Ziarah ke Museum of Innocence

Kemal menemukan kebahagian mencintai seorang Füsun dengan segenap warna dan misteri.

Saat itu ibuku menangis

Buat kakakku Hermanto Junaidi yang sedang damai bersemayam di bawah pohon ketapang, tempat aku selalu menjengukmu, saat pulang, atau saat pergi sekalipun.

Indeks Perdamaian Kota Itu Perlu

By measuring the state of peace, we can further our understanding of the social, political and economic factors that help develop more peaceful environments

Tentang Ingatan dan Ideologi

The struggle of man against power is the struggle of memory against forgetting” — Milan Kundera (The Book of Laughter and Forgetting).

A Journey: from Border to Border

Midyat is one of a must visited historical places in Mardin beside Old Mardin. Overall this city is cited as paths of the early civilizations named Mesopotamia or far before it—if we talked about Christianity and Jews history as well for its strategic location with rocky hill and plain near the Tigris River.

Sunday, February 13, 2022

Eftalya Ruhum: Pempers kan Jadi Sampah!

Saya betul-betul berjuang untuk membuat Ef tidak memakai popok sebisa mungkin. Ini bukan soal membeli popok (bagian ini saya ceritakan di akhir), tetapi sebuah percobaan yang saya lakukan untuk anak pertama kami ini.

Sejak usia 15 bulan, latihan toilet saya lakukan dengan konsisten, tentu saja sebisa saya. Apa yang saya lakukan? Maksimal setiap dua jam, saya membawa Ef ke toilet dan memintanya untuk pipis (jika mau pipis tentu saja). Di tengah-tengah saya bekerja menulis, bab latihan toilet ini sudah menjadi prioritas yang harus selalu saya kerjakan. Dan ternyata manjur. Satu bulan lebih berlatih, Ef berhasil setiap mau pipis akhirnya minta dibawa ke tolilet, bahkan termasuk ketika tidur di tengah malam. Dirinya risih untuk ngompol di tempat tidur.

Ef nyaris tidak pernah ngompol sejak 16-28 bulan. Ngompol pun bisa dihitung dengan jari. Kami tentu saja sangat senang dengan perkembangan ini. Tetapi kebiasaan itu tidak berlanjut setelah Ef disapih. Ada pengalaman berbeda di luar kendali dan “kemampuan" kami. Gara-garanya: kami tidak bisa menyapih sendiri. Apalagi saya, mendengar tangis Ef sudah cukup membuat runtuh pikiran dan empati.

Akhirnya Ef dibawa ke rumah neneknya di Cilacap. Ya, Ef disapih di sana dengan cara dipisahkan langsung dari ibunya. Berhasil disapih tetapi sebagai ongkosnya adalah minum dot. Apalagi di waktu yang sama ada kakak sepupunya yang masih ngedot di usia 4 tahun. Klop, Ef punya role model dengan minum susu formula (bahkan bisa sampai dua botol besar sebelum tidur).

Kembali ke Jogja, saya menghadapi situasi yang cukup berat. Saya sangat bertekad Ef kembali ke semula: tidak ngompol di tempat tidur. Tapi coba bayangkan, seorang anak dua tahunan harus meminum susu dot berisi 240 ml dan rata-rata dua botol dot sebelum tidur. Saya hanya bertahan 3 malam mengajaknya ke kamar mandi untuk pipis setiap 2-3 jam. Tapi gagal, karena bahkan Ef ngompol baru sekitar 15 menit setelah tidur.

Jalan yang harus ditempuh adalah memakaikan popok. Tiap malam dari usia 28 bulan hingga tadi malam (12 Februari 2022), 6 hari sebelum merayakan ulang tahunnya yang ke-3. Entah kenapa, Ef datang ke kamar kerja saya dan meminta untuk tidur bareng saya. Tanpa minum susu lagi. Keesoan harinya saya ajak mengobrol Ef.

“Terima kasih, ya Nak, sudah tidak memakai popok lagi dan Ef tidak ngompol.”

“Kan Ef udah gede.” Ini kalimat yang terus diulang-ulang untuk menunjukkan bahwa dirinya sudah tidak bayi lagi. Misalkan ketika mau pakai baju, dia ingin memakainya sendiri; ketika ingin mandi, pun minta mandiri sendiri (meski sering main air) dengan mengatakan kalimat yang sama. Kalimat ini sebenarnya sugesti dari saya biar Ef makin suka makan, karena kalau doyan makan nanti akan cepat gede, cepat kuliah dan cepat ke mana-mana sendiri.

Selain “Ef udah gede”, saya menceritakan bagaimana popok menjadi sampah.

“Sampah kita dibuang ke mana, Nak?”

“Ke truk sampah.”

“Setelah dari truk sampah dibuang ke mana?”

“Nggak tahu,” timpal Ef. Saat begini saya bisa bercerita bawa sampah kita, termasuk popok Ef, dibuang di TPA Piyungan. Saya ceritakan bagaimana sampah orang se-Jogja dikumpulkan di sana. Saya dramatisir sampah seperti gunung yang bau busuk. Orang-orang yang tinggal di sekitarnya setiap hari mencium bau sampah.

“Apakah Ef mau mencium bau sampah setiap hari?”

“Tidaak hueeek.”

Saya memeluk Ef, lalu membisiki, “kalau begitu, kita harus mengurangi membuang sampah ya, Nak.”

Ef sepertinya tidak paham kalimat terkahir saya. Tidak apa-apa. Saya sudah biasa berdrama dengan Ef sedemikian rupa.  

Malam ini, pukul 20:21 Ef sudah sudah tidur. Normalnya jam tidurnya antara pukul 21 hingga 23 tiap malam. Ef tidur awal, sekitar pukul 19:00 tadi. Satu jam setelahnya saya bangunin Ef dan membisikkan untuk pipis di kamar mandi. Ternyata belum mau. Tepat pukul 20:10 saya goda dengan membisikkan kalimat, “Bentar tak pakein pampers lho kalau tidak pipis dulu.”

Ef buka meminta untuk dibawa ke kamar mandi sembari berkata di tengah sadar dan ketidaksadarannya:

“Pempers kan jadi sampah.”

Saya sangat terharu dan bersyukur Ef akan berubah! Bismillah.