Monday, November 05, 2012

Menuju Transmisi Karya Sastra

Versi cetak kolom ini dimuat di rubrik buku Jawa Pos, 04 November 2012.

Sore itu, 27 Oktober 2012, sebuah lingkaran diskusi di Komunitas Rumahlebah tergelar sederhana. Raudal Tanjung Banua, Kuswaidi Syafi’ie dan Faisal Kamandobat berada di kerumunan mereka yang tengah berdisksui dengan tema “Memaknai Keikhlasan Diri (Refleksi Bulan Bahasa dan Hari Raya Qurban)”, untuk menghantar edisi baru Jurnal Rumahlebah Ruangpuisi. Dan ternyata benar, seperti dugaan saya, dalam diskusi itu yang muncul adalah diskusi seputar wacana karya sastra, daripada tentang Hari Raya Qurban.

Sebagai pembuka diskusi, dengan karakter yang sangat khas—memukau, sesekali membacakan sajak (karya sendiri ataupun bukan) dengan memejamkan mata karena hafal, tertawa lepas, dan mengupas literatur sufi dengan amat dalam—Cak Kus, sapaan karib Kuswaidi Syafi’ie, langsung meneror dengan statemen “kalau penyair itu digdaya, puisinya akan membentuk kenyataan, bukan (cuma) melukiskan atau menggambarkan kenyataan!”
Satu statemen yang menyentak; seperti menegaskan ihwal pencapaian yang tak biasa ditemukan dalam tubuh kesusastraan Indonesia sejauh ini.

Di samping itu, Faisal sibuk membaca aspek-aspek kosmologis dalam puisi. Dengan ketekunannya mendalami filsafal dan antropologi, Faisal seperti kembali menghidupkan spirit “sosiologi karya sastra” ataupun “kontekstualisasi karya sastra” yang sebenarnya sudah usang di telinga kita. Namun “spirit transmisi” yang dipropagandakan untuk karya sastra dewasa ini terlihat bahwa Faisal adalah sosok serius yang ingin membuktikan itu: karya sastra yang punya akar, karya sastra yang mempunyai rumah (kembali) kepada masyarakatnya, dicintai dan dinikmati sebagai bagian dari dinamika hidup mereka!

Obrolan Faisal seperti mengulang Pengantar Redaksi buku ini dengan menjumput kalimat dari T.S. Iliot: “tidak ada penyair dan puisi yang menyimpan makna lengkpnya sendiri.” Spirit untuk memulangkan puisi kepada tradisi dan sejarah—karena puisi dipengaruhi dan lahir oleh hal-hal di luar dirinya (interaksi, dimensi bahasa, ideologi, cita rasa dan motif pribadi ditransmisikan), betapa pun seorang penyair dalah individu kreatif (hal 3)—adalah sebentuk usaha mengembalikan, dalam bahasa Afrizal Malna, “metafor  yang jauh dari kehidupannya sendiri”. Karena kecenderungan puisi sekarang, lanjut Afrizal, “melupakan sesuatu yang lebih dekat demi streotip keindahan atau lirisisme; suatu kehancuran yang tak disadari, seperti semuanya pergi tanpa kembali, seperti semuanya menjauh untuk bisa bertemu dengan keindahan (hal 107).

Sampai di sini puisi seperti dunia yang selalu menjauh, meninggalkan tanah kepenyairannya sendiri.

Selanjutnya, untung ada Raudal yang mengingatkan tentang puisi yang benar-benar ada untuk realitasnya sendiri, sebuah dunia yang tertransmisikan dari ruang-waktu yang berbeda ke dalam “pembentukan kenyataan” melalui puisi. Untuk itu di bagian akhir jurnal ini (hal 224-245), Raudal merekomendasikan kumpulan sajak karya Ahmad Nurullah berjudul “Setelah Hari Keenam”, yang menurutnya mewakili wacana “transimisi dalam berpuisi”. Raudal seperti juga ingin menjawab “teror kreatif” dari Cak Kus dengan menunjukkan bahwa puisi Ahmad Nurullah mampu “menciptakan kenyataan”, kenyataan yang dianggit dan ditransmisikan untuk menciptakan dunia baru di balik kosmologi penciptaan (hal 277) yang diremukkan dengan menebas ruang-waktu yang pakem, membenturkannya, lalu mengonstruksi sebuah dunia-penciptaan baru, oleh puisi.

Oto-Puisi dalam Transimisi Afrizal

Saya curiga bahwa jurnal Rumahlebah edisi kali ini sebenarnya resepsi atas diri seorang Afrizal. Lihat misalnya dari 245 halaman, Afrizal menghabiskan 82 untuk puisi dan esainya. Bandingkan dengan jumlah halaman rubrik puisi yang hanya punya 41 dengan dibagi-bagikan kepada 9 penyair. Sehingga ruang untuk menyerap penyair-penyair muda, dan puisi-puisi yang lebih banyak lagi—demi upaya mencari bentuk-bentuk lain dari spirit transimisi dalam karya puisi—pun perlu dipertanyakan (?).

Sebagai “resepsi terhadap Afrizal”, tema “transimisi (dari) Afrizal” sebanarnya bisa dijadikan pijakan bagus untuk menelaah keseluruhan puisi dalam jurnal ini. Melalui Oto-puisinya, Afrizal hadir dengan sosok yang lengkap sebagai “sebongkah pohon” yang tumbuh dari semua arus musim, instalasi bahasa, bongkahan sejarah, dan hantaman badai kesusastraan Indonesia. Meski dia tidak mau menyebut bahwa Oto-puisi ini menjadi semacam catatan dari proses kreatifnya (hal 136), setidaknya Afrizal telah mampu mendekati “konsekuensi-konsekuensi puitika”-nya sendiri. Dan di sanalah dirinya berada sebagai Afrizal yang taat kepada rumah bahasa.

Sejujurnya sulit menemukan puisi yang mampu bertransmisi, setidaknya seperti yang diimpikan oleh redaktur jurnal, yang mampu berada dalam tiga aras: pertama, berdaulat (berjejak di) dengan tempat—mampu memberi makna dan menghadirkan tempat dan peristiawa dalam bahasa, sehingga berkontribusi bagi keberlangsungan hidup bangsanya, tradisi dan sejarahnya (hal 5); kedua, spritualitas dan metafisika dari tempat dan peristiwa dalam puisi, bukan tempat pengasingan dari penderitaan, namun daya pembebas yang konkret (hal 6); ketiga, aspek relasi sosial-biografis penyair yang tidak bisa berlari dari relasi sosial (hal 6).

Puisi Riki Dhamparan Putra mampu menjawab ketiga aspek itu dalam sajak berjudul Tuan Ma. Ia mampu menziarihi dunia religius-mistis dengan menarik kembali ke dalam konteks relasi sosial di Larantuka, Flores Timur, tentang kepasrahan laku-doa—seperti tergambar dalam lirik  //mungkin lututmu luka/karena semalaman bersimpuh/Tapi tak kulihat engkau mengaduh// Lalu kota tenggelam dalam ruh/perkabungan/Pada ziarah yang putih/Jalan-jalan mengelam terbungkus/mantel hitam//—yang kadang menyerah kepada perkabungan dan teror konflik sipil, seperti laiknya terjadi di negeri ini.

Akhirnya, membaca jurnal ini seperti memperbincangkan kehidupan yang luas. Ia hadir dengan sejumlah penyair rata-rata masih muda seperti Faisal Kamandobat, Fahmi Faqih, Dea Anugerah, Dwi S. Wibowo, dll. Yang semakin memantapkan lanskap komparasi karya sastra dan dunianya masing-masing adalah kehadiran puisi-puisi terjemahan dari penyair yang “kurang akrab” di telinga penikmat sastra kita, seperti Michelle Yeh (Amerika), Nazik Al-Malaikah (Baghdad), dan Janus Oannonius (Hungaria).

0 comments: