Dimuat di Jurnal Nasional | Selasa, 3 May 2011
BERKALI-kali
serangan dan aksi terorisme telah terjadi di Indonesia dengan menelan korban
tidak sedikit. Reproduksi dan modus operandinya setiap saat terus berubah.
Mulai dari aksi bom dengan skala masif seperti tragedi bom Bali, hingga kasus
bom buku. Setiap aksi terorisme tersebut selalu berafiliasi dengan agama Islam.
Satu sisi, Islam telah dieksekusi oleh para teroris menjadi “kambing
hitam" dengan muka monster. Tapi di sisi lain, aksi teror ini justru
menunjukkan ironi kegagalan para kaum agawaman itu sendiri. Mengapa demikian?
Para
dai yang melakukan dakwah terhadap masyarakat seringkali dipahami sebagai
penerus risalah para nabi dengan asumsi bahwa mereka menguasai (alim)
tentang Islam. Sehingga petuah-petuah mereka kerap menjadi panutan yang diikuti
oleh masyarakat awam di Indonesia. Jika cara dakwah salah atau doktrin yang
disebarkan di dalamnya penuh dengan praktik-praktik agama yang parsial dan
bahkan menyesatkan, seperti menganjurkan bentuk-bentuk kekerasan, posisi para
dai perlu dipertanyakan integritas pengetahuan agamanya.
Padahal kenyataan di lapangan berbeda: para dai itu jarang dari kalangan ulama yang alim agama dengan menguasai ilmu-ilmu agama Islam secara lengkap. Ada asumsi bahwa antara dai dan ulama berbeda. Ulama adalah pewaris para nabi (risalatul ambiya‘) karena mereka telah mumpuni tentang Islam. Sementara dai lebih dikategorisasikan ke dalam bentuk aktor yang melakukan dakwah kepada publik. Jadi, semua ulama bisa dan layak menjadi dai, sementara dai belum tentu disebut ulama.
Ulama
kemudian lumrah dikenal sebagai tokoh agama (seperti: almarhum Buya Hamka,
Syafi‘e Ma‘arif, Quraish Shihab, dan lain-lain). Mereka ini mempunyai latar
belakang pengetahuan agama yang kuat dengan perangkat alat tafsir terhadap teks
agama yang memadai.
Teroris
vs Agamawan
Sudah
lazim diketahui bahwa agama telah menjadi media ampuh dalam mengelabui
calon-calon teoris bom bunuh diri dengan klaim jihad dan ada surga sebagai
balasan. Para juru dakwah yang bergerak dalam ranah ini, dengan kekuatan
rekrutmen melalui kelompok, terus mengampanyekan doktrin agama hanya dalam
perspektif mereka. Padahal, tafsir terhadap teks agama harus dilihat secara
utuh dan bijaksana, jauh dari upaya politisasi untuk kepentingan busuk sesaat.
Ada
fenomena mendasar yang jarang sekali terangkat terkait isu terorisme di
Indonesia. Sekarang kita patut menengarai bahwa gerakan terorisme di Indonesia
tumbuh karena faktor dakwah Islam dengan paham radikal dan fundemental yang
telah menguasai. Sejauh ini, mereka yang telah meledakkan diri sebagai martir
adalah berasal dari pengajian masjid atau kelompok-kelompok dakwah di mushala.
Para
kelompok juru dakwah yang berjubel di ranah ini patut ditengarai sebagai mereka
yang secara substansial tidak paham Islam. Bahkan, mereka jarang sekali
mengetahui agama Islam secara kaffah (holistik). Mereka hanya berbekal
pemahaman tentang agama yang parsial, yang didapatkan dari para imam yang telah
menggodok otak mereka secara militan dan radikal. Jika ini benar terjadi,
berarti secara prinsipal ada masalah di tengah transformasi dakwah di
Indonesia.
Dalam
Islam memang tidak ada regulasi dengan syarat-syarat ketat soal siapa yang
berhak menjadi dai (juru dakwah). Namun ukuran moral dan kepatutan telah
menjadi parameter tersendiri dalam masyarakat, meski tidak bisa didefiniskan
secara gamblang. Kelompok-kelompok organisasi masyarakat yang radikal dan
berada di ranah fundementalis mendapatkan doktrin pemahaman agama yang tidak
berimbang.
Bahkan
tak jarang mantan preman yang sangat dangkal soal ilmu agama tiba-tiba telah
menjadi pemimpin suatu gerakan keislaman. Kebanyakan mereka hanya berbekal
pengetahuan dangkal namun sudah mendoktrin pemahaman tentang agama kepada
masyarakat. Banyak dai hanya berbekal Hadis Nabi yang berbunyi: balligh anni
walau 'ayatan (sampaikan [berdakwah] meski satu ayat (dari Al Quran).
Fenomena
tentang gerakan rekrutmen keanggotaan yang masif dengan modus operandi yang
beragam seperti cuci otak oleh kelompok-kelompok Islam radikal merupakan akar
masalah yang harus diputus. Pemerintah harus memikirkan secara jernih ihwal
yang satu ini, dan peran para agamawan (ulama) sangat besar dalam mengimbangi
serangan-serangan Islam radikal yang terus masuk secara masif ke tengah
masyarakat.
Para
agamawan adalah sosok yang terus ditunggu untuk memberikan pencerahan yang sesungguhnya
tentang nilai-nilai agama kepada masyarakat. Mereka adalah penerus nabi yang
harus hadir ke tengah-tengah masyarakat dengan melakukan risalah dakwah secara
membumi. Jika para ulama hanya pandai memberikan fatwa (seperti kasus MUI)
tanpa ada wujud dan kehadiran nyata sebagai bagian dari organisme kehidupan
masyarakat beragama di Indonesia, kekerasan dalam bentuk terorisme yang telah
tertanam bagi para pengikut jamaah Islam yang radikal akan terus bertambah.
Untuk
itu, para ulama harus membawakan nilai-nilai Islam yang kaffah kepada umatnya,
sehingga umat Muslim memahami tentang fungsi dakwah secara subtansial. Fungsi
dakwah, seperti dikatakan SM Hasyir Alaydrus (2008), mencakup dua hal. Pertama:
fungsi kerisalahan yang berarti meneruskan tugas Rasulullah SAW (QS Al Maidah,
67). Dakwah dalam konteks ini adalah suatu proses alih nilai (transfer of
value) yang dikembangkan dalam rangka perubahan tingkah laku, termasuk
tingkah laku budaya. Kedua: fungsi kerahmatan yang berarti upaya menjadikan
(mengejawantah, mengaktualkan, mengoperasionalkan) Islam sebagai rahmat
(penyejahtera, pembahagia, pemecah persoalan) bagi seluruh manusia (QS Al
Anbiyah, 107).
Tanggapan
untuk Bje Soejibto:
Meneguhkan Peran Profetik Ulama
Jurnal Nasional | Senin, 9 May 2011
Oleh: Muhammadun
AS
Peneliti Center for Pesantren and Democracy Studies (Cepdes), Jakarta
TULISAN
Bje Soejibto bertajuk Terorisme: Kegagalan Ulama? perlu ditanggapi.
Sebab, lewat uraian dan argumentasinya, sang penulis menyederhanakan persoalan
mendasar dalam ajaran Islam. Penulis juga memberikan hipotesis yang dangkal,
sehingga terkesan tergesa-gesa menafsirkan fakta sosial dalam bingkai ajaran
keagamaan.
Pertama,
pernyataan Bje Soejibto bahwa, “Setiap aksi terorisme tersebut selalu
berafiliasi dengan agama Islam. Satu sisi, Islam telah dieksekusi oleh para
teroris menjadi “kambing hitam" dengan muka monster. Tapi di sisi lain,
aksi teror ini justru menunjukkan ironi kegagalan para kaum agawaman itu
sendiri."
Pernyataan
Bje Soejibto menunjukkan bahwa dia justru terbawa oleh kesan media yang sepihak
dalam membaca fakta sosial. “Setiap aksi terorisme" tidak selalu
berafilisasi “dengan agama Islam". Selama ini, Islam memang telah menjadi
“kambing hitam", tetapi bukan berarti setiap aksi teror selalu berafilisasi
dengan Islam.
Pernyataan
itu tidak sesuai dengan fakta dan justru malah merugikan Islam sendiri. Sebab,
aksi teror bukan saja dilakukan sebagian umat Islam, melainkan juga oleh
negara-negara adidaya yang seenaknya melakukan kekejaman terhadap hak asasi
manusia (HAM). Negara-negara yang merasa menjadi penjaga gawang HAM ternyata
justru menjadi pelaku terkejam pelanggaran HAM. Dari sini, pernyataan Bje
Soejibto tidak menemukan relevansinya.
Bahkan,
tulis Bje Soejibto, “aksi teror ini justru menunjukkan ironi kegagalan para
kaum agawaman itu sendiri". Aksi teror sama sekali tak menunjukkan
kegagalan agamawan. Bje Soejibto melakukan simplifikasi, karena agamawan selama
ini selalu bergerak bersama dalam mengembangkan ajaran Islam yang damai dan
menyejukkan.
Aksi
teror sama sekali bukan karena agamawan gegabah dan seenaknya menafsirkan
ajaran agama, melainkan karena ayat agama telah dipolitisasi oleh oknum
tertentu untuk meraih kuasa nafsu dan jabatan. Berbagai kasus teror terbukti
menjadikan ayat agama untuk kepentingan kekuasaan.
Selain
simplifikasi tersebut, Bje Soejibto juga gegabah dalam pernyataannya, “dalam
Islam memang tidak ada regulasi dengan syarat-syarat ketat soal siapa yang
berhak menjadi da‘i (juru dakwah)‘. Ini jelas tidak beralasan, karena
untuk menjadi juru dakwah, Nabi Muhammad telah memberikan aturan yang jelas.
KH
M Hasyim Asy‘ari dalam Adabul Alim wal Muta‘allim (1930) bahkan
memberikan syarat-syarat yang sangat ketat bagi seseorang yang hendak menjadi
seorang mu‘allim (guru, da;i, narasumber). Selain kualifikasi
keilmuan, da‘i juga mesti memenuhi kualifikasi tatakrama/akhlak.
Sepertinya
Bje Soejibto tidak cermat membaca aturan-aturan yang telah ditetapkan dalam
ajaran Islam. Juga kutipannya atas hadits Nabi: balligh anni walau balligh
'ayatan, yang benar: balligh anni walau 'ayatan. Kemudian kutipan
pernyataan Muhammad Abduh yang berbunyi: al-islam mahjub bi al-muslimin
yang diartikan: Islam musnah oleh umat Islam sendiri. Padahal, yang tepat
adalah: Islam tertutup cahayanya oleh ulah umat Islam yang merusak.
Meski
banyak pernyataan yang tidak tepat, namun kritik Bje Soejibto terhadap gerak
perjuangan ulama menarik diapresiasi. Buya Hamka (1970) melihat, peran profetik
ulama adalah mentransformasikan ajaran agung Islam yang melekat dalam pribadi
luhur para ulama, yakni ulama yang menjadi pewaris para Nabi (al-ulama‘
waratsatu al-anbiya‘), pemberi fatwa (mufti), pembimbing dan pelayan
umat (ri‘ayat wa khadim al ummah), penggerak kemaslahatan dan pembaruan (islah
wa al tajdid), dan penegak amar ma‘ruf nahi munkar.
Memang,
perlu langkah strategis dalam menyusun eksemplar gerakan profetik ulama di masa
depan. Mengembalikan ulama--sebagai referensi umat (marji‘u al-ummat)
dalam konteks ke-Indonesia-an--dapat dijalankan dalam beberapa hal. Pertama,
ulama sangat berperan dalam menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI).
Tragedi
NII, RMS, Partai GAM, dan bendera Bintang Kejora menjadi bukti bahwa gerakan
separatisme masih menjadi ancaman bagi NKRI. Apalagi tragedi itu dimanfaatkan
secara kongkalikong oleh para elit politik kekuasaan. Ulama, dalam
konteks ini, berperan strategis menjaga keutuhan NKRI dengan mengupayakan
gerakan ulama kembali kepada rakyat. Ulama harus mampu berperan mengayomi rakyat
dan mengajak rakyat menjaga keutuhan NKRI.
Untuk
kembali kepada rakyat (raji‘un ila al-ra‘iyyah), ulama harus merangkul
seluruh tokoh bangsa sampai pada tingkat ranting. Para ulama di desa sangat
tepat dijadikan lokomotif perekat bangsa. Para ulama desa menempati jantung
kebudayaan masyarakat, sehingga setiap gerak langkahnya akan menjadi referensi
utama warga sekitar. Kalau rakyat/masyarakat dirangkul dan diberdayakan, maka
gagasan menumpas separatisme sampai tingkat riil perdesaan dapat dinyalakan secara
konkret. Di tingkat ini, peran profetik ulama akan menjadi semakin kukuh dalam
menjaga keutuhan NKRI.
Kedua,
menjadi agen lokomotif untuk mengembangkan gerakan kaum moderat. Ajaran
moderatisme yang dipegang teguh para ulama perlu dikembangkan secara
sistematis, sehingga mampu menjadi penyangga pola kehidupan masyarakat,
sekaligus bisa membendung gerak laju radikalisme dan terorisme.
Ketiga,
mengetengahkan etika politik yang religius. Para ulama secara politis menempati
posisi strategis sebagai penerang umat (misbahu al-ummat). Sangat tepat
jika para ulama selalu menampilkan etika politik religius, yang sesuai dengan
etika yang diajarkan agama. Dengan begitu, warga masyarakat dan para politisi
dapat meneladani ulama dalam menjalankan program politik kepartaian.
Lewat
peran profetik itu, ulama akan menjadi tulang punggung kehidupan berbangsa dan
bernegara. Sebagaimana dikatakan Syaikh Abdul Qodir Jailany dalam Manaqib-nya
bahwa untuk memperjuangkan ajaran Islam, dibutuhkan seorang ilmuan (ilm
al-ulama‘), strategi kuasa (siyasatu al-muluk), dan keteladanan
ulama (hikmatu al-hukama‘).
0 comments:
Post a Comment