Thursday, May 10, 2012

Reproduksi Kekerasan Komunal

Versi cetak tulisan ini bisa diakses di Suara Karya

Kekerasan komunal dari hari ke hari semakin mencekam di bumi pertiwi. Kekerasan tipe ini sebenarnya menjadi bagian dari serangkaian praktik kekerasan yang tak kunjung tertangani secara baik. Papua sekarang kembali bergolak dengan berbagai macam modus kekerasan di sana. Sementara itu, konflik dan kekerasan yang terjadi sebelumnya tak penah tertangani secara tuntas, misalnya konflik Mesuji dan Bima yang menjadi bukti tentang wabah kekerasan yang sebenarnya belum pulih. Kekerasan kita adalah kekerasan yang terus bereproduksi dari kekerasan laten yang mendera sedemikian lama negeri ini. Karena negeri ini secara skeptis pernah disinggung oleh Freek Colombijn dan J. Thomas Lindblad (2002) sebagai “negara kekerasan” (violent country).

Saya paham kenapa dua peneliti dari Belanda itu mengklaim Indonesia sebagai violent country. Salah satu indikator kuat yang bisa ditengarai sebagai bukti adalah munculnya kekerasan yang tidak pernah tuntas ditangani baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat itu sendiri. Kekerasan yang tumpah ruah dan dibiarkan tidak dicarikan jalan keluar (solusi) yang non-violence (nir-kekerasan) akan menabung dan mereproduksi benih kekerasan baru yang suatu saat nanti bisa lahir. Karena sikap permisif terhadap kekerasan sama saja dengan membiarkan kekerasan itu beranak pinak.

Contoh sederhana yang perlu diperhatikan secara serius adalah kasus kekerasan yang ditengarai sebagai kekerasan komunal terhadap kelompok Syiah di Sampang. Dalam konteks ini, kita belum clear ada masalah apa sebenarnya yang terjadi di sana. Media mem-blow up secara gelegar tentang pembakaran terhadap pondokan kelompok Syiah. Sementara berita yang berkembang di masyarakat lokal Sampang Madura sendiri menganggap bahwa masalah mereka tidak seglamor dan seseram yang diberitakan media massa. Mereka bahkan menganggap kasus Sampang adalah kasus keluarga yang penanganannya tentu lewat cara-cara kekeluargaan dan lokal setempat pula.

Untuk memastikan itu, minggu kemarin (04/1) saya datang ke Sampang. Saya sengaja menggunakan pendekatan rekam jejak kasus dari persepsi dan ingatan masyarakat setempat tentang konflik mereka sendiri. Dari banyak orang yang saya tanyakan mereka mengatakan bahwa konflik di Sampang adalah konflik keluarga. Menjadi besar dan sampai membakar pemondokan karena dua belah pihak sama-sama mempunyai massa. Padahal, anatomi konflik dan kekerasan di Madura secara umum cukup mudah untuk diselesaikan oleh masyarakat sendiri. Artinya, masyarakat lokal, seperti di Sampang Madura, mempunyai proses imunitas terhadap luka (kekerasan) yang terjadi secara natural di internal mereka. Konflik semacam ini semakin kalut karena media dan orang ataupun kelompok yang berkepentingan sama-sama memperparah situasi.

Kejernihan

Untuk itu, menghadapi konflik dan kekerasan komunial yang terus bermunculan akhir-akhir ini harus memakai pendekatan purity, yaitu proses investigasi dengan minimal asumsi tentang konflik dan kekerasan untuk mendapatkan kejernihan suatu masalah. Kita hampir tidak memakai cara ini karena pendekatan resolusi konflik yang sejauh ini berjalan adalah blowing-up into public (terserubut publik) dalam situasi yang masih prematur, sebelum clear di internal. Di sini peran media yang mengekspos secara berlebihan dan mengeksploitasi korban kekerasan adalah bentuk lain dari mata rantai kekerasan. Dalam kondisi seperti ini publik seperti bersama-sama menjadi hakim dengan cara mengutuk dan menggelindingkan isu secara liar.
Satu sisi saya menyadar kondisi tersebut. Karena kenyataannya pihak-pihak berwajib yang harus menjaga dan memelihara perdamaian tidak hadir. Faktor negara yang lemah, tidak menjamin kenyamanan, keselamatan, ketentraman dan kedamaian hidup rakyat banyak, tentu menjadi faktor ”resolusi konflik ramai-ramai” yang dipraktikkan sejauh ini. Lihat misalnya bentuk-bentuk simpati yang secara kilat ditunjukkan rakyat ketika mereka menemukan ketidakpuasan terhadap sikap kekerasan yang dilakukan oleh negara, atau sikap ketidakadilan yang ditunjukkan oleh lembaga hukum.

Bentuk-bentuk ”pengadilan massal” yang melibatkan komentator dan banyak tangan seperti itu sebenarnya bukan cara yang baik dalam resolusi konflik. Penyelesaian konflik harus dilihat secara komprehensif, integratif, dan akomudatif dengan prinsip nir-kekerasan aktif. Namun, sikap elegan seperti ini tidak akan terjadi bagi negara yang lemah (atau bahkan gagak) dalam mengurus kenyamanan dan ketentraman rakyatnya. Indonesia menjadi salah satu negra yang harus kita akui masih banyak keteteran dalam menangani konlfik dan kekerasan. Saya sadar itu, karena negara tidak secara penuh mendukung kedamaian dan kenyamanan hajat rakyat banyak. Namun negara memihak kepentingan korporasi dan lembaga asing yang mendanai secara gelap oktom di kalangan elit. Jelas sangat payah jika semua itu terus terjadi di negara kita. Karena harus disadari sejak awal bahwa akar perdamaian—melalui proses peacebuilding—itu harus dimulai dalam tingkat grass roots, lokal masyarakat sendiri.

Peacebuilding di tingkat lokal harus segera dipraktekkan dengan memberikan rasa aman, nyaman, dan tentram bagi mereka. Ancaman-ancaman dalam bentuk apapun terhadap rakyat sudah harus dituntaskan sehingga rakyat bisa menjani hidup secara normal dan harmonis. Ruang dialog dan aspirasi harus dibuka secara lebar. Dalam kondisi demikian, secara bersamaan proses peacekeeping dengan pendekatan lokal kita terus diselaraskan dengan kebutuhan dan dinamika masyarakat sendiri. Dalam kondisi demikian, kekerasan komunal akan berkurang pelan-pelan karena kepercayaan dan rasa kebersamaan sudah sudah terbangun.

Solusi yang ditawarkan di atas adalah upaya menuju masyarakat yang mempunyai moral kemanusiaan baik dalam praktik individu dan lebih-lebih dalam sosial. Untuk sampai kepada kehidupan sosial yang mempunyai moral humanitas yang kuat merupakan ikhtiar panjang kita bersama. Media pendukung seperti pendidikan mempunyai peran yang sangat penting dalam menanamkan nilai moral kepada setiap anak didik. Melalui proses di dunia pendidikan nilai humanisme secara universal yang berpijak kepada nilai identitas ketimuran dengan nuansa spritualitas religius yang kental harus mulai diperhatikan. Pendidikan karakter seperti banyak diinginkan banyak pihak menjadi salah satu alternaif demi penanaman karakter kepada anak didik. Upaya ini diproyeksikan bagaimana nanti perdamaian yang lahir dari kesadaran kemanusiaan dengan lingkungan sosial secara umum bisa berjalan sinergi di muka bumi.

Secara spesifik moral humanitas bisa tumbuh dari proses tradisi dan laku budaya yang telah menjadi cirikhas kehidupan masing-masing bangsa dan negara. Namun terlebih dahulu, untuk menciptakan moral humanitas yang berkelanjutan, diperlukan ruang publik (public sphere) baik dalam artian verbal maupun non verbal yang memungkinkan berkembangnya hubungan dan komunikasi positif antar sesama. Ruang tadi dimaknai sebagai wahana berkembangnya wacana dan diskursus berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan bersama, dimana tidak ada lagi ketakutan dan rasa frustasi menjalani hidup bersama, karena negara telah memberikan ruang kebebasan ekspresi dan dialog kepada warganya.

Dari itu nilai perdamaian akan tersemai sebagai suatu, seperti dikatakan  John Paul Lederach (1995) pengalaman alami, hadir dalam semua budaya dan hubungan interakrif; terbentuk secara sosial sebagai peristiwa budaya. Hal ini merupakan pengalaman dialektis yang penting di dalam konstruksi tentang kenyataan sosial yang berjalan secara aktif dan dinamis.

0 comments: