(Nak, temukan tulisan ini saat kamu sudah bisa mencerna bacaan, pahami babahmu dari selaksa tulisan ini. Niscaya kamu akan paham lubang-lubang kecil di balik dada babahmu).
Betul bahwa "hayatımın en mutlu anıymış, bilmiyordum" (Aku tidak mengerti kapan kenangan paling bahagia hidupku, meminjam kalimat pembuka novel Orhan Pamuk, Museum Kepolosan), tetapi hari ini, tepatnya pagi ini, saya menjumpai kebahagian itu menemui saya begitu polos, lewat mata dan mulut seorang bocah bernama Eftalya Ruhum, di usianya yang ke 2 tahun 7 bulan.
“Ibu guru, Ef datang…” suara anakku terdengar tergesa-gesa, antara diteriakkan atau bercakap begitu saja tepat ketika saya mengangkatnya dari motor, menaruhnya di pintu gerbang halaman sekolah. Dari pintu sekolah Penitipan Anak (TPA), daycare, muncul seorang guru. Saya bergemim, sepertinya Ef ingin menyapa gurunya bahwa dia sudah datang. [Ef sudah sekitar 5 kali diantar ke sekolah ini. Sebelum hari ini, saya pernah mengantarnya sendiri, tapi saya bawa balik lagi dan memanggil ibunya biar dia yang naruh ke sekolah itu. Saya belum bisa. Itu saja!]
Tapi pagi itu, semua begitu mudah!
Saya tercekat
begitu hebat. Kikuk dan tidak bisa berkata banyak, selain memanggilnya sekali lagi,
dan melambaikan tangan da-da-da-da. Air mata seorang ayah tiba-tiba merembes di
sepanjang jalan saya kembali tergesa-gesa ke rumah untuk mengampu kuliah.
Ini peristiwa
intrik kebudayaan yang luar biasa dalam diri saya. Sebagai orang yang relatif
konservatif dalam soal mendidik anak dan keluarga—misalkan, anak kecil sebelum
usia sekolah PAUD (4 tahunan) harus bersama dengan orang-orang terkasih di
rumah, dan khususnya bertumbuh dalam didikan dan kebersamaan keluarga). Namun, zaman
terus berkembang. Modernisme dan segala anak cucunya lahir tumpah ruah mengubah
pola pikir, pendekatan dan cara hidup manusia. Working family menjadi satu
di antara produk-produknya yang paling ganas menantang.
Ef sudah
direncanakan untuk dititipkan di usianya yang masih 8 bulan. Saya gamang, tapi
istri saya menguatkannya. Saya tidak bisa mengiyakan. Saya masih mencari cara
lain yang memungkinkan bahwa anak saya ada di rumah, bersama keluarga. Dan alhamdulilah,
neneknya bisa menemaninya meski tidak selalu datang ke Jogja, tetapi beliau
bisa datang jika kami mau. Lagi-lagi, istri saya yang menguatkan agar mama
pulang kampung dan kami tangani sendiri anak pertama ini.
Di usia 8
bulan itu, saya pernah mengantar Ef ke salah satu penitipan. Usia segitu Ef
hanya bisa melafalkan kosa kata “nenen, babah, mama” dan sedikit lainnya. Saya
ingat pagi itu harus segera ke kampus ada pekerjaan wajib. Saya menitipkannya
dalam kondisi tidur sekitar pukul 07:00 WIB. Ketika saya tidurkan di kasur,
matanya terbuka dan memanggil nama saya. Saya nyaris tidak bisa bergerak dan
ingin berada di sisinya untuk menemaninya. Tapi saya harus melangkah, dan sisa
tangis di belakang saya seperti diksi yang berkeliaran sepanjang saya di
perjalanan menuju kampus.
Mungkin saya
teramat sentimentil? Betul sekali.
Mungkin juga
tidak semua ayah begitu? Saya tidak tahu. Saya hanya ingin belajar menjadi ayah
secara baik, dan saya mulai itu sejak istri hamil dan melahirkan. Selain karena
saya ditingggal ayah di usia sebelum bersekolah SD, kesadaran saya menjadi ayah
adalah tanggung jawab bahwa saya dan istri sudah dititipi tanggung jawab oleh Allah
berupa seorang anak. Dan doa saya hanya satu: semoga anak-anak saya bermanfaat
bagi semua, dan tidak membuat kerusakan!
[Kepada
bumi, yang kamu pinjam dari anak cucumu, jagalah; kepada kekayaan, yang dititipkan
kepadamu, jagalah dan amanahlah; kepada agama, yang menjadi basis kesadaran bagi
tindakan kehidupanmu, mengabdilah; kepada masyarakat, yang telah membesarkanmu
menjadi manusia, berbaktilah; kepada keluargamu, yang telah membersamaimu
hingga besar kelak, hargailah…]
Awal tahun 2019,
saat pandemi mulai digubris di Indonesia, mama kami minta kembali ke kampung
dan Ef sepenuhnya bersama saya. Karena istri hanya libur sekitar tak sampai 2
bulan setelah itu harus datang dengan sistem piket, lalu masuk setengah hari. Terhitung
sejak Mei 2019 sampai akhir tahun, saya benar-benar sehari-hari bersama Ef;
melihatnya berkembang, belajar berjalan langkah demi Langkah, belajar bicara kata
demi kata hingga akhirnya fasih. Di usia ke-16 bulan, Ef sudah tidak memakai popok
karena latihan toilet alhamdulilah berhasil. Saya bersyukur, setidaknya saya
memperlambat sirkulasi sampah!
Sepanjang tahun
2019 adalah masa-masa paling intens saya bermain dengan Ef, mempelajari setiap
inci perubahan dan perkembangannya. Dari sini saya belajar keajaiban demi
keajaiban, kehebatan demi kehabatan, dan anugerah demi anugerah tentang bocah
kecil. Darinya, sisi-sisi yang tak tertulis dalam rumus dan teori saya nikmati
dengan setulus dan sepolos hati.
Satu sisi, pandemi
memberikan hikmah bagi saya untuk mengerti arti rumah, makna kebersamaan bersama
Ef dan istri, dan pandangan-dunia tentang unit sosial terkecil beranama keluarga.
Tahun 2020,
mama kembali menemani Ef secara lebih intens, dan sekaligus beliau semakin
keberatan jika Ef dititipkan sebelum usia 2 tahun. Akhirnya, meski tidak saya
sampaikan ke istri, saya sangat lega karena Ef akan tumbuh bersama kami di
rumah. Tahun pandemi 2020 membuat hidup saya tetap lebih banyak di rumah,
mengisi kuliah dan sebagainya, sementara istri tetap pergi ke kantor untuk
tugas setengah hari.
Setelah libur
musim kemarau menjelang selesai tahun 2021, kami kembali membicarakan rencana
sekolah Ef. Kali ini saya lebih lega karena Ef sudah cukup paham dan secara
usia sudah makin gede, meski sebenarnya saya tetap tidak selugas ibunya untuk menitipkannya
ke sekolah. Rentang Agustus-September 2021, saya sering mengantarkan Ef ke
ibunya, lalu bersama ibunya, Ef diantar ke sekolah. Karena, sekali lagi, saya
tidak cukup kuat melihat Ef meminta pulang, mengajak main, jalan-jalan dan memancing
dan sebagainya.
Akhirnya,
hari ini, setelah dilatih pelan-pelan agar mulai bersekolah (Ef sudah coba
bersekolah di lima TPA!), Ef tampak menyukainya, menceritakan teman-temannya di
sekolah.
Dan ketika kalimat itu, “Ibu guru, Ef datang…”, keluar dari mulutnya, saya sangat senang.
Tobratan, 15 September 2021