Saturday, August 29, 2015

Ada Kopi Tiwus, tapi Dapatnya dari Jawa Barat

Features Jawa Pos, Sabtu, 29 Agustus 2015
"Desain kedai Filosofi Kopi maupun kopi racikan dibuat seperti dalam cerita karya Dewi Lestari. Diharapkan jadi tempat bertemunya para kaum kreatif."

Oleh Gunawan Sutanto, Jakarta


MEMASUKI Filosofi Kopi untuk kali pertama tak ubahnya memasuki sebuah arena teka-teki. Seperti diajak menebak: hayo, bagian mana dari kedai di Blok M, Jakarta, itu yang dititiskan dari buku, film, atau yang malah tidak ada di dua-duanya?

Bar tempat barista yang terletak di tengah kedai? Itu ada di buku Filosofi Kopi, kumpulan cerita pendek dan prosa karya Dewi "Dee" Lestari. Lantai dan dinding yang terbuat dari kayu berserat kasar? Itu juga ada di buku yang masuk lima besar Khatulistiwa Literary Award 2006 tersebut. Tapi, perangkat kopi yang ditata rapi, berbaris memanjang di atas meja bar, itu se­pertinya tak dideskripsikan secara mendetail di buku. Itu “bahasa” dalam film yang diangkat dari buku tersebut dan dirilis April lalu itu.

Di sana, diurut dari kiri, ada mesin espresso merah menyala merek Nuova Simonelli. Di sebelahnya berjejer tiga mesin grinder. Lalu kompor elektrik tanam dan ketel. Tak ketinggalan alat seduh manual: Syphone, Aeropress, dan V60.  “Saya ingin tak sekadar membuat film, tapi juga membuat sebuah brand tentang kopi Indonesia,” kata Handoko Hendroyono, salah seorang pemilik kedai dan produser film Filosofi Kopi

Di kedai itu pula penggambaran film yang disutradarai Angga Dwimas Sasongko tersebut dilakukan. Desainnya pun dipertahankan seperti dalam film yang antara lain dibintangi Rio Dewanto (sebagai Jody) dan Chico Jericho (sebagai Ben) itu. Kisah Filosofi Kopi berfondasi pada kedai yang didirikan Ben dan Jody. Di dunia nyata, kedai tersebut dibangun empat orang: Handoko, Anggia Kharisma, Rio, dan Chico. “Selain kami berempat, tentu banyak teman yang men-support kami dengan berbagai macam cara,” ucap Handoko.

Nah, kuatnya citraan fiksi itulah yang barangkali membedakan kedai tersebut dengan berbagai kedai kopi lain yang belakangan menjamur di Jakarta dan kota-kota lain di Indonesia. Kedai Filosofi Kopi mungkin kedai kopi pertama yang dibangun berdasar karya fiksi. Mirip Museum of Innocence di Istanbul, Turki, yang dibangun berdasar novel dengan judul serupa karya Nobelis Sastra Orhan Pamuk. 

Museum itu berisi simbol dan artefak yang dicuplik dari isi novel dengan judul dalam bahasa Turki Masumiyet Muzesi tersebut. Penulis Bernando J. Sujibto dalam esainya di Jawa Pos pada 22 Februari menulis, mengunjungi museum itu seperti sebentuk ziarah untuk merasai luka perih dan ketulusan cinta fiktif yang pernah dialami tokoh cerita bernama Kemal. 

Di kedai Filosofi Kopi, nama-nama house blend atau kopi racikan pun dibuat seperti dalam karangan Dee. Kopi tiwus misalnya. Bedanya, kalau di buku disebutkan kopi itu didapat dari kebun kecil milik Pak Seno di sebuah desa daerah Jawa Tengah, dalam realitasnya di kedai di Blok M tersebut, kopi tiwus merupakan hasil pencarian Handoko dkk dari perkebunan kopi di daerah Malabar, Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat.

Rabu sore lalu itu (26/8) Jawa Pos sempat menjajal kopi yang diseduh manual menggunakan saringan V60 tersebut. Sedap! Handoko memang berharap kedai Filosofi Kopi tak hanya berhenti sebagai “monumen” dari karya fiksi. Tapi juga turut berperan mengangkat kopi Indonesia.  Sebelum film Filosofi Kopi tayang, sebenarnya Handoko, Anggia, Rio, dan Chico “empat orang itu” telah menggagas wujud kedai kopi. Tapi, konsepnya berupa food truck, tepatnya VW Combi yang dimodifikasi. 

VW Combi Filosofi Kopi itu tiap akhir pekan mendatangi sebuah ruang publik. Mereka lantas menginformasikan keberadaan kedai kopi mobile tersebut secara viral, via media sosial dan aplikasi smartphone. Tiga bulan setelah film Filosofi Kopi tayang di bioskop, empat sahabat itu lantas mematangkan niat membuka kedai kopi yang sesungguhnya. Sebuah kedai yang sama persis seperti dalam cerita Filosofi Kopi. 

Upaya tersebut diawali dengan hunting bangunan yang akan disewa sebagai kedai. Mereka sempat memiliki beberapa pilihan tempat di Jakarta. “Kami sempat cocok dengan sebuah bangunan di kawasan kota tua. Tapi, kami pikir lagi kurang pas,” kenang Handoko.

Rio, yang sore itu sibuk menjadi kasir, kemudian punya usul kedai dibuat di sekitar kompleks Blok M Square, kawasan Jalan Melawai. Alasannya, keberadaan kedai harus  mampu menghidupkan kembali citra positif kawasan Blok M. “Dulu ini tempat anak muda banget. Rasanya belum gaul kalau tidak nongkrong di Blok M dan Melawai,”ujar aktor kelahiran 28 Agustus itu saat meluangkan waktu menemani Handoko menemui Jawa Pos.

Empat serangkai tersebut akhirnya menyewa sebuah bangunan yang sudah 17 tahun tak terpakai. Lokasinya berada di tengah kompleks Blok M Square. Bangunan ruko itu terdiri atas dua lantai. Namun, pemiliknya hanya menyewakan lantai dasar yang luasnya sekitar 80 meter persegi. “Tidak tahu kenapa yang punya bangunan tidak mengizinkan lantai 2 digunakan” ujar Handoko.

Menurut Handoko, meski hanya boleh menggunakan lantai 1, hal itu sama sekali tidak mengurangi kemiripan kedai yang ada dalam cerita fiksi. “Dalam cerita filmnya kan kedai kopi itu dibangun di atas bekas toko kelontong milik orang tua Jody,” ujarnya. Empat sekawan tersebut butuh waktu sekitar 2,5 bulan untuk mendesain interior dan eksterior kedai Filosofi Kopi. Desain luar dan dalam tentu dibuat semirip cerita asli se­perti di buku dan film.

Selain kopi tiwus, di kedai itu tersedia kopi lestari dan perfecto. Kopi lestari merupakan house blend berbagai biji kopi dari Gayo, Aceh. Sementara perfecto yang juga bisa ditemukan di dalam buku merupakan campuran kopi terbaik dari Kintamani, Bali.  Handoko mengatakan, kedainya sangat serius dalam membuat house blend. Mereka melibatkan sejumlah pakar kopi Indonesia. ”Kami juga lakukan tes rasa agar menghasilkan racikan yang terbaik,” katanya.

Handoko berharap keberadaan kedai Filkop (Filosofi Kopi) menjadi tempat bertemunya para kaum kreatif. Dia mulai menginisiatori hal itu dengan berbagai cara. Misalnya dengan mengajak kolaborasi para seniman untuk membantu membuatkan furnitur dan merchandise Filosofi Kopi. “Ini kursi kami bukan beli jadi, tapi buatan teman-teman seniman. Itu ada yang belum jadi,” tunjuk Handoko ke sebuah kursi di teras kedai. 

Handoko menyebutkan, dari sisi bisnis, kedai Filkop mulai menguntungkan. Bahkan, akhir tahun ini mereka sudah membuka cabang di dua tempat, yakni di Bintaro, Jakarta Selatan; dan Renon, Denpasar, Bali. Tapi sayang, ada satu gimmick dari cerita di buku yang hilang dari kedai tersebut. Sejak Jawa Pos datang, memesan kopi, dan mengakhiri wawancara, tak ada secarik kartu kecil yang menerangkan filosofi dari kopi yang baru diminum. Kertas itu diberikan Ben kepada pengunjung yang memesan kopinya. Mungkin karena sore itu Ben sedang tidak di tempat, jadi kartu tersebut lupa diberikan. Mungkin. (jpg/p2/c1/fik).

0 comments: