Thursday, November 29, 2012
Saturday, November 24, 2012
Cinta dalam Pot
7:39 AM
No comments
DETAIL TOKOH & SPESIFIKASI KARAKTER
Ibu Oka Umur 60-an tapi mukanya
tampak muda. Rambun mulai uban. Murah senyum. Akrab dan sayang kepada Oka dan
tanaman-tanaman hias di halaman rumahnya.
Oka Umur 23. Murah senyum
kepada semua orang. Kulit cerah. Sangat mencintai tanaman-tanaman hias. Sangat
mencintai lagu-lagu klasik. Suka bernyanyi.
Stenly Umur 33. Punya istri. Broken
home sejak 5 bulan terakhir. Sedang selingkuh. Penyuka tanaman hias. Mulai suka
mabok. Ketika di rumah, selalu ingin marah-marah.
Istri Stenly Umur 30. Mulai
suka menghardik dan mengejek Stenly. Dia mulai tidak kuat diperlakukan dan
disiksa oleh Stenly. Dia pun selingkuh.
Wanita Umur 30. Biseksual. Modis. Cantik dan sedikit tomboi. Suka merajuk.
PROPERTI
Dua rumah berdekatan
dengan halaman cukup luas. Pot tanaman masing-masing dengan 10 pot. Gunting daun.
Pupuk. Ceret. Dua motor. Dan perabot rumah. Jam Weker.
SCENE 1. EX.
PAGI. TANAMAN HIAS
tim kreatif dan pemain film pendek Cinta dalam Pot |
Sebuah tanaman hias berbunga mekar, segar dan stunning.
Rintik-rintik air jernih memetes ke atas bunga, lalu jatuh ke daun-daunnya.
Pelan-pelan. Tetesannya teratur. Lalu ada satu tetes air terakhir pecah di atas
bunga. Buliran air semakin intens, lalu membentuk sebuah tulisan (judul film)
di atas daun: CINTA DALAM POT.
SCENE 2. EX.
PAGI. HALAMAN RUMAH
OKA. IBU OKA. STENLY.
ISTRI STENLY
Pagi sekitar pukul 06.30. Dari pojok samping halaman, tampak dua rumah sederhana, masing-masing halaman cukup luas, penuh pot-pot (berjumlah 6) dengan tanaman yang mulai tumbuh segar. Rumah pertama milik Stenly. Rumah kedua milik Oka. Tanaman dalam kondisi yang sama: usia, jenis, dan ukurannya. Bunyi-bunyi burung dan suara anak-anak tetangga yang terdengar pelan. Sesekali ada suara motor di kejauhan.
SCENE 3. INT
PAGI. RUMAH
OKA. IBU OKA.
Oka sedang sarapan bersama ibu tercinta. Wajah mereka penuh semangat dan ceria. Tak ada mimik wajah keluh kesah. Pagi yang indah bagi mereka. Sambil sarapan mereka bercengkrama. Sang ibu sangat sayang kepada Oka dengan sekali-kali mengelus ubun-ubunya. Sarapan selesai, Oka menoleh pada jam dinding. Diikuti oleh ibunya. Pukul 07. 00. Oka tersenyum ceria. Mereka sudah mengerti pukul 07. 00 adalah waktu menyiram tanaman hias. Sang ibu duduk di depan rumah memandingi Oka yang sedang menyiram tanaman hias. Siul burung terdengar dan sesekali desir angin membawa kedamaian dalam suasana hati mereka.
SCENE 4. EX.
PAGI. HALAMAN RUMAH
STENLY. ISTRI STENLY
Stenly datang dengan motor. Mukanya kusam. Matanya merah. Rambutnya
berantakan. Memarkir motor, lalu masuk ke rumah. Sebelum membuka pintu,
istrinya langsung menyambarnya dengan suara keras penuh amarah. Dapur
mereka berantakan, kamar tidur rapi seperti tidak pernah dipakai. Kulkas
terbuka begitu saja tanpa ada isi berarti.
Istri Stenly
Pulangnya pagi terus. Nggak tahu waktu. Ini sudah 5 bulan Mas hidupku
seperti di neraka jahanam!
(nyolot begitu saja dengan suara keras)
Stenly
(menatap Istrinya dengan mata merah. Lalu masuk ke dalam rumah. Menatap barang-barang
yang berantakan)
Istri Stenly
Kerjanya keluyuran malam. Lihat pukul berapa sekarang!
(sambil menunjuk jam
dinding. Jam dinding menunjukkan pukul 07.05)
Stenly
(Muka Stenly merah. Marah. Lalu mengambil ceret, mengisi air dari kran. Kran
air dibuka full. Air bercipratan kemana-mana. Matanya menatap air dengan garang.
Air itu dibiarkan tumpah. Istrinya tetap nyerocos dari dalam rumah. Sekali-kali
ke pintu mengumpat Stenly.
Istri Stenly
“Ini sudah 5 bulan Maaassssss... semuanya berantakan begini”
(sembari seperti mengemis-ngemis, dan duduk di depan pintu. Air mata tumpah
dengan muka kecewa)
Istri Stenly
Muka Stenly tambah marah dan legam. Tangan-tanganya gemeratak mengepal timba
air. Dengan nafas tak teratur, muka merah, dan marah, menyiram bunga.
Istrinya tetap mengumpat di pintu rumah. Setiap tetesan dan siraman air yang jatuh
ke tanaman hias tak luput dari amarah Stenly yang membuncah di dadanya. Selesai
menyiram bunga, dia taruh ceret di dekat gunting rumput di antara pot-pot bunga)
SCENE 5. EX.
PAGI. HALAMAN RUMAH
STENLY. OKA.
Oka dan Stenly
(dari jauh Oka dam Stenly sama-sama menyiram tanaman hias dan selesai
bersamaan. Cara mereka menyiram, takaran dan ukuran air sama. Sehabis
menyiram, mereka sama-sama memupuknya. Lalu mereka sama-sama masuk ke rumah
masing-masing)
SCENE 6. INT.
PAGI. RUMAH
STENLY
Stenly
(selesai menyiram tanaman hias. Stenly masuk ke rumah. Dia membersihkan
sofa yang sedikit berdebu. Sedikit sempoyongan karena mengantuk. Lalu
tertidur di sofa)
SCENE 7. INT.
MALAM. RUMAH
STENLY.
Stenly terbangun oleh jam wekernya sendiri. Dia menatap jam pukul 23.00. Di
ujung ruangan, istrinya sedang menelpon seseorang dengan HP. Sorot mata Stenly menebas
perempuan itu, dengan muka marah dan sinis. Tiba-tiba sang istri memutus
telepon. Tak bercakap, Stenly berkemas dan pergi. Di halaman dia menatap tanaman-tanaman
hias di tengah temaram lampu dop 5 watt. Dia seperti ingin mendekati pot-pot
itu. Tapi tidak jadi.
SCENE 8. INT.
MALAM. RUMAH
WANITA. STENLY
Wanita itu sedang membaca majalah. Karena sudah mengerti ada
sesorang yang mau datang, wanita itu membuka pintu. Mempersilakan Stenly duduk
dengan pelukan nakal. Di meja ada botol bir. Mereka minum. Cheers. Dua gelas,
mereka menuju kamar. Mereka sudah sama-sama mengerti. Wanita itu masuk lebih
dulu ke dalam kamar, kemudian disusul Stenly. Sebelum pintu benar-benar
tertutup rapi, wanita itu bergelayut di tubuh Stenly. Menariknya dari belakang
lalu jatuh ke kasur.
SCENE 9. INT.
PAGI. RUMAH
STENLY
Stenly tertidur di atas sofa. Jam weker menyala di atas meja dekat Stenly terlelap.
Tak ada orang yang bangun. Dalam rumah itu. Jam menunjukkan pukul 07.00 saat
jam weker itu berbunyi.
SCENE 10. EX.
PAGI. HALAMAN RUMAH
OKA. IBU OKA
Di waktu yang sama, Oka tampak sedang mengambil air dengan puji-pujian, perasaan
sumberingah, damai dan penuh kasih sayang. Oka menyanyikan lagu-lagu jazz
kesukaannya. Dari dalam rumahnya terdengar lagu-lagu jazz yang ikut dinyanyikan
Oka. Ibunya ikut memotong daun-daun tanaman hias itu.
SCENE 11. INT.
PAGI. HALAMAN RUMAH
STENLY. OKA
Kedua rumah kembali terlihat. Oka sudah mengisi ceret dengan air. Sementara
di halaman rumah Stenly bunga-bunga itu dibiarkan sepi.
SCENE 12. INT.
PAGI. HALAMAN RUMAH
STENLY. ISTRI STENLY
Tiba-tiba dari dalam rumah terdengar suara keributan. Suara Istri Stenly
yang tengah membangunkan dan memaki-maki suaminya yang masih tidur di sofa. Akhirnya
Stenly keluar dari pintu rumah dengan mata merah, sedikit sempoyongan. Lalu
mengambil ceret. Setelah penuh, dengan langkah lelah, dia menyiram bunga.
SCENE 13. EX.
PAGI. HALAMAN RUMAH
STENLY. OKA.
Stenly dan Oka
(Scene ini bersamaan. Mereka sedang sama-sama merawat tanaman-tanamannya
dengan memupuknya. Lalu mengguntingnya. Oka memupuk dan tanaman itu dengan
siul-siul senang dan lagu-lagu rancak dari komposer Bethoven terdengar dari
dalam rumah. Wajah Oka tampak sumbringah di antara daun-daun tanaman hias yang
dirawatnya. Di saat yang bersamaan, Stenly memupuk tanamannya dengan wajah
lelah dan marah. Dari dalam rumah Istri Stenly marah-marah. Terdengar
barang-barang dibanting)
SCENE 14. EX.
PAGI. HALAMAN RUMAH
STENLY. OKA.
(Scene ini bersamaan. Mereka sedang sama-sama menyiram tanaman. Oka dengan
wajah jumawa, sedikit tertawa dan tersenyum lebar. Ibunya menatap Oka dari
pintu rumah dengan tersenyum senang. Di saat yang bersamaan, Stenly menyiram
tanamannya dengan wajah masam dan penuh amarah. Kesal mentap tetesan air dan
tanaman yang ada di depannya)
SCENE 14. EX.
PAGI. HALAMAN RUMAH
STENLY. OKA.
(Scene ini bersamaan. Mereka sedang sama-sama menyiram tanaman. Oka dengan
wajah jumawa, sedikit tertawa dan tersenyum lebar. Ibunya menatap Oka dari
pintu rumah dengan tersenyum senang. Di saat yang bersamaan, Stenly menyiram
tanamannya dengan wajah masam dan penuh amarah. Kesal mentap tetesan air dan tanaman
yang ada di depannya)
SCENE 15. EX.
SORE. HALAMAN RUMAH
STENLY. ISTRI STENLY.
Oka. Stenly dan Istrinya
(Oka sedang asyik menggunting rumput. Sementara Stenly sedang menggunting tanaman
hias dengan gamang. Dia melihat istrinya sedang mengeluarkan motor. Tak ada
percakapan. Matahari sore pukul 3 sangat terik. Istri Stenly melaju dengan
motornya. Dari balik pot-pot itu, Istri Stenly lenyap bersama motornya. Stenly
geram dan membanting gunting rumput saat melihat istrinya pergi entah kemana.
Lalu dia berteriak kepada tanaman-tamana itu)
SCENE 16. EX.
SORE. CAFE
ISTRI STENLY. WANITA
Istri Stenly dan Wanita
(Istri Stenly duduk dengan wajah lelah dan risau. Dia sedang menunggu
seseorang. Mukanya kusut dan pandangannya gamang. Dari arah pintu seoarang
wanita masuk dan langsung memeluk Istri Stenly. Mereka berpelukan hangat dan
mencium kening Istri Stenly. Lalu saling menyuapi eskrim/ yugort kesukaan mereka berdua yang sudah
dipesan. Lalu mereka kembali bercengkrama)
SCENE 17. INT.
MALAM. RUMAH
STENLY. ISTRI STENLY
Istri Stenly
“Bangun-bangun bangunnnnnnn.”
(berteriak sambil mendorong Stnely keluar dari pintu dengan sempoyongan.
Stenly hampir saja terjerembab dalam kondisi yang rempong. Mata merah menahan
kantuk.)
Istri Stenly
Udah jam tujuh belum juga bangun. Pasti pulang kepagian lagi. Mas, aku
dianggap apa dalam rumah ini. Apa aku akan terus dibiarkan seperti bunga-bunga
yang kesepian itu.?
(risau, keciwa, dan tidak mengerti)
Stenly
(dengan wajah kesal dan marah, Stenly keluar rumah dengan mengambil ceret,
lalu mengisi air. Mukanya geram dan garang. Dia seperti ingin berteriak saja
sama air yang sedang mengalir dari kran itu. Tapi diurungkan. Dia hanya
menyibak-nyibak air dengan kesal. Setelah ceret penuh, dia langsung menuju
tanaman-tanama hias itu. Namun dari belakang, sang istri menguntitnya dengan suara
lantang: mengomel dan memaharahinya)
Istri Stenly
Ngomongnya senang sama tanaman. Tapi....
Stenly
Tapi saya setiap jam 7 tetap disiram kan?
Istri Stenly
Ngomongnya suka sama aku. Tapi...
Stenly
Tapi aku masih serumah sama kamu kan?
Istri Stenly
Apakah itu cukup hanya karena kita serumah? Tapi aku dibiarkan seperti bunga-bunga
yang layu. Pulang pagi. Mabok. Kamu merawat tanaman atau merawat aku. Mana
lebih berharga antara aku dengan tanaman ini. Aku dibiarkan seperti patung di
sini. Seperti bunga-bunga yang layuuuu.
(suaranya semakin memuncak. Berteriak dan memukul-mukul
pundak Stenly)
Stenly
(mata Stenly merah. Plak!!! Stenly menampar istrinya. Mereka ribut di
tengah-tengah tanaman hias itu. Istri Stenly duduk ke tanah sambil melanjutkan caci
maki, lalu berdiri lagi. Stenly kalap lalu mengambil gunting rumput yang ada di
sampingnya dan ditebaskan pada perempuan itu. Dresss... seketika istrinya
terkapar. Gelap)
SCENE 18. EX.
PAGI. HALAMAN RUMAH
OKA.
Ketika gunting milik Stenly menebas Istrinya, Oka sedang menggunting dan
merapikan daun-daun tanaman hias. Irama musik klasik Mozart terdengar ramah
dari dalam rumah
SCENE 19. EX.
SIANG HARI. HALAMAN RUMAH
STENLY. OKA.
Kedua tanaman hias tampak dari pojok halaman rumah dengan bergantian. Milik
Oka segar dan berbunga. Milik Stenly tumbuh tidak karuan dan bahkan tampak layu.
Scene ini di-shoot dari dekat bersamaan lalu bergantian.
SCENE 20. EX.
SIANG HARI. HALAMAN RUMAH
STENLY
Tanaman Stenly layu. Di bawah pot-pot itu ada gundukan tanah. Stenly
menyiram tanaman hias itu dan sekaligus
menyirami gundukan tanah itu: Makam Istrinya. Pot-pot itu ada di atas gundukan tanah. Dan di
tengah-tengah pot di gundukan itu, Stenly
menancapkan sebuah plang kecil seperti
nisan dengan tulisan: “Aku Mencintai Kalian Berdua”. SELESAI
Skenario Film Pendek
by Bernando J. Sujibto
Jogja, 24 Nov 2012
Friday, November 23, 2012
Monday, November 05, 2012
Menuju Transmisi Karya Sastra
Versi cetak kolom ini dimuat di rubrik buku Jawa Pos, 04 November 2012.
Sore
itu, 27 Oktober 2012, sebuah lingkaran diskusi di Komunitas Rumahlebah tergelar
sederhana. Raudal Tanjung Banua, Kuswaidi Syafi’ie dan Faisal Kamandobat berada
di kerumunan mereka yang tengah berdisksui dengan tema “Memaknai Keikhlasan Diri (Refleksi Bulan Bahasa dan Hari Raya
Qurban)”, untuk menghantar edisi baru Jurnal Rumahlebah Ruangpuisi. Dan
ternyata benar, seperti dugaan saya, dalam diskusi itu yang muncul adalah diskusi
seputar wacana karya sastra, daripada tentang Hari Raya Qurban.
Sebagai
pembuka diskusi, dengan karakter yang sangat khas—memukau, sesekali membacakan
sajak (karya sendiri ataupun bukan) dengan memejamkan mata karena hafal, tertawa
lepas, dan mengupas literatur sufi dengan amat dalam—Cak Kus, sapaan karib
Kuswaidi Syafi’ie, langsung meneror dengan statemen “kalau penyair itu digdaya, puisinya akan membentuk kenyataan, bukan
(cuma) melukiskan atau menggambarkan kenyataan!”