Ziarah ke Museum of Innocence

Kemal menemukan kebahagian mencintai seorang Füsun dengan segenap warna dan misteri.

Saat itu ibuku menangis

Buat kakakku Hermanto Junaidi yang sedang damai bersemayam di bawah pohon ketapang, tempat aku selalu menjengukmu, saat pulang, atau saat pergi sekalipun.

Indeks Perdamaian Kota Itu Perlu

By measuring the state of peace, we can further our understanding of the social, political and economic factors that help develop more peaceful environments

Tentang Ingatan dan Ideologi

The struggle of man against power is the struggle of memory against forgetting” — Milan Kundera (The Book of Laughter and Forgetting).

A Journey: from Border to Border

Midyat is one of a must visited historical places in Mardin beside Old Mardin. Overall this city is cited as paths of the early civilizations named Mesopotamia or far before it—if we talked about Christianity and Jews history as well for its strategic location with rocky hill and plain near the Tigris River.

Wednesday, September 25, 2013

Memulai Keterasingan Baru

Salah satu hal yang paling berat aku pertimbangkan sebelum berangkat ke Turki, di samping keluarga kecilku di kampung, adalah seseorang yang selama ini bersamaku, mendukungku begitu penuh seluruh, dan ada pada setiap ruang-waktu yang tercipta, yang kami ciptakan bersama, dalam hidupku. Ia adalah byan. Seorang yang melampaui imajinasiku sendiri. Seorang perempuan tabah yang telah mengartikan kehadiranku sebagai pejuang yang tak mau kalah.

Kebersamaan yang lama telah membuatnya menjadi ada dan semakin utuh sebagai sosok keibuan. Atau aku menemukan cinta seorang ibu juga darinya. Keberadaan itulah yang telah membuatku (dan kita) selalu merasa penuh, mengisi waktu-waktu dalam kebersamaan. Dari sesuatu yang mungkin tak perlu pada awalnya menjadi ada dan penuh arti dalam kebersamaan yang saling mengisi dan menciptakan.

Aku udah lama sekali memulai kisah perjalanan ini, dengan seseorang yang datang dari rasa kekaguman dan aku menyambutnya dengan sebuah kisah yang biasa sebagai seorang lelaki yang mengagumi kesunyian. Ia datang menyalakan kebahagian, menemani kesendirian itu dan sekaligus melahirkan karya-karya besar bersama-sama. Dan waktu telah membentangkan ruang untuk belajar dan memulai sejarah hebat bersama.

Aku pun sadar, aku semakin kuat menulis karena kehadirannya yang menguatkan; menyelipkan mimpi di tengah mimpi-mimpi yang kutabur.

Ia sekarang lebih dari seorang apapun dalam diriku. Meski kadang menghilang dalam beberapa waktu dan banyak datang di waktu-waktu yang lain. Menjadi pelengkap kekurangan dan menambal ruang pengalaman dan tubuhku yang bolong-bolong.

Sepanjang waktu ia telah melampaui dari seseorang yang sekedar hanya kucintai. Ia telah berjalan dalam kekagumanku sendiri sebagai bidadari yang menunjuk langit malam, menandai fajar dan sekaligus menghadirkan matahari. Di antara tulisan-tulisanku, sebuah diari yang biasa kutulis sepanjang waktu, ia hadir menjadi ruh bagi setiap kata dan kalimat. Belantara aksara dan imajinasi yang tumpah ruah dalam setiap tinta waktu yang kupasang sebagai karya, ia ikut meniupkan ruh di sana, ikut menghadirkan eksistensinya. Setiap keberadaan diriku, ia hadir sebagai diriku yang lain. Menjadi manunggal dan utuh.

Kuat-kuatlah di sana, byanku. Temani kesendirian kita dengan kesunyian masing-masing. Dua tahun atau tiga tahun akan menjadi waktu yang mengancamku, dan menghukum kita dalam jarak yang teramat jauh. Aku di tanah dua benua selalu akan menjagamu dengan sekuatku sendiri.

Tuesday, September 10, 2013

Muurgedichten: Puisi dan Ruang Kota

Syahdan, di salah satu tembok kota bersejarah, ada puisi “Aku” karya Chairil Anwar, penyair kesohor yang mati muda dan nyaris menjadi kultus sebagai nama besar dalam sejarah kesusastraan Indonesia, potongan teks La Galigo dalam bahasa Bugis, dan puisi Ranggawarsita dengan aksara Jawa terpancang di sana. Dua puisi tersebut terpahat di sebuah tembok kota—sebagai mural—bersanding dengan puisi-puisi hebat dari sastrawan dunia, seperti William Shakespeare, Rainer Maria Rilke, Jorge Luis Borges, Marina Ivanova Tsvetayeva, dan Fakir Baykurt dengan bahasa mereka masing-masing.

Friday, September 06, 2013

Yang Maha Tembakau

bersama dua adik manisku menyiram tembakau
Bagiku, tembakau adalah bagian dari hidup yang tak bisa dipisahkan. Di samping Bapak dan Ibuku petani tembakau, Bapak juga pedagang tembakau di tingkat bawah (jadi pembeli langsung kepada petani). Tipe pedagang seperti Bapakku adalah pengepul, berjumpalitan di bawah, menjadi suruhan pemilik gudang. Maklum jika masa kecilku, di antara halaman rumah dan emperan, mataku selalu bertubrukan dengan gulu'an (bungkus rajangan tembakau yang sudah dikeringkan) dan potongan rajangan tembakau yang dibungkus platik kresek atau dibiarkan begitu saja tergeletak di lantai, di meja, di tempat duduk. Sangat amburadul, sepertinya. Tapi itulah hidupku bersama pedagang tembakau, Bapakku sendiri. Menurut cerita Ibu, Bapakku konon sukses menjadi pendagang (termasuk tembakau, grusuk, dan cabe) sehingga beliau bisa naik haji tahun 1993, saat aku baru berusia sekitar 7 tahun. Kata Ibu juga, Bapakku adalah pedagang yang tidak pernah bermasalah dengan petani, misalnya punya hutan, atau uang pembayaran untuk petani ditunda-tunda.