Selamat Ulang Tahun, Adikku Izza
|
Di kebun bareng adik-adikku... |
Di tengah waktu terus
mempersiapkan yang terbaik buat akhir studiku, rinduku kepada ibu, kamu dan
keluarga sangat menggebu. Sesegera mungkin, ingin sangat aku ada di samping kalian,
mendengarkan cerita dan pengalaman hidup selama ini kita berjauhan. Dan kamu
sudah tumbuh dewasa, menjadi mahasiswi dengan beasiswa di salah satu Perguruan
Tinggi terbaik. Semua ini adalah buah doa ibu, para guru dan perjuanganmu.
Aku menulis surat ini di
tengah-tengah jeda di antara tumpukan buku untuk tesisku, di ruang perpustakaan
kampusku. Perpustakaan, nama yang selalu akrab di antara kita, bukan? Di antara
kakak kita dan saudara-saudara kita di rumah, perpus adalah warisan abadi.
Karena keluarga kita tumbuh dari orang-orang yang suka membaca.
Adikku, aku tergerak harus menyelesaikan
surat ini saat aku mendapatkan sebuah kabar tentang kejuaraan yang kamu
menangi. Bukan soal kamu juara satu, dapat uang, lalu diucapkan selamat dan
gempita di sekitarmu, atau apa-apa. Bukan. Senang, iya. Itu pasti dialami aku
sebagai kakakmu. Tapi jauh ke depan, semua itu—kebahagiaan dan kesusahan di
tengah perjalanan panjangmu ini—hanya ibarat penanda dan “catatan kaki” bagi lorong
hidup yang kamu tempuh. Di situ, kamu harus diam, berefleksi, mengambil
pelajaran dan bersyukur. Di tengah perjalananmu ada proses, ketekukan, kerja
keras, istiqamah dan kesehajaan.
Adikku, tak ada batas untuk
kreativitas. Allah memberikan kita akal, pikiran dan hati adalah agar kita
berkarya buat agama, keluarga dan orang-orang di sekitar kita. Kamu harus tetap
semangat dan optimis. Aku ingin selalu melihatmu tersenyum tegar, tumbuh jadi
perempuan yang mempunyai prinsip dan memperjuangkan prinsipmu itu. Kamu mempunyai
kemampuan, adikku. Kamu bebas mengembangkan keinginan dan cita-citamu untuk
masa depanmu. Nikmati semua prosesmu dengan menyenangkan dan bersyukur kepada
Allah. Karena semua itu adalah titipan dariNya.
Adikku, bekal ilmu dan
pengetahuan yang kamu punya dari pesantren dan para kiai, jangalah sampai
hilang. Kemampuan baca kitab kuning dan bahasa Arab tidak boleh luntur meski
kamu belajar di jurusan umum. Seperti pernah aku bilang, kamu akan semakin
hebat dan spesial di mata dosenmu dan teman-temanmu ketika kamu mampu menghadirkan
referensi (bacaan) dari khazanah peradaban Islam klasik (bocoran: sangat-sangat
sedikit dari dosen-doesenmu yang paham sumber-sumber dari kitab klasik). Sumber
dan khazanah ilmu pengetahuan dari masa Nabi, masa-masa kejayaan Islam—khususnya
yang sesuai dengan jurusanmu, tentang falsafah negara dan kewarganegaraan—sejak
Abbasiyah hingga Ottoman ditambah kemampuanmu mengkomparasikan dengan
sumber-sumber kontemporer berbahasa Inggris dari Barat akan membuatmu semakin
kuat dan bukan “tong kosong”. Aku kakakmu ini yakin kamu akan lebih hebat
dariku dan kakak-kakakmu yang lain. Terus asah dan kembangkan kemampuan dan
bakatmu. Juga, harus dipegang: tetap tawadhu’.
Bagi orang macam kita, tumbuh
dari keluarga pas-pasan dan miskin secara materi, tidak boleh merasa rendah
diri. Kita diajarkan untuk tidak mundur atas prinsip dan kebenaran. Kita punya
hati yang kaya, pikiran yang luas, keyakinan yang berlimpah dan kasih sayang yang
tak terbatas. Kita tumbuh dari keluarga seperti itu, adikku. Insya Allah kamu
akan memahaminya pelan-pelan.
Aku memang terbatas melihat
perkembanganmu. Kamu kecil, aku di pesantren. Kamu remaja, aku di Jogja kuliah.
Dan sampai kini aku semakin berjarak jauh dari keluarga. Aku pula yang memulai
bagaimana cara memahami dan mengukur batas antar negara dan benua. Ternyata, semakin
aku jauh, hatiku semakin dekat. Kalian di hati selamanya.
Adikku, tetap semangat, tersenyum
selalu dan rendah hati ya. Kami menyayangimu, selalu...