Versi cetak tulisan ini dimuat Lampung Post, Minggu, 4 Februari 2007
DISKURSUS
seputar kritik dan apresiasi karya sastra tak akan ada habisnya selama
pencarian kreativitas-imajinatif masih, meminjam istilah Arif B. Prasetyo,
konsisten dengan pencarian pembaruan (concern with newness). Dalam perjalanan
khazanah kesusastraan, dinamika karya sastra dan kritiknya adalah sebuah
keniscayaan. Keduanya seperti dua mata uang yang saling membentuk (atau menciptakan) dan
"merekonstruksi" sebuah kekuatan yang terkandung sebagai kekayaan
atas keduanya.
Dalam pandangan penulis, kritikus sastra di Tanah Air tak ubahnya seperti seorang hamba yang "terjebak metodologi". Dominasi metodelogi dalam kritik sastra dengan segenap perangkatnya selalu menciptakan determinasi bahkan reduksi besar-besaran terhadap karya sastra. Karya sastra seolah mempunyai satu ruang interpretasi ketika metodologi--yang selama ini menjadi "proyek" akademik--menjadi suatu penentu dasar dan pakem yang paten.Menarik kita mengetahui wawancara Jorge Luis Borges di salah satu majalah sastra Prancis, Le Magazine Litteraire bulan Juni 1977. Waktu itu Borges sama sekali tidak bisa melihat.
Pada titik inilah keduanya menjadi suatu hal yang perlu dioptimalkan peran sekaligus peranannya. Keduanya harus dicari titik relevansi pencerahannya yang pada gilirannya melahirkan dinamika harmonis-mutualistik, keduanya saling mewarnai dan menjadi kesatuan yang padu. Bahkan, bagi sebagian kritikus sastra, kritik sastra yang baik harus seperti karya sastra itu sendiri. Artinya, kritik sastra yang baik harus juga bisa menjadi sebuah karya yang netral seperti halnya karya sastra tersebut.
Posisi karya sastra yang otonom dan merdeka sebagai sebuah teks untuk segala zaman tidak mendapatkan ruang apresiasi yang semestinya. Bahkan ironisnya, kritik sastra yang (dianggap) baik dan bertuah oleh banyak kalangan adalah kritik sastra yang selalu merujuk pada tataran historisasi, periodisasi, genreisasi sastra gaya akademik yang kental dengan perangkat metodologi an sich. Ketekunan H.B. Jassin mengamati khazanah kesusastraan kita benar-benar menjadi "paus" bahkan raja yang harus diamini. Satu sisi, Jassin menjadi kebanggaan kita karena berhasil membaca karya sastra dengan tekun dan serius. Namun, di sisi lain hasil Jassin benar-benar menjadi patokan baku dan mereduksi pembacaan kritis terhadap karya sastra generasi selanjutnya.
Pembacaan karya sastra seakan cukup dengan periodesasi, genre, unsur-unsur "mentah" lain. Usaha menelanjanginya hingga tulang putihnya, meminjam istilah Chairil Anwar, belum bernyali.
Hasil pekerjaan Jassin yang telah mengklasifikasi karya sastra dan sastrawannya dalam periode, aliran, dan jenis-jenis, disadari atau tidak, memengaruhi dan mereduksi daya interpretasi intelektualitas kita terhadap karya sastra.
Anehnya, kegandrungan kritikus kita masih terpaku dalam hal ini. Kritikus sastra kita seperti terjangkit sindrom metode tentang periodisasi dan unsur-unsur sempit karya sastra itu sendiri. Tak aneh jika kemudian ada suara minor bahwa perkembangan kritik sastra kita sama sekali tidak mempunyai arah yang mencerahkan sebagai jembatan transformatif mendialogkan karya sastra dengan masyarakat luas.
Borges ditanya, kenapa tidak suka dengan teori sastra akademik (literary schools). Jawaban Borges adalah the literary schools are made for the historians of the literature, i.e. for the opposite of the men of letters (sastra akademik dibuat untuk sejarawan sastra, berseberangan dengan sastrawan sendiri). Borges justru mengagumi khazanah sastra Persia, Irak, dan Arab klasik yang tidak mempunyai sejarah kesusastraan. Dia percaya karya sastra yang baik adalah eternal (abadi) dan tak lekang oleh waktu seperti ketika membaca karya puisi Hafiz ataupun karya sastrawan Persia yang lain seperti Rumi.
Karya-karya mereka, meminjam istilah Borges, beyond the dates, of the schools. Karena pembacaan terhadap karya sastra tanpa memedulikan kapan lahir (karya klasik maupun up to date), genre, dan semacamnya akan melahirkan nuansa yang lebih enjoy (enjoy it perhaps better). Hal senada sempat dilontarkan Sutardji Calzoum Bachri ketika menanggapi "surat sastra dari Jogja"-nya Joko Pinurbo yang menggugat larik puisinya yang salah cetak oleh redaktur dan dimuat rubrik puisi Bentara Harian Kompas tahun 2004. Sutardji dengan tenang mengatakan bahwa karya sastra yang baik adalah karya yang tidak lekang meski dipermak dengan cara apa pun. Baginya, karya sastra yang baik seperti batu karang, meskipun dihantam berkali-kali keganasan gelombang, batu karang tetaplah batu karang!
Mencari Kritikus yang Lain
Mencari kritikus sastra yang lain di atas adalah sebuah ironi bagi perjalanan kritik sastra Tanah Air. Yang dibutuhkan sekarang, sebagai sugesti sastra, bagaimana kritikus mampu membaca "sisi lain" sebuah karya sastra. Majalah sastra dan koran-koran yang memuat esai dan kritik sastra semestinya sudah evaluasi diri. Majalah sastra Horison, sebagai representasi majalah sastra Indonesia, seharusnya menyajikan esai yang cerdas, tidak mengulang-ulang kajian yang sebelumnya sudah pernah disentuh.
Esai Maman S. Mahayana di Horison beberapa waktu lalu (saya lupa tanggal terbitnya) tentang pembacaannya terhadap Rendra tak ubahnya seperti mengulang romantisme sejarah. Rendra yang lekat dengan nuansa balada, puisi pamflet, dan kritik sosialnya yang pedas dalam karya-karyanya dalam esai itu kembali diungkit.
Apa yang dapat diambil pembaca? Sama sekali pertanyaan itu tidak butuh jawaban karena semuanya telah jelas. Kenapa sisi lain Rendra, seperti dimensi religiositasnya dalam sepak terjang karya-karyanya tidak pernah disentil secara khusus?
Jadi, pencarian pembaruan (concern with newness) bukan hanya bagi sastrawan, tapi juga kritikus, menjadi elan vital terciptanya tradisi kritik yang menohok dan cerdas. Sekarang kita butuh kritikus yang otonom dan bahkan--dalam tahap tertentu--harus "individualis". Hal ini sah saja mengingat karya sastra itu sendiri ambivalen dan personal.
Sebenarnya, kalau mau disadari, munculnya motode kritik yang telah legal-formal bagi kaum akademisi itu pada mulanya ialah "eksprimentasi personal" dan semacam kegelisahan seseorang terhadap suatu hal (karya sastra).
Namun, perlu disadari bahwa penerapan pembacaan semacam ini tentu menuntut beberapa prangkat pisau analisis yang perlu ditajamkan dan kreativitas kritikus terhadap karya sastra. Ketika kesadaran semacam ini telah tersentuh, hal yang niscaya jika dunia kesusastraan dan kritiknya akan lebih dewasa di tahun berikutnya.
Dunia kesusastran kita kan lebih cerah menatap masa depannya. Selamat tahun baru sastra Tanah Air!
0 comments:
Post a Comment