Versi cetak dari tulisan ini dimuat di Majalah GATRA, edisi 1 Juli 2015
Pemilihan
Umum Turki 7 Juni 2015 silam menyajikan hasil mencengangkan dan sekaligus akan
menjadi turning point bagi masa depan
demokrasi di Turki sendiri. Pasalnya, partai politik yang didukung oleh
mayoritas suku Kurdi (dan tidak pernah mendapatkan tempat di parlemen sepanjang
sejarah Republik Turki) akhirnya meraih tiket duduk di DPR dalam periode empat
tahun ke depan. Partai HDP (Halkların Demokratik Partisi/
Peoples' Democratic Party), partai berhaluan sosialisme
demokratik dan anti-kapitalis
terkuat di Turki, telah melampaui persyaratan Seçim Barajı (Parliamentary Threshold) dengan mendapatkan 13 % suara
nasioanl. Turki adalah satu-satunya negara demokrasi yang mematok Seçim Barajı dengan minimal 10% suara pemilu
nasional.
Data
terakhir hitung cepat yang dilakukan media-media lokal telah membeberkan perolehan
suara dan kursi di parlemen: AKP (Partai Pembangunan dan Keadilan) 258 kursi (40.86%),
CHP (Partai Rakyat Republik) 132 kursi (24.96%), MHP (Partai Gerakan
Nasionalis) 80 kursi (16.29%), dan HDP (13.12%) dengan 80 kursi. Perolehan suara
HDP tidak lepas dari partisipasi pemilih luar negeri yang signifikan. Selain merebut
suara mayoritas di daerah Turki timur dan tenggara, sebagai basis suku Kurdi, HDP
mengantongi suara berlimpah dari warga Turki di luar negeri. Seperti
dilaporkan, perolehan suara dari luar negeri tercatat: AKP 49.30%, HDP 21.03%,
CHP 17.02% dan MHP 9.15%. Perebutan kursi di parlemen Türkiye Büyük
Millet Meclisi yang berjumlah 550 sudah final dengan kehadiran kandidat
baru yang akan meramaikan proses demokrasi di Turki.
Sejak
awal berkiprah di ranah politik nasional, sepak terjang HDP mengundang memang decak
kagum kelompok-kelompok minortas. Sejak pemilihan presiden Turki yang dihelat
secara langsung 10 Agustus 2014 silam, Selahattin Demirtaş sebagai ketua partai dan sekaligus calon
presiden hadir di pentas politik nasional dengan penuh simpatik dan kharismatik.
Namun begitu, dia harus rela berada di posisi ketiga dengan perolehan suara 9.76%,
tertinggal jauh dari Presiden Turki Recep Tayyip Erdoğan yang meraup suara 51.79%.
Sementara tren dukungan positif yang ditunjukkan oleh pemilih dikelola dengan
sangat cerdik oleh HDP sebagai bekal menghadapi Pemilu yang sebenarnya ini.
HDP didirikan
tahun 2012 oleh kelompok sayap kiri yang bertekad menembus Seçim Barajı di
parlemen Turki, sekaligus sebagai satu-satunya corong pro-Kurdi di panggung politik,
setelah partai-partai sebelumnya seperti BDP
(Peace and Democracy Party)
atau BDP (Democratic Regions Party)
gagal menarik simpati. Partai ini dibentuk dengan kematangan ideologi dan
strategi politik yang nyaris tanpa celah. Jika ditilik ke dalam sistem internal
partai, sudah sangat jelas dipersiapkan bagaimana nilai-nilai demokrasi,
partisipasi dan kesetaraan yang menjadi jualannya tercermin sangat jelas. HDP
adalah satu-satunya parpol di Turki yang memakai sistem kepemimpinan co-presidential dengan dua ketua yang
terwakili secara gender: Demirtaş dan Figen
Yüksekdağ. Di samping itu, calon
anggota DPR yang maju dari partai ini pun sangat beragam dalam aspek latar
belakang dan kelas sosial.
Diskriminasi Minoritas
Meskipun
suara mayoritas milik AKP, kehadiran HDP di parlemen akan mewarnai proses
politik di parlemen. Kebijakan pluralis dan multikultiralis yang diusung HDP menjustifikasi
geliat kelompok-kelompok di minoritas di Turki. Sebagai parpol pro-Kurdi, yang
sekaligus dapat ditandai sebagai simbol gerakan minoritas, suara disumbang
penuh oleh Kurdi diaspora, kelompok-kelompok minoritas seperti pemeluk Yahudi,
Kristen dan LGBT ataupun kelompok left-wing
yang ingin melihat keterwakilan mereka di di parlemen Turki. Keberhasilan HDP
adalah kemenangan kelompok minoritas. Perjuangan suku Kurdi di Turki khususnya
setelah Era Republik menjadi simbol penting gerakan minortas yang tak pernah
padam.
Ahli
Kurdi terkemuka Martin van Bruinessen, antropolog dan profesor di Utrecht
University, telah menyajikan serangkaian hasil penelitian penting selama
puluhan tahun untuk melihat secara komprehensif gerakan suku Kurdi baik di
Turki, Iran ataupun Irak. Bersama intelektual lokal Turki seperti Ismail
Beşikçi dan Kemal Burkay, Bruinessen adalah ahli Kurdi terdepan yang menerabas
isu maha tabu tersebut sejak akhir 60-an. Identitas Kurdi digencet rapat selama
puluhan Tahun. Bahasa, pakaian, cerita-cerita rakyat, nama-nama dan
simbol-simbol lokal dilarang oleh pemerintah Turki (Bruinessen,1984). Dalam
perjalanan ke daerah Turki tenggara seperti Diyarbakir, Mardin dan Batman musim
panas tahun kemarin, saya bertemu dengan masyarakat Kurdi yang tidak bisa
berbahasa Turki. Meksipun daerah-daerah tersebut sudah dibangun secara pesat di
bawah pemerintahan AKP, fakta ini tidak bisa dinafikan bahwa diskriminasi
selama puluhan tahun telah menyiksa mereka.
Tidak
hanya secara kultur mereka diredam, aspirasi di ranah politik pun dijegal.
Batas Parliamentary Threshold setinggi
10% secara tersurat untuk mengekang suara-suara minoritas seperti Kurdi. Di
tengah tekanan yang bertubi-tubi, justru semangat kemerdekaan Kurdistan
semakain benderang. Tidak mendapatkan kebebasan di Turki, mereka menjadi
diaspora di Inggris dan negara-negara Eropa lainnya. Di sana energi perlawanan
terus dipupuk. Ditambah oleh kepentingan negara-negara tetangga yang tidak suka
Turki semakin kuat telah ikut andil mendukung penuh gerakan-gerakan Kurdi di
luar negeri.
Bagaimana
pun, kehadiran HDP di pentas politik akan memperkuat proses demokrasi yang
plural dan mewakili kelompok-kelompok minoritas di Turki. Partai yang berafiliasi
kuat dengan gerakan sosialis transnasional seperti Syriza di Yunani dan Podemos di Spanyol ini akan mengawal era baru politik
Turki dengan ideologi politik minoritas.
Kebangkitan left-wing?
Menariknya,
keberhasilan HDP di Turki bisa dilihat juga dalam konstelasi politik sayap kiri
transnasional yang semakin bergeliat khususnya di Eropa setelah mengalami
kemunduran ekonomi akibat resisi tahun 2010. Di Eropa, khususnya negara-negara Mediteranea,
potensi kebangkitan politk buruh, kelompok minoritas dan kaum sosialis mulai terbaca
setidaknya dalam lima tahun terakhir. Dalam dua tahun terakhir milsanya kita
menyaksikan tren positif kebangkitan partai Syriza
di Yunani. Terbukti pada Januari
2015 silam partai yang mendukung penuh massa turun ke jalan melawan penghematan pemerintah merebut 149 dari 300 kursi parlemen dan mendaulat
ketua umum partai Alexis
Tsipras menjadi PM Yunani. Tak berselang lama, pada pemilu regional akhir bulan Mei kemarin di Spanyol, muncul kebangkitan baru
politik sayap kiri Podemos.
Uniknya, ketiga
partai politik yang beroperasi di tiga negara berbeda ini mempunyai afiliasi
ideologis yang kuat. Syriza yang mulai hadir sebagai
sentral kekuatan baru dalam politik sayap kiri di Eropa menjadi barometer dan pengayom benih-benih
ideologis dari partai politik yang menyebar di beberapa negara termasuk Turki.
Bahkan Iglesias melalui akun Twitter-nya @Pablo_Iglesias_ menyampaikan ucapan selamat kepada
kompatriot idologisnya: The wind of change keeps
blowing. Congratulations, @HDPgenelmerkezi. ¡Venceremos!
Dalam empat
tahun ke depan, kita akan menyaksikan kiprah politik sayap kiri di Turki yang
sudah absen dalam 20 tahun terakhir. Di samping itu, suara-suara minoritas akan
semakin semarak mewarnai diskursus politik parlemen ataupun di ranah praktis.
Note: photos thanks to Byan and Mbak Akriz
0 comments:
Post a Comment