Esai S.Yoga digunting dari Suara Karya edisi 7 April 2007
From Suara Karya |
Dari penyair-penyair muda ini yang kualitasnya cukup terjaga adalah M Faizi, M Fauzi, Moh Hamzah Arza dan Ali Ibu Anwar.
Rupanya karya sastra atau puisi tidak cukup berdasarkan ketrampilan berbahasa saja. Hal ini sudah lama diutarakan Subagio Sastrowardoyo ketika mengomentari antologi puisi Abdul Hadi WM, ketika awal kepenyairannya, Laut Belum Pasang, yang secara umum puisi-puisinya berbentuk sketsa atau berhaiku dengan ketrampilan berbahasa yang sudah tidak diragukan lagi.
Subagio sebelum meninggal juga pernah mengutarakan dalam Festival Seni Surabaya, bahwa kepenyairan haruslah mendapatkan Wahyu Cakraningrat, yang mana wahyu itu adalah tradisi, ia mengatakan bahwa sebagai penyair hasruslah belajar banyak terhadap tradisi. Bahkan WS Rendra pun mengakui bahwa puisi-puisinya hanyalah meneruskan tradisi, mempertimbangkan tradisi. Dan tradisi ini bisa banyak macamnya, ada sastra lisan, pantun dan macapat misalnya, juga kebudayaan, pesantren, pesisir, argaris dan alam pikir masyarakatnya. Akan lebih jelasnya baca Bakat Alam dan Intelektualisme, karya Subagio Sastrowardoyo.
Hal ini berbeda dengan puisi-puisi lima penyair Jawa Timur dalam Cakrawala Sastra Indonesia, yang “didakwa” sebagai puisi gelap oleh Abdul Hadi WM, di mana apokalipsa yang mereka gaungkan belum dapat memberikan kearifan, sehingga ia merasa tidak mampu menyelami puisi-puisi mereka, bahkan ketika membicarakan puisinya W Haryanto, ia tidak mau masuk, takut tersesat karena benar-benar gelap menurutnya.
Sedang yang masih setia
tinggal di kampung halamanya selain D Zamawi Imron, yang terus berbaur dengan
msyarakat dan keromantisan desa pesisir, ada Syaf Anton dan Hidayat Raharja.
Yang lain meski tinggal di Jakarta tapi masih terikat dengan kampung dan adat,
bila sewaktu-waktu ada acara keluarga maka mereka berdatangan ke kampung
halamannya, sehingga karya-karya merekapun masih ketara nafas Maduranya, karena
ikatan batin itu susah untuk dihilangkan.
Kita lihat karya-karya
Abdul Hadi WM dengan nafas kesufiannya, Jamal D Rahman dengan kesunyian dan
kesufian yang lebih muram meski dengan nafas baru dan Amhad Nurulah yang
gelisah akan tradisi dan kenangan lampau yang akan tergilas modernisme. D
Zamawi Imron masih setia dengan roh keagamaan yang dipadu dengan keromantisan
pedesaan dan pesisiran, seperti puisi Ibu yang terkenal itu.
Dewasa ini di Madura
bermunculan penyair muda, sehingga majalah sastra Horison pun, yang di pimpin
oleh Jamal D Rahman, sampai memberikan edisi khusus kepada penyair-penyair muda
Madura, baik yang masih tinggal di Madura atau merantau ke kota besar. Ada juga
penyair muda lain yang cukup aktif menulis di media masa.
Penyair-penyair muda di
Madura saat ini nampaknya memandang kemaduraan mereka dengan lebih rileks dan
tak terbebani identitas lokal yang artifisial. Sebut saja nama-nama M Faizi, M
Fauzi, R Timur Budi Raja, Muchlis Zya Aufa, Moh Hamzah Arza, Bernando J
Sujibto, Hamidin, Mahwi Air Tawar, Sofyan RH Zaid, Ali Ibnu Anwar, M Zamiel
El-Muttaqien, Ahmad Muchlish Amrin, Edu Badrus Shaaleh, Ibu Hajar (pengasuh
rubrik Sastra Udara di Radio Nada). Abdul Hadi (masuk 15 puisi terbaik lomba
cipta puisi Direktorat Kesenian Dirjen Nilai Budaya, Seni, dan Film Departemen
Kebudayaan dan Pariwisata dengan puisinya yang berjudul “Madura XX”) dan
satu-satunya penyair perempuan Jumairiyah Mawardy.
Melihat geliat
penyair-penyair muda Madura ini secara kewilayahan ternyata belum merata ke
segenap daerah di Madura, masih didominasi penyair dari Sumenep, hanya ada satu
penyair dari Bangkalan yakni Timur Budi Raja, sedang Pamekasan dan Sampang tidak
ada penyairnya, tentu saja penyair yang karyanya dapat dipertanggungjawabkan.
Penyair muda Madura ini
bila ditilik dari latar belakangnya, khususnya di Sumenep, tumbuh dan
berkembang dari pondok-pondok pesantren, di antaranya yang banyak menyumbangkan
para penyair adalah Ponpes Al-Amin Prenduan dan Annuqayah Guluk Guluk. Sehingga
secara umum karya-karya mereka bernafaskan atau beraura pesantren, kalau tidak
mau dibilang sastra pesantren, tentu saja dengan cita rasa yang lebih baru.
Memang rata-rata dari
mereka pernah nyantri, kemudian ada yang meneruskan kuliah di kota. Karya-karya
mereka juga menampakkan diri sentuhan-sentuhan dari pergulatan mereka dengan
dunia diktat atau intelektual sehingga menampakkan diri dalam puisi-puisi yang
berwacana intelektual yang bernas dipadukan dengan personalitas.
Kenapa sastra lahir di
pesantren? Inilah salah satu pertanyaan yang dapat dijelaskan, karena antara
agama, filsafat dan sastra, selalu bergandeng tangan, namun menempuh jalan yang
berbeda-beda menuju satu muara yakni memanusiakan manusia atau moral.
Di mana dunia pesantren,
tentu saja menekuni dan selalu mengkaji agama secara lebih mendalam, di sana
juga selalu dilantunkan ayat-ayat suci. Seolah mereka sedang membaca puisi
kehidupan dan sambil mempelajari maknanya. Disinilah wawasan mereka terasah dan
menampilkan dirinya dalam sosok puisi-puisi mereka. Ada juga pengaruh dari
tradisi di desa, di mana di wilayah-wilayah pedesaan Madura masih banyak
kegiatan-kegiatan macapatan dalam setiap ritual masyarakatnya, sehingga tanpa
disadari kognisi mereka menyerap sastra lisan baik dari rima, irama dan
lagunya, disinilah kekayaan batin mereka bertambah. Sehingga muncul pula dalam
karya-karya dalam kelancaran berbahasa, bernuansa pedesaan atau mengenang masa
kecil.
Pada tahun 1997, KSI
menerbitkan dua jilid buku puisi, Antologi Puisi Indonesia, yang juga
didominasi penyair muda. Yang kemudian dikomentari oleh kritikus sastra Budi
Darma di Kompas dalam sebuah artikelnya, dia menyatakan bahwa banyak
puisi-puisi yang bagus-bagus dalam antologi itu, namun karena semua bagus, maka
susah untuk mencari yang terbagus (istimewa), atau kalau mau dibilang susah
mencari penyair yang terbagus dan memiliki karakter kuat.
Ketika Budi Darma
diwawancarai Sony Karsono dalam Jurnal Prosa, tentang karya-karya sastrawan
muda Indonesia, ia menyatakan karya-karya mereka ibarat wanita benar-benar
sangat cantik, namun ketika didekati dan diajak bicara, nampaklah kebodohan
atau ketidakcerdasan.
Ada pula seorang Sosiawan
Leak ketika mengomentari dunia perpuisian di tanah air, yang sama dengan
komentar Ribut Wijoto, seorang kritikus muda Surabaya, di mana karya-karya
puisi yang banyak tersebar di media massa (tentu saja tidak semua) apabila
nama-nama penyairnya dihapus dan disuruh seorang pengamat sastra untuk menebak
puisi-puisinya siapa saja yang sedang dimuat itu, maka ia tak akan dapat
menebaknya karena karya-karya mereka menampakkan keseragaman, alias berkarakter
lemah, yang menunjuk jati diri penyairnya. Bahkan banyak yang terus menerus
dihantui sejarah sastra dengan nuansa-nuansa Sapardi Djoko Darmono dan Afrizal
Malna, muncul dalan lanskap-lanskap karya mereka.
Namun Sugagio menyatakan
kalau ingin jadi penyair sungguhan karya semacam itu tidak cukup, kurang lebih
ia mengatakan bahwa penyair harus memiliki sebuah obsesi yang jelas dan kuat.
Dari kritik itu maka lahirlah karya-karya Abdul Hadi WM yang cukup terkenal
seperti Madura dan Ombak Itulah.
Bila kita cermati
karya-karya penyair muda Madura, secara umum memang tidak secara harafiah
menguar identitas lokal, namun dari langgam atau rima, irama dan kelancaran
berbahasanya, maka nampaklah bahwa aura sastra lisan nampak kuat, seperti juga
yang dilakukan para pendahulunya.
Di sinilah letak potensi
besar yang dikandung para penyair muda Madura, dengan kekuatan sastra lisannya
yang sudah bermetamorfosa dalam bentuk yang lebih modern, untuk dapat
berkembang dikemudian hari.
Namun demikian ada baiknya
penyair-penyair muda ini agar dapat berkembang lebih dinamis, selalu bermawas
diri, selalu bersikap terbuka, tidak anti kritik, menghargai pendapat orang
lain, karena perbedaan merupakan roda demokrasi dan roh kebudayaan.
* Penulis alumnus
Sosiologi FISIP Unair
0 comments:
Post a Comment