Ziarah ke Museum of Innocence

Kemal menemukan kebahagian mencintai seorang Füsun dengan segenap warna dan misteri.

Saat itu ibuku menangis

Buat kakakku Hermanto Junaidi yang sedang damai bersemayam di bawah pohon ketapang, tempat aku selalu menjengukmu, saat pulang, atau saat pergi sekalipun.

Indeks Perdamaian Kota Itu Perlu

By measuring the state of peace, we can further our understanding of the social, political and economic factors that help develop more peaceful environments

Tentang Ingatan dan Ideologi

The struggle of man against power is the struggle of memory against forgetting” — Milan Kundera (The Book of Laughter and Forgetting).

A Journey: from Border to Border

Midyat is one of a must visited historical places in Mardin beside Old Mardin. Overall this city is cited as paths of the early civilizations named Mesopotamia or far before it—if we talked about Christianity and Jews history as well for its strategic location with rocky hill and plain near the Tigris River.

Monday, December 10, 2012

Pengalaman Banjir Pertama di Kota Imajiner

Senin, 10 Desember 2012, sekitar pukul 14.40 menuju sore. Aku terjebak hujan di tengah jalan pulang dari daerah Kemang ke Kelapa Dua Depok. Dari angkot aku harus menepi dulu di emperan sebuah warung makan untuk beteduh, tepat di seberang sebuah rumah ibadah Pure, jalan menuju perumahan Bukit Cengkeh.

Ohya. Aku sangat lemah mengidentifikasi nama-nama daerah, khususnya di Jakarta. Bayangin, Kelapa Dua Depok saja aku imajinasikan sebagai Jakarta. Padahal bukan. Secara demografi dan pemerintahan berbeda. Tapi entahlah, pikiranku masih saja tidak bisa kompromi bahwa Jakarta dan sekitarnya adalah Jakarta. That's it all!

Di depan mataku hujan gemerincing deras. Bulirannya seperti logam yang memencar di tengah jalanan aspal. Hujan makan sekitar 1 jam!

Ke Jakarta kali ini sebenarnya aku cuma sebentar: menyiapkan bahan-bahan untuk riset di lapangan. Setelah itu minggat lagi ke kota lain: Makassar. Nah, pengalaman kali ini luar biasa karena aku merasakan bajir meski cuma selutut. Tapi setidaknya seru! Pengalaman ini bersanding dengan pengalaman pertama kali aku ke Jakarta. Pertama kali sekitar tahun 2008 awal, saat masih di semester 4, di dekat Istana Presiden, di Jalan Veteran sana, yang hanya selemparan ludah dengan deretan kantor Jaksa Agung dan Istina.

Entah kenapa, kota Jakarta bagiku adalah kota imajiner, tempat semua bayangan dan halusinasi menyerangai. Jangan salahkan aku sebagai pengunjung kota ini bilamana ingatan tentang Jakarta adalah perihal ini: korupsi, banjir, macet, dan kriminalitas. Jangan salahkan pengunjung sebuah kota seperti aku ini, ya! Karena kota sejatinya akan bercerita secara jujur kepada pengunjungnya.

Sekarang aku sudah benar-benar merasakan tentang Jakarta. Terkena banjir adalah cita-citaku untuk merasai kota Jakarta. Sepertinya, tanpa dikena banjir belum merasakan Jakarta!

Hujan reda. Hanya gerimis tipis saja. Aku memanggil ojek untuk kembali ke kantor, di Bukit Cengkeh 2. "Tidak banjir kan, Pak, menuju Bukit Cengkeh Dua?" Aku coba meyakinkan si tukang Ojek. "Iya, tapi dikit."

Akhirnya tubuhku dibawa ojek motor. Jalan di depanku masih hanya dilapisi aliran air sedikit. Ojek melejit. Makin jauh makin air semakin tebal. Semakin tebal. Semakin tebal, dan tebal. "Yakin, Pak, tidak apa-apa?" "Ayok coba aje." Tak sampai 100 meter lagi, ojek mati. Gleg gleg gleg..... Mungkin mesin motor kebanyakan minum air. Motor mati. Jarak arahku masih tinggal separuh. Jarak dari Pure ke tempatku sekitar 2 km. Ehm... motor sudah tak tertolong. 

"Sudah, Pak. Aku jalan kaki saja ya. Sudah dekat, kok." Kukasi goceng. Dia tersenyum. "Oh maaf, Dik." Aku paham motor tidak bisa diandalkan. Aku memilih jalan kaki dan menebas luapan air dari kali di sepanjang jalan itu. Ternyata bukan cuma ojek kami yang mati, di sepanjang jalan itu banyak juga motor yang dituntun. Oh.... kaki dalam sepatu basah, celana selutut juga basah. Oh, hatiku basah juga. Ih!

Aku jalan kaki. Di depanku air riuh rendah. Sesekali air naik sepaha ketika ada mobil lewat di sampingku.

Terima kasih Jakarta, eh Depok maksudku,  aku sudah merasakan air banjir!

Sunday, December 09, 2012

Jogja dalam Bingkai Puisi

Di mata penyair Jogja adalah puisi yang tak henti-henti mengalirkan inspirasi. Begitulah kesan salah satu teman penyair yang berkunjung ke Yogyakarta untuk bertemu beberapa penyair dan penulis yang dikaguminya di kota gudeg ini. Dia di Jogja hanya dalam tempo yang singkat: satu minggu saja. Tapi dia sudah mengaku bahwa begitu banyak puisi yang minta lahir di kota ini.

Cerita teman di atas adalah salah satu testimoni yang menegaskan bahwa Jogja adalah kota yang telah menjadi impian para penyair untuk dikunjungi. Untuk sebagian orang, Jogja Ibarat kota Paris untuk mengabadikan kisah romatisme cinta atau seperti Vienna untuk menegaskan tentang kesempurnaan musik-musik klasik. Karena di kota ini begitu banyak sejarah kesenian dan momentum kesusastraan yang tersimpan, di mana para penyair besar pernah tinggal dan berproses, dan simbolisme Jogja yang selalu diabadikan dalam karya-karya sastra sepanjang masa. Sepertinya,  siapa pun belum merasa sempurna proses kepenyairannya sebelum menginjakkan kaki di kota yang dikenal sebagai kawah candradimuka ini.

Monday, December 03, 2012

Menulis Cerita sebagai Kesenangan

(Esai ini ditulis tempo hari sebagai pengantar sebuah kumpulan cerita pendek adik-adik saya di Pondok Pesantren Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep. Tapi saya tidak tahu wujud bukunya macam apa, karena sayangnya saya belum mendapatkan cetakannya :p)

Dalam salah satu novelnya yaitu The Black Book, yang kemudian menjadi penanda penting lahirnya postmodern style dalam karya-karya selanjutnya, Orhan Pamuk, peraih anugerah Nobel Sastra 2006 menulis begini:“[N]othing is as surprising as life. Except for writing. Except for writing. Yes, of course, except for writing, the only consolation.”

Pamuk sungguh jelas menempatkan dirinya sebagai penulis. Dari beberapa cita-cita yang diimpikannya—menjadi pelukis, penyair, jurnalis dan bahkan insinyur—Pamuk banting setir untuk menjadi penulis. Sejak usia 23 tahun dia sudah memilih jalan menjadi penulis novel. Bisa dipastikan bagaimana proses “berdarah-darah” yang telah dilalui Pamuk untuk menunjukkan totalitas dan keseriusan dalam menekuni bidang kepenulisan. Dia bahkan selama lima tahun lebih tidak keluar rumah, mendekam di kamar dengan perpustakaan pribadi keluarga dan sebuah ransel yang berisi buku-buku koleksi ayahnya, membaca dengan tekun, hingga novel pertamanya lahir setelah tujuh tahun kemudian.

Pamuk adalah seorang Pamuk, sosok penulis yang hidup di negeri yang berbeda: Turki. Meski begitu, bukan berarti dia tidak bisa disamai dalam hal spirit kepenulisannya. Kita bisa membaca jejaknya melalui karya-karyanya sendiri, ataupun dari ulasan-ulasan orang lain.

Nah, dalam tulisan singkat ini saya diminta memberikan kata pengantar untuk sebuah antologi cerpen yang, sepertinya, hanya untuk dokumentasi dan seru-seruan belaka (?), semacam menerbitkan karya sastra dalam bentuk antologi cerpen karena faktor periodik. Saya katakan “periodik” karena kecenderungan umum yang terjadi di Annuqayah khususnya di masa saya dulu, mungkin juga termasuk masa dua penulis dalam antologi cerpen saat ini: Ummul Khaier El-Syaf dan Nurul Alfiyah Kurniawati (?), yang sudah mau lulus dari jenjang pendidikan SMA di Annuqayah, biasanya menggebu-gebu untuk membukukan karya-karya mereka sepanjang berproses menulis di pesantren.

Semangat antologi karya (puisi, cerpen, dll) seperti itu dalam sisi dokumentasi tentu sangat bagus--sebagai bentuk sharing tulisan dan karya kepada teman-temannya yang lebih muda atau baru masuk ke pesantren. Bahwa kakak-kakaknya pernah berkarya dan membukannya. Namun di sisi lain, cara seperti itu cenderung tergesa-gesa atau bahkan prematur. Sebenarnya, yang paling penting dalam menulis adalah berlatih dan terus berlatih. Tak peduli seberapa capai, lelah, dan bahkan lapar! Itu prasyarat yang harus dilalui tentunya.

Tapi jangan takut dengan keprematuran sebuah karya. Karya prematur mencerminkan tahapan dan proses dalam menulis itu sendiri. Tak perlu takut salah atau tulisan jelek. Keberanian dan tekad kedua calon cerpenis ini adalah kabar baik. Tapi dengan syarat proses menulis terus berlanjut. Kuncinya ketekunan tadi, berlaku untuk profesi dan pekerjaan apapun, lebih-lebih dalam menulis. Jika kamu sudah menekuni dengan senang dan sabar profesi apapun yang kamu pilih, karya dan semua hasil pekerjaan yang kamu bikin akan memukau dan sangat hebat pada akhirnya.

Saya percaya anak muda semacam Ummul Khaier El-Syaf dan Nurul Alfiyah Kurniawati ini akan menjadi the next short stories writer di masa akan datang bilamana mereka mampu menekuni dengan sabar dan passion yang kuat. Karena dari beberapa cerpen yang saya baca, khususnya yang berjudul  Percakapan Sepasang Sahabat dan Aku Malang, Ibuku Melintang. Saya sangat suka cerpen yang pertama, yaitu Percakapan Sepasang Sahabat. Teknik bercerita Ummul dalam cerpen itu bisa dibilang segar dan enak, mengalir, dan mengejutkan. Ummul seperti lepas bercakap-cakap begitu saja secara langsung dengan menyembunyikan tokoh-tokoh yang sedang terlibat dalam dialog. Kemasan cerpen seperti itu menurut saya perlu diapresasi lebih. Sementara cerpen punya Ummul yang lain tampak biasa-biasa saja, tanpa ada keistimewaan yang mengejutkan.

Sementara itu, Nurul Alfiyah Kurniawati mempunyai kemampuan pelukisan latar dan penguasaan kosa kata yang lebih bagus dari Ummul. Misalnya dalam cerpen berjudul Untuk Satu Nama. Teknik yang dipakai Nurul harus benar-benar detail dengan membangun narasi dalam bentuk fragmen, sehingga pembaca bisa mengikuti alur yang hendak disampaikan. Cara-cara bercerita seperti ini memang cukup baik dicoba dan dikembangkan.

Bagi saya, Nurul punya imajinasi bagus dan benar-benar mempunyai sebuah kisah dalam cerpenya. Ia menuliskan kisah apa adanya dan mengalir enak dengan kemampuan pemilihan kata yang cukup baik, dan kadang dengan bahasa yang mencengangkan. Misalnya lihat paragraf berikut:

“Aku tidak bisa membenci keindahan kota ini, seburuk apapun kenangan yang diberikannya. Aku tetap membungkus hatiku untuk satu orang yang sama selama tiga tahun kurang sehari.Tak peduli harus setia menenggelamkan diri di tengah keramaian Bucherer demi mencari hiburan, melelehkan kesepianku seperti halnya salju dan lampu pijar yang melelehkan kesan angker area pemakaman Zhukov. Ataupun membusuk sekalian di tepi Reuss.”

Saya suka terutama dua cerpen Nurul berjudul Untuk Satu Nama dan Puteri Bulan. Teknik bercerita Nurul yang berani mencoba hal-hal baru--dan keluar dari kebiasaan anak-anak sejawat MA menulis cerita—sangat bagus dan perlu terus dilatih. Nurul sepertinya enjoy ingin bercerita tentang cara-cara lain, misalnya dalam kalimat-kalimat awal pembukaan cerpen Puteri Bulan.

Sekilas dari sedikit cerpen yang dikirimkan dan saya baca, saya bisa menangkap bahwa si Nurul ini sudah terbiasa dengan bacaan yang lebih luas daripada Ummul.  Dari cerita-cerita yang dibangun seperti latar, konflik dan simbol-simbol yang diangkat menunjukkan bahwa wawasan Nurul sudah terlihat beragam dan kaya. Dalam menulis cerpen memang harus seperti itu. Menjadi penulis (cerpen ataupun novel) harus mempunyai pengetahuan yang kaya, wawasan luas dan perspektif yang beragam. Itu tentu demi menumbuhkan dan membubuhkan imajinasi-imajinasi yang cantik dan ciamik dalam cerita.

Namun begitu, Nurul tampak lalai dalam tataran teknis EYD, gramatikal, dan pembentukan paragraf, sehingga terasa bertumpuk-tumpuk. Entah apakah karena tukang ketiknya saja yang salah, saya kurang tahu pasti. Tapi cerpen-cerpen Nurul secara wawasan sudah sangat luar biasa untuk sekelas siswa MA. Nurul tinggal memperbaiki secara teknis kepenulisan saja. Setelah itu, saya sarankan untuk coba kirimkan ke media-media massa.

Sementara Ummul secara teknis menulis sudah lebih oke. Ummul butuh pengkayaan dan penambahan wawasan yang kuat untuk memberikan warna yang luas dalam cerpen-cerpennya ke depan. Caranya tentu dengan banyak membaca karya-karya orang lain. Tujuannya untuk memperkaya gaya dan bisa mengembangkannya secara maksimal dengan rasanya sendiri kelak. Perlu diingat bahwa tema dalam sebuah cerita tidak akan pernah bagus kalau cara penyampaiannya, cara bercerita/berkisah, perspektif yang diambil dan karakter yang dibangun rapuh. Sebagus apapun tema yang akan kalian tulis, kalau bangunan dan wawasan berceritanya lemah, ya tetap lemah. Dan sebaliknya, sesederhana apapun tema yang kalian angkat, tapi dikemas dalam bungkus cerita/kisah yang unik, tentu akan menjadi istimewa.

Akhirnya, saya mau menyampaikan salam kreatif buat adik-adik santri di Annuqayah. Jangan pernah lelah berkarya dan berkreasi (tidak harus dengan tulisan, masih banyak karya-karya lain yang bisa dijelang) untuk masa depan kalian. Saya secara pribadi sangat senang adik-adik di pondok terus menulis dan berkarya.

Salam

Yogyakarta, 3 Desember 2012

Sunday, December 02, 2012

Memang "Cuma" Puntung Rokok

Masih ingat dengan semboyan "small is beautiful" kan? Pasti dong. Tinggal klik aja di Google kata kunci itu. Di situ akan tertera nama E. F. Schumache, ekonom Inggris asal Jerman. Di era "tab" ini semuanya bisa berada dalam gengaman--cepat melampaui kilat. 

Nah, saya nggak ingin membahas semboyan itu. Saya justru ingin mengatakan bahwa "small is dangerous"! Kenapa tidak? Ceritanya begini: hal-hal besar itu berasal dari hal-hal kecil. Sebelum menjadi "universe", semesta ini hanyalah gumpalan-gumpalan atom; sebelum menjadi manusia, tubuh ini cumalah belesatan sperma dan ovum; dan sebelum menjadi banjir, hanyalah sumbutan-sumbatan kecil pada aliran air, sanitasi, gorong-gorong, lalu sungai yang tersumbat oleh barang-barang kecil (yang kita anggap tak bermasalah) seperti selembar sampah plastik, puntung rokok, dan pembalut yang kemudian menumpuk dan menggunung. 

Then, the small things become the biggest one!

Ceritanya saya masih nge-kost. Sejak awal ada beberapa pertemuan dan kesepakatan untuk tidak membuang puntung rokok, bungkus saset sampo, bungkus sabun, dll dalam kamar mandi. Hampir setiap 3-4 bulan kost saya mengadakan obrolan bersama dan membahas hal-hal penting, dan bahkan tak jarang gotong royong bersih-bersih bareng. Itu keren pastinya. 

Tapi soal yang satu ini: puntung rokok dan sejenisnya di kamar mandi tak pernah beres! Setiap hari pasti ada. Oh shit! Manusia macam apatah kita ini?

Saya jadi ingat komentar teman di luar sana: "boleh saja kalian mau berak, pipis, mabok, narkoba, ngesex dan bahkan bunuh diri pun asal di kamar, di ruang pribadi dimana tidak mengganggu orang lain. SILAHKAN! Budaya kita sebaliknya: di kamar sendiri di-pel se-mengkilat mungkin dengan aroma parfum kelas dunia, dipoles dengan sedemikian indah sebagai "rumah surgaku", dan dirawat dengan ekstra supercantik, sementara di luar pintu, di halaman, di jalan raya, kita kerap lalai tentang kewajiban sebagai makhluk sosial. Oh.

*Catatan menjelang senja, sehabis boker!

Thursday, November 29, 2012

Jalan Setapak menuju Kampung Halaman

Saturday, November 24, 2012

Cinta dalam Pot

DETAIL TOKOH & SPESIFIKASI KARAKTER

Ibu Oka          Umur 60-an tapi mukanya tampak muda. Rambun mulai uban. Murah senyum. Akrab dan sayang kepada Oka dan tanaman-tanaman hias di halaman rumahnya.
Oka                 Umur 23. Murah senyum kepada semua orang. Kulit cerah. Sangat mencintai tanaman-tanaman hias. Sangat mencintai lagu-lagu klasik. Suka bernyanyi.
Stenly              Umur 33. Punya istri. Broken home sejak 5 bulan terakhir. Sedang selingkuh. Penyuka tanaman hias. Mulai suka mabok. Ketika di rumah, selalu ingin marah-marah.
Istri Stenly      Umur 30. Mulai suka menghardik dan mengejek Stenly. Dia mulai tidak kuat diperlakukan dan disiksa oleh Stenly. Dia pun selingkuh.
Wanita            Umur 30. Biseksual. Modis. Cantik dan sedikit tomboi. Suka merajuk.

PROPERTI
Dua rumah berdekatan dengan halaman cukup luas. Pot tanaman masing-masing dengan 10 pot. Gunting daun. Pupuk. Ceret. Dua motor. Dan perabot rumah. Jam Weker.


SCENE 1. EX.
PAGI. TANAMAN HIAS

tim kreatif dan pemain film pendek Cinta dalam Pot
Sebuah tanaman hias berbunga mekar, segar dan stunning. Rintik-rintik air jernih memetes ke atas bunga, lalu jatuh ke daun-daunnya. Pelan-pelan. Tetesannya teratur. Lalu ada satu tetes air terakhir pecah di atas bunga. Buliran air semakin intens, lalu membentuk sebuah tulisan (judul film) di atas daun: CINTA DALAM POT.

SCENE 2. EX.
PAGI. HALAMAN RUMAH
OKA. IBU OKA. STENLY. ISTRI STENLY

Pagi sekitar pukul 06.30. Dari pojok samping halaman, tampak dua rumah sederhana, masing-masing halaman cukup luas, penuh pot-pot (berjumlah 6) dengan tanaman yang mulai tumbuh segar. Rumah pertama milik Stenly. Rumah kedua milik Oka. Tanaman dalam kondisi yang sama: usia, jenis, dan ukurannya. Bunyi-bunyi burung dan suara anak-anak tetangga yang terdengar pelan. Sesekali ada suara motor di kejauhan.


SCENE 3. INT
PAGI. RUMAH
OKA. IBU OKA.

Oka sedang sarapan bersama ibu tercinta. Wajah mereka penuh semangat dan ceria. Tak ada mimik wajah keluh kesah. Pagi yang indah bagi mereka. Sambil sarapan mereka bercengkrama. Sang ibu sangat sayang kepada Oka dengan sekali-kali mengelus ubun-ubunya. Sarapan selesai, Oka menoleh pada jam dinding. Diikuti oleh ibunya. Pukul 07. 00. Oka tersenyum ceria. Mereka sudah mengerti pukul 07. 00 adalah waktu menyiram tanaman hias. Sang ibu duduk di depan rumah memandingi Oka yang sedang menyiram tanaman hias. Siul burung terdengar dan sesekali desir angin membawa kedamaian dalam suasana hati mereka.

SCENE 4. EX.
PAGI. HALAMAN RUMAH
STENLY. ISTRI STENLY

Stenly datang dengan motor. Mukanya kusam. Matanya merah. Rambutnya berantakan. Memarkir motor, lalu masuk ke rumah. Sebelum membuka pintu, istrinya langsung menyambarnya dengan suara keras penuh amarah. Dapur mereka berantakan, kamar tidur rapi seperti tidak pernah dipakai. Kulkas terbuka begitu saja tanpa ada isi berarti.

Istri Stenly
Pulangnya pagi terus. Nggak tahu waktu. Ini sudah 5 bulan Mas hidupku seperti di neraka jahanam!
(nyolot begitu saja dengan suara keras)

Stenly
(menatap Istrinya dengan mata merah. Lalu masuk ke dalam rumah. Menatap barang-barang yang berantakan)

Istri Stenly
Kerjanya keluyuran malam. Lihat pukul berapa sekarang!
 (sambil menunjuk jam dinding. Jam dinding menunjukkan pukul 07.05)

Stenly
(Muka Stenly merah. Marah. Lalu mengambil ceret, mengisi air dari kran. Kran air dibuka full. Air bercipratan kemana-mana. Matanya menatap air dengan garang. Air itu dibiarkan tumpah. Istrinya tetap nyerocos dari dalam rumah. Sekali-kali ke pintu mengumpat Stenly.

Istri Stenly
“Ini sudah 5 bulan Maaassssss... semuanya berantakan begini”
(sembari seperti mengemis-ngemis, dan duduk di depan pintu. Air mata tumpah dengan muka kecewa)

Istri Stenly
Muka Stenly tambah marah dan legam. Tangan-tanganya gemeratak mengepal timba air. Dengan nafas tak teratur, muka merah, dan marah, menyiram bunga. Istrinya tetap mengumpat di pintu rumah. Setiap tetesan dan siraman air yang jatuh ke tanaman hias tak luput dari amarah Stenly yang membuncah di dadanya. Selesai menyiram bunga, dia taruh ceret di dekat gunting rumput di antara pot-pot bunga)   

SCENE 5. EX.
PAGI. HALAMAN RUMAH
STENLY. OKA.

Oka dan Stenly
(dari jauh Oka dam Stenly sama-sama menyiram tanaman hias dan selesai bersamaan. Cara mereka menyiram, takaran dan ukuran air sama. Sehabis menyiram, mereka sama-sama memupuknya. Lalu mereka sama-sama masuk ke rumah masing-masing)

SCENE 6. INT.
PAGI. RUMAH
STENLY

Stenly
(selesai menyiram tanaman hias. Stenly masuk ke rumah. Dia membersihkan sofa yang sedikit berdebu. Sedikit sempoyongan karena mengantuk. Lalu tertidur di sofa)


SCENE 7. INT.
MALAM. RUMAH
STENLY.

Stenly terbangun oleh jam wekernya sendiri. Dia menatap jam pukul 23.00. Di ujung ruangan, istrinya sedang menelpon seseorang dengan HP. Sorot mata Stenly menebas perempuan itu, dengan muka marah dan sinis. Tiba-tiba sang istri memutus telepon. Tak bercakap, Stenly berkemas dan pergi. Di halaman dia menatap tanaman-tanaman hias di tengah temaram lampu dop 5 watt. Dia seperti ingin mendekati pot-pot itu. Tapi tidak jadi.

SCENE 8. INT.
MALAM. RUMAH
WANITA. STENLY

Wanita itu sedang membaca majalah. Karena sudah mengerti ada sesorang yang mau datang, wanita itu membuka pintu. Mempersilakan Stenly duduk dengan pelukan nakal. Di meja ada botol bir. Mereka minum. Cheers. Dua gelas, mereka menuju kamar. Mereka sudah sama-sama mengerti. Wanita itu masuk lebih dulu ke dalam kamar, kemudian disusul Stenly. Sebelum pintu benar-benar tertutup rapi, wanita itu bergelayut di tubuh Stenly. Menariknya dari belakang lalu jatuh ke kasur.

SCENE 9. INT.
PAGI. RUMAH
STENLY

Stenly tertidur di atas sofa. Jam weker menyala di atas meja dekat Stenly terlelap. Tak ada orang yang bangun. Dalam rumah itu. Jam menunjukkan pukul 07.00 saat jam weker itu berbunyi.

SCENE 10. EX.
PAGI. HALAMAN RUMAH
OKA. IBU OKA

Di waktu yang sama, Oka tampak sedang mengambil air dengan puji-pujian, perasaan sumberingah, damai dan penuh kasih sayang. Oka menyanyikan lagu-lagu jazz kesukaannya. Dari dalam rumahnya terdengar lagu-lagu jazz yang ikut dinyanyikan Oka. Ibunya ikut memotong daun-daun tanaman hias itu.

SCENE 11. INT.
PAGI. HALAMAN RUMAH
STENLY. OKA

Kedua rumah kembali terlihat. Oka sudah mengisi ceret dengan air. Sementara di halaman rumah Stenly bunga-bunga itu dibiarkan sepi.


SCENE 12. INT.
PAGI. HALAMAN RUMAH
STENLY. ISTRI STENLY

Tiba-tiba dari dalam rumah terdengar suara keributan. Suara Istri Stenly yang tengah membangunkan dan memaki-maki suaminya yang masih tidur di sofa. Akhirnya Stenly keluar dari pintu rumah dengan mata merah, sedikit sempoyongan. Lalu mengambil ceret. Setelah penuh, dengan langkah lelah, dia menyiram bunga.

SCENE 13. EX.
PAGI. HALAMAN RUMAH
STENLY. OKA.

Stenly dan Oka
(Scene ini bersamaan. Mereka sedang sama-sama merawat tanaman-tanamannya dengan memupuknya. Lalu mengguntingnya. Oka memupuk dan tanaman itu dengan siul-siul senang dan lagu-lagu rancak dari komposer Bethoven terdengar dari dalam rumah. Wajah Oka tampak sumbringah di antara daun-daun tanaman hias yang dirawatnya. Di saat yang bersamaan, Stenly memupuk tanamannya dengan wajah lelah dan marah. Dari dalam rumah Istri Stenly marah-marah. Terdengar barang-barang dibanting)

SCENE 14. EX.
PAGI. HALAMAN RUMAH
STENLY. OKA.

(Scene ini bersamaan. Mereka sedang sama-sama menyiram tanaman. Oka dengan wajah jumawa, sedikit tertawa dan tersenyum lebar. Ibunya menatap Oka dari pintu rumah dengan tersenyum senang. Di saat yang bersamaan, Stenly menyiram tanamannya dengan wajah masam dan penuh amarah. Kesal mentap tetesan air dan tanaman yang ada di depannya)

SCENE 14. EX.
PAGI. HALAMAN RUMAH
STENLY. OKA.

(Scene ini bersamaan. Mereka sedang sama-sama menyiram tanaman. Oka dengan wajah jumawa, sedikit tertawa dan tersenyum lebar. Ibunya menatap Oka dari pintu rumah dengan tersenyum senang. Di saat yang bersamaan, Stenly menyiram tanamannya dengan wajah masam dan penuh amarah. Kesal mentap tetesan air dan tanaman yang ada di depannya)


SCENE 15. EX.
SORE. HALAMAN RUMAH
STENLY. ISTRI STENLY.

Oka. Stenly dan Istrinya
(Oka sedang asyik menggunting rumput. Sementara Stenly sedang menggunting tanaman hias dengan gamang. Dia melihat istrinya sedang mengeluarkan motor. Tak ada percakapan. Matahari sore pukul 3 sangat terik. Istri Stenly melaju dengan motornya. Dari balik pot-pot itu, Istri Stenly lenyap bersama motornya. Stenly geram dan membanting gunting rumput saat melihat istrinya pergi entah kemana. Lalu dia berteriak kepada tanaman-tamana itu)

SCENE 16. EX.
SORE. CAFE
ISTRI STENLY. WANITA

Istri Stenly dan Wanita
(Istri Stenly duduk dengan wajah lelah dan risau. Dia sedang menunggu seseorang. Mukanya kusut dan pandangannya gamang. Dari arah pintu seoarang wanita masuk dan langsung memeluk Istri Stenly. Mereka berpelukan hangat dan mencium kening Istri Stenly. Lalu saling menyuapi eskrim/  yugort kesukaan mereka berdua yang sudah dipesan. Lalu mereka kembali bercengkrama)

SCENE 17. INT.
MALAM. RUMAH
STENLY. ISTRI STENLY

Istri Stenly
“Bangun-bangun bangunnnnnnn.”
(berteriak sambil mendorong Stnely keluar dari pintu dengan sempoyongan. Stenly hampir saja terjerembab dalam kondisi yang rempong. Mata merah menahan kantuk.)

Istri Stenly
Udah jam tujuh belum juga bangun. Pasti pulang kepagian lagi. Mas, aku dianggap apa dalam rumah ini. Apa aku akan terus dibiarkan seperti bunga-bunga yang kesepian itu.?
(risau, keciwa, dan tidak mengerti)

Stenly
(dengan wajah kesal dan marah, Stenly keluar rumah dengan mengambil ceret, lalu mengisi air. Mukanya geram dan garang. Dia seperti ingin berteriak saja sama air yang sedang mengalir dari kran itu. Tapi diurungkan. Dia hanya menyibak-nyibak air dengan kesal. Setelah ceret penuh, dia langsung menuju tanaman-tanama hias itu. Namun dari belakang, sang istri menguntitnya dengan suara lantang: mengomel dan memaharahinya)

Istri Stenly
Ngomongnya senang sama tanaman. Tapi....

Stenly
Tapi saya setiap jam 7 tetap disiram kan?

Istri Stenly
Ngomongnya suka sama aku. Tapi...

Stenly
Tapi aku masih serumah sama kamu kan?

Istri Stenly
Apakah itu cukup hanya karena kita serumah? Tapi aku dibiarkan seperti bunga-bunga yang layu. Pulang pagi. Mabok. Kamu merawat tanaman atau merawat aku. Mana lebih berharga antara aku dengan tanaman ini. Aku dibiarkan seperti patung di sini. Seperti bunga-bunga yang layuuuu.
(suaranya semakin memuncak. Berteriak dan memukul-mukul pundak Stenly)

Stenly
(mata Stenly merah. Plak!!! Stenly menampar istrinya. Mereka ribut di tengah-tengah tanaman hias itu. Istri Stenly duduk ke tanah sambil melanjutkan caci maki, lalu berdiri lagi. Stenly kalap lalu mengambil gunting rumput yang ada di sampingnya dan ditebaskan pada perempuan itu. Dresss... seketika istrinya terkapar. Gelap)

SCENE 18. EX.
PAGI. HALAMAN RUMAH
OKA.

Ketika gunting milik Stenly menebas Istrinya, Oka sedang menggunting dan merapikan daun-daun tanaman hias. Irama musik klasik Mozart terdengar ramah dari dalam rumah

SCENE 19. EX.
SIANG HARI. HALAMAN RUMAH
STENLY. OKA.

Kedua tanaman hias tampak dari pojok halaman rumah dengan bergantian. Milik Oka segar dan berbunga. Milik Stenly tumbuh tidak karuan dan bahkan tampak layu. Scene ini di-shoot dari dekat bersamaan lalu bergantian.

SCENE 20. EX.
SIANG HARI. HALAMAN RUMAH
STENLY

Tanaman Stenly layu. Di bawah pot-pot itu ada gundukan tanah. Stenly menyiram tanaman hias itu dan sekaligus menyirami gundukan tanah itu: Makam Istrinya. Pot-pot itu ada di atas gundukan tanah. Dan di tengah-tengah pot di gundukan itu,  Stenly menancapkan sebuah plang kecil seperti  nisan dengan tulisan: “Aku Mencintai Kalian Berdua”. SELESAI

Skenario Film Pendek
by Bernando J. Sujibto

Jogja, 24 Nov 2012