Saya betul-betul berjuang untuk membuat Ef tidak memakai popok sebisa mungkin. Ini bukan soal membeli popok (bagian ini saya ceritakan di akhir), tetapi sebuah percobaan yang saya lakukan untuk anak pertama kami ini.
Sejak usia 15 bulan, latihan toilet saya lakukan dengan konsisten, tentu saja sebisa saya. Apa yang saya lakukan? Maksimal setiap dua jam, saya membawa Ef ke toilet dan memintanya untuk pipis (jika mau pipis tentu saja). Di tengah-tengah saya bekerja menulis, bab latihan toilet ini sudah menjadi prioritas yang harus selalu saya kerjakan. Dan ternyata manjur. Satu bulan lebih berlatih, Ef berhasil setiap mau pipis akhirnya minta dibawa ke tolilet, bahkan termasuk ketika tidur di tengah malam. Dirinya risih untuk ngompol di tempat tidur.
Ef nyaris
tidak pernah ngompol sejak 16-28 bulan. Ngompol pun bisa dihitung dengan jari. Kami
tentu saja sangat senang dengan perkembangan ini. Tetapi kebiasaan itu tidak
berlanjut setelah Ef disapih. Ada pengalaman berbeda di luar kendali dan “kemampuan" kami. Gara-garanya: kami tidak bisa menyapih sendiri. Apalagi saya, mendengar
tangis Ef sudah cukup membuat runtuh pikiran dan empati.
Akhirnya Ef
dibawa ke rumah neneknya di Cilacap. Ya, Ef disapih di sana dengan cara dipisahkan
langsung dari ibunya. Berhasil disapih tetapi sebagai ongkosnya adalah minum dot.
Apalagi di waktu yang sama ada kakak sepupunya yang masih ngedot di usia 4
tahun. Klop, Ef punya role model dengan minum susu formula (bahkan bisa sampai dua
botol besar sebelum tidur).
Kembali ke
Jogja, saya menghadapi situasi yang cukup berat. Saya sangat bertekad Ef kembali
ke semula: tidak ngompol di tempat tidur. Tapi coba bayangkan, seorang anak dua tahunan harus meminum susu dot berisi 240
ml dan rata-rata dua botol dot sebelum tidur. Saya hanya bertahan 3 malam
mengajaknya ke kamar mandi untuk pipis setiap 2-3 jam. Tapi gagal, karena
bahkan Ef ngompol baru sekitar 15 menit setelah tidur.
Jalan yang
harus ditempuh adalah memakaikan popok. Tiap malam dari usia 28 bulan hingga
tadi malam (12 Februari 2022), 6 hari sebelum merayakan ulang tahunnya yang
ke-3. Entah kenapa, Ef datang ke kamar kerja saya dan meminta untuk tidur
bareng saya. Tanpa minum susu lagi. Keesoan harinya saya ajak mengobrol Ef.
“Terima
kasih, ya Nak, sudah tidak memakai popok lagi dan Ef tidak ngompol.”
“Kan Ef
udah gede.” Ini kalimat yang terus diulang-ulang untuk menunjukkan bahwa
dirinya sudah tidak bayi lagi. Misalkan ketika mau pakai baju, dia ingin
memakainya sendiri; ketika ingin mandi, pun minta mandiri sendiri (meski sering
main air) dengan mengatakan kalimat yang sama. Kalimat ini sebenarnya sugesti
dari saya biar Ef makin suka makan, karena kalau doyan makan nanti akan cepat
gede, cepat kuliah dan cepat ke mana-mana sendiri.
Selain “Ef udah
gede”, saya menceritakan bagaimana popok menjadi sampah.
“Sampah
kita dibuang ke mana, Nak?”
“Ke truk
sampah.”
“Setelah dari
truk sampah dibuang ke mana?”
“Nggak tahu,”
timpal Ef. Saat begini saya bisa bercerita bawa sampah kita, termasuk popok Ef,
dibuang di TPA Piyungan. Saya ceritakan bagaimana sampah orang se-Jogja dikumpulkan
di sana. Saya dramatisir sampah seperti gunung yang bau busuk. Orang-orang yang
tinggal di sekitarnya setiap hari mencium bau sampah.
“Apakah Ef
mau mencium bau sampah setiap hari?”
“Tidaak
hueeek.”
Saya memeluk
Ef, lalu membisiki, “kalau begitu, kita harus mengurangi membuang sampah ya,
Nak.”
Ef sepertinya
tidak paham kalimat terkahir saya. Tidak apa-apa. Saya sudah biasa berdrama
dengan Ef sedemikian rupa.
Malam ini,
pukul 20:21 Ef sudah sudah tidur. Normalnya jam tidurnya antara pukul 21 hingga
23 tiap malam. Ef tidur awal, sekitar pukul 19:00 tadi. Satu jam setelahnya saya
bangunin Ef dan membisikkan untuk pipis di kamar mandi. Ternyata belum mau. Tepat
pukul 20:10 saya goda dengan membisikkan kalimat, “Bentar tak pakein pampers
lho kalau tidak pipis dulu.”
Ef buka
meminta untuk dibawa ke kamar mandi sembari berkata di tengah sadar dan ketidaksadarannya:
“Pempers
kan jadi sampah.”
Saya sangat terharu dan bersyukur Ef akan berubah! Bismillah.