Friday, January 27, 2012

Goodbye Negeri Abal-Abal

Versi cetak tulisan ini termuat di Harian Jogja, 11 Januari 2012

Di penghujung bulan Desember 2011, saya mendapatkan kabar buruk dari seorang kolega di Jakarta. Dia berkabar lewat SMS bahwa mobilnya diberondol maling tepat satu hari setelah anaknya masuk rumah sakit karena typhus. Dua musibah seorang kolega di akhir tahun 2011 ini cukup menohok saya bukan karena kehilangan mobil, tapi karena satu pesan singgkat (SMS) yang dia tulis begini: “mobil tidak perlu diharap kembali. Sudah lapor polisi, tapi apakah polisi mau cari? Tak ada lembaga yang bisa diharap di negeri ini. Juga tak ada jaminan kita hidup aman, nyaman, dan tenteram. Negeri abal-abal!”

Kalimat singkat, kritis dan jelas berbau kecewa ini sangat menarik dijadikan refleksi awal tahun 2012 ini. Frasa terakhir dalam pesan singkat di atas menjadi otokritik serius bagi penyelenggara negara ini untuk sama-sama berbenah menyongsong tahun 2012 dan masa depan negara dan bangsa Indonesia yang sejahtera hingga ribuan dan jutaan tahun ke depan.

Ya, negeri abal-abal! Mungkin frasa ini yang layak menggambarkan kondisi negeri kita akhir-akhir ini. Negeri yang tidak mau tuntas menyelesaikan masalah secara serius; negeri yang tidak mau berbenah dan mengulangi kesalahan yang sama di setiap tahunnya; negeri yang saling sandera karena kepentingan beberapa atau antar kelompok; negeri yang gemar mempermainkan hukum sehingga supremasi keadilan untuk rakyat belum dirasakan; negeri yang sejujurnya adalah abal-abal! Inilah secuil deskripsi untuk menangkap makna “abal-abal” dalam konteks ini.

Negeri abal-abal adalah negeri tambal sulam, tanpa berideologi dan berprinsip. Meskipun kita punya ideologi dan falsafah seperti Pancasila dan UUD 45, semua itu hanya jargon kelimis yang dibiarkan dimamah rayap. Para elite negeri ini sudah mulai meninggalkan prinsip dan filsafah bangsa sendiri. Buktinya, banyak kebijakan yang tidak populis dan mengesampingkan kepentingan rakyat banyak sehingga keadilan dan kesejahteraan hanya mimpi dan gigit jari belaka! Badan dan institusi yang semestinya harus pioneer berada di depan seperti badan penegakan hukum (kepolisian, kejaksaan dan pengadila) justru keok dikalahkan oleh kepentingan para mafia.

Bahkan negara ini digadang-gadang oleh banyak pihak sebagai “failed state”. Meskipun ukuran dan karakteristik failed state masih perlu dipertegas, kecenderungan Indonesia yang sepertinya tidak mampu menjaga keamanan dan ketenteraman rakyatnya dari anaman (kekerasan) baik domistik ataupun dunia internasional menjadi tanda-tanda awal tentang kegagalan suatu negara. Opisisi kebijakan luar negeri Amerika yang juga seorang keturunan Yahudi, Noam Chomsky, mempertegas bahwa failed state are unable or unwilling to protect their citizens from violence and perhaps even destruction. They regard themselves as beyond the reach of domestic or international law, hence free to carry out aggression and violence. Indonesia dalam beberapa hal menujukkan kelemahannya dalam konteks kekerasan internal negara dan bargaining negosiasi hukum internasional.

Dimana Rasa Tenteram?


Salah satu contoh tentang rasa aman dan rasa tenteram, terbebas dari ancaman kekerasan atau destruksi, adalah hal utama yang akan segera dirasakan oleh rakyat di suatu negara. Rakyat tidak menuntut banyak hal kepada pengelola negara dan elit pemerintah selain rasa aman dan damai, juga keterjaminan hak dan kewajiban dirinya sebagai warna negara. Sehingga prinsip kesejahteraan bisa terwujud yaitu jika satu rakyat lapar, maka semuanya harus lapar.

Namun, apakah negara ini sudah menyediakan ruang yang bebas dari semua ancaman dan deskruksi? Ancaman serius bagi negeri ini begitu banyak yang hingga sekarang belum rampung, seperti kekerasan baik atar-sipil, sipil-polisi, ataupun kekerasan sektarian yang dalam dua dekade terkahir terus menyeruak ke permukaan. Tragedi Mesuji, Bima dan kasus pembakaran pemondokan kelompok Syiah di Sampang dan seteru Gereja Yasmin di Jawa Barat adalah contoh nyata. Ancaman lain terjadi di ranah struktur negara yang sangaja dibiarkan dan tidak ditangani serius oleh para elite yaitu seperti sikap distrust publik terhadap penyelenggaraan negara. Di samping itu, bencana yang datang secara natural seperti banjir, tsunami, gempa bumi dan gunung api adalah sederet ancaram serius yang tidak bisa dilalaikan begitu saja. Karena semua itu akan mengakibatkan korban yang serius rakyat jelata. 

Penegakan hukum yang lemah di semua lini semakin menandaskan tentang ketidakmampuan negara terhadap ancaman yang tercipta di dalam tubuhnya sendiri. Imunitas negara terhadap kelompok kekerasan seperti perompak, pencuri, manfia, atau bahkan separatis sangat lemah dan tidak terformulasi secara baik, integratif dan holistik. Kecenderungan penanganan beberapa kasus sangat artifisial dan bahkan tampak simplikasi dengan mengandalkan kekuatan militer sebagai tameng utama negara. Lihat misalnya kasus penanganan Papua. Negara benar-benar sembunyi—atau tidak bertanggung jawab?—terhadap kasus-kasus kemanusiaan seperti itu. Contoh yang sangat sederhana dan benar-benar terjadi di ruang publik masyarakat sendiri bisa dilihat misalnya seperti kasus pemerkosaan dan kejahatan di angkutan umum di Jakarta.

Kejadian ini terjadi berkali-kali dan tindakan tegas pihak yang berwajib masih tetap molor dan penuh pertimbangan tidak jelas. Supremasi hukum benar-benar tumpul ketika itu terjadi atas nama rakyat. Rakyat yang menjadi korban tidak dijadikan alasan utama sebagai kepentingan di atas semua urusan dan kebijakan negara. Jadinya, rakyat selalu menjadi pihak yang terpinggirkan untuk kesekian kalinya.

Kasus kehilangan mobil kolega saya di atas hanya contoh dari sekian kasus-kasus lebih besar yang menimpa rakyat kecil negeri ini. Dan naifnya, pihak kepolisian tidak pernah sigap dan serius mengurus kehilangan macam itu jika belum diberikan uang. Fakta seperti itu sudah menjadi rahasia umum di tengah kebobrokan institusi polri yang tidak mengamalkan prinsip mereka sendiri sebagai penyayom dan penjaga rakyat Indonesia.

Saya tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan bagi bangsa dan negara ini jika institusi-institusi di bawah negara sudah meninggalkan kewajibannya sebagai pelayan publik, pendukung ketenteraman dan kesejahteraan rakyat, dan di tengah itu pula, rakyat kecil yang beranjak cerdas dan kritis mulai membangun distrust besar-besaran di bawah negara secara sembunyi ataupun terang-terangan. Kekhawatiran saya tentu akan menjadi kecelakaan serius bagi masa depan bangsa ini.

Di tahun baru 2012 ini, mari bangun kepercayaan kepada publik dengan kembali menjunjung semangat kemerdekaan dan falsafah negara demi kesejahteraan dan perdamaian masyarakat banyak. Semua yang abal-abal segera ditambal bersama, sehingga bangsa dan negara ini tidak mengulangi kesalahan yang sama untuk jurang kecebohan berikutnya. Goodbye negeri abal-abal.

0 comments: