Saya pulang ke kampung halaman pada tanggal 12 April malam
dengan kereta jurusan Yogyakarta-Surabaya. Niat saya pulang adalah untuk akikah
anak pertama, Eftalya Ruhum, bertemu dengan kawan yang tengah mencalonkan diri sebagai
anggota legislatif di provinsi Jawa Timur, dan—ini yang terpenting—bertemu
dengan keluarga dan sanak saudara di kampung.
|
[Jalan di kampungku ketika musim hujan] |
Kedatangan saya tepat menjelang akhir musim hujan, tetapi
hujan terus mengguyur kampung. Bisa dipastikan, jalan-jalan yang tak beraspal—berapal
pun tapi cepat rusak karena proyek yang berorientasi menghabiskan uang belaka—berhambur
lumbur di mana-mana. Saya sebenarnya menikmati kondisi seperti itu sebagai
cara untuk menampar saya bahwa saya
bagian kondisi seperti itu. Ya, di saat seperti itu, perubahan alamat KTP dari
Sumenep ke Jogja menjadi lebih terasa: apakah saya lari dari keserbarumitan itu
menuju kenyamanan? Tidak, tentu saja. Setiap ada kesempatan untuk membangun
kampung adalah anugerah bagi saya. Tapi tugas kerja di Jogja harus saya jalani,
dan semoga panjang umur, saya ingin mengabdikan kehidupan saya di daerah, suatu
kelak!
Saya datang ke sanak saudara dan tetangga untuk mengundang
mereka selametan dan syukuran akikah.
Satu per satu. Sekali-kali terlibat dalam obrolan terbaru soal Pilpres (Jokowi
atau Prabowo). Di tanah kelahiran saya sendiri kampung Tanggulun, narasi untuk
kedua Capres masih imbang. Khusus untuk mereka yang punya preferensi ke Prabowo
mengatakan hal berikut ini:
- Jokowi berdoa saja belepotan (la-sala / ga’-gala’ga’);
- Jokowi berasal dari keluarga Kristen dan Komunis
(ini isu lama sejak 2014);
- Pro-Kristen, seperti membiarkan Ahok tidak
segera dipenjara;
- Harga punya petani dibeli murah, harga dari pasar
dijual mahal;
Empat narasi di atas merata di antara sanak saudara dan
tetangga saya. Mereka mempunyai bahasa beda tetapi intinya bisa dikategorikan
ke dalam empat pesan di atas.
Selanjutnya, saya juga coba menanyakan kenapa mereka mau
mendukung Prabowo? Alasan mereka tak banyak:
Didukung oleh para
ulama (ada ijtima’)’
Jawaban di atas sangat dominan. Mereka menyatakan diri “bermakmum
kepada ulama”, karena demi menghentikan “misi” Jokowi yang mereka dapatkan di
atas. Di selatan rumah saya, di daerah Daleman, menurut cerita keluarga saya,
ada seorang yang tengah memakai kaos bergambarkan Jokowi diminta dilepas paksa
di sebuah acara di tempat publik. Ada pula persaksian—ini dari teman saya dari
desa sebelah—dua orang yang pro-Jokowi tidak disediakan minum kopi ketika acara
tahlilan!
Bahkan, ada salah satu dari keluarga saya yang bercerita
begini: Di pantai utara Madura (Laut Jawa), di kecamatan Ambunten, Sumenep, ada
seorang kaya dan bisnisman membeli tanah pinggir pantai kepada salah satu
masyarakat. Usut punya usut, ternyata yang membeli tanah dekat pantai tersebut adalah
orang keturunan China. Di waktu kemudian tersebar kabar bahwa di tanah tersebut
akan dibangun gereja. Akhirnya rakyat sekitar berang, kiai dan tokoh masyarakat
di sekitar mereka menjadi motor penggerak untuk menolak yang kemudian dipakai
untuk kampanye anti-Jokowi.
Kabar tentang akan dibangunnya gereja di tanah tentu saja menyebar
dari mulut ke mulut. Tidak bisa dipastikan kebenarannya. Rakyat juga belum tahu
bagaimana proses pembangunan tempat ibadah (!). Dan satu hal lagi, rakyat tidak
paham peta “pencaplokan tanah-tanah di Madura” pasca-Suramadu. Mereka tidak
mengerti juga bahwa sudah banyak tanah di sekitar pantai, khususnya di bagian
selatan dari Bangkalan ke Sumenep sudah dikuasai oleh pemodal. Pengetahuan mereka
belum sampai ke sana! Urusan peta bisnis properti dan patgulipat penguasaan
lahan sama sekali mereka tidak tahu. Saya jelaskan sedikit soal ini, mereka
tercengang!
Selanjutnya, saya pergi ke tanah kelahiran Ayah dan
sekaligus tempat kuburannya, di desa Sana Tengah, Pasean, Kabupaten Pemekasan. Daerah
ini termasuk yang paling terbelakang di Pamekasan. Pemekasan terkenal dengan pelayanan
dan pengelolaan birokrasi paling bersih di Madura, tapi di kecematan ini bisa
dibilang indeks manusianya termasuk yang cukup rendah ketimbang kecematan lain karena
daerah ini berada di paling utara (pantai utara) Pamekasan.
Selesai mengaji ke makam Ayah, saya biasa mewajibkan diri untuk
mampir setidaknya ke dua paman yang masih ada di desa tersebut. Di sini lebih
ekstrim, lebih intens dan masif kepada Prabowo. Meski keluarga saya di sini
minta pandangan saya, saya tetap tidak ingin mencampuri apa yang mereka
ketahui. Satu hal saja saya hanya memastikan bahwa mereka tidak mempunyai
narasi dan perspektif lain dari pro-Jokowi. Kenapa tidak ada? Karena di daerah
ini sami’na wa atho’na-nya lebih
kuat. Rata-rata mereka mondok di Batabata dan Banyu Anyar yang kiai-kiainya
mendukung Prabowo. Dalam pengakuan paman, di desa mereka selalu ada pengajian
yang diisi oleh kiai-kiai pro-Prabowo baik yang datang dari kota Pamekasan
maupun mereka yang berasal dari sekitar Pasean. Di daerah ini, politisasi agama
sangat kentara. Dibangun juga laskar-laskar yang khusus menjadi pembela Prabowo
dalam pemilu, misalnya LPI (Laskar Pembela Islam) Madura. Sepupu saya menjadi
bagian dari laskar ini dan diundang ke luar kota untuk ijazah dan kegiatan
lainnya (sepupu saya ini paling getol dan percaya bahwa Prabowo menang, meski
rilis resmi KPU belum keluar).
Akhirnya, narasinya nyaris tunggal. Yang pro-Jokowi, kata
paman, tidak bisa bersuara lagi dan diam. Bahkan, kata paman dan bibi, di
daerah Pasean sendiri ada satu rumah dibakar massa karena berani memasang
spanduk bergambar Jokowi! Di pasar-pasar tradisional, kata bibi, menyebar rasanan dan ajakan untuk memilih Prabowo
secara terbuka di antara para pedangang.
Setelah itu, seperti biasa saya coba mendengarkan apa alasan
mereka memilih Prabowo:
- Kalau Jokowi menang akan ada pernikahan sesama
jenis;
- Jokowi mengkriminalisasi ulama;
- Harga-harga sembako mahal dan punya petani
dibeli murah;\
- Kalau Jokowi menang Indonesia akan
di-Kristen-kan;
- Jokowi melarang rakyat untuk menyembelih sapi betina;
Lagi-lagi, saya menanyakan apa alasan saudara saya di daerah
ini memilih Prabowo: mengikuti kiai! “Bramma’a
pole, cong, areya la daddi se umum e dinna’. Keae la toron kabbi ka
pangajian-pangajian (Gimana lagi, ini sudah menjadi hal umum di sini. Para kiai
sudah turun gunung ke pengajian-pengajian).”
Mereka meminta pandangan saya. Saya jelaskan perkara yang saya
tahu pasti, selebihnya saya berujar: ”Karena paman dan bibi bermakmum, yang
berdosa adalah mereka!”
Saya kembali ke rumah yang jaraknya sekitar belasan
kilometer di tengah gerimis yang terasa miris di kulitku. Masa kecilku bersama
Ayah terbayang-bayang di belakang. Semoga Ayah tenang di sisi Allah. Amiin.