Wednesday, September 15, 2010

Randai, Pergulatan Masyarakat Minang

Meskipun bukan terbilang hajatan besar, salah satu acara pertunjukan kesenian kesenian, di malam akhir Mei 2009 itu, nampak cukup ramai. Di arena lapang terbuka, nampak orang-orang berjejal, asyik menikmati sebuah pertunjukan kesenian tradisional asal tanah Pariangan Padang Panjang Sumatra Barat, yaitu randai.


Randai juga dikenal oleh masyarakat di Provinsi Riau. Jika ada acara besar khususnya di Sumatera Barat, dapat dipastikan randai akan mengambil bagian. Hal ini agaknya cukup kondusif sebagai salah satu strategi untuk mempertahankan khazanah tradisi lokal. Biasanya dimainkan pada perayaan pesta, seperti: pernikahan, pengangkatan penghulu, atau pada hari besar tertentu. Pemerintah Sumatera Barat pun sadar akan potensi randai sehingga mengemasnya menjadi salah satu paket dan “icon” daerah untuk menarik para wisatawan.
Kesenian ini dimainkan oleh beberapa orang (berkelompok atau beregu). Kehadirannya, sejatinya berfungsi sebagai media untuk menyampaikan cerita-cerita rakyat, yang melimpah di tanah Minang. Cerita-cerita itu dikemas ke dalam pertunjukan semacam teater atau sandiwara, di mana komodifikasi tradisi mulai dilakukan seturut perkembangan zaman.

Dalam Randai dapat ditemukan hal yang unik, yakni sebuah komposisi yang lengkap dan kompleks. Yang mencerminkan kekuatan tradisi lokal Minangkabau, sejak dari pantun, gurindam sampai kepada tari, saluang, silat, dan teater. Semua komponen itulah yang kemudian diramu menjadi satu pertunjukan tunggal ke dalam randai. Tentulah ini bukan hal sederhana—yang bisa dilakukan sembarang orang. Alias dibutuhkan persiapan khusus atau kematangan proses.

Unsur tradisional yang tetap dipertahankan dalam randai adalah cerita-cerita rakyat Minang—yang menjadi alur dan sumber ceritanya, seperti cerita Cindua Mato, Malin Deman, Anggun Nan Tongga, dan cerita rakyat lainnya yang populer di masyarakat Sumbar.

Dalam pertunjukan Randai, seperti layaknya sebuah pertunjukan sandiwara atau teater, terdapat peran pemain pendukung, di antaranya: para pemain yang melakukan gerak-gerak gelombang yang bersumber dari bunga-bunga silat (disebut pemain galombang); pembawa alur cerita (yang berbicara secara lantang untuk menyampaikan narasi demi narasi yang menjadi ruh cerita; pemain musik/dendang (yang memainkan talempong, gendang, serunai, saluang, puput batang padi, bansi, rabab, dan lain sebagainya); pemain pasambahan (bertugas berbicara atau berdialog dalam petatah-petitih Minangkabau); dan pemain silat (yang tampil ketika alur cerita menghendaki perkelahian).

Kompleksitas Kosmis

Lahirnya tradisi lokal tidak lepas dari konstelasi “pemaknaan” kosmologi yang kompleks. Sebab masyarakat adalah entitas yang hidup di tengah pergulatan alam (ekologi) di mana semua jalinan hubungan dengan ciptaan yang lain di muka bumi lazim terjadi. Dalam kondisi seperti ini, manusia—dengan keterikatan tradisinya—yang mempunyai kesadaran kosmis, akan melakukan penghargaan terhadap kekayaan alam. Bentuk dan wujud penghargaan itu pun beragam sesuai dengan kondisi lokal geografis dan potensi alam setempat.

Manusia dilahirkan selalu menyandang rahasia dan misteri. Di balik penciptaan manusia itu, tergambar sebuah proses yang kompleks. Dalam konteks ini sebuah khazanah tradisi acap merepresentasikan sisi kompleks manusia dan (bahkan nalar tentang) alam dengan cukup ajeg ke dalam bentuk dan pola yang beragam, mulai dari taria-tarian, nyanyian (tembang), hingga seperangkat musik yang lengkap. Semua itu merupakan bentuk interpretasi manusia, melalui sublimasi sebuah kesenian tradisi, terhadap penciptaan dan kosmologi secara universal.

Kesadaran dan penghargaan masyarakat tradisi (nenek moyang) terhadap kekayaan alam dan lingkungan hidup, misalnya, kerap menjelma kesadaran kosmis yang berjarak dengan generasi selanjutnya. Misalnya bentuk syukur (appreciation) terhadap panen, baik di laut atau di sawah yang diartikulasikan ke dalam bentuk perayan-perayaan bersama. Dalam konteks pemaknaan seperti inilah randai menemukan makna filosofisnya.

Dalam randai kita menemukan tari-tarian, yang bisa dimaknai sebagai bentuk ekstase manusia ketika berada dalam kondisi trance—dalam istilah Rumi atau Fromm, terhadap ciptaan dan eksistensinya. Sementara saluang (alat musik tiup khas Minang) menegaskan identitas lokal. Musik ini sekaligus menggambarkan seorang anak bangsa ketika menembangkan kegundahan-kegundahan hidup karena tradisi rantau. Juga narasi folklore (cerita-cerita rakyat) yang merupakan sebentuk penghargaan terhadap legenda dan cerita-cerita rakyat. Sementara pancak silat adalah cermin dari perjuangan dan kepahlawanan bangsa Indonesia; bentuk seni bela diri yang dipersiapkan untuk defense terhadap berbagai ancaman yang seni tradisi.

Tradisi-tradisi lokal di Indonesia memang tidak bisa dilepaskan dari aktor dan sejarah manusia-manusia yang berperan di dalamnya. Dalam Randai, laki-laki menjadi pemain tunggul pada awalnya. Konon, Randai hanya boleh dimainkan oleh kaum lelaki saja, karena aturan pergaulan masa itu di tanah Minang demikian tegas memisahkan antara lelaki dan perempuan. Padahal, di tanah Minang yang matrilineal, masyarakat dikenal sangat menghargai perempuan. Namun bentuk penghargaan yang dilakukan oleh pihak laki-laki masih paradoksal karena secara tidak langsung justru mengerdilkan potensi seorang perempuan.

Sejalan dengan perubahan zaman, pola itupun bergeser, perempuan akhirnya bisa ikut andil dalam randai, meskipun masih dengan batasan-batasan tertentu, seperti tidak boleh berteriak keras-keras. Sehingga bisa dikatakan bahwa partisipasi perempuan dalam randai adalah wujud dari koreksi cerdas masyarakat terhadap sebuah tradisi lokal yang dalam hal-hal tertentu berpotensi diskriminatif. Akhirnya sebuah tradisi menjadi bagian dari aktualisasi bersama yang didukung dan mendukung eksistensi manusia secara utuh, baik dengan tradisi maupun dengan lingkungan kosmis di sekitarnya.

tulisan ini dimuat di Majalah Seni GONG pada rubrik "Wawasan"  - Edisi: 119/XI/2010. 

0 comments: