Monday, December 10, 2012

Pengalaman Banjir Pertama di Kota Imajiner

Senin, 10 Desember 2012, sekitar pukul 14.40 menuju sore. Aku terjebak hujan di tengah jalan pulang dari daerah Kemang ke Kelapa Dua Depok. Dari angkot aku harus menepi dulu di emperan sebuah warung makan untuk beteduh, tepat di seberang sebuah rumah ibadah Pure, jalan menuju perumahan Bukit Cengkeh.

Ohya. Aku sangat lemah mengidentifikasi nama-nama daerah, khususnya di Jakarta. Bayangin, Kelapa Dua Depok saja aku imajinasikan sebagai Jakarta. Padahal bukan. Secara demografi dan pemerintahan berbeda. Tapi entahlah, pikiranku masih saja tidak bisa kompromi bahwa Jakarta dan sekitarnya adalah Jakarta. That's it all!

Di depan mataku hujan gemerincing deras. Bulirannya seperti logam yang memencar di tengah jalanan aspal. Hujan makan sekitar 1 jam!

Ke Jakarta kali ini sebenarnya aku cuma sebentar: menyiapkan bahan-bahan untuk riset di lapangan. Setelah itu minggat lagi ke kota lain: Makassar. Nah, pengalaman kali ini luar biasa karena aku merasakan bajir meski cuma selutut. Tapi setidaknya seru! Pengalaman ini bersanding dengan pengalaman pertama kali aku ke Jakarta. Pertama kali sekitar tahun 2008 awal, saat masih di semester 4, di dekat Istana Presiden, di Jalan Veteran sana, yang hanya selemparan ludah dengan deretan kantor Jaksa Agung dan Istina.

Entah kenapa, kota Jakarta bagiku adalah kota imajiner, tempat semua bayangan dan halusinasi menyerangai. Jangan salahkan aku sebagai pengunjung kota ini bilamana ingatan tentang Jakarta adalah perihal ini: korupsi, banjir, macet, dan kriminalitas. Jangan salahkan pengunjung sebuah kota seperti aku ini, ya! Karena kota sejatinya akan bercerita secara jujur kepada pengunjungnya.

Sekarang aku sudah benar-benar merasakan tentang Jakarta. Terkena banjir adalah cita-citaku untuk merasai kota Jakarta. Sepertinya, tanpa dikena banjir belum merasakan Jakarta!

Hujan reda. Hanya gerimis tipis saja. Aku memanggil ojek untuk kembali ke kantor, di Bukit Cengkeh 2. "Tidak banjir kan, Pak, menuju Bukit Cengkeh Dua?" Aku coba meyakinkan si tukang Ojek. "Iya, tapi dikit."

Akhirnya tubuhku dibawa ojek motor. Jalan di depanku masih hanya dilapisi aliran air sedikit. Ojek melejit. Makin jauh makin air semakin tebal. Semakin tebal. Semakin tebal, dan tebal. "Yakin, Pak, tidak apa-apa?" "Ayok coba aje." Tak sampai 100 meter lagi, ojek mati. Gleg gleg gleg..... Mungkin mesin motor kebanyakan minum air. Motor mati. Jarak arahku masih tinggal separuh. Jarak dari Pure ke tempatku sekitar 2 km. Ehm... motor sudah tak tertolong. 

"Sudah, Pak. Aku jalan kaki saja ya. Sudah dekat, kok." Kukasi goceng. Dia tersenyum. "Oh maaf, Dik." Aku paham motor tidak bisa diandalkan. Aku memilih jalan kaki dan menebas luapan air dari kali di sepanjang jalan itu. Ternyata bukan cuma ojek kami yang mati, di sepanjang jalan itu banyak juga motor yang dituntun. Oh.... kaki dalam sepatu basah, celana selutut juga basah. Oh, hatiku basah juga. Ih!

Aku jalan kaki. Di depanku air riuh rendah. Sesekali air naik sepaha ketika ada mobil lewat di sampingku.

Terima kasih Jakarta, eh Depok maksudku,  aku sudah merasakan air banjir!

0 comments: