Ziarah ke Museum of Innocence

Kemal menemukan kebahagian mencintai seorang Füsun dengan segenap warna dan misteri.

Saat itu ibuku menangis

Buat kakakku Hermanto Junaidi yang sedang damai bersemayam di bawah pohon ketapang, tempat aku selalu menjengukmu, saat pulang, atau saat pergi sekalipun.

Indeks Perdamaian Kota Itu Perlu

By measuring the state of peace, we can further our understanding of the social, political and economic factors that help develop more peaceful environments

Tentang Ingatan dan Ideologi

The struggle of man against power is the struggle of memory against forgetting” — Milan Kundera (The Book of Laughter and Forgetting).

A Journey: from Border to Border

Midyat is one of a must visited historical places in Mardin beside Old Mardin. Overall this city is cited as paths of the early civilizations named Mesopotamia or far before it—if we talked about Christianity and Jews history as well for its strategic location with rocky hill and plain near the Tigris River.

Friday, June 17, 2022

Sambutan SISKA MA 1 Annuqayah

 Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarkatuh

 Yang terhormat masyaikh, kiai, dan para guru khususnya di lingkungan Madrasah Aliyah 1 Annuqayah.

Segala puji dan syukur kita haturkan kepada Allah yang telah menghujani kita kasih sayang, rida dan anugerah yang tak terhingga. Salawat kita panjatkan kepada Rasulullah Muhammad atas semua perjuangan dan pengorbanannya untuk jalan terang dan penuh hikmah umat-Nya.

Adik-adik santri yang pembelajar….

Kelulusan ini menjadi momentum penting bagi kalian, semacam milestone untuk masa depan yang panjang nan “remang”. Saya katakan remang karena tidak ada seorang pun yang mampu mengendalikan masa depan; kita hanya sama-sama bertugas mempersiapkan sebaik-baiknya, menjalaninya setulus-tulusnya. Karena “masa depan remang” itulah kalian harus mempersiapkan suluh bagi diri kalian sendiri, langkah dan pilihan-pilihan hidup yang harus diperjuangkan dan dipertaruhkan. Siapa yang mampu berjalan tegap dan kokoh di tengah keremangan ruang di masa depan (dengan cahaya ketekunan dan pengorbanan yang menyublim dalam ilmu yang bermanfaat), mereka adalah calon-calon pemimpin yang tangguh dan penyejuk bagi agama, keluarga dan bangsa.

Adik-adik santri yang pembelajar….

Di tengah ruang remang masa depan yang sebentar lagi kalian tapaki, ilmu dan pengalaman selama menjadi santri di Annuqayah harus terus diperjuangkan dan dikembangkan selaras dengan minat dan jalan hidup kalian. Sehingga masa depan kalian menjadi berwarna dengan basis dan prinsip yang kokoh dan juga kaya.

Adik-adik santri yang pembelajar….

Dulu, ketika saya sudah mau lulus dan membayangkan masa depan yang panjang, saya bilang pada diri saya di tengah hening doa: “Perang sebenarnya adalah ketika lulus dari pesantren!” Baik bagi yang melanjutkan berkuliah di luar, memilih tetap lanjut di Annuqayah atau Kembali ke masyarakat, definisi “perang” sama-sama bisa disematkan sebagai spirit perjuangan yang harus benar-benar dipersiapkan. Berkuliah artinya sudah siap menjadi “maha”siswa, jenjang pendidikan bagi orang yang menuju dewasa. Ketergantungan semakin menipis, kemandirian semakin menguat dan sekaligus menentukan. Untuk itu, “peralatan perang” sudah harus siap, baik bagi kalian yang lanjut studi maupun memilih mengabdi dan kembali ke tengah masyarakat.

Adik-adik santri yang pembelajar….

Saya tidak mempunyai hal yang istimewa. Saya adalah duplikat kalian semua, sama seperti di saat kalian membaca pesan ini. Menjadi santri, belajar di sekolah, mengaji kitab kuning, berziarah, menghapal beberapa pelajaran, membaca buku-buku, menulis, berkompetisi ikut perlombaan, berolahraga, bernapak tilas…. Semua ini adalah lelaku standar yang rata-rata kalian lakukan. Tidak ada yang spesial, sekali lagi. Tetapi, sebagai santri, doa-doa dari para kiai dan guru kita adalah keajaiban yang melampaui semua logika, menjadi keberkahan yang tidak terumuskan. Dan kita mengharap itu selalu.

Untuk itu, adik-adik santri yang pembelajar….

Cintai dan hormati para kiai dan guru-guru kita. Doakan dan jika memungkinkan sungkem kepada mereka satu per satu dan meminta doa restu, lepas selubung kesombongan dan tandaskan hati nurani kalian apa adanya. Karena selain doa dari orang tua, doa restu dan keihklasan para kiai dan guru-guru kitalah yang menyertai sepanjang perjalanan ini.

Terakhir, asah dan miliki life skill dengan sebaik-baiknya. Karena di tengah belantara masa depan itu, life skill inilah yang senantiasa menopang bahkan menjadi tulang punggung.

Demikian. Salam takzim dar saya, alumni MA I Annuqayah tahun 2004. Jika sedang berada di Jogja, silakan mampir dan kita bersilaturahim.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarkatuh

 Yogyakarta, Mei 2022

Bernando J. Sujibto

 

Sunday, February 13, 2022

Eftalya Ruhum: Pempers kan Jadi Sampah!

Saya betul-betul berjuang untuk membuat Ef tidak memakai popok sebisa mungkin. Ini bukan soal membeli popok (bagian ini saya ceritakan di akhir), tetapi sebuah percobaan yang saya lakukan untuk anak pertama kami ini.

Sejak usia 15 bulan, latihan toilet saya lakukan dengan konsisten, tentu saja sebisa saya. Apa yang saya lakukan? Maksimal setiap dua jam, saya membawa Ef ke toilet dan memintanya untuk pipis (jika mau pipis tentu saja). Di tengah-tengah saya bekerja menulis, bab latihan toilet ini sudah menjadi prioritas yang harus selalu saya kerjakan. Dan ternyata manjur. Satu bulan lebih berlatih, Ef berhasil setiap mau pipis akhirnya minta dibawa ke tolilet, bahkan termasuk ketika tidur di tengah malam. Dirinya risih untuk ngompol di tempat tidur.

Ef nyaris tidak pernah ngompol sejak 16-28 bulan. Ngompol pun bisa dihitung dengan jari. Kami tentu saja sangat senang dengan perkembangan ini. Tetapi kebiasaan itu tidak berlanjut setelah Ef disapih. Ada pengalaman berbeda di luar kendali dan “kemampuan" kami. Gara-garanya: kami tidak bisa menyapih sendiri. Apalagi saya, mendengar tangis Ef sudah cukup membuat runtuh pikiran dan empati.

Akhirnya Ef dibawa ke rumah neneknya di Cilacap. Ya, Ef disapih di sana dengan cara dipisahkan langsung dari ibunya. Berhasil disapih tetapi sebagai ongkosnya adalah minum dot. Apalagi di waktu yang sama ada kakak sepupunya yang masih ngedot di usia 4 tahun. Klop, Ef punya role model dengan minum susu formula (bahkan bisa sampai dua botol besar sebelum tidur).

Kembali ke Jogja, saya menghadapi situasi yang cukup berat. Saya sangat bertekad Ef kembali ke semula: tidak ngompol di tempat tidur. Tapi coba bayangkan, seorang anak dua tahunan harus meminum susu dot berisi 240 ml dan rata-rata dua botol dot sebelum tidur. Saya hanya bertahan 3 malam mengajaknya ke kamar mandi untuk pipis setiap 2-3 jam. Tapi gagal, karena bahkan Ef ngompol baru sekitar 15 menit setelah tidur.

Jalan yang harus ditempuh adalah memakaikan popok. Tiap malam dari usia 28 bulan hingga tadi malam (12 Februari 2022), 6 hari sebelum merayakan ulang tahunnya yang ke-3. Entah kenapa, Ef datang ke kamar kerja saya dan meminta untuk tidur bareng saya. Tanpa minum susu lagi. Keesoan harinya saya ajak mengobrol Ef.

“Terima kasih, ya Nak, sudah tidak memakai popok lagi dan Ef tidak ngompol.”

“Kan Ef udah gede.” Ini kalimat yang terus diulang-ulang untuk menunjukkan bahwa dirinya sudah tidak bayi lagi. Misalkan ketika mau pakai baju, dia ingin memakainya sendiri; ketika ingin mandi, pun minta mandiri sendiri (meski sering main air) dengan mengatakan kalimat yang sama. Kalimat ini sebenarnya sugesti dari saya biar Ef makin suka makan, karena kalau doyan makan nanti akan cepat gede, cepat kuliah dan cepat ke mana-mana sendiri.

Selain “Ef udah gede”, saya menceritakan bagaimana popok menjadi sampah.

“Sampah kita dibuang ke mana, Nak?”

“Ke truk sampah.”

“Setelah dari truk sampah dibuang ke mana?”

“Nggak tahu,” timpal Ef. Saat begini saya bisa bercerita bawa sampah kita, termasuk popok Ef, dibuang di TPA Piyungan. Saya ceritakan bagaimana sampah orang se-Jogja dikumpulkan di sana. Saya dramatisir sampah seperti gunung yang bau busuk. Orang-orang yang tinggal di sekitarnya setiap hari mencium bau sampah.

“Apakah Ef mau mencium bau sampah setiap hari?”

“Tidaak hueeek.”

Saya memeluk Ef, lalu membisiki, “kalau begitu, kita harus mengurangi membuang sampah ya, Nak.”

Ef sepertinya tidak paham kalimat terkahir saya. Tidak apa-apa. Saya sudah biasa berdrama dengan Ef sedemikian rupa.  

Malam ini, pukul 20:21 Ef sudah sudah tidur. Normalnya jam tidurnya antara pukul 21 hingga 23 tiap malam. Ef tidur awal, sekitar pukul 19:00 tadi. Satu jam setelahnya saya bangunin Ef dan membisikkan untuk pipis di kamar mandi. Ternyata belum mau. Tepat pukul 20:10 saya goda dengan membisikkan kalimat, “Bentar tak pakein pampers lho kalau tidak pipis dulu.”

Ef buka meminta untuk dibawa ke kamar mandi sembari berkata di tengah sadar dan ketidaksadarannya:

“Pempers kan jadi sampah.”

Saya sangat terharu dan bersyukur Ef akan berubah! Bismillah.

Sunday, November 07, 2021

"Membuang Ibu"

Petang hari, kami bertiga biasa bermain dan bercengkrama. Sejak awal, saya dan istri memang sengaja memperhatikan dan menandai perubahan-perubahan Ef setelah tahu bahwa adiknya akan segera lahir. Kami menceritakan berulang-ulang tentang adiknya yang sedang dikandung di perut ibunya. Kami mengajak Ef untuk menyapa adiknya, atau membacakan salawat dan sebagainya. Satu di antara respon Ef adalah menolak dengan alasan adik sedang tidur di perut ibu dan tidak boleh diganggu.

Di awal-awal usia kandungan masih sekitar lima bulan, kondisi kehamilan istri belum terlihat, Ef menunjukkan ketidaksukaanya ketika ibunya bercerita ada adik di dalam perut. Masa-masa ini, di usia Ef yang menjelang 30 bulan, dia cenderung agresif seperti memukul dan menerjang perut ibunya. Ketidaksukaannya mulai terlihat sejak itu.

Respon lain yang paling kentara adalah sikap manja Ef yang tidak ketulungan. Apa-apa memaksa ibunya yang mengerjakan: menemani ke toilet, membikinkan susu dan sebagainya. Bagian ini, saya nyaris tidak bisa masuk dan bernegosiasi, meski kadang bisa menggantikan peran ibunya agar saya bisa menangani dan menemani Ef. Tapi itu porsinya sedikit. Saya minta istri harus lebih sabar menghadapi pengalaman unik begini.

Petang itu, ada satu kalimat yang membuat saya terperangah, diucapkan di sela-sela kami bermain. “Bah, ibu buang aja ya ke belakang!” Saya terhenyak, diam dan berpikir keras. Apa gerangan makna di balik kalimat itu? Saya memeluk Ef lebih erat dan mengobrolkan kenapa ibu mau diubang? Bukannya Ef sayang sama ibu, seperti sayang Babah kepada ibu dan Ef? Jawabnya masih ketus, “Ya, buang aja!

Dalam situasi demikian, saya memainkan kode mata dengan istri. Saya merasakan betul secara alamiah bagaimana anak pertama begitu susah menerima calon adiknya. Karena secara pengalaman banyak orang, ini momen di mana seorang kakak harus menghadapi kenyataan kasih sayang yang akan terbagi—tidak lagi bercurah kepada anak pertama, Eftalya Ruhum. Tetapi berkali-kali pula saya membisikkan kata sayang, cinta dan bahagia bersama-sama untuk mensugesti bahwa kami tetap seperti sedia kala.

Tetapi saya sangat senang Ef melontarkan ekspresi demikian. Saya menjadi tahu bagaimana rasa dan perasaan dia dalam situasi seperti ini. Dengan begitu kami harus lebih sadar dan awas menjelang kehadiran anak kedua kami, yang insya Allah laki-laki.

Doakan kami, handai tola dan seluruh semesta, atas keselamatan proses bersalin istri kami Desember nanti!


Tobratan, 08/11/2021: 12:34

Wednesday, September 15, 2021

Cerita untuk Eftalya Ruhum

(Nak, temukan tulisan ini saat kamu sudah bisa mencerna bacaan, pahami babahmu dari selaksa tulisan ini. Niscaya kamu akan paham lubang-lubang kecil di balik dada babahmu).

Betul bahwa "hayatımın en mutlu anıymışbilmiyordum" (Aku tidak mengerti kapan kenangan paling bahagia hidupku, meminjam kalimat pembuka novel Orhan Pamuk, Museum Kepolosan), tetapi hari ini, tepatnya pagi ini, saya menjumpai kebahagian itu menemui saya begitu polos, lewat mata dan mulut seorang bocah bernama Eftalya Ruhum, di usianya yang ke 2 tahun 7 bulan.

“Ibu guru, Ef datang…” suara anakku terdengar tergesa-gesa, antara diteriakkan atau bercakap begitu saja tepat ketika saya mengangkatnya dari motor, menaruhnya di pintu gerbang halaman sekolah. Dari pintu sekolah Penitipan Anak (TPA), daycare, muncul seorang guru. Saya bergemim, sepertinya Ef ingin menyapa gurunya bahwa dia sudah datang. [Ef sudah sekitar 5 kali diantar ke sekolah ini. Sebelum hari ini, saya pernah mengantarnya sendiri, tapi saya bawa balik lagi dan memanggil ibunya biar dia yang naruh ke sekolah itu. Saya belum bisa. Itu saja!]

Tapi pagi itu, semua begitu mudah!

Saya tercekat begitu hebat. Kikuk dan tidak bisa berkata banyak, selain memanggilnya sekali lagi, dan melambaikan tangan da-da-da-da. Air mata seorang ayah tiba-tiba merembes di sepanjang jalan saya kembali tergesa-gesa ke rumah untuk mengampu kuliah.

Ini peristiwa intrik kebudayaan yang luar biasa dalam diri saya. Sebagai orang yang relatif konservatif dalam soal mendidik anak dan keluarga—misalkan, anak kecil sebelum usia sekolah PAUD (4 tahunan) harus bersama dengan orang-orang terkasih di rumah, dan khususnya bertumbuh dalam didikan dan kebersamaan keluarga). Namun, zaman terus berkembang. Modernisme dan segala anak cucunya lahir tumpah ruah mengubah pola pikir, pendekatan dan cara hidup manusia. Working family menjadi satu di antara produk-produknya yang paling ganas menantang.

Saya dan istri sama-sama bekerja di luar rumah, menjadi working family (tapi pandemi menyelamatkan saya dari katakutan demi ketakutan, nanti saya punya bahasan khusus soal ini). Jam kerja istri lebih ketat. Saya membebaskannya tentu saja, asalkan tanggung jawab berkeluarga sama-sama dihidmati. Dalam situasi begitu, ketika sama-sama siap merencanakan untuk punya anak, tak ada cara lain selain menitipkan anak saya ke day care. Tapi saya orang yang paling susah memasrahkan anak kepada orang lain, begitu saja.

Ef sudah direncanakan untuk dititipkan di usianya yang masih 8 bulan. Saya gamang, tapi istri saya menguatkannya. Saya tidak bisa mengiyakan. Saya masih mencari cara lain yang memungkinkan bahwa anak saya ada di rumah, bersama keluarga. Dan alhamdulilah, neneknya bisa menemaninya meski tidak selalu datang ke Jogja, tetapi beliau bisa datang jika kami mau. Lagi-lagi, istri saya yang menguatkan agar mama pulang kampung dan kami tangani sendiri anak pertama ini.

Di usia 8 bulan itu, saya pernah mengantar Ef ke salah satu penitipan. Usia segitu Ef hanya bisa melafalkan kosa kata “nenen, babah, mama” dan sedikit lainnya. Saya ingat pagi itu harus segera ke kampus ada pekerjaan wajib. Saya menitipkannya dalam kondisi tidur sekitar pukul 07:00 WIB. Ketika saya tidurkan di kasur, matanya terbuka dan memanggil nama saya. Saya nyaris tidak bisa bergerak dan ingin berada di sisinya untuk menemaninya. Tapi saya harus melangkah, dan sisa tangis di belakang saya seperti diksi yang berkeliaran sepanjang saya di perjalanan menuju kampus.

Mungkin saya teramat sentimentil? Betul sekali.

Mungkin juga tidak semua ayah begitu? Saya tidak tahu. Saya hanya ingin belajar menjadi ayah secara baik, dan saya mulai itu sejak istri hamil dan melahirkan. Selain karena saya ditingggal ayah di usia sebelum bersekolah SD, kesadaran saya menjadi ayah adalah tanggung jawab bahwa saya dan istri sudah dititipi tanggung jawab oleh Allah berupa seorang anak. Dan doa saya hanya satu: semoga anak-anak saya bermanfaat bagi semua, dan tidak membuat kerusakan!

[Kepada bumi, yang kamu pinjam dari anak cucumu, jagalah; kepada kekayaan, yang dititipkan kepadamu, jagalah dan amanahlah; kepada agama, yang menjadi basis kesadaran bagi tindakan kehidupanmu, mengabdilah; kepada masyarakat, yang telah membesarkanmu menjadi manusia, berbaktilah; kepada keluargamu, yang telah membersamaimu hingga besar kelak, hargailah…]

Awal tahun 2019, saat pandemi mulai digubris di Indonesia, mama kami minta kembali ke kampung dan Ef sepenuhnya bersama saya. Karena istri hanya libur sekitar tak sampai 2 bulan setelah itu harus datang dengan sistem piket, lalu masuk setengah hari. Terhitung sejak Mei 2019 sampai akhir tahun, saya benar-benar sehari-hari bersama Ef; melihatnya berkembang, belajar berjalan langkah demi Langkah, belajar bicara kata demi kata hingga akhirnya fasih. Di usia ke-16 bulan, Ef sudah tidak memakai popok karena latihan toilet alhamdulilah berhasil. Saya bersyukur, setidaknya saya memperlambat sirkulasi sampah!

Sepanjang tahun 2019 adalah masa-masa paling intens saya bermain dengan Ef, mempelajari setiap inci perubahan dan perkembangannya. Dari sini saya belajar keajaiban demi keajaiban, kehebatan demi kehabatan, dan anugerah demi anugerah tentang bocah kecil. Darinya, sisi-sisi yang tak tertulis dalam rumus dan teori saya nikmati dengan setulus dan sepolos hati.

Satu sisi, pandemi memberikan hikmah bagi saya untuk mengerti arti rumah, makna kebersamaan bersama Ef dan istri, dan pandangan-dunia tentang unit sosial terkecil beranama keluarga.

Tahun 2020, mama kembali menemani Ef secara lebih intens, dan sekaligus beliau semakin keberatan jika Ef dititipkan sebelum usia 2 tahun. Akhirnya, meski tidak saya sampaikan ke istri, saya sangat lega karena Ef akan tumbuh bersama kami di rumah. Tahun pandemi 2020 membuat hidup saya tetap lebih banyak di rumah, mengisi kuliah dan sebagainya, sementara istri tetap pergi ke kantor untuk tugas setengah hari.

Setelah libur musim kemarau menjelang selesai tahun 2021, kami kembali membicarakan rencana sekolah Ef. Kali ini saya lebih lega karena Ef sudah cukup paham dan secara usia sudah makin gede, meski sebenarnya saya tetap tidak selugas ibunya untuk menitipkannya ke sekolah. Rentang Agustus-September 2021, saya sering mengantarkan Ef ke ibunya, lalu bersama ibunya, Ef diantar ke sekolah. Karena, sekali lagi, saya tidak cukup kuat melihat Ef meminta pulang, mengajak main, jalan-jalan dan memancing dan sebagainya.

Akhirnya, hari ini, setelah dilatih pelan-pelan agar mulai bersekolah (Ef sudah coba bersekolah di lima TPA!), Ef tampak menyukainya, menceritakan teman-temannya di sekolah.

Dan ketika kalimat itu, “Ibu guru, Ef datang…”, keluar dari mulutnya, saya sangat senang.

Tobratan, 15 September 2021

Friday, May 01, 2020

Muslim Leaders Visit

Shepparton News, 25 Jun 2011; By Zach Hope

Shepparton played host to three emerging Indonesian community leaders on Monday as part of Department of Foreign Affairs and Trade’s AustraliaIndonesia Muslim Leaders Exchange program.
Rizkayadi Makassar, Muhammad Kholis Hamdy and B.J. Sujibto are in Australia for a sponsored two-week stint studying Australian diversity and integration and visiting Muslim communities, with Shepparton selected as the only regional centre on the trio’s itinerary.

Mila Sudarsono, travelling with the group as DFAT’s representative, said Shepparton was chosen because of its diverse population and the success it had enjoyed in integrating multiple ethnic groups.

‘‘A lot of it is because of the interesting migration history you have. It’s a melting pot city and they can get an insight into how well different communities have integrated in a regional setting in Australia,’’ Ms Sudarsono said.

‘‘It’s very important they get out of the metropolitan centres and see work at the community level. They’ve really enjoyed their time here . . . It’s something they can take back to Indonesia to see if they can implement there.

‘‘And the drive out (to Shepparton and Dookie) was rather eye-opening too. One of the guys made the comment they felt like they were in a movie scene because before they could have only imagined rural Australia.’’

The trio arrived in town on Sunday and enjoyed afternoon tea at the Shepparton Mosque. On Monday they visited Melbourne University’s Dookie campus, where they witnessed training for future aid workers, before receiving a tour of Mooroopna’s Rumbalara Aboriginal Cooperative’s facilities in the afternoon.

They spent a week in Melbourne and will now visit Canberra and Sydney before returning to Indonesia.

The AustraliaIndonesia Muslim Leaders Exchange program is in its 10th year and aims to give youth leaders from both countries a snapshot of life, culture and faith practices of the other.


Thursday, April 18, 2019

Tiga Hari Menjelang 17 April 2019

Saya pulang ke kampung halaman pada tanggal 12 April malam dengan kereta jurusan Yogyakarta-Surabaya. Niat saya pulang adalah untuk akikah anak pertama, Eftalya Ruhum, bertemu dengan kawan yang tengah mencalonkan diri sebagai anggota legislatif di provinsi Jawa Timur, dan—ini yang terpenting—bertemu dengan keluarga dan sanak saudara di kampung.
[Jalan di kampungku ketika musim hujan]
Kedatangan saya tepat menjelang akhir musim hujan, tetapi hujan terus mengguyur kampung. Bisa dipastikan, jalan-jalan yang tak beraspal—berapal pun tapi cepat rusak karena proyek yang berorientasi menghabiskan uang belaka—berhambur lumbur di mana-mana. Saya sebenarnya menikmati kondisi seperti itu sebagai cara  untuk menampar saya bahwa saya bagian kondisi seperti itu. Ya, di saat seperti itu, perubahan alamat KTP dari Sumenep ke Jogja menjadi lebih terasa: apakah saya lari dari keserbarumitan itu menuju kenyamanan? Tidak, tentu saja. Setiap ada kesempatan untuk membangun kampung adalah anugerah bagi saya. Tapi tugas kerja di Jogja harus saya jalani, dan semoga panjang umur, saya ingin mengabdikan kehidupan saya di daerah, suatu kelak!

Saya datang ke sanak saudara dan tetangga untuk mengundang mereka selametan dan syukuran akikah. Satu per satu. Sekali-kali terlibat dalam obrolan terbaru soal Pilpres (Jokowi atau Prabowo). Di tanah kelahiran saya sendiri kampung Tanggulun, narasi untuk kedua Capres masih imbang. Khusus untuk mereka yang punya preferensi ke Prabowo mengatakan hal berikut ini:

- Jokowi berdoa saja belepotan (la-sala / ga’-gala’ga’);
- Jokowi berasal dari keluarga Kristen dan Komunis (ini isu lama sejak 2014);
- Pro-Kristen, seperti membiarkan Ahok tidak segera dipenjara;
- Harga punya petani dibeli murah, harga dari pasar dijual mahal;

Empat narasi di atas merata di antara sanak saudara dan tetangga saya. Mereka mempunyai bahasa beda tetapi intinya bisa dikategorikan ke dalam empat pesan di atas.

Selanjutnya, saya juga coba menanyakan kenapa mereka mau mendukung Prabowo? Alasan mereka tak banyak:

Didukung oleh para ulama (ada ijtima’)’

Jawaban di atas sangat dominan. Mereka menyatakan diri “bermakmum kepada ulama”, karena demi menghentikan “misi” Jokowi yang mereka dapatkan di atas. Di selatan rumah saya, di daerah Daleman, menurut cerita keluarga saya, ada seorang yang tengah memakai kaos bergambarkan Jokowi diminta dilepas paksa di sebuah acara di tempat publik. Ada pula persaksian—ini dari teman saya dari desa sebelah—dua orang yang pro-Jokowi tidak disediakan minum kopi ketika acara tahlilan!

Bahkan, ada salah satu dari keluarga saya yang bercerita begini: Di pantai utara Madura (Laut Jawa), di kecamatan Ambunten, Sumenep, ada seorang kaya dan bisnisman membeli tanah pinggir pantai kepada salah satu masyarakat. Usut punya usut, ternyata yang membeli tanah dekat pantai tersebut adalah orang keturunan China. Di waktu kemudian tersebar kabar bahwa di tanah tersebut akan dibangun gereja. Akhirnya rakyat sekitar berang, kiai dan tokoh masyarakat di sekitar mereka menjadi motor penggerak untuk menolak yang kemudian dipakai untuk kampanye anti-Jokowi.

Kabar tentang akan dibangunnya gereja di tanah tentu saja menyebar dari mulut ke mulut. Tidak bisa dipastikan kebenarannya. Rakyat juga belum tahu bagaimana proses pembangunan tempat ibadah (!). Dan satu hal lagi, rakyat tidak paham peta “pencaplokan tanah-tanah di Madura” pasca-Suramadu. Mereka tidak mengerti juga bahwa sudah banyak tanah di sekitar pantai, khususnya di bagian selatan dari Bangkalan ke Sumenep sudah dikuasai oleh pemodal. Pengetahuan mereka belum sampai ke sana! Urusan peta bisnis properti dan patgulipat penguasaan lahan sama sekali mereka tidak tahu. Saya jelaskan sedikit soal ini, mereka tercengang!

Selanjutnya, saya pergi ke tanah kelahiran Ayah dan sekaligus tempat kuburannya, di desa Sana Tengah, Pasean, Kabupaten Pemekasan. Daerah ini termasuk yang paling terbelakang di Pamekasan. Pemekasan terkenal dengan pelayanan dan pengelolaan birokrasi paling bersih di Madura, tapi di kecematan ini bisa dibilang indeks manusianya termasuk yang cukup rendah ketimbang kecematan lain karena daerah ini berada di paling utara (pantai utara) Pamekasan.

Selesai mengaji ke makam Ayah, saya biasa mewajibkan diri untuk mampir setidaknya ke dua paman yang masih ada di desa tersebut. Di sini lebih ekstrim, lebih intens dan masif kepada Prabowo. Meski keluarga saya di sini minta pandangan saya, saya tetap tidak ingin mencampuri apa yang mereka ketahui. Satu hal saja saya hanya memastikan bahwa mereka tidak mempunyai narasi dan perspektif lain dari pro-Jokowi. Kenapa tidak ada? Karena di daerah ini sami’na wa atho’na-nya lebih kuat. Rata-rata mereka mondok di Batabata dan Banyu Anyar yang kiai-kiainya mendukung Prabowo. Dalam pengakuan paman, di desa mereka selalu ada pengajian yang diisi oleh kiai-kiai pro-Prabowo baik yang datang dari kota Pamekasan maupun mereka yang berasal dari sekitar Pasean. Di daerah ini, politisasi agama sangat kentara. Dibangun juga laskar-laskar yang khusus menjadi pembela Prabowo dalam pemilu, misalnya LPI (Laskar Pembela Islam) Madura. Sepupu saya menjadi bagian dari laskar ini dan diundang ke luar kota untuk ijazah dan kegiatan lainnya (sepupu saya ini paling getol dan percaya bahwa Prabowo menang, meski rilis resmi KPU belum keluar).

Akhirnya, narasinya nyaris tunggal. Yang pro-Jokowi, kata paman, tidak bisa bersuara lagi dan diam. Bahkan, kata paman dan bibi, di daerah Pasean sendiri ada satu rumah dibakar massa karena berani memasang spanduk bergambar Jokowi! Di pasar-pasar tradisional, kata bibi, menyebar rasanan dan ajakan untuk memilih Prabowo secara terbuka di antara para pedangang.

Setelah itu, seperti biasa saya coba mendengarkan apa alasan mereka memilih Prabowo:

- Kalau Jokowi menang akan ada pernikahan sesama jenis;
- Jokowi mengkriminalisasi ulama;
- Harga-harga sembako mahal dan punya petani dibeli murah;\
- Kalau Jokowi menang Indonesia akan di-Kristen-kan;
- Jokowi melarang rakyat untuk menyembelih sapi betina;

Lagi-lagi, saya menanyakan apa alasan saudara saya di daerah ini memilih Prabowo: mengikuti kiai! “Bramma’a pole, cong, areya la daddi se umum e dinna’. Keae la toron kabbi ka pangajian-pangajian (Gimana lagi, ini sudah menjadi hal umum di sini. Para kiai sudah turun gunung ke pengajian-pengajian).”

Mereka meminta pandangan saya. Saya jelaskan perkara yang saya tahu pasti, selebihnya saya berujar: ”Karena paman dan bibi bermakmum, yang berdosa adalah mereka!”

Saya kembali ke rumah yang jaraknya sekitar belasan kilometer di tengah gerimis yang terasa miris di kulitku. Masa kecilku bersama Ayah terbayang-bayang di belakang. Semoga Ayah tenang di sisi Allah. Amiin.

Friday, August 17, 2018

The Power of Writing

(Naskah tulisan ini merupakan ketik ulang dari buku Melipat Batas yang diterbitkan oleh Diva Press tahun 2013. Saya secara khusus menyampaikan ucapan terima kasih kepada adinda Arian Widda Faradis yang sudah mempersiapkan tulisan ini sehingga bisa saya unggah ulang ke blog, dengan harapan semoga sepenggal catatan ini bermanfaat bagi pembaca)


Deretan kursi pada sebuah teras di salah satu ruangan kampus Sanata Dharma terisi oleh beberapa mahasiswa yang sedang menunggu. Aku tidak datang terlambat, masih in time juga. Tapi, jelas kalah awal dari mereka yang tengah menyemut di situ. Kupastikan nama dan nomor ruangan, daftar nama interview yang menempel pada setiap pintu ruangan. Ya, namaku ada di sana: B.J. Sujibto.

Sambil menunggu giliran wawancara, aku menikmati suasana kampus yang sebelumnya tidak terlalu kukenal, selain gedung-gedung khusus seminar atau ruangan teater yang terkadang kudatangi di salah satu kampus terbaik dengan latar belakang agama Katolik di Indonesia itu. Sadhar, sebutan akrab Universitas Sanata Dharma, tidak terlalu jauh dari kampusku, UIN Sunan Kalijaga. Kalau diukur lurus, tidak sampai satu kilometer. Kendati demikian, tampak jarang mahasiswa UIN yang sengaja mengunjungi kampus Sadhar atau singgah di perpustakaannya.

Tak begitu lama menunggu, aku dipanggil lalu dipersilahkan masuk ke ruangan. Aku bersalaman dengan sesama orang yang sudah menunggu di dalam ruangan itu. Dia menanyakan nama, alamat, serta kehidupanku dengan bahasa Inggris, dan sesekali dicampur dengan bahasa Indonesia, bahasa kecintaanku tentunya. Proses wawancara itu terus mengalir begitu saja ke berbagai aspek kehidupanku. Karena sudah mengantongi CV-ku, tentu saja Pak Dosen yang mewawancaraiku itu begitu fasih membongkar hal-hal yang mungkin baginya dianggap unik dan distingtif dari diriku. Di samping itu, pertanyaan-pertanyaan yang disiapkan sepertinya sudah menjadi keharusan atau standar umum wawancara, sesuai yang perlu diulik dari semua peserta.
            
“Kamu suka menulis?”
“Batul, Pak.”
“Tulisanmu banyak sekali dan sudah banyak dimuat di media massa juga. Bahkan, sudah dimuat di Kompas juga ya?”
Aku mengangguk.
“Kamu juga sudah banyak memenangkan kompetisi menulis juga, ya?”
Aku meyakinkan lagi dengan sebuah anggukan.
“Bagaimana kamu bisa menulis?”

Deg! Ini pertanyaan tersulit. Karena, Pak Dosen menuntutku menelisik dan menekuri masa silamku yang cukup panjang. Aku harus membuka file-file masa lalu dengan seksama, suatu fase di mana aku bisa memulai segalanya dengan keyakinan dan perjuangan.
                                                                       
***
Sebuah bidik[1] terhampar di depanku. Paman, Kak Muhli, dan Ibu ada di sana. Saat itu, aku dan Kakak sedang aretret[2] rajangan tembakau untuk dikonsumsi sendiri di atas sebidak bidik. Kami biasa menamai tembakau yang khusus dibuat untuk rokok lintingan dengan “tembakau soteran”. Tembakau pilihan dari daun-dan tembakau yang sengaja dirawat secara khusus dari pohon-pohon terbaik.

“Ibu, aku mau berhenti dari pesantren.”
Arapa, cong?”[3]
“Memang, kemana rencanamu, le[4]?” celetuk kakakku.
“Ke Jogja. Tapi, sebelum itu, aku mau kursus bahasa Ingris dulu di Pare. Kalau sudah yakin dengan kemampuan bahasa Inggrisku, aku akan berangkat ke Jogja.”
“Ibu tidak punya kemampuan apa-apa lagi untuk membantu pembiayaanmu, Nak.”
“Ibu tidak perlu memikirkan uang. Aku hanya butuh izin dan doa dari Ibu. Selebihnya biar aku sendiri yang berjuang.”

Ibu, Kakak, dan Paman terdiam di teras rumahku. Mereka seperti menghela napas. Suasana musim panas di bulan Agustus-September memang membawa angin lembab dan berdebu. Terlebih September adalah puncak musim panas di kampung.

“Iya, lanjutkan saja kalau itu sudah menjadi kemauanmu.”  Paman di seberang pintu yang sedang duduk dengan baju kusam terbuka sedada menimpali.

“Jangan khawatir, Ibu. Aku akan bekerja apa saja demi mencapai cita-cita ini. Kalaupun aku tidak bisa kuliah karena betul-betul tidak punya uang, tidak apa-apa, aku menerimanya. Aku hanya ingin belajar dan menambah pengalaman di kota orang mumpung masih muda.”

Ibu menatapku. Matanya ibarat sebuah telaga bening yang selalu memancarkan semangat. Kedipannya seperti petir yang selalu membangkitkan darah juangku. Aku paham Ibu sangat berat melepasku pergi karena khawatir dengan kondisi ekonomi yang sangat terbatas. Akan tetapi, semangatku telah menutup semua kekhawatiran itu.

“Iya, Nak. Kalau itu sudah menjadi pilihan dan cita-citamu, silahkan. Ibu akan selalu setia mendoakanmu.”

Dalam semua keterbatasan, aku melangkah dengan penuh keyakinan meninggalkan kampung halaman. Tujuan pertamaku adalah belajar bahasa Inggris di Pare sebagai modal untuk berkompetisi di kota orang. Di Pare, ada paman sepupu dari Ibu, yang menjadi tutor dan punya lembaga kursus bahasa Inggris. Namanya Mr. Bakir. Sehingga, aku tidak terlalu repot untuk sekedar hidup dan belajar gratis di sana. Di samping itu, sepupu ibuku ini memang selalu mendukungku untuk belajar bahasa Inggris karena kemampuan bahasa Inggrisku sangat minim.

Aku sudah benar-benar menyongsong masa depanku sendiri. Aku yakin, akan ada jalan yang terbuka lebar untuk para pencari ilmu sepertiku. Risiko apa pun yang menghadang langkahku adalah cobaan yang harus kuhadapi. Semangat sudah membuncah di dadaku. Aku yakin bahwa siapa pun yang berjuang mencari ilmu di jalan Allah, pasti akan mendapatkan ilmu seluas samudra yang akan memberikan banyak manfaat. Dia tidak pernah tidur untuk memudahkan jalan bagi hamba-hamba-Nya yang haus ilmu.

Aku tidak ingin melangkah dengan konyol, karena itu aku membutuhkan senjata untuk bertahan. Aku perlu mempersiapkan suatu kemampuan yang bisa kubanggakan sebagai bargaining position di hadapan orang lain. Aku sadar bahwa kemampuan menulisku bisa diandalkan dan aku dapat melanjutkan profesi sebagai penulis. Di samping itu, kemampuan bahasa Inggrisku juga bisa kupupuk lebih rajin lagi. Aku tidak tahu kelak bagaimana Tuhan membukakakn arah hidupku. Namun yang pasti, jalan sebagai penulis adalah satu-satunya yang bisa kubanggakan.

Menulis dan membaca adalah bagian dari masa kecilku. Sejak duduk di bangku sekolah dasar, aku sudah terbiasa membawa dan membaca buku-buku cerita petualangan yang ada di perpustakaan SD Inpres. Berlanjut ke pendidikan lebih tinggi di pondok pesantren, semangat membacaku semakin menggila. Kelas tiga MTs, aku sudah memulai menulis puisi dan cerita (sangat) pendek. Akhir kelas tiga, puisiku dimuat di rubrik “Cermin” majalah sastra Horison, lalu secara bergiliran di majalah Annida, Kuntum, dan Sahabat Pena.

Puisi pertama yang dimuat di majalah nasional dan bergengsi itu, untuk judul dan isinya, aku masih sangat hafal, bahkan sampai sekarang. Judulnya “Pelabuhan Raksa”, berisikan tentang  kisah cinta yang kandas di sebuah pelabuhan. Aku sangat menyukai puisi pertama itu. Tak ayal, majalah Horison edisi itu aku bawa ke mana-mana. Kulapisi majalah itu dengan isolasi bening agar tidak cepat rusak. Kusodorkan ke beberapa teman, baik di pondok, perpustakaan, maupun sekolah. Waktu itu, aku tidak tahu sama sekali arti publisitas. Tapi yang pasti, aku ingin mengatakan kepada semua temanku bahwa aku adalah penulis yang karyaku bisa dimuat di media masa yang dibaca oleh banyak orang. Titik !

Hasrat menulisku tumbuh menggebu. Di samping media-media kreativitas menulis yang ada di pondok, tempat di mana aku menghabiskan masa remaja, sangat banyak dan mendukung semua kegiatan jurnalistikku, aku sendiri mulai menggagas untuk menerbitkan sebuah newsletter pertama di pondok. Pondokku bersistem federal ─ seperti negara-negara bagian dalam pemerintahan Amerika atau Australia ─ yang berada di bawah satu yayasan bernama Annuqayah. Di bawah Annuqayah, tersebar beberapa daerah yang berlokus sebagai bagian-bagian kesatuan tapi dengan sistem berbeda. Ada yang dominan salaf, modern, semimodern, dan campuran. Pondokku bernama Daerah Nirmala. Biasanya orang-orang di luar pesantren mengenalnya dengan nama Pondok Pesantren Annuqayah Daerah Nirmala. Dan, Alhamdulillah, newsletter yang kugagas bersama teman-teman akhirnya terbit juga saat aku duduk di kelas dua aliyah. Aku bersama tiga orang temanku yang menginisiasi penerbitan buletin itu. Kami memberinya nama Newsletter Kejora.

Proses menulisku terus berlanjut dan menggila. Dari puisi kemudian merambah ke cerpen dan artikel. Saat di bangku aliyah, kegemaranku pada buku dan menulis benar-benar berada pada titik ekstase, mencapai puncaknya. Berulang kali, sajak-sajakku dimuat di Horison, bahkan tak tanggung-tanggung di halaman utama. Aku benar-benar bangga. Respons positif dan dukungan dari teman-teman komunitas serta sanggar seni di pondok berhamburan bak laron yang muncul ketika musim hujan tiba.

Semua ini hanya sebuah ujung dari lorong panjang. Aku tidak ingin selesai di sini. Aku ingin mencecap sebuah proses yang sebenarnya. Di sanalah perang itu, di mana ketika aku benar-benar sendiri berjuang melawan keberingasan hidup. Aku ingin melanjutkan mimpiku sebagai penulis di Jogja! Aku ingin tulisan-tulisanku memanggilku ke seantero dunia!

Kalimat-kalimat itu seperti lelatu tapi penuh dengan kilatan tajam. Kuucapkan kalimat-kalimat itu di depan teman-teman komunitas sanggar seni serta teman-teman kru Newsletter Kejora.

Ternyata betul. Perkataan yang sedikit heroik itu telah membawa langkahku ke Jogja pada tahun 2006, tepat tiga minggu sebelum gempa besar melanda Jogja pada 26 Mei 2006. Sebagai pendatang baru di Jogja, dengan hanya mengandalkan kenalan beberapa sahabat baik yang bersedia menampung, aku tertantang untuk segera menjelajah Jogja. Alamat para penulis dan tokoh-tokoh sastra sudah kukantongi. Ada Joni Ariadinata, Zainal Arifin Thoha, Agus Najib, Amin Abdullah, bahkan Amien Rais, dan beberapa nama penulis beken lainnya. Aku tidak tahu bagaimana cara menemui mereka. Namun yang pasti, banyak dari penulis-penulis hebat di Jogja sangat welcome dengan orang-orang baru dan jembel sepertiku. Karena, seperti diceritakan banyak temanku, penulis-penulis hebat itu awalnya senasib sepertiku. Hanya bermodalkan semangat, tekad, dan kemampuan menulis.

Jogja adalah kota yang sangat cocok bagi penulis. Ya, aku berani mengatakan demikian karena denyut kreativitas menulis begitu gemerlap di Jogja. Buku-buku murah. Diskusi-diskusi terhampar luas dan gratis. Kajian-kajian dan seminar kelas nasional pun terbuka lebar. Komunitas-komunitas seni dan sastra tumbuh di semua sudut kota Jogja. Aku yang baru pertama kali sampai di Jogja, takjub dibuatnya.

Dengan sangat ajaib, karena jalan Allah, akhirnya aku bertemu seorang teman yang mengantarku ke sebuah komunitas menulis yang telah kukenal sejak masih di pondok pesantren. Komunitas Kutub, namanya. Dahsyatnya, salah seorang penulis yang aku kagumi, Zainal Arifin Thoha, ada dalam komunitas itu. Semakin mantaplah keyakinanku untuk belajar menulis dan mengembangkan pengalamanku di sana. Pria  yang kupanggil Gus Zainal itu sangat welcome dan mempersilahkanku tinggal di pondoknya. Sayang, aku hanya bertemu dan belajar kepada beliau selama setahun, karena pada 14 Maret 2007 beliau dipanggil kembali ke Rumah Allah dalam usia yang masih muda, tiga puluh lima tahun.

Di Komunitas Kutub, aku benar-benar menggila belajar menjadi penulis. Tahun  2007 hingga 2009 adalah fase di mana aku benar-benar fokus dengan dunia menulis. Karya-karya tulisanku, seperti artikel, esai, timbangan buku, dan puisi nyaris tak bisa dibendung. Mengucur begitu saja menyaingi napasku.

Atas dorongan Gus Zainal dan teman-teman di Komunitas Kutub, aku memberanikan diri untuk mendaftar kuliah. Kala itu, aku tidak mempunyai bayangan mendapatkan uang dari mana. Uang sango[5] dari hasil Ibu menjual ternaknya senilai sejuta rupiah sudah kupakai sebagian untuk makan di Jogja. Sisanya hanya sekitar tiga ratus ribu rupiah. Dan, sisa uang itulah yang kupakai untuk biaya pendaftaran kuliah.

Akhirnya aku diterima sebagai mahasiswa di Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga. Ketika registrasi pertama yang mengharuskan mahasiswa membayar uang sebesar satu setengah juta rupiah, aku pusing sejuta keliling, bukan hanya tujuh keliling. Beruntung ketika aku meminta kelonggaran kepada pihak kampus, aku diperbolehkan mencicil dua kali. Pembayaran pertama, aku meminjam uang dari teman-teman yang kukenal di Pare, Kediri, yang sudah lama tinggal dan bekerja di Jogja. Uang pinjaman itu harus kukembalikan dengan cepat. Semangat ini pulalah yang membuatku memutuskan untuk total menulis.

Di Jogja, tantangan hidup benar-benar terasa, dan aku seperti berperang di sana. Jarak kampus dari tempat tinggalku cukup jauh. Delapan belas kilometer. Aku tinggal di daerah Krapyak, sementara kampusku yang sebenarnya berada di sekitar Timoho, karena terhantam gempa, harus meminjam gedung di daerah Bandara Adisucipto, Maguwoharjo. Jarak yang memakan waktu hingga satu jam perjalanan itu harus kutempuh dengan sepeda ontel. Inilah yang kusebut sebagai “perang”. Di atas sadel sepeda, aku berperang dengan egoku sendiri. Berperang dengan rasa malu. Berperang dengan semua kemalasan. Dan, berperang dengan semua tetek-bengek keakuan yang melenakan. Pesan Gus Zainal kepadaku agar tampil tanpa pencitraan, “Tahi kucing dengan gengsi, tahi kucing dengan malu,” begitu menusukku. Maka, kuderapkan langkah sekuat-kuatnya untuk melawan semua jenis ketakutan dan keterbatasan. Dan ternyata, aku memenangkannya.

Ada kenangan indah yang tak akan pernah kulupakan. Sore itu, aku harus cepat pulang ke Krapyak karena di sana ada diskusi sastra yang harus kuikuti. Namun, aku harus menghentikan kayuhan sepedaku karena hujan tiba-tiba datang. Perlahan, kutuntun sepedaku ke sebuah pohon yang teduh lalu kusandarkan di sana. Kemudian, aku menepi ke sebuah teras kecil. Semacam emperan toko yang sepertinya baru saja ditutup menjelang senja. Di bawah cahaya bohlam ber-watt kecil, kulanjutkan membaca buku-buku yang selalu menyandingi perjalananku hari-hari itu. Waktu itu, aku membaca novel karya peraih Nobel Sastra, Orhan Pamuk, berjudul My name is Red tepat di tengah rintik hujan.

Dan, aku begitu terkejut manakala membuka penanda halaman novel yang ternyata terselip pada bab sepuluh dengan judul “Aku adalah Sebatang Pohon”. Kalimat pertama dan kedua seperti menyergapku begitu dalam, “Aku adalah sebatang pohon dan aku merasa agak kesepian. Aku menangis di tengah hujan.” Tapi tidak, aku tidak menangis waktu itu. Aku hanya tersayat dengan untaian kalimat demi kalimat magis dari tangan novelis ulung asal Turki itu. Saat itu, aku begitu merasakan bahwa berjuang menjadi penulis setali tiga uang dengan berjuang menjadi pembaca yang tekun.

Tahun 2007 hingga 2009, tulisan-tulisanku dimuat di hampir semua media massa di Indonesia, mulai dari Kedaulatan Rakyat, Bernas, Minggu Pagi, Suara Merdeka, Jawa Pos, Surya, Surabaya Post, Seputar Indonesia, Media Indonesia, Suara Karya, Suara Pembaruan, Investor Daily, Kontan, Bisnis Indonesia, hingga Kompas. Di luar Jawa pun, tulisan-tulisanku tayang di Bali Post, Bangka Pos, Serambi, Batam Post, dan Lampung Post. Semua bentuk tulisan kusambangi, mulai dari puisi, cerpen, resensi buku, esai, hingga artikel. Berbagai penghargaan lomba kepenulisan tingkat regional dan nasional kusabet satu per satu.

Aku telah menjadi pemenang!

Akhirnya akan kukatakan dengan lantang bahwa tulisan-tulisanku telah memanggilku ke mana-mana: Sumatra Barat, Jakarta, Semarang, Purwokerto, Australia, bahkan Amerika Serikat.


                                                                           ***
“Iya, Pak. Saya menulis karena saya menyukai dunia tulis-menulis dan membaca. Saya menulis karena saya juga ingin bertahan hidup!”
“Berarti kamu kuliah dan hidup di Jogja berjuang sendiri dengan tulisan?”
“Betul, Pak. Saya ada di Jogja dan kuliah hingga semester enam adalah karena perjuangan saya sendiri.”
“Luar biasa. Kamu sudah membuktikannya. Saya juga kagum dengan kegiatan-kegiatan organisasi yang kamu ikuti selama ini. Selamat berkarya!”

Sosok berkacamata dengan rambut cepak berusia sekitar kepala lima itu menutup sesi wawancara dengan mengepalkan tangan dan menjabat erat tanganku. Seperti ada sebuah harapan kuat yang disematkan dalam jabatan tangan itu. Ya, aku merasakan semangat itu.

Setelah sesi wawancara usai, yang bisa kulakukan hanyalah berdoa. Semuanya kuserahkan kepada Yang Maha Kuasa yang telah mengatur segalanya. Yang penting aku sudah berusaha maksimal. Aku harus bersabar menunggu sekitar tiga minggu untuk mengetahui hasil akhir wawancara. Alhamdulillah, ternyata aku lolos dan diterima sebagai grantee[6] IELSP Cohort 7.

Hal lain yang tidak bisa kulupakan sebagai penegasan tentang the power of writing adalah ketika ada seorang teman, former alumni program yang sama, menanyakan tentang tulisan-tulisanku. Aku cukup terkejut waktu ittu, bagaimana dia tahu kalau aku suka menulis? Selang beberapa hari, aku bertemu kembali dengannya dan dia bercerita kalau Mbak Ama, kordinator program IELSP Cohort 7, sempat bertanya tentang diriku dan menyebutku sebagai penulis.

Jrenggg … tiba-tiba aku jadi ingat tentang aplikasi yang kukirimkan untuk program IELSP. Aku ingat kalau aplikasi yang kukirimkan sangat tebal, sekitar tiga ratus halaman. Dalam aplikasi itu, kulampirkan fotokopi sertifikat yang berjumlah sekitar lima puluhan lembar, tulisanku sendiri yang berjumlah sekitar dua ratus halaman lebih, dan dokumen-dokumen pendukung lainnya. Mungkin, aplikasi itu memecahkan rekor sebagai aplikasi paling tebal sepanjang sejarah IELSP.

Saat ini, aku ingin meyakinkan diriku sendiri dan teman-teman bahwa karya tulis dapat diandalakan dalam sebuah seleksi ataupun kompetisi beasiswa seperti IELSP. Selamat menulis, teman![]


Alumni IELSP Cohort 7,
University of South Carolina, 2010.




[1] Tempat di mana tembakau rajangan didadar sebelum dijemur. Bidik terbuat dari potongan bamboo dengan ukuran sekitar satu kali empat meter.
[2] Nama untuk sebuah pekerjaan, yaitu meletakkan atau mendadar daun tembakau yang sudah dirajang di atas bidik dengan tipis dan rapi.
[3] Madura: Kenapa, Nak?
[4] Madura: panggilan untuk seorang adik atau anak yang usianya lebih muda.
[5] Madura: saku, bekal.
[6] Penerima beasiswa, siswa tugas belajar.