Oleh Salman Rusydie, dikliping dari: sini
Bagi
sebagian masyarakat Jogja, nama Zainal Arifin Thaha barangkali bukanlah sosok
yang asing. Beliau adalah pribadi yang dekat dengan siapa saja, baik kalangan
mahasiswa, tokoh organisasi, tokoh agama, sastrawan, para penulis dan tentu
saja masyarakat pada umumnya. Mungkin karena kedekatannya dengan berbagai
elemen itulah pada akhirnya Zainal Arifin Thaha juga dikenal sebagai sosok yang
memiliki multiaktivitas seperti halnya akademisi, sastrawan, penulis buku,
muballigh dan juga dosen. Dari sekian banyak aktivitas yang ia jalankan, ada
beberapa peninggalan yang masih bisa kita lihat setelah kepergiannya tujuh
tahun yang silam, antara lain berupa karya buku dan juga rintisan pesantren
mahasiswa Hasyim Asy’arie.
Sebuah
pesantren yang didirikan untuk menampung anak-anak muda yang memiliki keinginan
tinggi untuk belajar namun terhalang oleh masalah biaya. Dalam hal
intelektualitas dan kreativitas, Zainal Arifin Thaha terbilang cukup unik. Ia
bisa mendeskripsikan pengetahuannya melalui berbagai bentuk karya seperti
halnya artikel-opini, esai, cerpen, puisi dan juga buku-buku kecil berisi
motivasi yang ia ramu dari pembacaannya terhadap kitab suci Al-Qur’an, Hadis
dan juga kitab-kitab klasik yang biasa diajarkan di pesantren-pesantren pada
umumnya.
Pesantren
mahasiswa Hasyim Asy’arie sendiri pada akhirnya ia dedikasikan untuk menjadi
sebuah wadah yang menampung dan membimbing para santrinya agar memiliki
kemampuan membaca dan menulis yang baik. Bahkan beberapa karya diantara para
santrinya sudah menghiasi media massa nasional. Sebut saja Muhammadun As,
Akhmad Mukhlis Amrin, Mahwi Air Tawar, Bernando J Sujibto, yang karya-karya
mereka sering dipublikasikan media bergengsi semisal Koran Kompas dan
sebagainya.
Dari
pesantren ini pula, lahir sebuah komunitas kepenulisan dengan nama Komunitas
Kutub serta LKKY (Lembaga Kajian Kutub Yogyakarta) Di samping menjadi pengasuh
pesantren, dosen, penulis dan penceramah, Zainal Arifin Thaha juga dikenal
sebagai seorang trainer yang kerap diminta untuk memberikan motivasi dan bimbingan
dalam acara-acara pelatihan. Satu di antaranya adalah program psikoreligius dan
religious class program yang biasa diadakan di sekolah-sekolah SMU dan
perguruan tinggi menjelang ujian nasional.
Kepribadian
Zainal Arifin Thaha yang ramah telah membuat siapa saja merasa nyaman
berinteraksi dengannya. Bahkan tidak jarang ada masyarakat, atau
sahabat-sahabatnya yang datang untuk mengadukan masalah pribadi dan meminta
bantuan untuk mencarikan jalan keluarnya. Selain itu, wawasan keilmuannya yang
luas berkat bacaan-bacaannya atas berbagai disiplin ilmu telah menjadikan
Zainal Arifin Thaha sebagai pribadi yang terbuka kepada siapa saja dan dekat
dengan siapa saja. Bahkan ia termasuk sosok yang sangat dekat dengan para kiai,
baik yang masih hidup ataupun yang sudah meninggal.
Dan
kini, tak terasa sejak tahun 2007 lalu, telah 6 tahun 3 bulan 18 hari, kita
kehilangan sosok guru sekaligus sahabat yang sangat kita cintai. Ya, dialah
Zainal Arifin Thaha, pendiri dan sekaligus pengasuh pertama Pesantren Mahasiswa
Hasyim Asy’ari. Rasanya, memang baru kemarin kita bersama-sama dengannya.
Sebuah kebersamaan, yang dibangun di atas ketulusan, pengorbanan dan dedikasi
yang begitu tinggi. Dan kita, sebagai santri, atau siapapun saja yang pernah
mengenal akrab kepribadiannya, menikmati betul ketulusannya itu. Sehingga kita,
serta merta tak lekas percaya, tergeragap penuh tanda tanya, ketika pada hari
Rabu tanggal 14 Maret 2007 yang lalu, terdengar kabar bahwa Zainal Arifin Thaha
yang kita kenal, ternyata telah meninggal.
Cukup
beralasan, seandainya kita berharap, orang-orang seperi Zainal Arifin Thaha
dapat hidup lebih lama bersama kita. Namun kekuasaan Allah, untuk memanggil
kembali hamba-hamba-Nya, baik cepat atau lambat, sama sekali tak memerlukan
alasan kita. Zainal Arifin Thaha boleh saja meninggal. Atau seperti dalam bait
puisinya melemparkan bangkai badan dari bau semesta. Tetapi, sebagai sosok yang
menghikmati betul kata Nabinya, bahwa sebaik-baik manusia adalah yang
bermanfaat bagi orang lain, ia telah memberi kita sebuah rumus hidup yang ia
sendiri menyebutnya sebagai spiritualitas, intelektualitas, dan
profesionalitas. Dengan semangat spiritualitas, Zainal Arifin Thaha seperti
ingin berkata, “Berdzikir dan beribadahlah kalian agar dalam menjalani
kehidupan, hati dan jiwamu menjati tenteram.” Dengan semangat intelektualitas
beliau seperti ingin berkata, “Belajarlah yang tekun kalian agar dalam
menjalani kehidupan, kalian tak didera bimbang dan salah jalan.” Serta dengan
semangat profesionalitas beliau juga seperti ingin berkata,
“Bersungguh-sungguhlah kalian dalam menjalankan keduanya, agar apa yang kalian
upayakan memberikan hasil yang matang dan tak mengecewakan.” Memang hanya tiga
rumus hidup itulah yang seringkali Zainal Arifin Thaha kemukakan. Suatu jumlah
yang sangat sedikit bagi medan hidup yang begitu luas.
Tetapi,
ia sendiri berujar bahwa “lebih baik bertindak walaupun sedikit daripada
berangan-angan untuk berbuat banyak.” Itulah prinsip yang dipancangkan oleh
sosok yang Joni Ariadinata menyebutnya sebagai presiden kuburan. Kini, setelah
tujuh tahun kepergian Zainal Arifin Thaha, sebagai santri dan sahabatnya, kita
berusaha mengumpulkan kembali, serakan-serakan nasehatnya, yang barangkali
dapat kita utuhkan serakan itu dalam spirit kita, untuk terus berkreatifitas, untuk
berjuang dan berkorban, baik bagi diri sendiri dan orang lain.
Ya,
itulah pelajaran inti, yang ditanamkan di pesantren mahasiswa Hasyim Asy’arie
ini oleh beliau. Bahwa untuk menjadi orang yang sukses kita harus berusaha
memberikan jalan kesuksesan bagi orang lain. Bahwa untuk menjadi orang yang
berhasil kita harus memberikan kemudahan pada orang lain. Maka tak heran, jika
pada akhirnya, Zainal Arifin Thaha mengambil keputusan yang berani, untuk
mempersilahkan siapa saja menjadi santrinya secara gratis, menempati sebuah
tempat yang ia sewa dengan hasil jerih payahnya sendiri.
Seperti
yang kita ketahui, bahwa Zainal Arifin Thaha, telah mewaqafkan kesempatan
hidupnya yang singkat itu, untuk benar-benar berarti dan bermanfaat bagi orang
lain. Dan seperti yang juga kita ketahui, bahwa Zainal Arifin Thaha yang kaya
itu, telah meninggalkan gelimang hartanya, untuk hidup bersama dan mengajarkan
ilmu agama bagi para santrinya yang miskin dan gembel. Membantu kesulitan
santrinya yang jarang mandi dan korengan. Mengajari puisi para santrinya yang
kurus dan seringkali hanya makan satu bungkus nasi angkringan. Menyesalkah
beliau? Putus asakah beliau? Mungkin saja tidak. Dan itulah barangkali, yang
menyebabkan Shihoo Sawai, seorang peneliti komunitas sastra asal Jepang, menyebut
Zainal Arifin Thaha sebagai penerus Umbu Landu Paranggi. Sebagai santri atau
juga sahabat Zainal Arifin Thaha, kami tidak tahu, apakah pantas beliau
disebut-sebut sebagaimana kata Shihoo Sawai itu. Tetapi yang kami tahu adalah,
bahwa Zainal Arifin Thaha adalah pribadi yang selalu berusaha menunjukkan
kepeduliannya kepada orang lain. Selalu berusaha menyenangkan orang lain.
Selalu
berusaha membantu semampu yang ia bisa pada orang lain. Selebihnya, biarlah
Allah sendiri yang memberikan penilaian. Terakhir kali, ada satu pesan penting
yang juga seringkali Zainal Arifin Thaha kemukakan: “Bacalah semua buku. Jangan
takut. Tuhan bersama orang-orang yang rajin membaca. Dan jangan anggap dirimu
berhasil kalau belum memberikan manfaat bagi orang lain. Serta janganlah kalian
meninggal sebelum melahirkan banyak karya.” Dan bagi kita, Zainal Arifin Thaha
adalah seorang pembaca buku yang rajin. Beliau juga adalah sosok yang telah
memberikan banyak manfaat bagi orang lain. Serta beliau juga telah melahirkan
banyak karya yang ditinggalkan. Karena itu, kita yang pernah akrab dengannya,
berusaha memaklumi dan mengikhlaskan kepergiannya, sambil diam-diam berusaha
meneladani sifat dan sikap hidupnya. Semoga! Amin
0 comments:
Post a Comment