Kehidupan mewah di balik gelimang harta yang melimbah dalam Istana tidak selamanya mujur bagi sang putri bangsawan di jaman kekaisaran Jepang klasik. Pada masa itu sangat tampak diskriminasi antara laki-laki dan perempuan, khususnya putri bangsawan. Kehidupan putri bangsawan hanya di sekitar istana. Kehidupan mereka dipenuhi kegiatan artistik yang menjemukan: menulis puisi, bermain musik dengan instrument sejenis zither yang disebut koto, semacam kecapi berkotak bunyi dangkal dengan 30 sampai 40 senar yang diletakkan di depan pemainya, serta memakai kimono yang berlapis-lapis dengan warna yang sempurna.
Semua kegiatan itu sejatinya dimaksudkan untuk menarik perhatian dari para pemuda yang mempunyai kedudukan sederajat dengan para putri itu. Pada zaman Heian Kyo, sekitar tahun 1100, semua kehidupan Jepang diwarnai dengan konflik rasial yang tinggi. Perbedaan antara klan bangsawan dengan klan biasa sangat jau berbeda dalam realitas sosialnya. Kaum bangsawan Heian Kyo menganggap diri mereka orang baik dibanding klan lainnya yang hidup pada masa itu.
Di balik kemegahan Istana dengan tradisi kesopanannya yang melangit itu, ada kisah cinta yang haru-biru dan menjadi narasi indah dalam novel setebal 245 karya Kara Dalkey dengan judul Mitsuko, seorang putri bangsawan yang menjadi tokoh sentral dalam novel yang cukup mendebarkan ini.
Dalam novel ini, pembaca bisa mengintip kehidupan kekaisaran Jepang pada abad ke-12 M. Meskipun kisah ini banyak unsur fiktifnya, tetapi pelajaran tentang peradaban dan tradisi pada masa itu dapat kita cangkok melalui novel ini. Novel ini menebarkan pesona tentang tradisi Jepang dengan kemasan puitis dalam narasi-narasinya.
Dalam tradisi kekaisaran Jepang ada hal-hal yang tidak boleh didengar perempuan (hal 18). Hal ini adalah sebuah kecelakaan sejarah yang telah menciptakan bias jender. Peran putri bangsawan pun terbatas. Dua dara itu sudah dihadapkan dengan kehidupan yang telah ditulis paten dalam tradisi kekaisaran Jepang. Mitsuko dan Amaiko tak lebih seperti seorang gembala yang hanya bisa mengikuti sang penggembalanya.
Novel ini menambah kekayaan khazanah tradisi yang tumbuh di tengah bangsa dan peradaban bangsa-bangsa lain. Jepang dipilih menjadi latar kisah yang menakjubkan. Kara Dalkey sangat pandai meramu kisah cinta dua putri terbelenggu itu dengan bumbu bahasa puitis, dan berkali-kali sengaja dihadirkan beberapa kuplet puisi yang menjadi media emosi cinta mereka. Novel ini bercerita tentang persahabatan, petualangan, kesetian cinta.
Kisah cinta yang unik ini bermula dari seorang lelaki perkasa dan rupawan bernama Koga no Yugiri, salah satu teman Kiwako, kakak laki-laki Mitsuko dan Amaiko. Benih cinta tumbuh tak kenal lahan dan sawah. Di manapun cinta bisa tumbuh subur. Begitu juga dalam diri Amaiko. Benih cinta itu pun bersemai dari hari ke hari. Sementara Mitsuko, adik Amaiko yang menjadi tokoh sentral dalam novel ini, membantu cinta sang kakak bersemai subur. Mitsuko selalu membacakan puisi-puisi romantis yang dikirimkan Yugiri buat Amaiko (hal. 15). Hati Amaiko pun berbunga-bunga seiring bergulirnya waktu.
Perjalanan cinta Amaiko menemukan aral yang dahsyat dan membuat cerita ini semakin menantang untuk terus diikuti. Orang-orang biarawan dari Gunung Hiei dan kuil Chizoku yang jahat datang dan membakar habis Istana Kaisar keluarga Mitsuko dan Amaiko. Ayahanda Mitsuko dan Amaiko, sang kaisar, harus dilarikan ke gunung demi menyelamtkan nyawa. Sementara sang ibunda juga lari terbiri-birit dengan abdi-abdi setia yang menyertai dalam pengungsian.
Keluarga besar istana itu tidak dalam satu rombongan dalam perjalanan ke pengungsian. Ayahhanda bersama Yugiri dan ksatria kaisar lainnya. Sementara Mitsuko dan Amaiko pergi bersama Ibunda yang menuju salah satu lereng gunung, sahabat karib sang kaisar. Selama dalam perjalanan, kisah pilu terus menghantui jalan mereka. Mereka didera cemas dan khawatir tentang kabar mereka dalam pengunsian. Terutama Ibunda Mitsuko dan Amaiko karena dia mendengar bahwa pemberontak yang telah menyisir habis kekayaan Istana itu akan membunuh keluarga istana yang mereka temui.
Pada saat inilah perjalanan cinta antara Amaiko dan Yugiri semakin pilu. Sewaktu di Istana Amaiko terkekang dengan tradisi sehingga tidak bisa leluasa mengekspresikan cinta pertamanya; pada saat-saat ini pun derita percintaan Amaiko semakin tidak bertuan. Kabar keselamatan Yugiri yang tidak jelas dan jarak yang menghalangi mereka berdua semakin menggenapkan luka derita cinta yang sekian lama Amaiko pendam. Amaiko tidak bisa berbuat apa-apa. Dia hanya bisa merenung dan menulisakan semua luka hatinya itu ke dalam baris-baris puitis. Amaiko menggunakan puisi sebagai terapi dan penyembuh ingatannya tentang Yugiri. Seiring watu berjalan, kebiasaan menyendiri yang sekian lama dilakukan Amaiko semakin membuatnya tragis dan mengancam tubuhnya sendiri. Dia kehilangan masa depannya karena tidak bias apa-apa lagi selain menangis. Amaiko semakin tidak normal emosinya dan dia mengalami semacam ganguan kejiwaan karena setiap detik selalu mengigau tentang Yugiri dan puisi-puisi yang ditulisnya. Mitsuko yang setia menemani di sampingnya tahu bahwa kakak perempuannya itu mengalami kegilaan cinta. Mitsuko mencoba menghibur Amaiko dengan sabar dan tekun. Tapi semuanya nihil. Penyakit kesendirian semakin memuncak dalam diri Amaiko. Dai sering menanyakan kabar Yugiri dan ingin cepat bertemu dengannya.
Amaiko mengerahkan anak buahnya mencari kabar keberadaan Ayahanda dan Yugiri yang sekian lama bagai ditelan bumi. Pada suatu senja, Gurano kembali ke tempat pengungsian Amaiko dengan membawa kabar yang ditunggu-tunggunya. Gurano telah menemukan tempat sang kaisar dan Yugiri berada. Ayahanda mereka selamat. Sementara Yugiri tidak bisa lagi kembali ke dunia nyata mereka (hal 184-185). Yugiri telah dipanggil sang dewa sewaktu dalam perjalanan bersama sang kaisar.
Mendengar kabar kematian Yugiri, Amaiko berdiri kosong bagai patung. Kisah cinta yang diperjuangkannya sia-sia. Hingga akhir novel ini, Amaiko bernasib sial di balik penjara “putri bangsawan”nya yang telah membelenggu kebebasan hidunya.
Akhirnya, novel ini semakin memberikan kesan yang ijamis-puitis kerena di setiap babnya akan terbaca sebuah kalimat puitis yang menjadi judul. Seperti judul bab 5: anak kecil dari asap, dan bab 7: anak kecil dari ilusi, semakin menggenapkan unsur puitis yang dipertahankan Kara Dalkey hingga akhir novel ini.
0 comments:
Post a Comment