Langit Melbourne sangat
cerah. Such a lovely day pada hari Sabtu 18 Juni 2011. Masih
pagi sekitar pukul 09.10 am waktu Melbourne ketika saya berkesempatan mengikuti
ibadah pemeluk agama Yahudi pada hari Sabtu. Hari Sabtu bagi kaum Yahudi
disebut Shabbat Shalom (peaceful Sabbath) atau
Sabtu yang damai, sebagai hari yang mereka sakralkan,
seperti hari Jumat bagi umat Islam atau hari Minggu bagi umat Kristiani. Ini kali
pertama saya secara langsung bertemu, salaman, mengobrol dan ikut mengaji kitab
suci Taurat dalam suasana ibadah yang khidmat, tenang dan syahdu dengan
lagu-lagu bahasa Hebru.
Saya memasuki sinagog bersama
dua orang kawan dari Indonesia dan ditemani dua orang Australia, sebagai person in charge Muslim
Exchange Program (MEP) di Melbourne: Rowan Gould dan Christina Rafferty-Brown.
Saya memasuki area sinagog dengan rasa penasaran yang membuncah hebat. Mata
saya pasang dengan ekstra awas, mencoba mengamati setiap detail ornamen apapun
dalam ruangan itu—merekamnya pelan-pelan dengan penuh khusuk.
Ruangan dengan kira-kira
jumlah jamaah yang berkumpul sekitar 70-an orang itu terasa sangat tenang,
tertib dan khidmat, meski kadang ada beberapa orang masih mengobrol dengan
suami, anak, atau rekan-rekannya yang duduk di samping mereka. Sinagog yang
saya kunjungi ini beraliran Progressive Judaism, bukan Orthodox
Judaism.
Progressive Judaism sebuah istilah untuk menamai kelompok-kelompok umat
Yahudi yang berhaluan liberal, reformis dan
mengalami rekonstruktionis. Mereka bernaung di bawah World Union for Progressive Judaism (WUPJ)
yang berkembang di banyak negara yang jadi pusat diaspora kelompok yang berasal
dari bani Israel ini. Sementara Orthodox Judaism adalah kelompok mayoritas dalam agama Yahudi
yang memegang teguh ajaran mereka secara ketat dalam menginterpretasi dan mengamalkan
hukum-hukum Yahudi yang mereka jalankan secara tradisional.
Di sinagog Progressive
Judaism, perempuan boleh menjadi imam dan jamaah laki-laki dan
perempuan bercampur. Jadi maklum saja jika mereka yang sedang
memegang kitab, di kiri-kanan saya, tidak terlalu menyakralkan ritual seperti
ini. Mereka masih mengobrol asyik satu sama lain. Namun, masih ada seorang
laki-laki, tepat di depan kiri saya, kira-kira sudah berkepala enam yang dengan
suara desisan—tentu dengan muka yang gusar—menegur seorang ibu dengan anaknya
yang sedang asyik mengobrol dengan cekikikan tawa yang sedikit samar. Saya menikmati
beragam ekspresi mereka dengan penuh khidmat tapi santai.
Yahudi bagi saya adalah
sebuah lanskap paradoksal, atau bahkan ibarat labirin maha mencekam. Sebagai
seorang Muslim yang belajar Islam dengan cara tradisional di pondok pesantren,
satu sisi agama Yahudi menjadi sahabat baik, karena merupakan agama yang
sama-sama disebut agama samawi—agama dari langit—dengan segala
ragam sejarah yang saya kenal melalui kitab al-Qur’an, al-Hadis ataupun
kitab-kitab klasik (kitab kuning) lainnya.
Di sisi lain, kata Yahudi
menjadi lanskap kelam dan menakutkan bagi saya waktu itu, terutama ketika
bacaan bacaan saya di pondok pesantren juga banyak dari berita dan majalah-majalah
yang setiap terbit selalu menghadirkan kengerian perang Palestina vs Israel, misalnya
seperti Sabili dan Hidayatullah, dua majalah yang
banyak masuk ke pesantren dan menghiasi rak-rak perpustakaan. Di samping itu koran
seperti Jawa Pos yang sekali dua kali
menjadikan konflik tak-terselesaikan Israel-Palestina sebagai headline. Dua majalah ini setidaknya sudah
sangat cukup membentuk perspektif kebencian saya kepada Israel khusunya, dan
dengan sendirinya mereka telah mempengaruhi pikiran saya tentang Yahudi sekaligus.
Sementara itu, kisah-kisah
tentang umat Nabi Musa yang bertebaran baik di kitab-kitab klasik ataupun riwayat
hadis ikut melukiskan sepenggal potret kehidupan pemeluk Yahudi yang penuh
intrik dan bahkan munafik.
Sempurna sudah pikiran
saya waktu itu tentang Yahudi dan Israel, bahwa Yahudi adalah suatu momok yang
mengerikan. Tak jarang terma Yahudi menjadi bahan umpatan atau ledekan ketika
masa kanak-kanak saya untuk menyebut orang dengan “terkutuk”, seperti kalimat “huh
Yahudi reyah (ah, dasar Yahudi)” dan semacamnya. Di waktu yang sama saya
belajar tentang Yahudi hampir saja tidak bisa dibedakan dengan Israel. Ketika
mendengar Yahudi, terbayanglah Israel di belakangnya dengan aksi brutal dan
kekejaman-kekejaman terhadap saudara seiman di Palestina. Ketika melihat bangsa
Israel membunuh dengan begitu mudah, mencabik-cabik saudara seiman saya,
perempuan-perempuan hamil dibunuh, anak-anak kecil ditembak, dan dinjak-injak
dengan kekuatan supercanggih mereka bantuan Amerika, pikiran saya waktu itu
adalah balas dendam dan kebencian demi kebencian yang teramat dalam untuk
Israel pun menyublim!
Jadi, jangan salahkan
saya atau orang lain yang tengah membenci atau mengutuk apapun/siapa pun di
buka bumi ini. Mereka pasti dibesarkan dan dibentuk oleh latar belakang
masing-masing. Di sini ada proses self-radicalization
yang lahir dengan porsi masing-masing. Jika latar belakang para pemuda-pemudi
dan pelajar tampak ekstrem dan radikal (mungkin sedikit banyak pernah saya
alami waktu itu), karena faktor penenaman kebencian kepada kelompok, agama,
etnis dan bangsa lain, tak salah jika mereka begitu sulit lepas dari
bayang-bayang itu. Karena kita dibangun dan dibesarkan oleh masa lalu kita
masing-masing.
Detik ini saya datang
sendiri ke tempat ibadah Yahudi, kepada mayoritas bangsa Israel (dan warga
Australia) yang ada di tempat peribadatan itu. Bayang-bayang masa lalu memang
tidak bisa mudah terhapus begitu saja tapi saya tetap berpegang dengan satu hal
bahwa saya sudah belajar banyak ihwal semua ini, setidaknya selama empat tahun
saya menimba ilmu dan berproses di Yogyakarta. Namun, perasaan dan mata saya
tetap awas dan begitu tajam mengamati sekeliling untuk meyakinkan bahwa saya
sudah bersitatap dan saling sapa dalam kedamaian dengan mereka sebagai hamba
Tuhan yang sama.
Kitab suci Yahudi
berbahasa Hebru dan Inggris saya pegang erat-erat di tangan, dibaca
bersama-sama dengan mengikuti irama lagu yang dipanjatkan oleh seorang pemimpin
di depan kami. Fonik dan birama bacaan-bacaan dari bahasa Hebru seperti ada
yang mirip-mirip dengan alunan tartil dalam bahasa Arab, bahasa al-Qur’an.
Banyak halaman yang sudah saya baca di tengah-tengah umat Yahudi sendiri.
Nama-nama tempat penting dan bersejarah dalam agama Yahudi, pun agama Islam,
seperti Jerusalem, Gurun Sinai dan Mesir disebutkan berkali-kali dalam kitab
yang saya pegang kali ini.
Ya, Jerusalem menjadi satu
medan multi magnet yang hingga hari ini masih terus berderu kencang, memanggil
nama-nama dan menghapus yang mereka lemah….
***
Jerusalem adalah tanah
bertuah! Jerusalem bukan hanya sebidang magnet yang menyedot perhatian dunia,
tapi di tanah ini pula lahir tiga agama besar dunia: Yahudi, Nasrani dan Islam.
Yang pasti, tidak ada satu kota di dunia ini yang menyamai eksistensi
Jerusalem. Di samping menyimpan kisah masa silam yang gemilang, kota ini telah
menjadi area paling ramai dengan perisitiwa-peristiwa besar sepanjang sejarah.
Kota ini menyimpan kisah-kisah tentang penaklukan, sengketa dan konflik agama
dan kemanusiaan dengan kekelaman latar sejarah yang menyertainya. Tercatat
sejak zaman Chalcolithic pada 4500-3200 SM, kota ini telah dimukimi. Dan nama
Jerusalem muncul dalam periode Hyksos (1750-1500 SM) dengan nama Urusalim.
Tepat pada 500 tahun kemudian, sekitar tahun 1000 SM, ketika Raja Daud, raja
bangsa Yahudi pertama, berkuasa, penaklukan Jerusalem dimulai. Begitu juga laku
sejarah kelam masa-masa berikutnya, terutama diawali ketika meletus Perang
Salib pada 25 November 1095 yang dikenal sebagai tragedi paling kelam dalam
sejarah Jerusalem. Perang selama 90 tahun itu di bawah komando Paus Urbanus II
di Konsili Clermont.
John D Garr dalam Jerusalem, World Capital for the Messianic
Age menulis nama Yerushalayim yang
berarti orang, rumah atau tempat tinggal yang damai. Sementara itu, kata Salem selain diartikan ”keseluruhan”
atau ”dalam harmoni” juga ”damai.” Kitab Kejadian atau Genesis, yakni kitab
pertama dari lima Kitab Taurat Musa atau Kitab Pertama dari Kitab Suci
Perjanjian Lama, sudah menerbitkan nama Jerusalem. Dalam Genesis 14:18, kota
itu disebut bernama Salem (Trias
Kuncahyono, 2008: 137).
Sebagai wartawan senior
yang malang melintang di kawasan konflik Timur Tengah, Kuncahyono melaporkan
dalam buku yang sangat bagus berjudul Jerusalem bahwa tuah
Jerusalem yang paling kuat sebenarnya bukan berasal dari warisan sejarah
panjangnya, melainkan dari arti spritualnya. Bagi Yahudi, Jerusalem adalah
satu-satunya kota suci di dunia karena kota ini merupakan ”tempat kediaman
nama-Ku”, tulis Kitab Tawarikh. Bagi umat Kristen, Jerusalem dalah kota suci
yang sangat penting karena di kota itulah Yesus hidup, berkarya, wafat, dan
bangkit untuk menebus dosa umat manusia serta naik ke surga. Sementara bagi
umat muslim, Jerusalem adalah kota tempat Nabi Muhammad SAW melakukan
perjalanan malamnya dari Mekkah ke Jerusalem lalu ke Sidrat al Muntaha dalam
peristiwa Isra’ Mi’raj.
Dengan demikian, tanah
Jerusalem mempunyai arti yang sangat penting bagi agama-agama samawi di atas.
Mengutip Leah Sullivan, kaum Yahudi, Kristen, dan Islam memandang
Jerusalem sebagai ”pintu ke surga” karena di sanalah diyakini terjadi pertemuan
antara surga dan bumi.
Selain itu di Jerusalem
berjejer sekian simbol yang menyimpan doktrin-religius seperti Tembok Ratapan,
Gereja Makam Kristus, Masjid al Aqsha, Dome of The Rock (Masjid Kubah Batu),
dan Via Dolorosa, jalan ketika Yesus memanggul salib menuju Bukit Golgota.
Dan, hari-hari sakral
dan terhormat (untuk ibadah) bagi ketiga agama samawi tersebut
berjejer rapi seperti sebuah bangunan yang kokoh dan saling melengkapi, tanpa
bolong dan meloncati: Jumat untuk Islam, Sabtu bagi Yahudi dan Minggu kepada umat
Nasrani. Hari-hari tersebut bukanlah suatu ketepatan, tapi isyarat betapa
bersaudaranya ketiga agama tersebut!
***
Pada kitab yang saya
pegang ini, sekilas saya membaca tentang tanah bani Israel atau land of
Israeli. Sekarang land of Israeli menjadi isu utama
sebagai tanah yang dijanjikan (the promised land) dibalik
gerakan Zionisme hasil gagasan Theodore Hertzl untuk menegakkan negara Yahudi.
Saya tanyakan ihwal land of Israeli kepada mereka sehabis
ibadah dan mereka menyebutnya bahwa tanah itu sekarang ada di Jerusalem dan sekitarnya.
Memang topik yang saya bicarakan ini sangat sensitif dan tampak dari ekspresi
orang di hadapan saya yang tidak suka, dan sering bilang tidak tahu. Segera
saya alihkan ke topik lain yang lebih umum sebagai bahan obrolan kami.
Shabbat Shalom
kala itu sangat istimewa bagi saya karena kedatangan saya ke sinagog bertepatan
dengan acara Bar Mitzvah, suatu ritual bagi anak yang
menginjak usia 13 tahun (Progressive Judaism) dan 13 tahun untuk Orthodox Judaism. Bar Mitzvah atau
Bat Mitzvah adalah
ritual yang menandakan tentang tanggung jawab seorang anak terhadap semua
perilaku dan tindakannya menurut hukum agama Yahudi. Seoarang anak yang sudah
di-Bar Mitzvah berarti ia sudah mempunyai tanggung jawab moral dan
hukum menurut agama Yahudi. Setiap ritual Bar Mitzvah, bisa
dipatikan sinagog akan dipenuhi oleh makanan kecil, buah-buahan dan minuman,
namun bergantung kepada ekonomi dan kemampuan orangtua anak tersebut. Hari itu,
seperti kata pengurus sinagog, hidangan kecil cukup mewah.
Sehabis ibadah Sabtu
saya bisa menikmati makanan ringan, buah-buahan dan minuman di ruangan kiri
belakang sinagog, dan tentu saya bisa mengobrol lebih banyak lagi bersama
mereka tentang agama Yahudi dan hubungan komunitas beragama di Melbourne
khususnya.
Di kesempatan yang lain,
sebagai serangkaian acara dalam program MEP, saya mengunjungi Sydney Jewish
Museum, The Holocaust and Australian Jewish History yang terletak di
kota Sydney dan mendapatkan jawaban ihwal land of Israeli. Museum ini
sangat istimewa bagi saya karena menyimpan sejarah pembantaian kaum Yahudi oleh
Nazi (Holocaust) dan awal mula sejarah diaspora komunitas Yahudi hingga
sampai di Australia. Sehabis mengelilingi museum, kami bersama guide Ahmet
Keskin selama di Sydney, menikmati secangkir kopi di café museum, dengan
obrolan-obrolan mengalir tentang Yahudi bersama pegawai museum (saya lupa
namanya) yang menjelaskan ihwal hal-hal penting dalam museum. Kesempatan ini
saya manfaatkan dengan serius. Saya tanya tentang land of Israeli lagi
dan ideologi Zionist. Baginya, orang Yahudi percaya dengan ideologi Zionist dan
tanah yang dijanjikan bagi mereka adalah Jerusalem. Namun, bukan berarti
orang-orang Yahudi yang sudah berdiaspora harus kembali lagi semua ke sana.
Obrolan kami terus
mengalir sambil menikmati hidangan dari buah-buahan dan minuman di ruang
kiri-belakang. Salah seorang pengurus dari sinagog itu melontarkan suatu
kalimat yang sangat berkesan dalam hati saya, hingga pun sekarang. Dia bilang
bahwa “Kita sama-sama menyembah Tuhan yang sama, tapi beda nabi (utusan)
saja."
Jleb… kalimat tersebut menohok begitu dalam,
benar-benar impresif! Saya menunduk pelan, lalu bergemim kepada diri saya
sendiri: “sebenarnya kita adalah saudara—dalam satu keturunan—seperti Musa,
Isa, dan Muhammad sebagai putra-putra luhur Nabi Ibarahim.” Sebenarnya, tidak
ada masalah apapun di antara saya dan mereka. Kami sama-sama menyembah Tuhan
yang sama, seperti halnya mereka, tidak perlu dicemaskan bahwa agama adalah rahmatul
lil alamin.
Saya jadi teringat suatu
fase sejarah perdamaian dan toleransi di Jerusalem ketika Khalifah Umar
menguasai tanah sakral itu. Awal-awal periode Arab ini dikenal sebagai periode
yang penuh toleransi antaragama. Para pemeluk agama Yahudi, Kristen, dan Islam
dapat hidup berdampingan secara damai dan melaksanakan ibadah mereka tanpa
rintangan dan hambatan. Khusus bagi kaum Yahudi, masa Umar adalah masa paling
damai karena setelah 500 tahun mereka terusir mereka bisa kembali ke Jerusalem
dan menjalankan ibadah mereka masing-masing. Pada 637 M, setelah mengepung
Jerusalem lahirlah kesepahaman (agreement) antara Patriark
Elya Al-Quds Sophronius dengan Khalifah Umar yang dikenal dengan perjanjian
Umar. Pada masa ini disebut Dore Gold dengan masa toleransi agama dikembangkan
(Kuncahyono, hlm 150 dan 154).
Terakhir untuk tulisan
ini, sebagai doa untuk perdamaian yang kita idam-idamkan, saya cuplikkan pidato
terkenal Anwar Sadat ketika dia berada di tengah-tengah parlemen Israel (Israeli
Knesset) pada 20 Novemver 1977. “I come to you today on solid
ground to shape a new life and to establish peace. We all love this land, the
land of God, we all, Moslems, Christians and Jews, all worship God....”
Melbourne-Jogja, 18-28
June 2011
0 comments:
Post a Comment