Saturday, April 28, 2012

Kritisisme Pemuda di Tengah Ormas Karbitan

Versi cetak tulisan ini ada di Jurnal Nasional.

PADA satu kesempatan sekitar sepekan lalu, saya bersama teman dari komunitas Peace Generation diundang oleh salah satu organisasi kemasyarakatan yang kedengarannya masih baru namun ekspansinya cukup masif di Indonesia. Tujuan mereka mengundang kami adalah untuk audiensi dan sharing tentang kegiatan komunitas. Hal seperti itu menjadi salah satu kesenangan saya di komunitas untuk berbagi dan mendapatkan teman baru dari komunitas lain atau pun organisasi kemasyarakatan yang notabene dirayakan oleh para pemuda negeri ini. 

Sebagai perwakilan, mereka menemui kami berjumlah lima orang. Semua masih dalam usia kepala dua. Rata-rata masih kuliah dan baru lulus sarjana (fresh graduate). Sementara kami cuma bertiga dengan tanpa mempersiapkan materi apa pun. Namun, ormas yang menamakan diri Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) ini ternyata sudah mempersiapkan sebuah presentasi lengkap dengan salinan power point pada sebuah laptop. Terhelatlah presentasi di depan kami sekitar 20 menit dengan memaparkan sejarah, visi-misi, landasan, dan program kerja ormas Gafatar. 
Presentasi Gafatar di salah satu Cafe UGM

Selama presentasi, ada beberapa kejanggalan sumber-sumber ilmiah yang mereka bawakan. Selain itu, ada fakta sejarah yang mereka sendiri tidak bisa menjelaskan secara detail kepada saya, khususnya ketika mereka menyebutkan “nubuat para nabi‘ sebagai landasan sejarah gerakan. Dalam nubuat itu, tersuratlah nama Abraham. Ketika saya tanya tentang siapa si Abraham, presenter tadi coba mengalihkan kepada topik lain, dan sekali-kali dia meminta saya googling sendiri di internet. 

Ketika saya tanya siapa tokoh kuat yang ada di balik Gafatar, kelima perwakilan ini seolah tak bergeming, atau bahkan menyembunyikan sesuatu. Mereka hanya menyebutkan satu nama tokoh mereka secara tidak percaya diri. Saya semakin gusar pada ormas yang baru berdiri 14 Agustus 2011 ini, sehingga selepas dari pertemuan itu saya cepat-cepat searching di internet untuk menyingkap siapa sebenarnya mereka. 

Saya sangat terperanjat ketika menemukan beberapa sumber yang menyebutkan identitas dan sejarah mereka. Ternyata di internet, pemberitaan tentang Gafatar ini sudah menyeruak di seantero Indonesia. Untuk ukuran ormas yang masih berusia setengah tahun, ekspansi mereka hingga ke berbagai provinsi di Indonesia sungguh fenomenal. Saya hanya curiga, sebelum menjadi Gafatar, benih-benih gerakan ini sudah pernah masif sebelumnya. Meski tidak langsung percaya terhadap sumber-sumber itu, secara pribadi saya perlu mewaspadai pergerakan ormas-oramas yang akhir-akhir ini begitu mudah tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat. 
Hasil jepretan ga niat

Tengok surat pembaca yang dimuat di situs http://nahimunkar.com yang menceritakan tentang pergerakan Gafatar di berbagai daerah, termasuk di Palembang. Bahkan surat pembaca ini terang-terangan menyebutkan bahwa Gafatar adalah nama baru dari Komar (Komunitas Millah Abraham), dan sebelum bernama Komar mereka bernama Al-Qiyadah Islamiyah dengan tokoh Ahmad Musadeq yang divonis hukuman penjara selama lima tahun sejak 2008 karena mengaku sebagai nabi. 

Bukan hanya itu, ormas ini sudah terang-terangngan ditolak oleh masyarakat Gowa karena dianggap meresahkan warga. Uniknya, ketua umum Gafatar sekarang, Mahful Muis Tumanurung, adalah mantan Ketua Al Qiyadah Al Islamiyah wilayah Sulawesi Selatan (Makasar). Sementara jajaran pengurus yang lain seperti Wahyu Sandjaya (wakil ketua umum), Berny Satria (sekjend), dan Muchtar Asni (bendahara umum) adalah daftar pengikut Al Qiyadah Al Islamiyah terbaiat. 

Dalam konteks ini, saya tidak hendak mengutuk atau pun berprasangka miring terhadap ormas apa pun yang secara legal ada di bawah negara. Sebagai negara penganut demokrasi, Indonesia sudah menyediakan undang-undang yang mengatur setiap organisasi kemasyarakatan, seperti tersurat dalam UU No 8 Tahun 1985. Namun begitu, saya hanya ingin mengajak teman-teman pemuda negeri ini agar bersikap kritis dan cerdas terhadap berbagai doktrin dan ideologi pergerakan yang akhir-akhir banyak tumbuh. Karena kritisisme pemuda--yang berbasis ilmu pengetahuan--sangat menentukan kualitas pilihan hidup mereka ke depan, baik dalam politik, sosial, ataupun ekonomi. 

The Death of Criticism 
 
Mengingat mereka yang menemui saya adalah para pemuda yang mempunyai masa depan cemerlang untuk membangun bangsa dan negara, saya mulai mengkhawatirkan generasi muda negeri yang mulai mudah dimasuki ideologi yang berseberangan dengan cita-cita Pancasila dan kemerdekaan Republik Indonesia. Saya patut menengarai bahwa sikap kritis dan pencarian identitas pemuda saat ini mulai rapuh digerus pragmatisme dan sikap instans demi mendapat hasil yang berlimpah. Sehingga proses ilmu pengetahuan begitu terlalaikan. 

The death of criticism ini bisa dilihat mulai dari cara-cara kaum pemuda dalam menjalani cita-cita mereka dengan mendahukan hasil daripada proses. Proses berdarah-darah melalui pembelajaran dan pembacaan intens terhadap realitas sosial demi menumbuhkan sikap kritis sudah mulai ditinggalkan. 

Indikasinya bisa dilihat mulai di dunia kampus di mana dunia diskusi, kajian, dan penelitian perlahan mulai ditanggalkan. Padahal, membaca, diskusi, bertanya dan terjun ke lapangan dengan melakukan penelitian adalah diskursus utama dunia kampus yang bisa mencetak mahasiswa tangguh di masa depan. Fenomena the death of criticism perlahan menjadi salah satu pangkal serius merebaknya the death of knowledge yang sejak tahun 1990 mulai menjadi diskursus di kancah intelektual Eropa dan Amerika. 

Untuk itu, sikap kritis mahasiswa saat ini harus dibangun dengan memanfaatkan perkembangan teknologi informasi. Ruang-ruang baik fisikal ataupun imajiner bisa dimanfaatkan untuk menumbuhkan kritisme. Selain itu, ruang-ruang terbuka tersebut harus dimanfaatkan sebagai sarana pembangunan kreativitas. Bukti-bukti brain washing yang dilakukan oleh NII misalnya harus dijadikan pembelajaran serius agar pemuda terhindar dari pengaruh-pengaruh doktrin ideologi yang bertentangan dengan nilai-nilai luhur bangsa dan negara. 

Membangun sikap krtitis akan memberikan distingsi sekaligus justifikasi bagi integritas dan eksistensi pemuda itu sendiri. Di tengah kekacauan dan frustrasi sosial, pemuda harus membentengi diri agar menjadi sosok yang bisa mengantarkan pencerahan bagi masa depan bangsa dan negara. Pemuda bisa mengambil sikap dengan berada di luar kepentingan sesaat ormas atau pun kelompok lain.

0 comments: