Friday, January 28, 2011

Betapa Tak Berartinya Rakyat Kecil di Negeri Ini!

--jangan halangi saya jika harus takut kepada negara sendiri!

Saya hanya bisa berkali-kali melongo dan tak percaya bahwa rakyat di negeri ini dianggap seperti sampah, tak berguna di mata pemerintah dan negara; mereka dibiarkan terbunuh begitu saja oleh berbagai macam kecelakaan karena keteledoran sistem yang digawangi manusia (human error), ataupun kecelakaan yang dibikin oleh pemerintah (apparatus state) sendiri, dan membiarkannya merajalela seperti skandal korupsi dan mafioso yang menggurita dan membunuh harapan mayoritas anak bangsa. Korupsi adalah kecelakaan sejarah paling fatal (lebih dari kriminal) yang—pelan-pelan tapi pasti—telah mengubur harapan masa depan bangsa ini.

Inilah negeri dengan seribu satu ragam bencana: bencana alam yang bertubi-tubi datang menggilas sendi-sendi tanah air dengan korban yang tak terhitung lagi; bencana kemanusiaan seperti korupsi dengan jumlah korban anak bangsa secara umum; dan “bencana pembiaran” seperti kerap menimpa alat-alat transportasi kita. Bencana terakhir adalah bencana kerena “ketidakacuhan” pemegang sistem tanah air tercinta ini. Orang-orang kecil yang menjadi korban bisanya hanya menjerit lantang dalam kekosongan realitas, karena jeritan mereka nyaris tanpa makna di mata negara dan pemerintahannya.

Coba kita tengok bagaimana kecelakaan yang terjadi dalam satu hari Jumat, tanggal 28 Januari. Satu di tengah laut, berupa kebakaran KMP Teduh di Perairan Merak menuju Bakauheni. Dan satu lagi terjadi di darat, sebuah tabrakan kereta Mutiara Selatan dan Kutojaya Selatan di Stasiun Langensari, Kota Banjar, Jawa Barat. Kecelakaan macam ini sudah bukan cerita baru bagi dunia transportasi kita. Soal kecelakaan kereta api, alat transportasi rakyat kecil ini, pasti kita masih ingat ketika kereta api Argo Bromo Anggrek jurusan Jakarta-Surabaya yang menabrak kereta api Senja Utama Semarang jurusan Jakarta-Semarang, diiperkirakan pada pukul 02:48 WIB, 2 Oktober 2010, di Petarukan, Pemalang. Lebih dari 20 orang yang harus meregang nyawa. Hal yang sama terus berulang dari waktu ke waktu, tanpa ada langkah nyata yang bisa dipertanggungjawabkan.

“Saya, segenap PT Kereta Api Indonesia, mohon maaf sekali atas kejadian ini. Semua biaya pengobatan korban akan kami tanggung.” Salah satu pegawai PT. KA meminta maaf secara resmi di depan publik. Kata maaf adalah ungkapan yang sangat mudah meluncur dari mulut siapa pun manusia di muka bumi ini. Tapi pertanggungjawaban menurut hukum dan hak-hak asasi yang prinsipil, nanti dulu. Ini belum terbiasa di negeri ini meski sudah mengatakan dirinya sebagai Negara Hukum.

Ingatan saya begitu mudah menggelinding ke sebuah negara bernama Negeri Kangguru, negeri yang sekarang masih berjuang mati-matian mengatasi banjir besar dalam sejarah mereka. Pemerintah Australia dengan sangat yakin meminta untuk menukarkan satu rakyatnya yang sekarang sedang mendekam di pendara Indonesia dengan puluhan rakyat Indonesia yang saat ini juga menghuni penjara di Australia. Ehm, 1 orang versus—kalau tidak salah—30 orang! Apakah pemerintah Australia bodoh? Ehm, saya kira tidak! Dari sini bisa dipahami tentang komitmen pemerintah Australia dalam melindungi rakyatnya, meskipun hanya 1 orang. Bagi mereka, rakyat dalah rakyat, yang sama di depan hukum dan negara.

Coba kita ingat lagi bangsa kita sendiri, saudara-saudari kita yang sekarang sedang sekarat memperjuangkan nyawanya di bawah jembatan di Jedah, Aran Saudi sana. Berapa jumlah TKI yang sekarang sedang terluntang-lanting tanpa bantuan siapa pun. Negara dan pemerintah Indonesia absen dalam situasi seperti ini. Apa pentingnya negara bagi mereka ketika mereka berjuang meminta secuil bantuan agar dipulangkan secepatnya ke tanah air, namun negara dengan pemerintahannya tak ada? Tentu mereka, para TKI yang sekarang mulai sakit-sakitan dan bahkan kehilangan ingatan karena penyiksaan oleh sang majikan, sudah tidak merasakan manfaat dari negara yang ditumpangi para bedebah ini.

Itu bukan mimpi, bukan pula teka-teki. Tapi realita-tersaji di depan mata kita sendiri yang membutuhkan langkah nyata—kehadiran negara dan pemerintah! Butuh berapa tahun lagi negara ini biar bisa cepat belajar terhadap sejarah yang telah mengajarkan keluhuran? Butuh berapa korban (rakyat) lagi yang harus kehilangan nyawa dengan sia-sia biar negara ini bangun dan tersadar tentang makna keberadaannya?

Saya pernah merasakan menjadi warga negara asing di Amerika Serikat, tepatnya di negara bagian South Carolina. Meski singkat hanya dua bulan, saya merasakan bagaimana kehadiran negara bagi saya, ketika saya merasa nyaman dan tanpa rasa takut secuil pun di tengah banyak orang dan fasilitas-fasilitas negara yang tersedia, ketika saya keluar malam lalu mengakses tempat-tempat umum sebagai ruang publik, ketika saya mengurus hal-hal kecil terkait proses keimigrasian dan surat-surut tinggal selama di sana. Pada waktu itu, saya merasakan sebuah negara hadir dan menyapa saya setiap saat.

Di negeri saya sendiri, saya semakin paham tentang tak berartinya rakyat di mata negara. Negara hanya menjadi mesin bagi para penguasa dan orang-orang elit untuk mendulang kekayaan dan kekuasaan, menyedot habis sumber daya alam, dan membiarkan rakyat kecil terlunta kelaparan, dan kehilangan harapan.

2 comments:

Nur Ahmadi said...

Bicara tentang negeri ini, tak akan ada habisnya. Begitu banyak masalah bertubi-tubi bertumpang tindih (masih mending kalau silih berganti). Satu masalah belum selesai, muncul yang baru. Begitu seterusnya.
Menurutku, sebenernya negeri ini hanya punya 1 masalah, krisis kepemimpinan! Ini yg menyebabkan sesuatu yg harusnya bisa dg cepat diselesaikan, malah bertele-tele juga ditelantarkan.
*Tapi harapan itu masih ada. Selama kita mau berusaha.

Bernando J Sujibto said...

Oke kawan... jelas sekali krisis kepemimpinan itu. Mari kita bersama-sama untuk menyembuhkan negeri ini, belajar dari hal-hal kecil tentang kepemimpinan....

Sukses selalu buat kawan

Salam'''

BJ