.....sebuah cerita
kerinduan
Di PPI Turki saya
adalah orang luar, serupa seorang eksil. Kalimat wujuduhu ka adamihi mungkin sangat tepat untuk menggambarkan
di mana posisi saya di organisasi untuk pelajar terbesar ini. Namun demikian,
saya punya cerita tentang dahsyatnya PPI Turki.
Tepat di
hari-hari kampanye calon ketua PPI Turki 2014, yang saat itu muncul dua calon
(yaitu Arya Sandhiyuda dan satunya lagi Aditya Sasongko), sekitar akhir tahun
2013—hanya beberapa bulan saya tinggal di Turki—saya membuat sebuah pernyataan “menggelikan”
bagi sebagian dan mungkin membahagiakan bagi sebagian yang lain.
“Arya, satu suara
untukmu,” tulis saya di dinding Facebook grup PPI Turki.
Sebagian teman
banyak mempertanyakan pernyataan di atas. Tak banyak neko-neko. Saya hanya
ingin memastikan sejauh mana organisasi “mahasiswa di luar negeri ini” memosisikan
diri di tengah dinamika intelektual dan diskursus kritis. Sejak awal saya tahu
identitas Arya dari mana; saya juga sudah kenyang dengan pengalaman organisasi (pengkaderan
dan perebutan massa) mahasiswa ala Indonesia. Apakah organisasi “mahasiswa di
luar negeri” ini juga ikut cawe-cawe dengan
urusan begini, atau ia mampu berdiri sebagai organisasi mini Indonesia?
Dan sekitar beberapa minggu setelah Arya terpilih jadi ketua PPI Turki, saya dihubungi oleh Arya melalui message Facebook agar bersedia terlibat dalam kepengurusannya. Tapi saya menolak dengan alasan ada banyak teman-teman lain yang butuh belajar dan terlibat dalam organisasi PPI.
Saya mungkin
hanya seorang yang sentimentil, mengingat bahwa lembaga serupa ini pernah
menjadi lokus untuk memperdebatkan kemerdekaan kita menjadi INDONESIA. Mohammad
Hatta mendirikan Indonesisch Vereniging (Perhimpoenan Indonesia), sebuah organisasi
yang menjadi cikal bakal Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia yang didirikan Raden Tumenggung Djaksodipoera
tahun 1926 di Belanda. Mereka sengit membicarakan ruh kemerdekaan demi menjadi
Indonesia dengan ribuan pulau dan bangsa-bangsa itu.
Betapa dahsyatnya
PPI Turki hari ini. Cikal-bakal pengkaderan yang dikomandoi oleh Arya, ketua PPI
yang saya pilih itu, bermula—di mana PPI Turki menjadi media perebutan massa
(yang pada akhirnya) merebahkan diri dan penuh aroma politik. Karena Arya
adalah seorang kader politik militan PKS.
Betapa dahsyatnya
PPI Turki hari ini. Ada seorang teman seangkatan saya (sama-sama mendapatkan
beasiswa YTB) bernama Fauzi Ahmad, salah satu didikan terbaik Arya dan teman-temannya.
Menurut statuta dan skema beasiswa YTB, angkatan saya yang studi master hanya berdurasi
3 tahun (1 tahun belajar bahasa Turki dan 2 tahun studi formal). Tetapi Fauzi
berani mencalonkan diri sebagai ketua PPI Turki dengan masa jabatan 1 tahun ke
depan. Dan kasus ini membuat saya terperangah. Betapa dahsyatnya PPI Turki hari
ini. Karena yang saya tahu penerima beasiswa Turki atau pelajar di Turki tujuan
pertama adalah belajar (menyelesaikan studi) sebaik mungkin. Tetapi, Saudara
Fauzi mempunyai semangat berbeda. Betapa dahsyatnya PPI Turki hari ini!
Misalnya, kalau Saudara
Fauzi beasiswanya diputus oleh YTB (karena sudah lewat masa studi), berarti dia
harus menanggung sendiri semua biaya baik di kampus ataupun living cost. Dalam konteks ini, saya
sungguh salut, betapa hebatnya pengabdian Fauzi kepada PPI Turki (jika nanti terpilih).
Atau dia sudah ditugaskan secara khusus oleh majelis internal kelompoknya?
Allah bilir…
Di samping
Saudara Fauzi, dua calon yang lain adalah Herry Cahyadi dan Azwir Nazar. Dua calon
ini masih punya waktu panjang untuk studi di Turki.
Herry datang
jauh-jauh dari Istanbul ke Konya untuk kampanye. Sebuah usaha yang luar biasa. Tetapi
sayangnya, yang katanya sok sibuk, Herry datang ke Konya dari İstanbul tanpa sempat
ziarah ke makam Rumi. Sebuah pengalaman yang istimewa dan unik di telinga saya.
Ini menjadi pengalaman pertama yang saya dengar dari seorang pelajar Indonesia dan
muslim. Saya tidak tahu apa alasannya. Apakah kebesaran nama dan kealiman seorang
Rumi dan ayahnya—yang dijuluki sebagai sulthanul
ulama dan sekaligus menjadi qadi kesultanan
Saljuk Anatolia—itu tidak cukup mengetuk hati para generasi muda Muslim seperti
kita hari ini?
Untuk Azwir,
mohon maaf kita belum berjodoh jumpa di Konya….