Wednesday, September 15, 2021

Cerita untuk Eftalya Ruhum

(Nak, temukan tulisan ini saat kamu sudah bisa mencerna bacaan, pahami babahmu dari selaksa tulisan ini. Niscaya kamu akan paham lubang-lubang kecil di balik dada babahmu).

Betul bahwa "hayatımın en mutlu anıymışbilmiyordum" (Aku tidak mengerti kapan kenangan paling bahagia hidupku, meminjam kalimat pembuka novel Orhan Pamuk, Museum Kepolosan), tetapi hari ini, tepatnya pagi ini, saya menjumpai kebahagian itu menemui saya begitu polos, lewat mata dan mulut seorang bocah bernama Eftalya Ruhum, di usianya yang ke 2 tahun 7 bulan.

“Ibu guru, Ef datang…” suara anakku terdengar tergesa-gesa, antara diteriakkan atau bercakap begitu saja tepat ketika saya mengangkatnya dari motor, menaruhnya di pintu gerbang halaman sekolah. Dari pintu sekolah Penitipan Anak (TPA), daycare, muncul seorang guru. Saya bergemim, sepertinya Ef ingin menyapa gurunya bahwa dia sudah datang. [Ef sudah sekitar 5 kali diantar ke sekolah ini. Sebelum hari ini, saya pernah mengantarnya sendiri, tapi saya bawa balik lagi dan memanggil ibunya biar dia yang naruh ke sekolah itu. Saya belum bisa. Itu saja!]

Tapi pagi itu, semua begitu mudah!

Saya tercekat begitu hebat. Kikuk dan tidak bisa berkata banyak, selain memanggilnya sekali lagi, dan melambaikan tangan da-da-da-da. Air mata seorang ayah tiba-tiba merembes di sepanjang jalan saya kembali tergesa-gesa ke rumah untuk mengampu kuliah.

Ini peristiwa intrik kebudayaan yang luar biasa dalam diri saya. Sebagai orang yang relatif konservatif dalam soal mendidik anak dan keluarga—misalkan, anak kecil sebelum usia sekolah PAUD (4 tahunan) harus bersama dengan orang-orang terkasih di rumah, dan khususnya bertumbuh dalam didikan dan kebersamaan keluarga). Namun, zaman terus berkembang. Modernisme dan segala anak cucunya lahir tumpah ruah mengubah pola pikir, pendekatan dan cara hidup manusia. Working family menjadi satu di antara produk-produknya yang paling ganas menantang.

Saya dan istri sama-sama bekerja di luar rumah, menjadi working family (tapi pandemi menyelamatkan saya dari katakutan demi ketakutan, nanti saya punya bahasan khusus soal ini). Jam kerja istri lebih ketat. Saya membebaskannya tentu saja, asalkan tanggung jawab berkeluarga sama-sama dihidmati. Dalam situasi begitu, ketika sama-sama siap merencanakan untuk punya anak, tak ada cara lain selain menitipkan anak saya ke day care. Tapi saya orang yang paling susah memasrahkan anak kepada orang lain, begitu saja.

Ef sudah direncanakan untuk dititipkan di usianya yang masih 8 bulan. Saya gamang, tapi istri saya menguatkannya. Saya tidak bisa mengiyakan. Saya masih mencari cara lain yang memungkinkan bahwa anak saya ada di rumah, bersama keluarga. Dan alhamdulilah, neneknya bisa menemaninya meski tidak selalu datang ke Jogja, tetapi beliau bisa datang jika kami mau. Lagi-lagi, istri saya yang menguatkan agar mama pulang kampung dan kami tangani sendiri anak pertama ini.

Di usia 8 bulan itu, saya pernah mengantar Ef ke salah satu penitipan. Usia segitu Ef hanya bisa melafalkan kosa kata “nenen, babah, mama” dan sedikit lainnya. Saya ingat pagi itu harus segera ke kampus ada pekerjaan wajib. Saya menitipkannya dalam kondisi tidur sekitar pukul 07:00 WIB. Ketika saya tidurkan di kasur, matanya terbuka dan memanggil nama saya. Saya nyaris tidak bisa bergerak dan ingin berada di sisinya untuk menemaninya. Tapi saya harus melangkah, dan sisa tangis di belakang saya seperti diksi yang berkeliaran sepanjang saya di perjalanan menuju kampus.

Mungkin saya teramat sentimentil? Betul sekali.

Mungkin juga tidak semua ayah begitu? Saya tidak tahu. Saya hanya ingin belajar menjadi ayah secara baik, dan saya mulai itu sejak istri hamil dan melahirkan. Selain karena saya ditingggal ayah di usia sebelum bersekolah SD, kesadaran saya menjadi ayah adalah tanggung jawab bahwa saya dan istri sudah dititipi tanggung jawab oleh Allah berupa seorang anak. Dan doa saya hanya satu: semoga anak-anak saya bermanfaat bagi semua, dan tidak membuat kerusakan!

[Kepada bumi, yang kamu pinjam dari anak cucumu, jagalah; kepada kekayaan, yang dititipkan kepadamu, jagalah dan amanahlah; kepada agama, yang menjadi basis kesadaran bagi tindakan kehidupanmu, mengabdilah; kepada masyarakat, yang telah membesarkanmu menjadi manusia, berbaktilah; kepada keluargamu, yang telah membersamaimu hingga besar kelak, hargailah…]

Awal tahun 2019, saat pandemi mulai digubris di Indonesia, mama kami minta kembali ke kampung dan Ef sepenuhnya bersama saya. Karena istri hanya libur sekitar tak sampai 2 bulan setelah itu harus datang dengan sistem piket, lalu masuk setengah hari. Terhitung sejak Mei 2019 sampai akhir tahun, saya benar-benar sehari-hari bersama Ef; melihatnya berkembang, belajar berjalan langkah demi Langkah, belajar bicara kata demi kata hingga akhirnya fasih. Di usia ke-16 bulan, Ef sudah tidak memakai popok karena latihan toilet alhamdulilah berhasil. Saya bersyukur, setidaknya saya memperlambat sirkulasi sampah!

Sepanjang tahun 2019 adalah masa-masa paling intens saya bermain dengan Ef, mempelajari setiap inci perubahan dan perkembangannya. Dari sini saya belajar keajaiban demi keajaiban, kehebatan demi kehabatan, dan anugerah demi anugerah tentang bocah kecil. Darinya, sisi-sisi yang tak tertulis dalam rumus dan teori saya nikmati dengan setulus dan sepolos hati.

Satu sisi, pandemi memberikan hikmah bagi saya untuk mengerti arti rumah, makna kebersamaan bersama Ef dan istri, dan pandangan-dunia tentang unit sosial terkecil beranama keluarga.

Tahun 2020, mama kembali menemani Ef secara lebih intens, dan sekaligus beliau semakin keberatan jika Ef dititipkan sebelum usia 2 tahun. Akhirnya, meski tidak saya sampaikan ke istri, saya sangat lega karena Ef akan tumbuh bersama kami di rumah. Tahun pandemi 2020 membuat hidup saya tetap lebih banyak di rumah, mengisi kuliah dan sebagainya, sementara istri tetap pergi ke kantor untuk tugas setengah hari.

Setelah libur musim kemarau menjelang selesai tahun 2021, kami kembali membicarakan rencana sekolah Ef. Kali ini saya lebih lega karena Ef sudah cukup paham dan secara usia sudah makin gede, meski sebenarnya saya tetap tidak selugas ibunya untuk menitipkannya ke sekolah. Rentang Agustus-September 2021, saya sering mengantarkan Ef ke ibunya, lalu bersama ibunya, Ef diantar ke sekolah. Karena, sekali lagi, saya tidak cukup kuat melihat Ef meminta pulang, mengajak main, jalan-jalan dan memancing dan sebagainya.

Akhirnya, hari ini, setelah dilatih pelan-pelan agar mulai bersekolah (Ef sudah coba bersekolah di lima TPA!), Ef tampak menyukainya, menceritakan teman-temannya di sekolah.

Dan ketika kalimat itu, “Ibu guru, Ef datang…”, keluar dari mulutnya, saya sangat senang.

Tobratan, 15 September 2021

0 comments: