Ziarah ke Museum of Innocence

Kemal menemukan kebahagian mencintai seorang Füsun dengan segenap warna dan misteri.

Saat itu ibuku menangis

Buat kakakku Hermanto Junaidi yang sedang damai bersemayam di bawah pohon ketapang, tempat aku selalu menjengukmu, saat pulang, atau saat pergi sekalipun.

Indeks Perdamaian Kota Itu Perlu

By measuring the state of peace, we can further our understanding of the social, political and economic factors that help develop more peaceful environments

Tentang Ingatan dan Ideologi

The struggle of man against power is the struggle of memory against forgetting” — Milan Kundera (The Book of Laughter and Forgetting).

A Journey: from Border to Border

Midyat is one of a must visited historical places in Mardin beside Old Mardin. Overall this city is cited as paths of the early civilizations named Mesopotamia or far before it—if we talked about Christianity and Jews history as well for its strategic location with rocky hill and plain near the Tigris River.

Wednesday, April 29, 2015

ISIS sebagai Musuh Bersama

Versi cetak tulisan ini dimuat di Media Indonesia, 19 Maret 2015

Meskipun kabar kepastian terkait 16 warga Indonesia yang dinyatakan hilang kontak (karena berpisah dengan biro perjalanan yang mengantarnya) di Turki sejak dua minggu silam belum jelas juntrungnya, kabar terbaru yang muncul di media-media lokal Turki seperti Hürriyet, Sabah dan Yeni Şafak justru semakin mengejutkan banyak pihak. Pasalnya dari 16 WNI yang diamankan oleh kepolisian Turki di Provinsi Gaziantep, perbatasan Turki-Suriah, 11 adalah anak-anak, 4 perempuan dan 1 seorang laki-laki. Data tersebut jelas berbeda dengan data yang dibawa rombongan biro perjalanan yang sebelumnya santer diberitakan media.

Menanggapi rilis resmi pemerintah Turki (13/3), media-media lokal mulai ramai mengangkat berita tersebut. Turki semakin serius menghadapi ancaman ISIS (Negara Islam Suriah dan Irak) yang mulai banyak mendapatkan dukungan dari beberapa warga dunia. Komitmen tersebut ditunjukkan melalui larangan masuk 10 ribu orang dari 91 negara yang terlapor mempunyai jaringan dengan ISIS di Suriah dan Irak, dan sejumlah 1,085 warga asing dari 74 negara sudah dideportasi dari Turki dengan alasan keterkaitan dengan ISIS.

Sejauh ini, Turki memang menjadi tempat transit bagi banyak kelompok yang hendak mendarat ke Suriah dan bergabung dengan militan ISIS. Perbatasan daratan Turki-Suriah sepanjang 911 km menjadi pintu penyeberangan yang telah meloloskan banyak militan ke Suriah. Menteri Luar Negeri Turki Mevlüt Çavuşoğlu sendiri sudah mengakui bahwa negaranya tidak akan bisa menjamin 100 persen keamanan di perbatasan. Sehingga pemerintah Turki secara terbuka meminta kerjasama intelegen internasional untuk mencegah para militan bergabung dengan ISIS.

Di samping itu, kemudahan untuk mendapatkan visa Turki melalui fasilitas visa on arrival dan e-visa dimanfaatkan oleh sekelompok warga Indonesia yang sebelumnya sudah terlibat dalam jaringan terorisme transnasional. Kedua negara tentu harus semakin waspada terhadap kelompok-kelompok yang menyamar sebagai turis sebelum kemudian menyiapkan diri menyeberang ke Suriah untuk bergabung dengan ISIS.

Untuk itu, kabar terbaru 16 WNI yang ditangkap di Turki harus menjadi cambuk bagi pihak-pihak berwenang Indonesia dan masayarakat luas ihwal ancaman jaringan ISIS yang sudah merasuki Indonesia. Simbol dan aktivitas beberapa kelompok di Indonesia yang mengibarkan bendera ISIS atau menyatakan dukungan terhadap organisasi teroris ini harus dihadapi secara serius. Karena ancaman besarnya adalah kehidupan bangsa dan negera Indonesia itu sendiri.

Musuh Bersama

Di Indonesia, keberadaan kelompok-kelompok yang berafiliasi dengan teroris dan mendukung ISIS secara terbuka harus disikapi sebagai musuh bersama. Imej common enemy harus dibangun sebagai bentuk solidaritas sosial yang berdasarkan kepada hajat hidup bersama sebagai satu bangsa dan negara yang hidup dengan filosofi Pancasila. Dengan alasan apapun, tindak-tanduk ISIS jelas-jelas akan menjadi ancaman bagi keberlangsungan kehidupan bangsa Indonesia yang multikultural. Untuk itu, Indonesia harus memotong alur dan proses pembenihan kelompok ISIS sejak dini.  

Kita menyaksikan bagaimana kesintingan kelompok yang menobatkan diri sebagai khalifah di daerah Syam dan Irak (Sham and Levant) ini ditentag oleh mayoritas umat Muslim dunia. Kelompok yang dipimpin oleh Abu Bakr al-Baghdadi bersama jaringan organisasi ekstrimis lain seperti Jabhah Nusrah sudah menghacurkan banyak situs-situs sejarah dan peradaban Islam yang pernah lahir di masa-masa kejayaan era Umaiyah di Suriah dan dan Abbasiyah di Irak. Makam ulama besar seperti Imam Nawawi di Suriah, masjid bersejarah Hema Kado sisa peninggalan Ottoman di Mosul, dan bahkan pun makam Nabi Yunus di Mosul Irak ikut dihancurkan. Sementra situs-situ tua peradaban Mesopotamia seperti kota Namrud di Mosul dan situs-situ peninggalan Suryani ikut lenyap di tangan ISIS.

Tindak tanduk dan serangkaian kejahatan yang dilakukan oleh ISIS di atas sudah memberikan justifikasi ihwal ideologi teroris yang telah mencoreng wajah Islam sendiri. Mereka yang mendeklarasikan dirinya sebagai khalifah dan mengatasnamakan Islam justru lambat laun menghabisi sisa-sisa kejayaan sejarah dan peradaban yang pernah dibangun oleh Islam sendiri. Fakta tersebut adalah bukti yang sama sekali tidak dapat dibenarkan atas nama alasan apapun. Lebih parah lagi, kita jamak menyaksikan bagaimana kelompok ini tak segan-segan membunuh dan memerangi umat Islam lainnya, tidak peduli Sunni ataupun Syiah.

Isu awal yang kencang dikibarkan ISIS (seperti dituturkan sendiri oleh warga Suriah yang menjadi pengungsi di Turki sehingga mendapatkan dukungan dari kelompok pemberontak anti pemerintah) adalah untuk melawan kekuatan Syiah di belakang pemerintahan Peresiden Suraih Bashar al Assad. Namun dalam perkembangannya, ISIS tidak lagi mengusik dan memerangi pemerintah Suriah. Mereka justru melebar membuat kekacauan demi kekacauan di perbatasan Irak-Suriah dan Turki. ISIS kini menjadi monster yang justru memboldozer semua umat Islam yang berseberangan dengan kelompoknya.

Akhir-akhir ini, kelompok-kelompok yang awalnya tidak mempercayai benih-benih ISIS ditanam dan dibiarkan subur oleh Amerika (disentail dan dilatih) mulai yakin bahwa ISIS adalah ancaman nyata bagi umat Islam di seluruh dunia, dengan memperkeruh wajah Islam itu sendiri. Di samping itu, beberapa analisa dari Steven Kelley dan Randal Howard Paul yang mengatakan bahwa Amerika sengaja membuat perang kotor (dirty war) untuk mengacaukan kawasan Timur Tengah, dengan membuat musuh jejadian (fabricated enemy) mulai terlihat jelas. Bahkan mantan pegawai CIA seperti Edward Snowden ikut membuka tabir gelap yang dianggap konspirasi ini bahwa intelegen Amerika, Inggris dan Israel ikut andil melahirkan ISIS. Identitas Al-Baghdadi yang sebelumnya pernah dibocorkan lewat kawat Wikileaks sebagai milisi yang dilatih langsung oleh CIA dan Mossad semakin mendapatkan pembenaran.

Menghadapi fakta krusial tersebut, strategi untuk memunculkan musuh bersama bagi rakyat Indonesia terhadap benih-benih ISIS yang mulai lahir adalah sebuah keharusan. Indonesia yang mengemban diri sebagai penduduk Muslim terbesar di dunia harus benar-benar memberikan contoh bagaimana mengembalikan wajah Islam yang rahmat kepada semua alam. Nilai-nilai toleransi dan multikultural yang dibangun sebagai asas berbangsa dan bernegara harus ditempatkan sebagai falsafah hidup yang harus diperjuangkan setiap waktu.

Di samping pemerintah dan intelejen negara harus berisiatif untuk memotong jaringan ISIS di Indonesia, sehingga tidak lagi terulang seperti kasus seperti 16 WNI yang ditangkap di Turki, masyarakat juga harus dididik secara kritis tentang ancama nyata ISIS dan jaringan-jaringan yang berhaluan sama. Karena mereka kelak sangat berpotensi besar memorak-porandakan kehidupan bangsa dan negara, seperti Suriah dan Irak sekarang.

Sunday, April 19, 2015

Kisah Epik dari Pinggiran

Versi cetak tulisan ini dimuat di Jawa Pos, 19 April 2015 

Tanggal 9 Desember 2014 silam novel baru Orhan Pamuk, peraih hadiah Nobel Sastra 2006, berjudul Kafamda bir Tuhaflık (Sebuah Keanehan dalam Pikiranku) terbit serentak di beberapa kota di Turki. Sebelum ini Pamuk sudah menerbitkan novel fenomenal berjudul Masumiyet Müzesi (Museum Kepolosan, diterjemahkan ke bahasa Inggris The Museum of Innocence oleh  Maureen Freely) tahun 2008 dan mendulang sukses sebagai buku laris di pasar internasional.

Dalam novel ini, Pamuk menurunkan tingkat kerumitan dalam hal teknik dan bahasa yang digunakan. Kita akan mudah menemukan percakapan sehari-hari gaya rakyat kecil biasa. Ini tentu bukan tanpa alasan, alih-alih melacurkan kualitas yang tertahkikkan pada karya-karya sebelumnya dan sekaligus mendapatkan tempat di pentas dunia, seperti misalnya Buku Hitam, Namaku Merah, Salju dan Museum Kepolosan. Sejak awal, dalam beberapa wawancara dengan media-media di Turki, Pamuk mengutarakan maksud kehadiran novel ini sebagai kisah cinta dan sekaligus epik modern (hem bir aşk hikâyesi hem de modern bir destan) yang dibingkai dalam perspektif orang pinggiran: dari rural ke urban dengan mementaskan tokoh utama bernama Mevlut, seorang vendor di metropolitan Istanbul.

Pamuk paham siapa Mevlut, seorang bocah yang baru lulus SD dari sebuah kabupaten bernama Beyşehir di provinsi Konya, daerah Anatolia Tengah yang datang ke Istanbul sebagai perantau. Kepolosan, keunikan, keterperangahan, dan bahkan keanehan (tuhaflik) dihadirkan secara ciamik oleh Pamuk demi mementaskan kehidupan urban dalam kacamata seorang penjual Boza. Mevlut merantau ke Istanbul di usia 12 tahun. Pagi sekolah, sore belanja yogurt dan barang-barang kebutuhan ke pasar, malam tepatnya selama musim dingin berjualan Boza.

Potret kehidupan anak desa polos dikemas dengan gaya humor proporsional. Novel ini paling jitu dalam aspek menyajikan humor dan selingan folklor paling topcer dari karya-karya Pamuk sejauh ini. Meski tak seganas Salju dan sekeruh kisah cinta sentimentil ala Museum Kepolosan, novel ini mengoperasikan perjuangan cinta dengan kadar kepolosan seorang yang apa adanya. Pamuk benar-benar mempelajari hal-ihwal dunia keseharian rakyat jelata di Istanbul secara teliti: harapan dan mimpi, kultur dan perspektif keseharian, konflik dan perselisihan, semangat kerja dan kecurangan.

Kisah dimulai dengan proses penculikan seorang gadis tetangga desa Mevlut di Beyşehir. Mevlut menuliskan surat-surat cinta kepada Rahiya, gadis yang ditemuinya pertama kali dalam sebuah acara keluarga, selama tiga tahun. Durasi pertemuan singkat itu ternyata menumbuhkan benih cinta yang deras oleh sebab keindahan matanya. Ia tak tahu siapa nama gadis itu (karena tidak pernah berkenalan langsung) selain mendapatkan info dari Sulaiman, sepupu Mevlut. Dengan dibantu Ferhat dan sebuah buku contoh surat cinta berjudul En Güzel Aşk Mektupları ve Mektup Örnekleri (hal 150), Mevlut makin gencar mengirimkan surat-surat cinta kepada Rahiya. Bahkan ketika menjalankan tugas wajib militer (askerlik) di Kars, ia menyempatkan diri menuliskan surat cinta untuk pujaan hatinya (hal 157). Di usianya yang ke-25, tepat 17 Juni 1982, di sebuah malam yang gelap Mevlut berhasil menculik Rahiya, putri Abdurrahman Efendi, dengan bantuan Sulaiman. Malam itu pula Rahiya dibawa kabur ke Istanbul, tempatnya merantau sejak kecil, lalu dinikahinya.

Di Istanbul, kota yang menyatu sebagai lokus, habitus dan ruh kepenulisan Pamuk, cerita berkembang deras. Pamuk meminjam mata seorang Mevlut untuk melihat kondisi sosial dan ekonomi masyarakat Istanbul. Setiap malam, di saat menjajakan Boza, Mevlut menemui aneka ragam kehidupan Istanbul: kultur dan emosi orang-orang kota, juga proses transisi dan transformasi dari tahun ke tahun. Ia menjadi saksi hidup atas transformasi kota Istanbul dari tahun 1968 hingga 2012 (sampai novel ini berakhir). Mevlut dan Boza adalah dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan. Bahkan ia berjanji di akhir novel ini: “ben kıyamete kadar boza satacağım (saya akan menjual Boza sampai kiamat)”.

Mevlut mondar-mandir dari satu rumah ke rumah lain, menemui banyak macam pelanggan dengan kultur dan ideologi masing-masing: kelompok pemuda laki-laki dan perempuan pemabok (hal 32), sekumpulan orang-orang usil dan pelit (38), gerakan dan konflik kelompok Islamis dan sosiolis-komunis (hal 101 & 110), jamaah organisasi Islam (283), dan kasus-kasus korupsi dan mafia (hal 385). Selain detail-detail tersebut, garis besar yang disajikan dalam novel ini adalah kehidupan miskin kota yang diwakili oleh Mevlut dan keluarganya juga teman-temannya yang tinggal di perkampungan kumuh (gecekondu) bernama Kültepe dan Duttepe, dua nama fiktif untuk daerah perkampungan perbukitan di Istanbul.

Detail kehidupan Istanbul terekam utuh di mata Mebvlut, hadir dibalik kepolosan, kejujuran dan keanehan-keanehannya. Misalnya, Mevlut bisa mengidentifikasi keluarga sekuler dan keluarga agamis (dindar aileler) melalui cara bagaimana mereka mempersilahkan Mevlut masuk ke rumahnya: apakah sandal bisa dipakai masuk rumah atau ditaruh di luar (hal 31). Agar tidak terjebak dalam kerumitan, novel ini mengambil jarak dari centang-perenang politik. Ketika ada sedikit konflik politik dimunculkan misalnya kudeta militer yang kerap berakhir tragis, kasus mafia listrik yang dilakukan Ferhat hingga tragedi pembunuhan Ferhat sendiri yang gelap dan berakibat Mevlut ditangkap polisi (hal 381) sebagai teman dekatnya, Mevlut terselamatkan oleh keluguannya yang tak ingin menahu hal-ihwal politik (ben siyasetten hiç anlamam) (hal 386).

Hal-hal kecil begini—renungan intens ihwal pergulatan rakyat kecil—justru menegaskan novel ini sebagai distingsi atas karya Pamuk yang lain. Keanehan yang menggelikan akhirnya muncul setelah Rahiya meninggal. Terbongkar fakta bahwa surat-surat cinta yang ditulis Mevlut sebenarnya dimaksudkan untuk Samiha, adiknya Rahiya sendiri, tapi Sulaiman salah maksud (hal 412). Akhirnya karena sama-sama sebagai duda dan janda, Mevlut dan Samiha sepakat untuk menikah (?). Sayang, pernikahan Mevlut dan Samiha terjadi di bagian penutup. Seandainya boleh meminta Pamuk meneruskan novel ini, pergaulan hidup yang konyol dan aneh dari pasangan tua yang baru ini akan menyeruak tak terampuni.

Akhirnya, dengan novel yang mencatat rekor karena menembus penjualan 180 ribu eksemplar dan naik cetakan ke-3 di Turki dalam sebulan, Pamuk telah lulus menghadirkan karya bermutu tetapi sederhana dan merakyat dengan logika populer kaum pinggiran dalam melihat transformasi kota Istanbul.

Sumber Foto: 1. Opik (Sumenep), 2. Faqih (Bali)

Saturday, April 18, 2015

Obrolan Syiah Berakhir “Unfriend”


17 April 2015 kemarin saya mengomentari sebuah status Facebook seorang teman yang saya anggap sebagai guru. Guru, karena dia sudah menyampaikan beberapa potongan ilmu kepada saya tentang isu environment dan jenis-jenis makanan tradisional Indonesia (khurusnya Indonesia Timur) --kalau saya tidak salah ingat tentang sesi yang dia isi di sebuah acara yang mempertemukan saya denganya. Dalam status tersebut dia share sebuah tautan berita berjudul Seorang Ayah & Anak Di Iran Akan Di Eksekusi Mati Karena Solat 5 Waktu dari sebuah blog beralamat di sini beritaislaminews.blogspot.com. Ingat, sumber yang seolah berita tersebut dari sebuah blog personal. Ya, seperti blog saya ini. Bisa saja opini pribadi, berita atau bahkan penyebaran isu-isu kebencian. Who knows

Karena saya juga tidak tahu, lalu terjadilah obrolan berikut ini sebagai proses ingin tahu:


Saya tidak tahu banyak siapa Amar Ma'ruf selain seorang sarjana master (waktu itu sekitar awal tahun 2011) lulusan Belanda yang mengisi sebuah sesi acara konferensi internasional di Yogyakarta. Saya tidak butuh menelisik siapa orang ini, karena saya mengamalkan ilmu pendek saya dari guru-guru di pesantren yang pernah mengajarkan Pepatah Arab ini: undzur ma qola wala tandzur man qola.

Sebagai pengisi sebuah sesi acara, tentu saya (dan mungkin sebagian teman) akan cukup baik mengingatnya, apalagi ada sesi perkenalan dan kontak personal. Pertemanan pun berlanjut di Facebook setelah saya add tentunya. Pasti Amar tidak mengenal siapa saya, dan itu tidak penting. Yang penting saya mengenal dia, seseorang yang sudah memberikan sesempal ilmu yang harus saya hormati.

Layaknya pertemanan kebanyakan di media sosial, tak ada komunikasi di antara kami selain kalau ada isu-isu khusus, tertentu atau menjadi konsen masing-masing. Sekitar akhir 2014 dan awal 2015, saat isu Syiah-Sunni makin kencang di Indonesia, saya menemukan postingan yang muncul di jendela Facebook saya dengan nama “Abu Dihyah Amar Ma'ruf”, salah satu orang yang paling gencar menyebarkan serangan untuk kelompok Syiah. Saya tidak kenal nama itu. Satu dua kali saya lewatkan, tapi nyaris setiap postingan dia memunculkan isu yang satu ini. Setelah saya cek ternyata beliau Amar Ma'ruf yang saya kenal (bukan dia yang kenal saya) pada tahun 2011 silam, seorang mahasiswa master alumni Belanda.

Dengan maksud agar dibaca oleh teman-teman luas, saya pasang juga tautannya di akun Facebook saya. Tujuan saya memindahkan obrolan dengan Bung Amar ke Facebook saya pribadi sederhana: agar cara-cara asal-comot dari sumber berita, opini, dll di internet yang begitu mudah dan cepat perlu tambah awas dan sekaligus mawas diri. Tapi karena postingan Amar Ma'ruf tidak disetel “public” (sehingga tidak bisa dibuka oleh selain teman Facebook-nya), akhirnya saya pasang crop di atas di kolom komentar, atas inisiatif saya sendiri dan karena juga ada seorang sahabat baik minta.

Dan betul, teman saya tadi langsung berkomentar: Eh, itu beneran dia alumni belanda? Kalau iya, gaya berpikirnya kok masih udik begitu ya, bung...

Lalu, tidak sampai dari durasi satu jam, saya di-unfriend, sebuah peristiwa yang sebelumnya sulit saya alami dalam dunia per-Facebook-an. Dan saya pun langsung message dia via Facebook sebagai permintaan maaf bahwa saya tidak ada maksud menyakiti atau menyerangnya, selain hanya berdiskusi—seperti dalam crop-an di atas.

Akhi Amar Ma'ruf…. Selamat beraktivitas.

Wednesday, April 15, 2015

Ihwal Karya-Karya Sastra yang Meresap dalam Tubuhku

Sekitar medio 2009, saya berjumpa Mas Paox Iben, seorang novelis, guru teater yang sekaligus teman baik yang sengit bila diajak diskusi. Obrolan mengalir begitu saja ihwal sastra. Saya pun menyebutkan beberapa sastrawan yang karyanya saya baca waktu masih duduk di bangku MTs. Dari sekian nama yang saya sebutkan, nama N. Marewo akhirnya menjadi lokus yang saya ulang untuk memastikan sosok yang satu ini. Dengan yakin, Mas Paox bilang jika Marewo ada dan hidup di Lombok, tempat Mas Paox tinggal. Ternyata Marewo adalah teman Mas Paox di Pulau Lombok sana. Sontak saya terheran dan senang. Maklum, salah satu penulis yang saya suka (dan saya membayangkan dia sebagai sosok misterius awalnya) masih ada wujudnya, meskipun dalam 10 tahun terakhir sudah tidak pernah lagi menulis untuk media massa. Saya pun berjanji jika ada waktu main ke Lombok sungguh ingin berjumpa dengan Marewo.

Jika diberikan kesempatan bertemu dan mengobrol langsung dengan para penulis yang telah membentuk dan memantik jalan proses menulis dan proses menapaktilasi hidup, saya akan menyebutkan nama-nama seperti N. Marewo, Ahmad Tohari, Seno Gumira Adjidarma, Budi Darma dan Adek Alwi. Mereka adalah penulis sastra yang awal sekali saya temukan karya-karyanya di antara tumpukan klipingan koran Kompas, Jawa Pos dan Surabaya Post, di samping juga buku-buku mereka yang sudah terbit. Mereka semua saya kenal waktu saya masih tahun pertama dan kedua di bangku MTs.

Foto dari Facebook N. Marewo
Khusus untuk Marewo dengan novelnya berjudul Lambo, saya mempunyai testimoni khusus. Novel ini sempurna menjadi semacam pembuka wawasan "pemberontakan" pada diri saya untuk segera bergegas pergi. Lambo bersama Jiwa-Jiwa Pemberontak-nya Gibran, Ronggeng Dukuh Paruk-nya Tohari dan Perempuan di Titik Nol-nya Sadaawi adalah sederet buku yang saya sadari, khususnya setelah akhir-akhir di Yogyakarta tahun 2012, menjadi semacam “pengusik” yang sempurna.

Lambo tidak mengajarkan “kelas inspirasi” dan menjejalkan “ceramah”. İa menjadi dirinya sendiri yang tak pernah ditumpangi oleh Marewo untuk menceramahi orang lain agar bergerak. Namun Lambo tidak bisa gagal mengusik saya agar segera melangkah dan melampaui... seperti halnya Firdaus di tangan Sadaawi dan Rasus atau Srintil dalam anyaman Tohari—tentu dengan dunianya masing-masing.

Saya menulis catatan ini dengan membayangkan Lambo yang remang dalam ingatan, dan sekaligus tidak bisa langsung ambil novel itu di rak. Maklum lagi di rantau (menjadi Lambo yang lain).

Salam buat Bang Marewo. Semoga dianugerahkan kesehatan senantiasa, dan tetep produktif berkarya.

Monday, April 13, 2015

Jalan ke Bukit Itu setiap Hari Berubah

jalan ke bukit itu setiap hari berubah, kawan. kita melangkah
pada dadu yang dilempar entah oleh tangan siapa, tapi kita
sudah percaya di sana nasib ditanam dan tumbuh senyap
jalan-jalan yang diterka sebagai denyar pada lipatan gelap
kita tak pernah menyangka sore itu, selangkang lembah
tiba-tiba berkabut basah. dan langkah kita bertebing perangai-
perangai musim gugur yang sangsai. kita tenggelam sempurna
dalam remang sebelum senja selesai. tapi kita terus berjalan
kepada keyakinan masing-masing, dari bisikan-bisikan
dan anuswara lembah, meski di depan kita sempurna gelap!

apabila pagi sudah tiba, kita sepakat akan berjumpa di sebuah
persimpangan waktu, jalan ke bukit yang selalu bergemuruh
aku akan menjadi tengkorak dan engkau akan menjelma pohon
lalu kita bersitatap dan berucap, “yang ditanam dan tumbuh
senyap, di sini kita berjalan kepada lipatan kesunyian nasib
masing-masing.”

sudah berapa ribu tahun kita mencari jalan yang sama, kawan?
sebelum habis, kita akan menjelma sebagai jalan ke bukit itu
tulang-belulangku lesap di jalan ini dan engkau tumbuh sebagai
pohon yang muram. sementara orang-orang akan berjalan di
antara kita. mari saksikan apakah mereka akan saling mengutuk
di jalan menuju bukit itu?


(2009-2015)