Wednesday, April 03, 2024

Menilik Kembali Kurikulum Merdeka

Setelah momentum pemilu 2024 selesai, dunia pendidikan kembali ramai terkait dengan Kurikulum Merdeka. Pasalnya, beredarnya uji publik Permendikbudristek untuk Kurikulum Merdeka sebagai cara menjaring aspirasi para pemangku kepentingan pendidikan membuat publik bertanya-tanya kenapa baru sekarang ada uji publik (?). Meskipun sudah dijelaskan oleh Kepala Badan Standar Kurikulum dan Asesmen Pendidikan (BSKAP), Kemdikbudristek Anindito Aditomo pada Jumat (16/02/2024) sebagai proses penyempurnaan, munculnya berita uji publik telah membetot perhatian dunia pendidikan. Selain itu, ramainya berita Kurikulm Merdeka yang telah menjadi nama Kurikulum Nasional juga memancing perdebatan masif di dunia maya.


Saya termasuk di antara mereka yang melirik kembali untuk Kurikulum Merdeka yang digagas oleh Kemdikbudristek, termasuk MBKM (Merdeka Belajar: Kampus Merdeka). Cara yang saya lakukan adalah mengobservasi satuan kerja di mana saya bekerja menjadi dosen, yaitu di bawah Kemenenterian Agama. Karena faktor infrastruktur dan suprastruktur yang berbeda di bawah Kemenag, kampus sempat tergopoh-gopoh untuk mengimplemenasikan program MBKM. Tetapi, kami tetap coba melaksanakan beberapa program yang sudah dicanangkan. Dari dua semester 2023, catatan-catatan penting tentang kesiapan infrastruktur,
blue print yang jelas, pengawasan yang profesional dan kerja sama yang menyeluruh dengan semua elemen yang terlibat menjadi benang kusut yang harus diurai secara taktis dan kritis. 

Menuju “Merdeka”

Dalam diskursus Kurikulum Merdeka, saya mencermati nilai-nilai esensial yang sebenarnya menjanjikan, yaitu kesadaran dunia pendidikan pada hal-hal kontekstual yang memberikan ruang kepada peserta didik untuk terlibat (dalam praktik bekerja) dan secara organik mampu beradaptasi dengan problem secara situsional, memikirkan solusi secara kontekstual sekaligus. Pada aspek ini, saya teringat cita-cita pendidikan kritis dari Paulo Freire hingga Henry Giroux dan konsep self-directed education oleh Ivan Illich dalam Deschooling Society (1971).

Sebagai generasi anyar pemikir pendidikan kritis Kanada-Amerka, Giroux, memberikan penekanan khusus ketika menghadirkan kembali Paulo Freire. Artikel berujudul Rethinking Education as the Practice of Freedom:  Paulo Freire and the promise of critical pedagogy (2010) menawarkan cara pandang menarik tentang praktik pendidikan kebebasan (lebih tepatnya, pendidikan yang membebaskan) ketika coba menelaah Freire tentang critical pedagogy yang sudah dikembangkannya di Brazil dekade 80-an.

Meskipun spirit utama kebebasan dalam konteks Freire adalah untuk memanusiakan manusia, praktik kebebasan di sini perlu ditarik ke dalam aspek yang lebih luas untuk mewedarkan suatu proyeksi dan catatan kritis pada Kurikulum Merdeka di Indonesia. Artinya, selain hal-hal praktis yang cenderung direduksi melulu untuk kepentingan “kesiapan kerja” dan penyokong pasar kapitalisme, aspek diskursif tentang ruang bebas di sini penting ditengok lebih dalam sebagai satu kesatuan yang harus sama-sama berhasil. Harus saya tegaskan di awal bahwa spirit pendidikan kritis ala Freire dan Giroux memang tidak bisa disandingkan langsung dengan desain Kurikulum Merdeka yang dipraktikkan di Indonesia melalui keputusan Kemdikbudristek No. 56 Tahun 2022 dan aturan-aturan turunan lainnya yang menyokong penyempurnaan kurikulum ini.

Namun secara esensial, Kurikulum Merdeka mengandung keduanya. Satu sisi ia diplot untuk kepentingan bursa pasar dengan menekankan kesiapan terkait kemampuan teknis dalam dunia kerja, tapi di sisi lain, aspek kemerdekaan belajar dibuka secara lebar sekaligus, terutama dalam praktik MBKM di tataran Perguruan Tinggi. Dus, kita yang terjebak melulu pada aspek pertama akan berang-meradang dan menuduh kurikulum ini adalah perpanjangan kapitalisme dan sengkurat neoliberal dalam dunia pendidikan. Betul, saya juga mengakui bahwa sistem pendidikan kita berada dalam gurita demikian secara sistemik. Tapi, kita tidak bisa menyalahkan hanya pada sistem dan dunia pendidikan karena sejatinya sistem dan struktur sosial kita memang disetir dan sekaligus diringkus oleh kapitalisme, yang kemudian, tidak boleh tidak, merasuki dunia pendidikan. Tetapi, memahami dan memraktikkan Kurikulum Merdeka melulu pada aspek demikian juga dapat dilihat sebagai kecerobohan.

Membangun Diskursif-Epistemik

Saya tertarik berpolemik misalkan dengan pengajuan pernyataan bahwa ruang kebebasan untuk mengembangkan skill dan kemampuan diri sendiri, ditunjang oleh fleksibilitas ruang dan waktu, dan memperhatikan kesadaran kontekstual harus dilihat sebagai proses awal terbentuknya epistemic-diskursif yang sangat memungkinkan lahirnya kesadaran kolektif di tengah masyarakat.

Praktik kerja di sini harus dimaknai sebagai praksis-aplikatif dari pendalaman teori yang dipelajari di ruang kelas. Dalam pendidikan kita ada kecenderungan jarak antara teori dan praktik, sehingga Kurikulum Merdeka yang memberi ruang pada aspek praktik (seperi magang) dianggap memperlemah pemahaman teori. Anggapa seperti ini semestinya harus diubah dengan postulat bahwa teori pada dasarnya lahir dan dilahirkan kembali karena interaksi intensif antara dunia akademik dan praktik di masyarakat dalam semua aspeknya.

Pada konteks ini, sangat dibutuhkan desain khusus yang mengarah pada pembentukan suprastruktur dan infrastrktur kesadaran yang harus ditanamkan secara prinsipil bahwa nilai pendidikan pada dasarnya adalah untuk membangun kesadaran kemanusiaan yang ditopang oleh aspek teoritis dan praksis sekaligus. Skema demikian perlu upaya sistemik, setidaknya di internal dunia pendidikan sendiri, yang pada gilirannya dapat dikemas sebagai bagian dari infiltrasi yang mengedepankan kebebasan mengalami, bereksperimen dan sekaligus berkarya.

Kurikulum Merdeka menekankan fleksibilitas dengan memberikan ruang dan wahana lebih besar kepada lembaga pendidikan (sekolah maupun kampus) untuk menyesuaikan kurikulum dengan kebutuhan dan konteks lokal. Poin penting di sini adalah tentang kemampuan lembaga pendidikan untuk lebih efektif mencanangkan perubahan dan memenuhi kebutuhan peserta didik secara lebih spesifik.

Selain itu, aspek kontekstual pada dasarnya membuka ruang pada kesadaran “di mana bumi dipijak di sana langit dijunjung” dengan memperhatikan kekhasan daerah, budaya, dan lingkungan sosial. Dalam konteks ini, Kurikulum Merdeka dapat membantu meningkatkan relevansi pembelajaran dan keterlibatan siswa dalam proses pendidikan. Apa yang disebutkan Illich sebagai skills exchange sangat mungkin terjadi dalam proses pembentukan program dengan kesadaran kontekstual di mana peserta didik sangat mungkin secara langsung terlibat dengan para ahli dan sekaligus berpengalaman bekerja secara praktis dengan mereka.

Aspek peer-matching dari Illich juga sangat terbuka dalam Kurikulum Merdeka, teruatama di tingkat Perguruan Tinggi, di mana ruang network (jaringan) dan collaboration (kerjasama) menjadi media dalam proses pembelajaran dalam konteks sejawat. Sejawat di sini bisa diartikan sebagai similar learners (antara peserta didik yang setara) maupun program dan inovasi yang setopik dan berada dalam satu rangkai dan segmen yang sama sehingga ruang terjadinya transfer ilmu dan pengalaman sangat mungkin mengalir deras karena adanya kesetaraan tadi—bukan berasal dari botol kosong.

Saya dapat menekankan bahwa aspek esensial yang beroperasi dalam konteks diskursif tentang “merdeka belajar” harus dirumuskan dengan kesadaran kontekstual. Dengan begitu, keberpihakan dunia pendidikan secara kontekstual dapat mengurai problem-problem yang terjadi dan dialami dalam orientasi geografis-spasial di negara besar seperti Indonesia. Akhirnya, ketika aspek epistemik-diskursif ini dibangun secara tekun dan terukur, implementasi pada ranah praktik menjadi lebih fleksibel dan terukur dengan asumsi bahwa kesadaran esensial sudah terbentuk.

(Versi cetak dimuat di Lampung Post, 04 April 2024)

0 comments: