(Naskah tulisan ini merupakan ketik ulang dari buku Melipat Batas yang diterbitkan oleh Diva Press tahun 2013. Saya secara khusus menyampaikan ucapan terima kasih kepada adinda Arian Widda Faradis yang sudah mempersiapkan tulisan ini sehingga bisa saya unggah ulang ke blog, dengan harapan semoga sepenggal catatan ini bermanfaat bagi pembaca)
Deretan
kursi pada sebuah teras di salah satu ruangan kampus Sanata Dharma terisi oleh
beberapa mahasiswa yang sedang menunggu. Aku tidak datang terlambat, masih in
time juga. Tapi, jelas kalah awal dari mereka yang tengah menyemut di situ.
Kupastikan nama dan nomor ruangan, daftar nama interview yang menempel
pada setiap pintu ruangan. Ya, namaku ada di sana: B.J. Sujibto.
Sambil
menunggu giliran wawancara, aku menikmati suasana kampus yang sebelumnya tidak
terlalu kukenal, selain gedung-gedung khusus seminar atau ruangan teater yang
terkadang kudatangi di salah satu kampus terbaik dengan latar belakang agama
Katolik di Indonesia itu. Sadhar, sebutan akrab Universitas Sanata Dharma, tidak
terlalu jauh dari kampusku, UIN Sunan Kalijaga. Kalau diukur lurus, tidak
sampai satu kilometer. Kendati demikian, tampak jarang mahasiswa UIN yang
sengaja mengunjungi kampus Sadhar atau singgah di perpustakaannya.
Tak
begitu lama menunggu, aku dipanggil lalu dipersilahkan masuk ke ruangan. Aku
bersalaman dengan sesama orang yang sudah menunggu di dalam ruangan itu. Dia
menanyakan nama, alamat, serta kehidupanku dengan bahasa Inggris, dan sesekali
dicampur dengan bahasa Indonesia, bahasa kecintaanku tentunya. Proses wawancara
itu terus mengalir begitu saja ke berbagai aspek kehidupanku. Karena sudah
mengantongi CV-ku, tentu saja Pak Dosen yang mewawancaraiku itu begitu fasih
membongkar hal-hal yang mungkin baginya dianggap unik dan distingtif dari
diriku. Di samping itu, pertanyaan-pertanyaan yang disiapkan sepertinya sudah
menjadi keharusan atau standar umum wawancara, sesuai yang perlu diulik dari
semua peserta.
“Kamu suka menulis?”
“Batul, Pak.”
“Tulisanmu banyak sekali dan sudah
banyak dimuat di media massa juga. Bahkan, sudah dimuat di Kompas juga
ya?”
Aku mengangguk.
“Kamu juga sudah banyak memenangkan
kompetisi menulis juga, ya?”
Aku meyakinkan lagi dengan sebuah
anggukan.
“Bagaimana kamu bisa menulis?”
Deg! Ini
pertanyaan tersulit. Karena, Pak Dosen menuntutku menelisik dan menekuri masa
silamku yang cukup panjang. Aku harus membuka file-file masa lalu dengan
seksama, suatu fase di mana aku bisa memulai segalanya dengan keyakinan dan
perjuangan.
***
Sebuah
bidik
terhampar di depanku. Paman, Kak Muhli, dan Ibu ada di sana. Saat itu, aku dan
Kakak sedang aretret
rajangan tembakau untuk dikonsumsi sendiri di atas sebidak bidik. Kami biasa
menamai tembakau yang khusus dibuat untuk rokok lintingan dengan “tembakau soteran”.
Tembakau pilihan dari daun-dan tembakau yang sengaja dirawat secara khusus dari
pohon-pohon terbaik.
“Ibu, aku mau berhenti dari
pesantren.”
“Arapa, cong?”
“Memang, kemana rencanamu, le?”
celetuk kakakku.
“Ke Jogja. Tapi, sebelum itu, aku mau
kursus bahasa Ingris dulu di Pare. Kalau sudah yakin dengan kemampuan bahasa
Inggrisku, aku akan berangkat ke Jogja.”
“Ibu tidak punya kemampuan apa-apa
lagi untuk membantu pembiayaanmu, Nak.”
“Ibu tidak perlu memikirkan uang.
Aku hanya butuh izin dan doa dari Ibu. Selebihnya biar aku sendiri yang
berjuang.”
Ibu,
Kakak, dan Paman terdiam di teras rumahku. Mereka seperti menghela napas.
Suasana musim panas di bulan Agustus-September memang membawa angin lembab dan
berdebu. Terlebih September adalah puncak musim panas di kampung.
“Iya, lanjutkan saja kalau itu sudah
menjadi kemauanmu.” Paman di seberang
pintu yang sedang duduk dengan baju kusam terbuka sedada menimpali.
“Jangan khawatir, Ibu. Aku akan
bekerja apa saja demi mencapai cita-cita ini. Kalaupun aku tidak bisa kuliah
karena betul-betul tidak punya uang, tidak apa-apa, aku menerimanya. Aku hanya
ingin belajar dan menambah pengalaman di kota orang mumpung masih muda.”
Ibu
menatapku. Matanya ibarat sebuah telaga bening yang selalu memancarkan semangat.
Kedipannya seperti petir yang selalu membangkitkan darah juangku. Aku paham Ibu
sangat berat melepasku pergi karena khawatir dengan kondisi ekonomi yang sangat
terbatas. Akan tetapi, semangatku telah menutup semua kekhawatiran itu.
“Iya, Nak. Kalau itu sudah menjadi
pilihan dan cita-citamu, silahkan. Ibu akan selalu setia mendoakanmu.”
Dalam
semua keterbatasan, aku melangkah dengan penuh keyakinan meninggalkan kampung
halaman. Tujuan pertamaku adalah belajar bahasa Inggris di Pare sebagai modal
untuk berkompetisi di kota orang. Di Pare, ada paman sepupu dari Ibu, yang
menjadi tutor dan punya lembaga kursus bahasa Inggris. Namanya Mr. Bakir.
Sehingga, aku tidak terlalu repot untuk sekedar hidup dan belajar gratis di
sana. Di samping itu, sepupu ibuku ini memang selalu mendukungku untuk belajar
bahasa Inggris karena kemampuan bahasa Inggrisku sangat minim.
Aku
sudah benar-benar menyongsong masa depanku sendiri. Aku yakin, akan ada jalan
yang terbuka lebar untuk para pencari ilmu sepertiku. Risiko apa pun yang
menghadang langkahku adalah cobaan yang harus kuhadapi. Semangat sudah
membuncah di dadaku. Aku yakin bahwa siapa pun yang berjuang mencari ilmu di
jalan Allah, pasti akan mendapatkan ilmu seluas samudra yang akan memberikan
banyak manfaat. Dia tidak pernah tidur untuk memudahkan jalan bagi
hamba-hamba-Nya yang haus ilmu.
Aku
tidak ingin melangkah dengan konyol, karena itu aku membutuhkan senjata untuk
bertahan. Aku perlu mempersiapkan suatu kemampuan yang bisa kubanggakan sebagai
bargaining position di hadapan orang lain. Aku sadar bahwa kemampuan
menulisku bisa diandalkan dan aku dapat melanjutkan profesi sebagai penulis. Di
samping itu, kemampuan bahasa Inggrisku juga bisa kupupuk lebih rajin lagi. Aku
tidak tahu kelak bagaimana Tuhan membukakakn arah hidupku. Namun yang pasti,
jalan sebagai penulis adalah satu-satunya yang bisa kubanggakan.
Menulis
dan membaca adalah bagian dari masa kecilku. Sejak duduk di bangku sekolah
dasar, aku sudah terbiasa membawa dan membaca buku-buku cerita petualangan yang
ada di perpustakaan SD Inpres. Berlanjut ke pendidikan lebih tinggi di pondok
pesantren, semangat membacaku semakin menggila. Kelas tiga MTs, aku sudah
memulai menulis puisi dan cerita (sangat) pendek. Akhir kelas tiga, puisiku
dimuat di rubrik “Cermin” majalah sastra Horison, lalu secara bergiliran
di majalah Annida, Kuntum, dan Sahabat Pena.
Puisi
pertama yang dimuat di majalah nasional dan bergengsi itu, untuk judul dan
isinya, aku masih sangat hafal, bahkan sampai sekarang. Judulnya “Pelabuhan
Raksa”, berisikan tentang kisah cinta
yang kandas di sebuah pelabuhan. Aku sangat menyukai puisi pertama itu. Tak
ayal, majalah Horison edisi itu aku bawa ke mana-mana. Kulapisi majalah
itu dengan isolasi bening agar tidak cepat rusak. Kusodorkan ke beberapa teman,
baik di pondok, perpustakaan, maupun sekolah. Waktu itu, aku tidak tahu sama
sekali arti publisitas. Tapi yang pasti, aku ingin mengatakan kepada semua
temanku bahwa aku adalah penulis yang karyaku bisa dimuat di media masa yang
dibaca oleh banyak orang. Titik !
Hasrat
menulisku tumbuh menggebu. Di samping media-media kreativitas menulis yang ada
di pondok, tempat di mana aku menghabiskan masa remaja, sangat banyak dan
mendukung semua kegiatan jurnalistikku, aku sendiri mulai menggagas untuk
menerbitkan sebuah newsletter pertama di pondok. Pondokku bersistem
federal ─ seperti negara-negara bagian dalam pemerintahan Amerika atau
Australia ─ yang berada di bawah satu yayasan bernama Annuqayah. Di bawah
Annuqayah, tersebar beberapa daerah yang berlokus sebagai bagian-bagian
kesatuan tapi dengan sistem berbeda. Ada yang dominan salaf, modern,
semimodern, dan campuran. Pondokku bernama Daerah Nirmala. Biasanya orang-orang
di luar pesantren mengenalnya dengan nama Pondok Pesantren Annuqayah Daerah
Nirmala. Dan, Alhamdulillah, newsletter yang kugagas bersama
teman-teman akhirnya terbit juga saat aku duduk di kelas dua aliyah. Aku
bersama tiga orang temanku yang menginisiasi penerbitan buletin itu. Kami
memberinya nama Newsletter Kejora.
Proses
menulisku terus berlanjut dan menggila. Dari puisi kemudian merambah ke cerpen
dan artikel. Saat di bangku aliyah, kegemaranku pada buku dan menulis
benar-benar berada pada titik ekstase, mencapai puncaknya. Berulang kali,
sajak-sajakku dimuat di Horison, bahkan tak tanggung-tanggung di halaman
utama. Aku benar-benar bangga. Respons positif dan dukungan dari teman-teman
komunitas serta sanggar seni di pondok berhamburan bak laron yang muncul ketika
musim hujan tiba.
Semua
ini hanya sebuah ujung dari lorong panjang. Aku tidak ingin selesai di sini.
Aku ingin mencecap sebuah proses yang sebenarnya. Di sanalah perang itu, di
mana ketika aku benar-benar sendiri berjuang melawan keberingasan hidup. Aku
ingin melanjutkan mimpiku sebagai penulis di Jogja! Aku ingin tulisan-tulisanku
memanggilku ke seantero dunia!
Kalimat-kalimat
itu seperti lelatu tapi penuh dengan kilatan tajam. Kuucapkan kalimat-kalimat
itu di depan teman-teman komunitas sanggar seni serta teman-teman kru Newsletter
Kejora.
Ternyata
betul. Perkataan yang sedikit heroik itu telah membawa langkahku ke Jogja pada
tahun 2006, tepat tiga minggu sebelum gempa besar melanda Jogja pada 26 Mei
2006. Sebagai pendatang baru di Jogja, dengan hanya mengandalkan kenalan
beberapa sahabat baik yang bersedia menampung, aku tertantang untuk segera
menjelajah Jogja. Alamat para penulis dan tokoh-tokoh sastra sudah kukantongi.
Ada Joni Ariadinata, Zainal Arifin Thoha, Agus Najib, Amin Abdullah, bahkan
Amien Rais, dan beberapa nama penulis beken lainnya. Aku tidak tahu bagaimana
cara menemui mereka. Namun yang pasti, banyak dari penulis-penulis hebat di
Jogja sangat welcome dengan orang-orang baru dan jembel sepertiku.
Karena, seperti diceritakan banyak temanku, penulis-penulis hebat itu awalnya
senasib sepertiku. Hanya bermodalkan semangat, tekad, dan kemampuan menulis.
Jogja
adalah kota yang sangat cocok bagi penulis. Ya, aku berani mengatakan demikian
karena denyut kreativitas menulis begitu gemerlap di Jogja. Buku-buku murah.
Diskusi-diskusi terhampar luas dan gratis. Kajian-kajian dan seminar kelas
nasional pun terbuka lebar. Komunitas-komunitas seni dan sastra tumbuh di semua
sudut kota Jogja. Aku yang baru pertama kali sampai di Jogja, takjub dibuatnya.
Dengan
sangat ajaib, karena jalan Allah, akhirnya aku bertemu seorang teman yang
mengantarku ke sebuah komunitas menulis yang telah kukenal sejak masih di
pondok pesantren. Komunitas Kutub, namanya. Dahsyatnya, salah seorang penulis
yang aku kagumi, Zainal Arifin Thoha, ada dalam komunitas itu. Semakin mantaplah
keyakinanku untuk belajar menulis dan mengembangkan pengalamanku di sana.
Pria yang kupanggil Gus Zainal itu
sangat welcome dan mempersilahkanku tinggal di pondoknya. Sayang, aku
hanya bertemu dan belajar kepada beliau selama setahun, karena pada 14 Maret
2007 beliau dipanggil kembali ke Rumah Allah dalam usia yang masih muda, tiga
puluh lima tahun.
Di
Komunitas Kutub, aku benar-benar menggila belajar menjadi penulis. Tahun 2007 hingga 2009 adalah fase di mana aku
benar-benar fokus dengan dunia menulis. Karya-karya tulisanku, seperti artikel,
esai, timbangan buku, dan puisi nyaris tak bisa dibendung. Mengucur begitu saja
menyaingi napasku.
Atas
dorongan Gus Zainal dan teman-teman di Komunitas Kutub, aku memberanikan diri
untuk mendaftar kuliah. Kala itu, aku tidak mempunyai bayangan mendapatkan uang
dari mana. Uang sango
dari hasil Ibu menjual ternaknya senilai sejuta rupiah sudah kupakai sebagian
untuk makan di Jogja. Sisanya hanya sekitar tiga ratus ribu rupiah. Dan, sisa
uang itulah yang kupakai untuk biaya pendaftaran kuliah.
Akhirnya
aku diterima sebagai mahasiswa di Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan
Humaniora di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga. Ketika registrasi pertama
yang mengharuskan mahasiswa membayar uang sebesar satu setengah juta rupiah,
aku pusing sejuta keliling, bukan hanya tujuh keliling. Beruntung ketika aku
meminta kelonggaran kepada pihak kampus, aku diperbolehkan mencicil dua kali.
Pembayaran pertama, aku meminjam uang dari teman-teman yang kukenal di Pare, Kediri,
yang sudah lama tinggal dan bekerja di Jogja. Uang pinjaman itu harus
kukembalikan dengan cepat. Semangat ini pulalah yang membuatku memutuskan untuk
total menulis.
Di
Jogja, tantangan hidup benar-benar terasa, dan aku seperti berperang di sana.
Jarak kampus dari tempat tinggalku cukup jauh. Delapan belas kilometer. Aku
tinggal di daerah Krapyak, sementara kampusku yang sebenarnya berada di sekitar
Timoho, karena terhantam gempa, harus meminjam gedung di daerah Bandara
Adisucipto, Maguwoharjo. Jarak yang memakan waktu hingga satu jam perjalanan
itu harus kutempuh dengan sepeda ontel. Inilah yang kusebut sebagai “perang”.
Di atas sadel sepeda, aku berperang dengan egoku sendiri. Berperang dengan rasa
malu. Berperang dengan semua kemalasan. Dan, berperang dengan semua tetek-bengek
keakuan yang melenakan. Pesan Gus Zainal kepadaku agar tampil tanpa pencitraan,
“Tahi kucing dengan gengsi, tahi kucing dengan malu,” begitu menusukku. Maka,
kuderapkan langkah sekuat-kuatnya untuk melawan semua jenis ketakutan dan
keterbatasan. Dan ternyata, aku memenangkannya.
Ada
kenangan indah yang tak akan pernah kulupakan. Sore itu, aku harus cepat pulang
ke Krapyak karena di sana ada diskusi sastra yang harus kuikuti. Namun, aku
harus menghentikan kayuhan sepedaku karena hujan tiba-tiba datang. Perlahan,
kutuntun sepedaku ke sebuah pohon yang teduh lalu kusandarkan di sana.
Kemudian, aku menepi ke sebuah teras kecil. Semacam emperan toko yang
sepertinya baru saja ditutup menjelang senja. Di bawah cahaya bohlam ber-watt
kecil, kulanjutkan membaca buku-buku yang selalu menyandingi perjalananku
hari-hari itu. Waktu itu, aku membaca novel karya peraih Nobel Sastra, Orhan
Pamuk, berjudul My name is Red tepat di tengah rintik hujan.
Dan,
aku begitu terkejut manakala membuka penanda halaman novel yang ternyata
terselip pada bab sepuluh dengan judul “Aku adalah Sebatang Pohon”. Kalimat
pertama dan kedua seperti menyergapku begitu dalam, “Aku adalah sebatang pohon
dan aku merasa agak kesepian. Aku menangis di tengah hujan.” Tapi tidak, aku
tidak menangis waktu itu. Aku hanya tersayat dengan untaian kalimat demi
kalimat magis dari tangan novelis ulung asal Turki itu. Saat itu, aku begitu
merasakan bahwa berjuang menjadi penulis setali tiga uang dengan berjuang
menjadi pembaca yang tekun.
Tahun
2007 hingga 2009, tulisan-tulisanku dimuat di hampir semua media massa di
Indonesia, mulai dari Kedaulatan Rakyat, Bernas, Minggu Pagi, Suara Merdeka,
Jawa Pos, Surya, Surabaya Post, Seputar Indonesia, Media Indonesia, Suara
Karya, Suara Pembaruan, Investor Daily, Kontan, Bisnis Indonesia, hingga Kompas.
Di luar Jawa pun, tulisan-tulisanku tayang di Bali Post, Bangka Pos,
Serambi, Batam Post, dan Lampung Post. Semua bentuk tulisan
kusambangi, mulai dari puisi, cerpen, resensi buku, esai, hingga artikel.
Berbagai penghargaan lomba kepenulisan tingkat regional dan nasional kusabet
satu per satu.
Aku
telah menjadi pemenang!
Akhirnya
akan kukatakan dengan lantang bahwa tulisan-tulisanku telah memanggilku ke
mana-mana: Sumatra Barat, Jakarta, Semarang, Purwokerto, Australia, bahkan
Amerika Serikat.
***
“Iya, Pak. Saya menulis karena saya menyukai dunia tulis-menulis
dan membaca. Saya menulis karena saya juga ingin bertahan hidup!”
“Berarti kamu kuliah dan hidup di Jogja berjuang sendiri dengan
tulisan?”
“Betul, Pak. Saya ada di Jogja dan kuliah hingga semester enam
adalah karena perjuangan saya sendiri.”
“Luar biasa. Kamu sudah membuktikannya. Saya juga kagum dengan
kegiatan-kegiatan organisasi yang kamu ikuti selama ini. Selamat berkarya!”
Sosok
berkacamata dengan rambut cepak berusia sekitar kepala lima itu menutup sesi
wawancara dengan mengepalkan tangan dan menjabat erat tanganku. Seperti ada
sebuah harapan kuat yang disematkan dalam jabatan tangan itu. Ya, aku merasakan
semangat itu.
Setelah
sesi wawancara usai, yang bisa kulakukan hanyalah berdoa. Semuanya kuserahkan
kepada Yang Maha Kuasa yang telah mengatur segalanya. Yang penting aku sudah
berusaha maksimal. Aku harus bersabar menunggu sekitar tiga minggu untuk
mengetahui hasil akhir wawancara. Alhamdulillah, ternyata aku lolos dan
diterima sebagai grantee
IELSP Cohort 7.
Hal
lain yang tidak bisa kulupakan sebagai penegasan tentang the power of
writing adalah ketika ada seorang teman, former alumni program yang sama,
menanyakan tentang tulisan-tulisanku. Aku cukup terkejut waktu ittu, bagaimana
dia tahu kalau aku suka menulis? Selang beberapa hari, aku bertemu kembali
dengannya dan dia bercerita kalau Mbak Ama, kordinator program IELSP Cohort
7, sempat bertanya tentang diriku dan menyebutku sebagai penulis.
Jrenggg
… tiba-tiba aku jadi ingat tentang aplikasi yang kukirimkan untuk program
IELSP. Aku ingat kalau aplikasi yang kukirimkan sangat tebal, sekitar tiga
ratus halaman. Dalam aplikasi itu, kulampirkan fotokopi sertifikat yang
berjumlah sekitar lima puluhan lembar, tulisanku sendiri yang berjumlah sekitar
dua ratus halaman lebih, dan dokumen-dokumen pendukung lainnya. Mungkin,
aplikasi itu memecahkan rekor sebagai aplikasi paling tebal sepanjang sejarah
IELSP.
Saat
ini, aku ingin meyakinkan diriku sendiri dan teman-teman bahwa karya tulis
dapat diandalakan dalam sebuah seleksi ataupun kompetisi beasiswa seperti
IELSP. Selamat menulis, teman![]
Alumni
IELSP Cohort 7,
University
of South Carolina, 2010.