata Salem selain diartikan ”keseluruhan” atau ”dalam harmoni” juga ”damai.” Kitab Kejadian atau Genesis, yakni kitab pertama dari lima Kitab Taurat Musa atau Kitab Pertama dari Kitab Suci Perjanjian Lama, sudah menerbitkan nama Jerusalem. Dalam Genesis 14:18, kota itu disebut bernama Salem (Trias Kuncahyono, 2008: 137).

Sebagai wartawan senior yang malang melintang di kawasan konflik Timur Tengah, Kuncahyono melaporkan dalam buku yang sangat bagus berjudul Jerusalem bahwa tuah Jerusalem yang paling kuat sebenarnya bukan berasal dari warisan sejarah panjangnya, melainkan dari arti spritualnya. Bagi Yahudi, Jerusalem adalah satu-satunya kota suci di dunia karena kota ini merupakan ”tempat kediaman nama-Ku”, tulis Kitab Tawarikh. Bagi umat Kristen, Jerusalem dalah kota suci yang sangat penting karena di kota itulah Yesus hidup, berkarya, wafat, dan bangkit untuk menebus dosa umat manusia serta naik ke surga. Sementara bagi umat muslim, Jerusalem adalah kota tempat Nabi Muhammad SAW melakukan perjalanan malamnya dari Mekkah ke Jerusalem lalu ke Sidrat al Muntaha dalam peristiwa Isra’ Mi’raj.

Dengan demikian, tanah Jerusalem mempunyai arti yang sangat penting bagi agama-agama samawi di atas. Mengutip Leah Sullivan, kaum Yahudi, Kristen, dan Islam memandang Jerusalem sebagai ”pintu ke surga” karena di sanalah diyakini terjadi pertemuan antara surga dan bumi.

Selain itu di Jerusalem berjejer sekian simbol yang menyimpan doktrin-religius seperti Tembok Ratapan, Gereja Makam Kristus, Masjid al Aqsha, Dome of The Rock (Masjid Kubah Batu), dan Via Dolorosa, jalan ketika Yesus memanggul salib menuju Bukit Golgota.

Dan, hari-hari sakral dan terhormat (untuk ibadah) bagi ketiga agama samawi tersebut berjejer rapi seperti sebuah bangunan yang kokoh dan saling melengkapi, tanpa bolong dan meloncati: Jumat untuk Islam, Sabtu bagi Yahudi dan Minggu kepada umat Nasrani. Hari-hari tersebut bukanlah suatu ketepatan, tapi isyarat betapa bersaudaranya ketiga agama tersebut!  

                                                         ***

Pada kitab yang saya pegang ini, sekilas saya membaca tentang tanah bani Israel atau land of Israeli. Sekarang land of Israeli menjadi isu utama sebagai tanah yang dijanjikan (the promised land) dibalik gerakan Zionisme hasil gagasan Theodore Hertzl untuk menegakkan negara Yahudi. Saya tanyakan ihwal land of Israeli kepada mereka sehabis ibadah dan mereka menyebutnya bahwa tanah itu sekarang ada di Jerusalem dan sekitarnya. Memang topik yang saya bicarakan ini sangat sensitif dan tampak dari ekspresi orang di hadapan saya yang tidak suka, dan sering bilang tidak tahu. Segera saya alihkan ke topik lain yang lebih umum sebagai bahan obrolan kami.

Shabbat Shalom kala itu sangat istimewa bagi saya karena kedatangan saya ke sinagog bertepatan dengan acara Bar Mitzvah, suatu ritual bagi anak yang menginjak usia 13 tahun (Progressive Judaism) dan 13 tahun untuk Orthodox JudaismBar Mitzvah atau Bat Mitzvah adalah ritual yang menandakan tentang tanggung jawab seorang anak terhadap semua perilaku dan tindakannya menurut hukum agama Yahudi. Seoarang anak yang sudah di-Bar Mitzvah berarti ia sudah mempunyai tanggung jawab moral dan hukum menurut agama Yahudi. Setiap ritual Bar Mitzvah, bisa dipatikan sinagog akan dipenuhi oleh makanan kecil, buah-buahan dan minuman, namun bergantung kepada ekonomi dan kemampuan orangtua anak tersebut. Hari itu, seperti kata pengurus sinagog, hidangan kecil cukup mewah.

Sehabis ibadah Sabtu saya bisa menikmati makanan ringan, buah-buahan dan minuman di ruangan kiri belakang sinagog, dan tentu saya bisa mengobrol lebih banyak lagi bersama mereka tentang agama Yahudi dan hubungan komunitas beragama di Melbourne khususnya.

Di kesempatan yang lain, sebagai serangkaian acara dalam program MEP, saya mengunjungi Sydney Jewish Museum, The Holocaust and Australian Jewish History yang terletak di kota Sydney dan mendapatkan jawaban ihwal land of Israeli. Museum ini sangat istimewa bagi saya karena menyimpan sejarah pembantaian kaum Yahudi oleh Nazi (Holocaust) dan awal mula sejarah diaspora komunitas Yahudi hingga sampai di Australia. Sehabis mengelilingi museum, kami bersama guide Ahmet Keskin selama di Sydney, menikmati secangkir kopi di café museum, dengan obrolan-obrolan mengalir tentang Yahudi bersama pegawai museum (saya lupa namanya) yang menjelaskan ihwal hal-hal penting dalam museum. Kesempatan ini saya manfaatkan dengan serius. Saya tanya tentang land of Israeli lagi dan ideologi Zionist. Baginya, orang Yahudi percaya dengan ideologi Zionist dan tanah yang dijanjikan bagi mereka adalah Jerusalem. Namun, bukan berarti orang-orang Yahudi yang sudah berdiaspora harus kembali lagi semua ke sana.

Obrolan kami terus mengalir sambil menikmati hidangan dari buah-buahan dan minuman di ruang kiri-belakang. Salah seorang pengurus dari sinagog itu melontarkan suatu kalimat yang sangat berkesan dalam hati saya, hingga pun sekarang. Dia bilang bahwa “Kita sama-sama menyembah Tuhan yang sama, tapi beda nabi (utusan) saja." 

Jleb… kalimat tersebut menohok begitu dalam, benar-benar impresif! Saya menunduk pelan, lalu bergemim kepada diri saya sendiri: “sebenarnya kita adalah saudara—dalam satu keturunan—seperti Musa, Isa, dan Muhammad sebagai putra-putra luhur Nabi Ibarahim.” Sebenarnya, tidak ada masalah apapun di antara saya dan mereka. Kami sama-sama menyembah Tuhan yang sama, seperti halnya mereka, tidak perlu dicemaskan bahwa agama adalah rahmatul lil alamin.

Saya jadi teringat suatu fase sejarah perdamaian dan toleransi di Jerusalem ketika Khalifah Umar menguasai tanah sakral itu. Awal-awal periode Arab ini dikenal sebagai periode yang penuh toleransi antaragama. Para pemeluk agama Yahudi, Kristen, dan Islam dapat hidup berdampingan secara damai dan melaksanakan ibadah mereka tanpa rintangan dan hambatan. Khusus bagi kaum Yahudi, masa Umar adalah masa paling damai karena setelah 500 tahun mereka terusir mereka bisa kembali ke Jerusalem dan menjalankan ibadah mereka masing-masing. Pada 637 M, setelah mengepung Jerusalem lahirlah kesepahaman (agreement) antara Patriark Elya Al-Quds Sophronius dengan Khalifah Umar yang dikenal dengan perjanjian Umar. Pada masa ini disebut Dore Gold dengan masa toleransi agama dikembangkan (Kuncahyono, hlm 150 dan 154).

Terakhir untuk tulisan ini, sebagai doa untuk perdamaian yang kita idam-idamkan, saya cuplikkan pidato terkenal Anwar Sadat ketika dia berada di tengah-tengah parlemen Israel (Israeli Knesset) pada 20 Novemver 1977. “I come to you today on solid ground to shape a new life and to establish peace. We all love this land, the land of God, we all, Moslems, Christians and Jews, all worship God....”

Melbourne-Jogja, 18-28 June 2011

0 comments: