Sunday, October 26, 2008

Kota Suci yang Bergolak

Judul       : Jerusalem, Kesucian, Konflik dan Pengadilan Akhir 
Penulis    : Trias Kuncahyono 
Penerbit  : Kompas, Jakarta 
Cetakan  : Pertama, 2008 
Tebal      : 315 halaman 

Versi cetak resensi ini dimuat di Suara Merdeka, 26 Oktober 2008

”Kami bepergian seperti orang lain, tetapi kami tidak tahu ke mana harus pulang (hal 103).”

personal doc
LARIK puisi tersebut ditulis oleh penyair terkemuka Palestina, Mahmoud Darwish. Ia merekam rentetan peristiwa yang terlipat di Jerusalem, tanah kelahirannya sendiri, dengan hati sunyi dan mencekam. Sekarang, hidup bagi bangsa Arab terutama di daerah itu seperti tinggal di ruang mati, terjal, dan penuh kegetiran akibat serangkaian konflik dan tragedi yang hingga kini terus bergolak. Sajak itu mewakili kisah nyata yang terjadi pada bangsanya sejak 30 tahun terakhir. Tak ada yang bisa memastikan kapan kerunyaman di kota yang hingga kini menjadi rebutan tiga agama besar, yaitu Kristen, Yahudi, dan Islam, itu berakhir.

Rekaman tentang pasang surut Jerusalem ditulis dengan baik oleh Trias Kuncahyano dalam buku ini. Menggunakan konsep ”perjalanan jurnalistik” Trias membuat tulisan ini tidak terjebak dalam keterpihakan. Tidak seperti karya Doore Gold yang sedikit berpihak kepada Yahudi ataupun karya-karya orang Arab sendiri seperti Raja Shehadeh, Yusuf al Qardhawi dan Muhammad Imarah yang berbau pembelaan terhadap Islam Palestina. Rasa reportasenya terasa sangat renyah dan mengalir.

Tidak kurang dari empat bulan sejak diluncurkan buku ini sudah dilahap pasar dengan jumlah di atas 9.000 eksemplar, dan hingga sekarang naik cetak ke empat kali. Trias mampu membubuhkan perspektif sejarah yang kaya tentang Jerusalem sejak ribuan tahun lalu. Tentu ini bukan pekerjaan mudah mengingat Trias bukan seorang sejarahwan.

Tuah Jerusalem

Yang pasti, tidak ada satu kota di dunia ini yang menyamai eksistensi Jerusalem. Di samping menyimpan kisah masa silam yang gemilang, kota ini telah menjadi area paling ramai dengan perisitiwa-peristiwa besar sepanjang sejarah. Kota ini menyimpan kisah tentang penaklukan, sengketa, dan konflik agama dan kemanusiaan dengan kekelaman latar sejarah yang menyertainya. Tercatat sejak zaman Chalcolithic pada 4500-3200 SM, kota ini telah dimukimi. Dan nama Jerusalem muncul dalam periode Hyksos (1750-1500 SM) dengan nama Urusalim. Tepat pada 500 tahun kemudian, sekitar tahun 1000 SM, ketika Raja Daud, raja bangsa Yahudi pertama, berkuasa, penaklukan Jerusalem dimulai. Begitu juga laku sejarah kelam masa-masa berikutnya, terutama diawali ketika meletus Perang Salib pada 25 November 1095 yang dikenal sebagai tragedi paling kelam dalam sejarah Jerusalem. Perang selama 90 tahun itu di bawah komando Paus Urbanus II di Konsili Clermont.

John D Garr dalam Jeresalem, World Capital for the Messionic Age, menulis nama Yerushalayim berarti orang, rumah atau tempat tinggal yang damai. Sementara itu, kata Salem selain diartikan ”keseluruhan” atau ”dalam harmoni”, juga ”damai”. Kitab Kejadian atau Genesis, yakni kitab pertama dari lima Kitab Taurat Musa atau Kitab Pertama dari Kitab Suci Perjanjian Lama, sudah menerbitkan nama Jerusalem. Dalam Genesis 14:18, kota itu disebut bernama Salem (damai) (halaman 137).

Tuah Jerusalem yang paling kuat sebenarnya bukan berasal dari warisan sejarah panjangnya, melainkan dari arti spritualnya (halaman 222-223). Bagi Yahudi, Jerusalem adalah satu-satunya kota suci di dunia karena kota ini merupakan ”tempat kediaman nama-Ku”, tulis Kitab Tawarikh. Bagi umat Kristen, Jerusalem dalah kota suci yang sangat penting karena di kota itulah Yesus hidup, berkarya, wafat, dan bangkit untuk menebus dosa umat manusia serta naik ke surga. Sementara bagi umat muslim, Jerusalem adalah kota tempat Nabi Muhammad SAW melakukan perjalanan malamnya dari Mekkah ke Jerusalem lalu ke Sidrat al Muntaha dalam peristiwa Isra’ Mi’raj.

Dengan demikian, tanah Jerusalem mempunyai arti yang sangat penting bagi agama-agama samawi di atas. Mengutip buku Leah Sullivan, Jerusalem: The Three Religions of the Temple Mount, kaum Yahudi, Kristen, dan Islam memandang Jerusalem sebagai ”pintu ke surga” karena di sanalah diyakini terjadi pertemuan antara surga dan bumi.

Selain itu di Jerusalem berjejer sekian simbol yang menyimpan doktrin-riligius seperti Tembok Ratapan, Gereja Makam Kristus, Masjid al Aqsha, Dome of The Rock (Masjid Kubah Batu), dan Via Dolorosa, jalan ketika Yesus memanggul salib menuju Bukit Golgota.

Toleransi

Persoalannya sekarang, ada spasi sejarah tentang toleransi yang telah dilupakan dari seorang yang pernah menduduki Jerusalem pada masa silam. Sementara sejauh ini, Yahudi, Nasrani dan Islam lebih mengingat masa silamnya yang kelam dan menutup memori kolektif mereka tentang suatu fase atau babak sejarah yang indah di Jerusalem.

Dalam pita sejarah kita bisa mengingat kembali ketika Khalifah Umar menguasai Jerusalem. Awal-awal periode Arab ini dikenal sebagai periode yang penuh toleransi antaragama. Para pemeluk agama Yahudi, Kristen, dan Islam dapat hidup berdampingan secara damai dan melaksanakan ibadah mereka tanpa rintangan dan hambatan. Khusus bagi kaum Yahudi, masa Umar adalah masa paling damai karena setelah 500 tahun mereka terusir mereka bisa kembali ke Jerusalem dan menjalankan ibadah mereka masing-masing. Pada 637 M, setelah mengepung Jerusalem lahirlah kesepahaman (agreement) antara Patriark Elya Al-Quds Sophronius dengan Khalifah Umar yang dikenal dengan perjanjian Umar. Pada masa ini disebut Dore Gold dengan masa toleransi agama dikembangkan (halaman 150 dan 154).

Semestinya, masa-masa seperti inilah yang harus masih dikembangkan oleh mereka yang bersengketa hari ini, supaya keagungan dan kesucian kota Jerusalem dapat tertuai di dunia. Bukan seperti cara Israel yang ingin menerapkan prinsip the winner takes all, istilah Ninok Leksono dalam pengantar buku ini, saat membabat habis wilayah Tepi Barat yang sebelumnya menjadi hak warga Palestina sesuai resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa.

0 comments: