Tuesday, May 10, 2011

Terorisme: Kegagalan Ulama?

Dimuat di Jurnal Nasional | Selasa, 3 May 2011

BERKALI-kali serangan dan aksi terorisme telah terjadi di Indonesia dengan menelan korban tidak sedikit. Reproduksi dan modus operandinya setiap saat terus berubah. Mulai dari aksi bom dengan skala masif seperti tragedi bom Bali, hingga kasus bom buku. Setiap aksi terorisme tersebut selalu berafiliasi dengan agama Islam. Satu sisi, Islam telah dieksekusi oleh para teroris menjadi “kambing hitam" dengan muka monster. Tapi di sisi lain, aksi teror ini justru menunjukkan ironi kegagalan para kaum agawaman itu sendiri. Mengapa demikian?

Para dai yang melakukan dakwah terhadap masyarakat seringkali dipahami sebagai penerus risalah para nabi dengan asumsi bahwa mereka menguasai (alim) tentang Islam. Sehingga petuah-petuah mereka kerap menjadi panutan yang diikuti oleh masyarakat awam di Indonesia. Jika cara dakwah salah atau doktrin yang disebarkan di dalamnya penuh dengan praktik-praktik agama yang parsial dan bahkan menyesatkan, seperti menganjurkan bentuk-bentuk kekerasan, posisi para dai perlu dipertanyakan integritas pengetahuan agamanya.

Padahal kenyataan di lapangan berbeda: para dai itu jarang dari kalangan ulama yang alim agama dengan menguasai ilmu-ilmu agama Islam secara lengkap. Ada asumsi bahwa antara dai dan ulama berbeda. Ulama adalah pewaris para nabi (risalatul ambiya‘) karena mereka telah mumpuni tentang Islam. Sementara dai lebih dikategorisasikan ke dalam bentuk aktor yang melakukan dakwah kepada publik. Jadi, semua ulama bisa dan layak menjadi dai, sementara dai belum tentu disebut ulama.
Ulama kemudian lumrah dikenal sebagai tokoh agama (seperti: almarhum Buya Hamka, Syafi‘e Ma‘arif, Quraish Shihab, dan lain-lain). Mereka ini mempunyai latar belakang pengetahuan agama yang kuat dengan perangkat alat tafsir terhadap teks agama yang memadai.
 
Teroris vs Agamawan

Sudah lazim diketahui bahwa agama telah menjadi media ampuh dalam mengelabui calon-calon teoris bom bunuh diri dengan klaim jihad dan ada surga sebagai balasan. Para juru dakwah yang bergerak dalam ranah ini, dengan kekuatan rekrutmen melalui kelompok, terus mengampanyekan doktrin agama hanya dalam perspektif mereka. Padahal, tafsir terhadap teks agama harus dilihat secara utuh dan bijaksana, jauh dari upaya politisasi untuk kepentingan busuk sesaat.

Ada fenomena mendasar yang jarang sekali terangkat terkait isu terorisme di Indonesia. Sekarang kita patut menengarai bahwa gerakan terorisme di Indonesia tumbuh karena faktor dakwah Islam dengan paham radikal dan fundemental yang telah menguasai. Sejauh ini, mereka yang telah meledakkan diri sebagai martir adalah berasal dari pengajian masjid atau kelompok-kelompok dakwah di mushala.

Para kelompok juru dakwah yang berjubel di ranah ini patut ditengarai sebagai mereka yang secara substansial tidak paham Islam. Bahkan, mereka jarang sekali mengetahui agama Islam secara kaffah (holistik). Mereka hanya berbekal pemahaman tentang agama yang parsial, yang didapatkan dari para imam yang telah menggodok otak mereka secara militan dan radikal. Jika ini benar terjadi, berarti secara prinsipal ada masalah di tengah transformasi dakwah di Indonesia.

Dalam Islam memang tidak ada regulasi dengan syarat-syarat ketat soal siapa yang berhak menjadi dai (juru dakwah). Namun ukuran moral dan kepatutan telah menjadi parameter tersendiri dalam masyarakat, meski tidak bisa didefiniskan secara gamblang. Kelompok-kelompok organisasi masyarakat yang radikal dan berada di ranah fundementalis mendapatkan doktrin pemahaman agama yang tidak berimbang.

Bahkan tak jarang mantan preman yang sangat dangkal soal ilmu agama tiba-tiba telah menjadi pemimpin suatu gerakan keislaman. Kebanyakan mereka hanya berbekal pengetahuan dangkal namun sudah mendoktrin pemahaman tentang agama kepada masyarakat. Banyak dai hanya berbekal Hadis Nabi yang berbunyi: balligh anni walau 'ayatan (sampaikan [berdakwah] meski satu ayat (dari Al Quran).

Fenomena tentang gerakan rekrutmen keanggotaan yang masif dengan modus operandi yang beragam seperti cuci otak oleh kelompok-kelompok Islam radikal merupakan akar masalah yang harus diputus. Pemerintah harus memikirkan secara jernih ihwal yang satu ini, dan peran para agamawan (ulama) sangat besar dalam mengimbangi serangan-serangan Islam radikal yang terus masuk secara masif ke tengah masyarakat.

Para agamawan adalah sosok yang terus ditunggu untuk memberikan pencerahan yang sesungguhnya tentang nilai-nilai agama kepada masyarakat. Mereka adalah penerus nabi yang harus hadir ke tengah-tengah masyarakat dengan melakukan risalah dakwah secara membumi. Jika para ulama hanya pandai memberikan fatwa (seperti kasus MUI) tanpa ada wujud dan kehadiran nyata sebagai bagian dari organisme kehidupan masyarakat beragama di Indonesia, kekerasan dalam bentuk terorisme yang telah tertanam bagi para pengikut jamaah Islam yang radikal akan terus bertambah.

Untuk itu, para ulama harus membawakan nilai-nilai Islam yang kaffah kepada umatnya, sehingga umat Muslim memahami tentang fungsi dakwah secara subtansial. Fungsi dakwah, seperti dikatakan SM Hasyir Alaydrus (2008), mencakup dua hal. Pertama: fungsi kerisalahan yang berarti meneruskan tugas Rasulullah SAW (QS Al Maidah, 67). Dakwah dalam konteks ini adalah suatu proses alih nilai (transfer of value) yang dikembangkan dalam rangka perubahan tingkah laku, termasuk tingkah laku budaya. Kedua: fungsi kerahmatan yang berarti upaya menjadikan (mengejawantah, mengaktualkan, mengoperasionalkan) Islam sebagai rahmat (penyejahtera, pembahagia, pemecah persoalan) bagi seluruh manusia (QS Al Anbiyah, 107).

Fungsi yang kedua ini sudah banyak direduksi oleh para dai kelompok tertentu dengan menjerumuskan Islam kepada jurang yang penuh monster dengan mengabsahkan kekerasan dan aksi-aksi terorisme. Sehingga, nilai-nilai luhur Islam sebagai rahmat bagi semua alam sudah semakin sirna. Jika realita ini terus dibiarkan merajalela, maka warning tokoh modernisme Islam asal Mesir Mohammad Abduh bahwa “al-islam mahjub bi al-muslimin" (Islam musnah oleh umat Islam sendiri) akan benar-benar terjadi. 



Tanggapan untuk Bje Soejibto
Meneguhkan Peran Profetik Ulama
Jurnal Nasional | Senin, 9 May 2011
Oleh: Muhammadun AS
Peneliti Center for Pesantren and Democracy Studies (Cepdes), Jakarta

TULISAN Bje Soejibto bertajuk Terorisme: Kegagalan Ulama? perlu ditanggapi. Sebab, lewat uraian dan argumentasinya, sang penulis menyederhanakan persoalan mendasar dalam ajaran Islam. Penulis juga memberikan hipotesis yang dangkal, sehingga terkesan tergesa-gesa menafsirkan fakta sosial dalam bingkai ajaran keagamaan.

Pertama, pernyataan Bje Soejibto bahwa, “Setiap aksi terorisme tersebut selalu berafiliasi dengan agama Islam. Satu sisi, Islam telah dieksekusi oleh para teroris menjadi “kambing hitam" dengan muka monster. Tapi di sisi lain, aksi teror ini justru menunjukkan ironi kegagalan para kaum agawaman itu sendiri."

Pernyataan Bje Soejibto menunjukkan bahwa dia justru terbawa oleh kesan media yang sepihak dalam membaca fakta sosial. “Setiap aksi terorisme" tidak selalu berafilisasi “dengan agama Islam". Selama ini, Islam memang telah menjadi “kambing hitam", tetapi bukan berarti setiap aksi teror selalu berafilisasi dengan Islam.

Pernyataan itu tidak sesuai dengan fakta dan justru malah merugikan Islam sendiri. Sebab, aksi teror bukan saja dilakukan sebagian umat Islam, melainkan juga oleh negara-negara adidaya yang seenaknya melakukan kekejaman terhadap hak asasi manusia (HAM). Negara-negara yang merasa menjadi penjaga gawang HAM ternyata justru menjadi pelaku terkejam pelanggaran HAM. Dari sini, pernyataan Bje Soejibto tidak menemukan relevansinya.

Bahkan, tulis Bje Soejibto, “aksi teror ini justru menunjukkan ironi kegagalan para kaum agawaman itu sendiri". Aksi teror sama sekali tak menunjukkan kegagalan agamawan. Bje Soejibto melakukan simplifikasi, karena agamawan selama ini selalu bergerak bersama dalam mengembangkan ajaran Islam yang damai dan menyejukkan.

Aksi teror sama sekali bukan karena agamawan gegabah dan seenaknya menafsirkan ajaran agama, melainkan karena ayat agama telah dipolitisasi oleh oknum tertentu untuk meraih kuasa nafsu dan jabatan. Berbagai kasus teror terbukti menjadikan ayat agama untuk kepentingan kekuasaan.

Selain simplifikasi tersebut, Bje Soejibto juga gegabah dalam pernyataannya, “dalam Islam memang tidak ada regulasi dengan syarat-syarat ketat soal siapa yang berhak menjadi da‘i (juru dakwah)‘. Ini jelas tidak beralasan, karena untuk menjadi juru dakwah, Nabi Muhammad telah memberikan aturan yang jelas.

KH M Hasyim Asy‘ari dalam Adabul Alim wal Muta‘allim (1930) bahkan memberikan syarat-syarat yang sangat ketat bagi seseorang yang hendak menjadi seorang mu‘allim (guru, da;i, narasumber). Selain kualifikasi keilmuan, da‘i juga mesti memenuhi kualifikasi tatakrama/akhlak.

Sepertinya Bje Soejibto tidak cermat membaca aturan-aturan yang telah ditetapkan dalam ajaran Islam. Juga kutipannya atas hadits Nabi: balligh anni walau balligh 'ayatan, yang benar: balligh anni walau 'ayatan. Kemudian kutipan pernyataan Muhammad Abduh yang berbunyi: al-islam mahjub bi al-muslimin yang diartikan: Islam musnah oleh umat Islam sendiri. Padahal, yang tepat adalah: Islam tertutup cahayanya oleh ulah umat Islam yang merusak.

Meski banyak pernyataan yang tidak tepat, namun kritik Bje Soejibto terhadap gerak perjuangan ulama menarik diapresiasi. Buya Hamka (1970) melihat, peran profetik ulama adalah mentransformasikan ajaran agung Islam yang melekat dalam pribadi luhur para ulama, yakni ulama yang menjadi pewaris para Nabi (al-ulama‘ waratsatu al-anbiya‘), pemberi fatwa (mufti), pembimbing dan pelayan umat (ri‘ayat wa khadim al ummah), penggerak kemaslahatan dan pembaruan (islah wa al tajdid), dan penegak amar ma‘ruf nahi munkar.

Memang, perlu langkah strategis dalam menyusun eksemplar gerakan profetik ulama di masa depan. Mengembalikan ulama--sebagai referensi umat (marji‘u al-ummat) dalam konteks ke-Indonesia-an--dapat dijalankan dalam beberapa hal. Pertama, ulama sangat berperan dalam menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Tragedi NII, RMS, Partai GAM, dan bendera Bintang Kejora menjadi bukti bahwa gerakan separatisme masih menjadi ancaman bagi NKRI. Apalagi tragedi itu dimanfaatkan secara kongkalikong oleh para elit politik kekuasaan. Ulama, dalam konteks ini, berperan strategis menjaga keutuhan NKRI dengan mengupayakan gerakan ulama kembali kepada rakyat. Ulama harus mampu berperan mengayomi rakyat dan mengajak rakyat menjaga keutuhan NKRI.

Untuk kembali kepada rakyat (raji‘un ila al-ra‘iyyah), ulama harus merangkul seluruh tokoh bangsa sampai pada tingkat ranting. Para ulama di desa sangat tepat dijadikan lokomotif perekat bangsa. Para ulama desa menempati jantung kebudayaan masyarakat, sehingga setiap gerak langkahnya akan menjadi referensi utama warga sekitar. Kalau rakyat/masyarakat dirangkul dan diberdayakan, maka gagasan menumpas separatisme sampai tingkat riil perdesaan dapat dinyalakan secara konkret. Di tingkat ini, peran profetik ulama akan menjadi semakin kukuh dalam menjaga keutuhan NKRI.

Kedua, menjadi agen lokomotif untuk mengembangkan gerakan kaum moderat. Ajaran moderatisme yang dipegang teguh para ulama perlu dikembangkan secara sistematis, sehingga mampu menjadi penyangga pola kehidupan masyarakat, sekaligus bisa membendung gerak laju radikalisme dan terorisme.

Ketiga, mengetengahkan etika politik yang religius. Para ulama secara politis menempati posisi strategis sebagai penerang umat (misbahu al-ummat). Sangat tepat jika para ulama selalu menampilkan etika politik religius, yang sesuai dengan etika yang diajarkan agama. Dengan begitu, warga masyarakat dan para politisi dapat meneladani ulama dalam menjalankan program politik kepartaian.

Lewat peran profetik itu, ulama akan menjadi tulang punggung kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagaimana dikatakan Syaikh Abdul Qodir Jailany dalam Manaqib-nya bahwa untuk memperjuangkan ajaran Islam, dibutuhkan seorang ilmuan (ilm al-ulama‘), strategi kuasa (siyasatu al-muluk), dan keteladanan ulama (hikmatu al-hukama‘)

0 comments: