Versi cetak kolom ini dimuat di rubrik buku Jawa Pos, 04 November 2012.
Sore
itu, 27 Oktober 2012, sebuah lingkaran diskusi di Komunitas Rumahlebah tergelar
sederhana. Raudal Tanjung Banua, Kuswaidi Syafi’ie dan Faisal Kamandobat berada
di kerumunan mereka yang tengah berdisksui dengan tema “Memaknai Keikhlasan Diri (Refleksi Bulan Bahasa dan Hari Raya
Qurban)”, untuk menghantar edisi baru Jurnal Rumahlebah Ruangpuisi. Dan
ternyata benar, seperti dugaan saya, dalam diskusi itu yang muncul adalah diskusi
seputar wacana karya sastra, daripada tentang Hari Raya Qurban.
Sebagai
pembuka diskusi, dengan karakter yang sangat khas—memukau, sesekali membacakan
sajak (karya sendiri ataupun bukan) dengan memejamkan mata karena hafal, tertawa
lepas, dan mengupas literatur sufi dengan amat dalam—Cak Kus, sapaan karib
Kuswaidi Syafi’ie, langsung meneror dengan statemen “kalau penyair itu digdaya, puisinya akan membentuk kenyataan, bukan
(cuma) melukiskan atau menggambarkan kenyataan!”
Di
samping itu, Faisal sibuk membaca aspek-aspek kosmologis dalam puisi. Dengan ketekunannya
mendalami filsafal dan antropologi, Faisal seperti kembali menghidupkan spirit “sosiologi
karya sastra” ataupun “kontekstualisasi karya sastra” yang sebenarnya sudah
usang di telinga kita. Namun “spirit transmisi” yang dipropagandakan untuk karya
sastra dewasa ini terlihat bahwa Faisal adalah sosok serius yang ingin membuktikan
itu: karya sastra yang punya akar, karya sastra yang mempunyai rumah (kembali)
kepada masyarakatnya, dicintai dan dinikmati sebagai bagian dari dinamika hidup
mereka!
Obrolan
Faisal seperti mengulang Pengantar Redaksi buku ini dengan menjumput kalimat dari
T.S. Iliot: “tidak ada penyair dan puisi
yang menyimpan makna lengkpnya sendiri.” Spirit untuk memulangkan puisi
kepada tradisi dan sejarah—karena puisi dipengaruhi dan lahir oleh hal-hal di
luar dirinya (interaksi, dimensi bahasa, ideologi, cita rasa dan motif pribadi
ditransmisikan), betapa pun seorang penyair dalah individu kreatif (hal 3)—adalah
sebentuk usaha mengembalikan, dalam bahasa Afrizal Malna, “metafor yang jauh dari kehidupannya sendiri”. Karena
kecenderungan puisi sekarang, lanjut Afrizal, “melupakan sesuatu yang lebih
dekat demi streotip keindahan atau lirisisme; suatu kehancuran yang tak
disadari, seperti semuanya pergi tanpa kembali, seperti semuanya menjauh untuk
bisa bertemu dengan keindahan (hal 107).
Sampai
di sini puisi seperti dunia yang selalu menjauh, meninggalkan tanah
kepenyairannya sendiri.
Selanjutnya,
untung ada Raudal yang mengingatkan tentang puisi yang benar-benar ada untuk realitasnya
sendiri, sebuah dunia yang tertransmisikan dari ruang-waktu yang berbeda ke
dalam “pembentukan kenyataan” melalui puisi. Untuk itu di bagian akhir jurnal
ini (hal 224-245), Raudal merekomendasikan kumpulan sajak karya Ahmad Nurullah
berjudul “Setelah Hari Keenam”, yang menurutnya mewakili wacana “transimisi dalam
berpuisi”. Raudal seperti juga ingin menjawab “teror kreatif” dari Cak Kus
dengan menunjukkan bahwa puisi Ahmad Nurullah mampu “menciptakan kenyataan”,
kenyataan yang dianggit dan ditransmisikan untuk menciptakan dunia baru di
balik kosmologi penciptaan (hal 277) yang diremukkan dengan menebas ruang-waktu
yang pakem, membenturkannya, lalu mengonstruksi sebuah dunia-penciptaan baru,
oleh puisi.
Oto-Puisi dalam Transimisi Afrizal
Saya
curiga bahwa jurnal Rumahlebah edisi kali ini sebenarnya resepsi atas diri seorang
Afrizal. Lihat misalnya dari 245 halaman, Afrizal menghabiskan 82 untuk puisi
dan esainya. Bandingkan dengan jumlah halaman rubrik puisi yang hanya punya 41
dengan dibagi-bagikan kepada 9 penyair. Sehingga ruang untuk menyerap penyair-penyair
muda, dan puisi-puisi yang lebih banyak lagi—demi upaya mencari bentuk-bentuk
lain dari spirit transimisi dalam karya puisi—pun perlu dipertanyakan (?).
Sebagai
“resepsi terhadap Afrizal”, tema “transimisi (dari) Afrizal” sebanarnya bisa
dijadikan pijakan bagus untuk menelaah keseluruhan puisi dalam jurnal ini. Melalui
Oto-puisinya, Afrizal hadir dengan sosok yang lengkap sebagai “sebongkah pohon”
yang tumbuh dari semua arus musim, instalasi bahasa, bongkahan sejarah, dan hantaman
badai kesusastraan Indonesia. Meski dia tidak mau menyebut bahwa Oto-puisi ini
menjadi semacam catatan dari proses kreatifnya (hal 136), setidaknya Afrizal
telah mampu mendekati “konsekuensi-konsekuensi puitika”-nya sendiri. Dan di
sanalah dirinya berada sebagai Afrizal yang taat kepada rumah bahasa.
Sejujurnya
sulit menemukan puisi yang mampu bertransmisi, setidaknya seperti yang
diimpikan oleh redaktur jurnal, yang mampu berada dalam tiga aras: pertama, berdaulat (berjejak di) dengan
tempat—mampu memberi makna dan menghadirkan tempat dan peristiawa dalam bahasa,
sehingga berkontribusi bagi keberlangsungan hidup bangsanya, tradisi dan
sejarahnya (hal 5); kedua, spritualitas
dan metafisika dari tempat dan peristiwa dalam puisi, bukan tempat pengasingan
dari penderitaan, namun daya pembebas yang konkret (hal 6); ketiga, aspek relasi sosial-biografis
penyair yang tidak bisa berlari dari relasi sosial (hal 6).
Puisi
Riki Dhamparan Putra mampu menjawab ketiga aspek itu dalam sajak berjudul Tuan
Ma. Ia mampu menziarihi dunia religius-mistis dengan menarik kembali ke dalam
konteks relasi sosial di Larantuka, Flores Timur, tentang kepasrahan laku-doa—seperti
tergambar dalam lirik //mungkin lututmu luka/karena semalaman
bersimpuh/Tapi tak kulihat engkau mengaduh// Lalu kota tenggelam dalam ruh/perkabungan/Pada ziarah yang
putih/Jalan-jalan mengelam terbungkus/mantel hitam//—yang kadang menyerah
kepada perkabungan dan teror konflik sipil, seperti laiknya terjadi di negeri
ini.
Akhirnya,
membaca jurnal ini seperti memperbincangkan kehidupan yang luas. Ia hadir
dengan sejumlah penyair rata-rata masih muda seperti Faisal
Kamandobat, Fahmi Faqih, Dea Anugerah, Dwi S. Wibowo, dll. Yang semakin
memantapkan lanskap komparasi karya sastra dan dunianya masing-masing adalah
kehadiran puisi-puisi terjemahan dari penyair yang “kurang akrab” di telinga
penikmat sastra kita, seperti Michelle Yeh (Amerika), Nazik Al-Malaikah
(Baghdad), dan Janus Oannonius (Hungaria).
0 comments:
Post a Comment