Friday, March 30, 2012

Kekerasan Masif di Port Said

versi cetaknya ada di sini

MESIR kini mulai menjadi negara yang kerap diberitakan dengan berbagai macam gejolak dan kekerasan. Setelah gelombang Arab Spring yang sampai menjungkalkan Presiden Hosni Mubarak, 10 Februari tahun lalu, kekerasan di Mesir bukan berarti selesai. Aksi kekerasan yang memakan korban banyak nyawa terus terjadi, termasuk tragedi terbaru yang mengharu-biru dan menghentak publik internasional, yaitu tragedi Port Said. 

Tragedi di Port Said itu bukan tragedi biasa dibandingkan gelombang demonstrasi yang menerpa negeri-negeri Arab sejak pertama kali terjadi di Tunisia hingga menyebar di banyak negara di Timur Tengah. Ini menjadi sangat luar bisa karena kejadian itu memakan korban nyawa. Setidaknya 74 nyawa melayang di lapangan sepakbola, sebuah arena yang diagung-agungkan sebagai tempat fair play di mana segala macam sportivitas dijunjung tinggi.

Tragedi Port Said terjadi usai pertandingan Liga Mesir antara Al Masry melawan Al Ahly di Port Said, Mesir, Rabu (1/2). Sebab, Al Masry menang dengan skor 3-1 atas rival klasik tersebut. Tim Al Ahly berasal dari Kairo, sementara Al Masry berbasis di Port Said. Usai pertandingan, para pendukung kedua tim masuk ke lapangan seraya saling melempar batu, kembang api, petasan, dan botol. Para pemain yang ketakutan langsung berlari masuk ke terowongan menuju ruang ganti. Sementara lapangan hijau berubah menjadi pertempuran antara kedua pendukung (Jurnas, 3/02).
 
Sejarah Baru

Jelas, tragedi tersebut telah menorehkan tinta merah sejarah baru bagi sepakbola di negeri Fir‘aun itu. Seperti diakui sendiri oleh Deputi Menkes Mesir Hesham Sheiha bahwa peristiwa itu terbesar dalam sejarah sepak bola Mesir. Bahkan salah satu pemain bintang Al-Marsy, Abo Treika, mengatakan, tragedi tersebut “bukan lagi sepak bola, tetapi perang!" Kalimat ini muncul karena yang terjadi di lapangan adalah benar-benar vandalisme dan perang sehingga korban luka pun hingga ribuan.

Sebagai sanksi, seperti dirilis oleh berita Jurnas, EFA telah merilis pernyataan, semua pertandingan di empat divisi Liga Mesir ditunda untuk jangka waktu yang tidak ditentukan. Selain itu, EFA juga akan berkabung selama tiga hari untuk menghormati para pendukung yang menjadi korban tragedi berdarah ini. Bahkan presiden federasi sepak bola dunia FIFA, Sepp Blatter, juga ikut memberikan rasa belasungkawa yang dalam untuk para korban dan sepakbola Mesir secara umum.

Padahal, sejarah sepakbola yang dipertontonkan oleh Mesir sejauh ini menunjukkan grafik yang bagus. Pada Piala Dunia tahun 2010 kemarin, Mesir membuktikan diri dengan sangat meyakinkan menjadi tim Asia yang masuk dalam babak final di ajang sepakbola tergengsi sejagad itu. Namun begitu, tragedi Port Said ini menjadi salah satu catatan memilukan dalam sejarah sepakbola Mesir.

Tragedi ini akan memberikan efek dan trauma negatif baik bagi pemain atau pun para supporter. Buktinya, akibat kejadian tersebut, tiga pemain Al-Ahly yang juga pemain timnas Mesir, Mohamed Aboutrika, Mohamed Barakat, dan Emad Moteab menyatakan pensiun dari sepak bola. Ketiganya menyatakan trauma dengan apa yang mereka saksikan.

Tak hanya pemain, pelatih Al-Ahly, Manuel Jose pun langsung memutus kontrak bersama Al Ahly dan kembali ke Portugal. "Saya menerima tendangan dan pukulan di kepala, leher, dan kaki. Saat menuju ruang ganti, saya melihat banyak fans tewas. Para pemain tidak terluka, namun perasaan kami sedih melihat banyak fans yang tewas," tutur Jose.
 
Kekerasan Masif

Trauma terhadap tindakan kekerasan akan menjadi memori buruk bagi korban. Kekerasan yang dialami seseorang secara personal, seperti dialami oleh ketiga pemain timnas Mesir itu, menunjukkan tingkat traumatis yang tinggi di mana kecemasan dan ketakutan terhadap kekerasan serupa terjadi di kemudian hari. Sikap trauma terhadap kekerasan tidak boleh begitu saja dibiarkan mengendap dan tertutup pada diri korban. Proses rekonsiliasi harus dilakukan dalam kapasitas proporsional.

Namun begitu, kekerasan dalam persepakbolaan di mana pun, termasuk yang baru-baru ini terjadi di Mesir, adalah bentuk kekerasan masif yang melibatkan banyak orang. Dalam konteks kajian konflik hal tersebut diketegorikan sebagai massive violence di mana banyak orang terlibat di dalamnya. Kejadian tersebut bukan lagi anomali personal, tapi sudah menyangkut tindakan sosial yang melibatkan struktur negara sebagai kunci penting dalam menjaga dan mengamankan potensi atau pun tindakan kekerasan yang diproyeksikan akan terjadi.

Trauma sosial bisa menjadi bumerang yang sangat fatal bagi kondisi dan keberlansungan hidup damai dalam suatu negara. Tragedi di Mesir mengindikasikan trauma sosial yang diakibatkan kekerasan struktur negara dan praktik kekerasan yang terjadi di grass root sendiri. Diktatorisme sistem negara dan praktik korupsi yang membunuh harapan semua bangsa pada suatu negara, seperti Mesir, akan menabung benih-benih pemberontakan yang menunggu bom waktu. Negara kita sudah mengalami hal seperti itu lebih awal, khususnya saat serentetan kekerasan masif terjadi di beberapa daerah di Indonesia, khususnya jelang atau pun setelah rezim koruptor dan diktator Orba terjungkal.

Dalam terma lain tentang trauma sosial terhadap ketidakpuasan masyarakat terhadap suatu kondisi riil negaranya adalah frustasi sosial. Frustasi sosial adalah kelanjutan dari trauma-trauma yang mengendap dan tidak tersalurkan secara proporsional sesuai aspirasi dan kehendak populis. Indonesia sudah mengalami frustasi sosial karena trauma-trauma kekerasan rezim dan impunitas hukum dalam konteks korupsi dan juga keadilan secara umum sangat timpang dan dipermainkan oleh para mafia besar negeri ini. Jika trauma-trauma kekerasan dan ketidakpuasan terhadap sistem negara tidak cepat dijembatani dengan dialog, tindakan frustrasi masyarakat yang termarjinalkan dan terlindas oleh sistem yang lemah akan muncul sebagai bom waktu.

Dalam sistem negara otoriter dengan praktik penyimpangan kekuasaan (abuse of power) seperti tindakan korupsi, masyarakat tidak mempunyai ruang inisiasi dan aspirasi tentang eksistensi humanitas yang mereka punya, karena negara dengan kekuatan apparatus state-nya telah mendesain praktik dehumanisasi dengan kekerasan dan tindakan otoriter lainnya.

Kejadian di Mesir menjadi pelajaran sangat penting bagi kita di Indonesia, di mana praktik kekerasan masif di banyak tempat terjadi. Kekerasan supporter sepakbola kita juga masih sangat riskan dengan kekerasan masif. Hal-hal kecil yang mereka bawa dari luar stadion, dari akumulasi masalah pribadi ataupun bentuk ketidakpuasan lain terhadap kehidupan sosial, seperti karena faktor pengangguran yang luar biasa banyak, bisa menjadi pemicu tindakan kekerasan masif di tribun stadion.

Kita patut menyadari bahwa rantai kekerasan tidak akan pernah mudah terputus selama kehendak menjaga kedamaian dari struktur negara ataupun masyarakat sendiri lemah. Praktik kekerasan yang ditunjukkan Mesir dalam dua bulan terkahir hingga menggulingkan presiden adalah setumpuk realitas di mana kekerasan dipraktikkan secara telanjang, baik oleh aparat ataupun antarwarga sipil sendiri. Karena tindakan dan bentuk kekerasan sangat mudah berproduksi dan melahirkan tindakan adaptif terhadap bentuk-bentuk kekerasan yang terjadi sebelumnya.

0 comments: