Di mata
penyair Jogja adalah puisi yang tak henti-henti mengalirkan inspirasi. Begitulah
kesan salah satu teman penyair yang berkunjung ke Yogyakarta untuk bertemu
beberapa penyair dan penulis yang dikaguminya di kota gudeg ini. Dia di Jogja
hanya dalam tempo yang singkat: satu minggu saja. Tapi dia sudah mengaku bahwa begitu
banyak puisi yang minta lahir di kota ini.
Cerita
teman di atas adalah salah satu testimoni yang menegaskan bahwa Jogja adalah kota
yang telah menjadi impian para penyair untuk dikunjungi. Untuk sebagian orang,
Jogja Ibarat kota Paris untuk mengabadikan kisah romatisme cinta atau seperti
Vienna untuk menegaskan tentang kesempurnaan musik-musik klasik. Karena di kota
ini begitu banyak sejarah kesenian dan momentum kesusastraan yang tersimpan, di
mana para penyair besar pernah tinggal dan berproses, dan simbolisme Jogja yang
selalu diabadikan dalam karya-karya sastra sepanjang masa. Sepertinya, siapa pun belum merasa sempurna proses
kepenyairannya sebelum menginjakkan kaki di kota yang dikenal sebagai kawah candradimuka
ini.
Bagi penyair
Jogja adalah ruang spirit, dengan ruh yang mengajak begitu banyak orang untuk
berproses. Proses menjadi kata kunci bagi kedatangan mereka yang semata-mata
mengandalkan spirit belajar, kenekadan untuk berkarya dan survive untuk
menunjukkan eksistensi mereka dalam berkarya. Usaha itu pun terbukti dengan
begitu banyak penyair-penyair muda yang berlimpah lahir dan tumbuh berkembang
di sini, dengan ratusan komunitas kesenian yang tumbuh di mana-mana. Meskipun ancaman
zaman pragmatisme dengan bormbardir rayuan instans yang mengancam jalan
keagungan proses, Jogja dengan para penyairnya yang memegang teguh idealisme
proses masih tetap mempertahankan jalan proses yang mereka percayai.
Membaca Jogja
Apa yang
bisa dibaca dari Jogja? Pertanyaan ini sudah terjawab dalam antologi puisi
berjudul “Suluk Mataram: 50 Penyair
Membaca Yogya” (2012). Sajak-sajak dalam antologi ini dengan menghimpun 50
penyair sudah meniscayakan tentang multi-interpretasi Jogja di mata
masing-masing penyair. Keberagaman simbol, teman, momen puitik, dan spirit membaca
Jogja menjadi suatu khazanah tersendiri yang menarik disimak dalam buku ini. Di
sini kita tidak hanya menemukan Jogja sebagai kota pendidikan, kota seni atau kota
dengan simbolisme gunung Merapi dan laut kidul
yang misteri, tapi kita akan mendapati ruang-ruang luas yang terhampar tentang
Yogyakarta—sejarah, cinta, kemuraman, konflik dan keceriaan—sebagai bagian dari
denyut kota menjadi pernik-pernik yang menarik disimak.
Antologi
puisi yang diterbitkan oleh Peguyuban
Sastrawan Mataram, sebuah kantong kesenian yang sudah lama eksis dan diedit
seraca tekun oleh penyair Latief Noor Rochmans, termasuk salah satu antologi
puisi yang istimewa bagi Jogja. Karena upaya sejenis ini—secara spesifik tema “Membaca
Yogya” dengan melibatkan jumlah penyair fantastik (50 penyair)—masih jarang ada
atau bahkan buku antologi ini menjadi breakthrough!
Penyair-penyair senior dan disegani, seperti Iman Budhi Santosa, Musthofa W.
Hasyim, Evi Edawati, Hari Leo dan Dharmadi, pun ikut meramaikan buku ini.
Buku ini
membukakan rentang savana yang luas dan menawarkan khazanah tentang Yogyakarta yang
jujur dan empiris. KPH Purbodiningrat, sebagai pengantar dan sekaligus Pembina
Peguyuban Sastrawan Mataram, mengakui bahwa buku ini merupakan “bentuk kecintaan, kerinduan dan bahkan krtitik
terhadap Yogya dan isinya,….sebuah catatan empiris dan jujur”. Mari kita
nikmati beberapa sajian puisi khas dan menarik ditelisik dalam antologi ini.
Melting
Pot
Puisi Susy
Ayu secara naratif memotret ihwal pluralisme dan multikultarisme dalam puisinya
berjudul Rendevouz Yogya:…//entah Jesus
itu orang mana, tapi aku jatuh hati/ sebab kulihat ia duduk di bawah pohon
beringin/ menikmati gending/ dalam bahasa Jawa//. Susy ingin menunjukkan
kepada kita bagaimana Tuhan yang come
down on earth. Simbolisasi Tuhan sebagai pembawa perdamaian hadir dalam aktivitas
hambanya. Ada dua hal yang dicoba
didedah oleh penyair dalam konteks ini, yaitu agama dan kebudayaan Jawa secara
simbolik. Lihat misalnya bait sebelumnya: //kutunggu
kamu di beranda gereja/ tak berani aku mendekat, karena aku bukan Katolik,
sedang ada misa, dan ini natal, aku tahu//. Identitas Yogyakarta sebagai kota
multikultur terasa mengenak dalam puisi ini.
Multikulturalisme
adalah wacana tentang melting pot, sebuah
metafora untuk menggambarkan heterogenitas masyarakat yang terjaga dalam proses
dialog egaliter yang harus berjalan terus menerus. Jika itu tidak berjalan
secara dinamis, bukan tidak mungkin dehumanisasi dan anti radikaslisme itu
lahir dengan merebaknya fenomena eksklusivitas kelompok beragama itu sendiri.
Lihat misalanya, puisi Agnes Hening Ratri berjudul Kesunyian Pulang: ....//Atap masjid
kiang meninggi lengkap dengan pengeras suara/ sementara gereja terlihat semakin
tinggi jendela./ Tidak ramah lagi./ Tak ada lagi Lek Paijo yang muslim
berbelankon main/ gamelan di gereja//.
Ada beberapa
penyair yang secara mendalam menelisik tentang kemuraman kota Yogya seperti
sajak Budhi Wiryawan (Tumbuh di Kotamu), Iman Budhi Santosa (Orang-orang
Malioboro 1960), dan Dian Lufia Rahmawati yang berjudul Jokteng Wetan Dini Hari:
…//laguku/ adalah jalanan yang tak kutemu/ karena kutahu/ kamu tetap ada di
balik benteng itu//. Lalu ada sajak Badrul Munir Chair: …//di kota ini, kita berjalan mengikuti
lelampu/ di sepanjang trotoar kau acapkali bertanya/ “mengapa kau tak pulang
saja?”// (Yogyakarta). Dua sajak
terakhir ini menjadi bahan diskusi menarik tentang Yogya—antara pendatang dan Yogyakarta
itu sendiri.
Pertama, jarak dan pengalaman personal para
pendatang itu terasa sulit bisa melting,
lalu merasai Jogja. Tak jarang pelajar/mahasiswa tidak tahu apa itu Jogja,
sehingga mereka terpisah dan merasa Keraton, sebagai simbol Jogja, ada di balik
benteng/dinding—sesuatu yang terpisah. Kedua,
kota ibarat setangkup tanya, begitu juga Jogja. Ada sangsi, sangsai, cemas, kemuraman
di situ. Ketika seseorang tertarik ke kota (Jogja) hanya karena mengikuti atau
tersedot oleh gemerlap perkotaan, tidak menyadari tentang dimensi lain yang
kompleks tentang kota, ia pada satu titik tertentu akan sampai kepada keraguan
tentang keberadaan dirinya di kta itu, dan pertanyaan mengapa kau tak pulang saja? akan selalu menghantuinya. Namun,
seperti diucap nobelis Orhan Pamuk, keindahan sebuah kota itu terletak kepada kemuramannya
(khuzun).
Akhirnya, sajak-sajak
dalam antologi ini mempunyai tema yang sangat beragam tentang Yogyakarta.
Meskipun ada beberapa penyair menulis dalam koteks yang luas atau bahkan tidak
menemukan simbol puitik ke-Jogja-an dalam sajak itu, periksa misalnya sajak
penyair Jufri Zaituna. Namun begitu, antologi ini mempunyai kontribusi positif
bagi khazanah kesastraan di Yogyakarta.
0 comments:
Post a Comment