Salah satu hal yang paling berat aku pertimbangkan sebelum
berangkat ke Turki, di samping keluarga kecilku di kampung, adalah seseorang yang selama ini bersamaku, mendukungku
begitu penuh seluruh, dan ada pada setiap ruang-waktu yang tercipta, yang kami ciptakan bersama, dalam hidupku. Ia adalah
byan. Seorang yang melampaui imajinasiku sendiri. Seorang perempuan tabah yang telah mengartikan kehadiranku sebagai pejuang yang tak mau kalah.
Kebersamaan yang lama telah membuatnya menjadi
ada dan semakin utuh sebagai sosok keibuan. Atau aku menemukan cinta seorang ibu juga darinya. Keberadaan itulah yang telah membuatku (dan kita) selalu merasa penuh, mengisi
waktu-waktu dalam kebersamaan. Dari sesuatu yang mungkin tak perlu pada awalnya
menjadi ada dan penuh arti dalam kebersamaan yang saling mengisi dan
menciptakan.
Aku udah lama sekali memulai kisah perjalanan ini, dengan
seseorang yang datang dari rasa kekaguman dan aku menyambutnya dengan sebuah
kisah yang biasa sebagai seorang lelaki yang mengagumi kesunyian. Ia datang menyalakan kebahagian, menemani kesendirian itu dan sekaligus melahirkan karya-karya besar bersama-sama. Dan waktu telah membentangkan ruang untuk belajar
dan memulai sejarah hebat bersama.
Aku pun sadar, aku semakin kuat menulis karena kehadirannya yang menguatkan; menyelipkan mimpi di tengah mimpi-mimpi yang kutabur.
Ia sekarang lebih dari seorang apapun dalam diriku. Meski kadang
menghilang dalam beberapa waktu dan banyak datang di waktu-waktu yang lain. Menjadi
pelengkap kekurangan dan menambal ruang pengalaman dan tubuhku yang
bolong-bolong.
Sepanjang waktu ia telah melampaui dari seseorang yang
sekedar hanya kucintai. Ia telah berjalan dalam kekagumanku sendiri sebagai bidadari
yang menunjuk langit malam, menandai fajar dan sekaligus menghadirkan matahari.
Di antara tulisan-tulisanku, sebuah diari yang biasa kutulis sepanjang waktu, ia
hadir menjadi ruh bagi setiap kata dan kalimat. Belantara aksara dan imajinasi yang
tumpah ruah dalam setiap tinta waktu yang kupasang sebagai karya, ia ikut
meniupkan ruh di sana, ikut menghadirkan eksistensinya. Setiap keberadaan
diriku, ia hadir sebagai diriku yang lain. Menjadi manunggal dan utuh.
Kuat-kuatlah di sana, byanku. Temani kesendirian kita
dengan kesunyian masing-masing. Dua tahun atau tiga tahun akan menjadi waktu
yang mengancamku, dan menghukum kita dalam jarak yang teramat jauh. Aku di
tanah dua benua selalu akan menjagamu dengan sekuatku sendiri.