Monday, April 30, 2012
Ekspor TKI dan Cerita-Cerita yang Terus Berulang
Sejak kecil, kata TKI sangat dekat dengan kehidupan saya dan kampung di sekitar rumah. Jadi tak aneh kalau saya selalu menyebut TKI sebagai komoditas paling assoy bagi pemerintah Indonesia. Bagaimana tidak, saya sudah berusia kepala dua--berarti sudah 20 tahun lebih orang-orang di kampung saya jadi TKI--dan persoalan TKI tidak pernah berubah. Beres pun tidak. Alih-alih selesai.
Sunday, April 29, 2012
Meragu dan Angka 01. 20 di HP Bututku
Ini tengah malam, dan sebuah angka di HP bututku telah menunjukkan angka satu--pertanda ini bukan malam lagi, tapi pagi sudah di depan mata. Ya, dingin udara sudah terasa lain di kulitku. Begitu hari terus berputar dan aku semoga tidak hanya berpura-pura mengikuti perputaran roda waktu. Perputaran waktu yang bringas, menggilas dan keras.
Saturday, April 28, 2012
Kritisisme Pemuda di Tengah Ormas Karbitan
Versi cetak tulisan ini ada di Jurnal Nasional.
PADA satu kesempatan sekitar sepekan lalu, saya bersama teman dari komunitas Peace Generation
diundang oleh salah satu organisasi kemasyarakatan yang kedengarannya
masih baru namun ekspansinya cukup masif di Indonesia. Tujuan mereka
mengundang kami adalah untuk audiensi dan sharing tentang
kegiatan komunitas. Hal seperti itu menjadi salah satu kesenangan saya
di komunitas untuk berbagi dan mendapatkan teman baru dari komunitas
lain atau pun organisasi kemasyarakatan yang notabene dirayakan oleh
para pemuda negeri ini.
Saturday, April 14, 2012
Rumbalara Rumbalara
(Rumbalara, rumah dan situs peninggalan bangsa Aborigin di Shepparton, Victoria, Australia) |
Rumbalara
rumah masalalu
dinding tumpukan sampah
demi nama tanah
bukan musim dingin
ataupun musim panas
telah menggusurmu
tapi sepatu laras panjang
ataupun van topel
menginjakmu dari dekat
dari halamanmu sendiri
Rumbalara
namamu pelangi
menjaga
pijarmu
di tengah
remuk redam
tanahmu
sendiri
Rumbalara
aku datang
dari laut sebelah
kehausan
kepada sejarah
namamu tanah
yang disingkirkan
namamu pelangi yang diredupkan
namamu rumah ringkih yang disapih
obrolan mengiringi kunjungan kami |
Bangunan di sini dibiarkan menyerupai arsitektur gaya Aborigin. |
salah satu sudut dalam ruangan |
Rumbalara Rumbalara
kau seperti tergigil di tanahmu sendiri
Rumah masalalu warga Aborigin |
For further information on Rumbalara, check this site
Mimpi 100 Tahun Selanjutnya
Ask not what
your country can do for you; ask what you can do for your country.
John F. Kennedy
Diktum di atas diucapkan oleh seorang negarawan kharismatik yang
mantan presiden Amerika Serikat ke-35 demi memupuk kesadaran patriotisme bangsa
Amerika yang berpijak kepada fondasi kerja keras dan independensi. Dalam konteks
Amerika, pernyataan Kennedy sangat terang menantang rakyatnya agar bekerja
keras, kreatif dan bahkan ambisius untuk mendukung centang perentang ideologi pragmatisme-kapitalis
yang mereka anut. Namun bagi bangsa lain, ia adalah sebongkah spirit masa depan
bagi negara-bangsa seperti Indonesia yang masih mencari bentuk ideal, dan membangun
diri menuju kebangkitan, keagungan dan kesejehteraan dalam koridor humanisme dan
prosperity state. Mewujudkan prosperity state (negara kesejahteraan) menunut
kerja keras dalam berkarya dan berinovasi yang didasarkan kepada semangat pengorbanan
dan gotong royong demi mewujudkan kesejahteraan dan keadilan bersama seperti tercermin
dalam Pancasila.
Namun begitu, adagium Kennedy selalu menjadi satir bagi bangsa
yang malas dan bahkan menggaruk kekayaan sumber daya negaranya untuk
kepentingan probadi maupun kelompok. Statemen di atas menjadi paradoks bagi
kita. Satu sisi ia menjadi gugusan mutiara sangat berharga bagi kita, tetapi di
sisi lain ia tak henti-henti menertawakan kita dari jarak dekat, di tengah proses
penggembosan dan peringkihan negeri karena kasus korupsi dan perkara hukum yang
tersandera mafia oleh pemerintahan sendiri.
Friday, April 06, 2012
Peace Power vs Demonstrasi Anarkistis
versi cetak tulisan ini ada di Jurnal Nasional
MENGIRINGI rencana kenaikan harga BBM, demonstrasi dari berbagai kalangan (mahasiswa, buruh, ibu tumah tangga, dan bahkan dari partai politik) tumpah ruah di mana-mana. Seperti biasa, demonstrasi tersebut kemudian banyak berujung bentrok dan rusuh, dan masih ada yang sampai melakukan penjerahan (seperti terjadi di Makassar).
Naifnya, demonstrasi rusuh telah melekat dan berulang-ulang hampir setiap aksi protes yang kebanyakan dimotori mahasiswa, kelas kaum terdidik bangsa ini. Padahal, di waktu bersamaan sikap antipati dan kritikan terhadap aksi demo dengan kekerasan mulai santer disuarakan oleh rakyat sipil sendiri. Ini jelas menyuratkan pesan bahwa demonstrasi yang menjelma pentas kekerasan dan rusuh adalah tindakan yang tidak diinginkan oleh rakyat banyak.