Friday, September 06, 2013

Yang Maha Tembakau

bersama dua adik manisku menyiram tembakau
Bagiku, tembakau adalah bagian dari hidup yang tak bisa dipisahkan. Di samping Bapak dan Ibuku petani tembakau, Bapak juga pedagang tembakau di tingkat bawah (jadi pembeli langsung kepada petani). Tipe pedagang seperti Bapakku adalah pengepul, berjumpalitan di bawah, menjadi suruhan pemilik gudang. Maklum jika masa kecilku, di antara halaman rumah dan emperan, mataku selalu bertubrukan dengan gulu'an (bungkus rajangan tembakau yang sudah dikeringkan) dan potongan rajangan tembakau yang dibungkus platik kresek atau dibiarkan begitu saja tergeletak di lantai, di meja, di tempat duduk. Sangat amburadul, sepertinya. Tapi itulah hidupku bersama pedagang tembakau, Bapakku sendiri. Menurut cerita Ibu, Bapakku konon sukses menjadi pendagang (termasuk tembakau, grusuk, dan cabe) sehingga beliau bisa naik haji tahun 1993, saat aku baru berusia sekitar 7 tahun. Kata Ibu juga, Bapakku adalah pedagang yang tidak pernah bermasalah dengan petani, misalnya punya hutan, atau uang pembayaran untuk petani ditunda-tunda.


Cerita yang lain tentang tembakau adalah ketika aku membatu Ibu menyiram dan bertani, setelah Bapakku meninggal 37 hari setelah beliau datang dari Tanah Haram.


petak sawah ibuku. banyak sawah ibu yang tak tergarap
Sejak kecil aku biasa menyiram tembakau seperti ini: dengan timba ukuran tak terlalu besar dan mengambil air dari sungai yang jika kemarau panjang akan terhenti mengalir. Mudik Agustus tahun 2013 ini bertepatan dengan musim tembakau di kampungku: Tanggulun, Montorna, Pasongsongan, Sumenep dan aku membantu menyiram tembakau di sepetak sawah kecil, karena ibuku memang tidak boleh lagi bertani lebih banyak.

Para petani tembakau di kampungku, atau mungkin di banyak daerah di Madura, selalu berada dalam posisi kalah dan dipermainkan oleh para "tengkulak", "gudang" dan "jairngan-jaringan"-nya. Harga tembakau per kilo gram dengan sangat mudah dipermainkan dengan cara: naik-turun hanya dalam hitungan hari. Hari ini per kg bisa 30 ribu, besok bisa 20 ribu. Ini benar-benar tidak masuk akal memang. Aku merasa mereka adalah mafia besar.

Hebatnya, orang-orang gudang (bisa orang keturunan China atau tengkulak lokal kaki tangan China, dan pemodal lainnya) bisa memanfaatkan tokoh-tokoh kunci untuk menguasai tembakau di kampungku (Montorna dan Prancak, dua desa yang sudah terkenal sebagai tembakau terbaik di Madura).
12 Agustus 2013
Misalnya, mereka mendekati para "kiai" sebagai ujung tombak komunikator dengan masyarakat lokal agar tembakau-tembakau mereka dijual di gudang tertentu. Masyarakat dimodali seadanya dan dengan sendirinya panen tembakau harus dijual di lingkaran mereka. Kamu tahu bukan, bagaimana kuatnya paternalistik di Madura (?).

bercengkrama membelakangi goa payudan
Di kampungku, juga mungkin di Madura, belum terlalu tampak sebuah perserikatan petani tembakau yang kuat ataupun sebentuk advokasi lainnya yang benar-benar berada bersama rakyat (petani). Meskipun ada, seperti Apti (asosiasi petani tembakau indonesia), suaranya belum kencang sangat. Tembakau di kampungku, atau mungkin di Madura, memang masih menjadi cerita yang mengenaskan. Jangankan harga mahal, tak jarang kok pertani, seperti keluargaku juga, ditakut-takuti tembakau tidak akan dibeli. Nah!


Bagi keluargaku, tembakau adalah daun emas. Semacam segalanya. Makanya ketika ada kabar tembakau sudah tidak dibeli/dikurangi, Ibuku, juga masyarakat di kampungku, sangat khawatir. Karena bagi mereka tembakau adalah maha segalanya: menjadi puncak panen yang banyak memberikan penghasilan (uang) bagi mereka. Oh. Tembakau yang maha uang!

0 comments: