Sunday, December 09, 2012

Jogja dalam Bingkai Puisi

Di mata penyair Jogja adalah puisi yang tak henti-henti mengalirkan inspirasi. Begitulah kesan salah satu teman penyair yang berkunjung ke Yogyakarta untuk bertemu beberapa penyair dan penulis yang dikaguminya di kota gudeg ini. Dia di Jogja hanya dalam tempo yang singkat: satu minggu saja. Tapi dia sudah mengaku bahwa begitu banyak puisi yang minta lahir di kota ini.

Cerita teman di atas adalah salah satu testimoni yang menegaskan bahwa Jogja adalah kota yang telah menjadi impian para penyair untuk dikunjungi. Untuk sebagian orang, Jogja Ibarat kota Paris untuk mengabadikan kisah romatisme cinta atau seperti Vienna untuk menegaskan tentang kesempurnaan musik-musik klasik. Karena di kota ini begitu banyak sejarah kesenian dan momentum kesusastraan yang tersimpan, di mana para penyair besar pernah tinggal dan berproses, dan simbolisme Jogja yang selalu diabadikan dalam karya-karya sastra sepanjang masa. Sepertinya,  siapa pun belum merasa sempurna proses kepenyairannya sebelum menginjakkan kaki di kota yang dikenal sebagai kawah candradimuka ini.

Bagi penyair Jogja adalah ruang spirit, dengan ruh yang mengajak begitu banyak orang untuk berproses. Proses menjadi kata kunci bagi kedatangan mereka yang semata-mata mengandalkan spirit belajar, kenekadan untuk berkarya dan survive untuk menunjukkan eksistensi mereka dalam berkarya. Usaha itu pun terbukti dengan begitu banyak penyair-penyair muda yang berlimpah lahir dan tumbuh berkembang di sini, dengan ratusan komunitas kesenian yang tumbuh di mana-mana. Meskipun ancaman zaman pragmatisme dengan bormbardir rayuan instans yang mengancam jalan keagungan proses, Jogja dengan para penyairnya yang memegang teguh idealisme proses masih tetap mempertahankan jalan proses yang mereka percayai.

Membaca Jogja

Apa yang bisa dibaca dari Jogja? Pertanyaan ini sudah terjawab dalam antologi puisi berjudul “Suluk Mataram: 50 Penyair Membaca Yogya” (2012). Sajak-sajak dalam antologi ini dengan menghimpun 50 penyair sudah meniscayakan tentang multi-interpretasi Jogja di mata masing-masing penyair. Keberagaman simbol, teman, momen puitik, dan spirit membaca Jogja menjadi suatu khazanah tersendiri yang menarik disimak dalam buku ini. Di sini kita tidak hanya menemukan Jogja sebagai kota pendidikan, kota seni atau kota dengan simbolisme gunung Merapi dan laut kidul yang misteri, tapi kita akan mendapati ruang-ruang luas yang terhampar tentang Yogyakarta—sejarah, cinta, kemuraman, konflik dan keceriaan—sebagai bagian dari denyut kota menjadi pernik-pernik yang menarik disimak.

Antologi puisi yang diterbitkan oleh Peguyuban Sastrawan Mataram, sebuah kantong kesenian yang sudah lama eksis dan diedit seraca tekun oleh penyair Latief Noor Rochmans, termasuk salah satu antologi puisi yang istimewa bagi Jogja. Karena upaya sejenis ini—secara spesifik tema “Membaca Yogya” dengan melibatkan jumlah penyair fantastik (50 penyair)—masih jarang ada atau bahkan buku antologi ini menjadi breakthrough! Penyair-penyair senior dan disegani, seperti Iman Budhi Santosa, Musthofa W. Hasyim, Evi Edawati, Hari Leo dan Dharmadi, pun ikut meramaikan buku ini.

Buku ini membukakan rentang savana yang luas dan menawarkan khazanah tentang Yogyakarta yang jujur dan empiris. KPH Purbodiningrat, sebagai pengantar dan sekaligus Pembina Peguyuban Sastrawan Mataram, mengakui bahwa buku ini merupakan “bentuk kecintaan, kerinduan dan bahkan krtitik terhadap Yogya dan isinya,….sebuah catatan empiris dan jujur”. Mari kita nikmati beberapa sajian puisi khas dan menarik ditelisik dalam antologi ini.

Melting Pot

Puisi Susy Ayu secara naratif memotret ihwal pluralisme dan multikultarisme dalam puisinya berjudul Rendevouz Yogya:…//entah Jesus itu orang mana, tapi aku jatuh hati/ sebab kulihat ia duduk di bawah pohon beringin/ menikmati gending/ dalam bahasa Jawa//. Susy ingin menunjukkan kepada kita bagaimana Tuhan yang come down on earth. Simbolisasi Tuhan sebagai pembawa perdamaian hadir dalam aktivitas hambanya. Ada dua hal yang dicoba didedah oleh penyair dalam konteks ini, yaitu agama dan kebudayaan Jawa secara simbolik. Lihat misalnya bait sebelumnya: //kutunggu kamu di beranda gereja/ tak berani aku mendekat, karena aku bukan Katolik, sedang ada misa, dan ini natal, aku tahu//. Identitas Yogyakarta sebagai kota multikultur terasa mengenak dalam puisi ini.

Multikulturalisme adalah wacana tentang melting pot, sebuah metafora untuk menggambarkan heterogenitas masyarakat yang terjaga dalam proses dialog egaliter yang harus berjalan terus menerus. Jika itu tidak berjalan secara dinamis, bukan tidak mungkin dehumanisasi dan anti radikaslisme itu lahir dengan merebaknya fenomena eksklusivitas kelompok beragama itu sendiri. Lihat misalanya, puisi Agnes Hening Ratri berjudul Kesunyian Pulang: ....//Atap masjid kiang meninggi lengkap dengan pengeras suara/ sementara gereja terlihat semakin tinggi jendela./ Tidak ramah lagi./ Tak ada lagi Lek Paijo yang muslim berbelankon main/ gamelan di gereja//.

Ada beberapa penyair yang secara mendalam menelisik tentang kemuraman kota Yogya seperti sajak Budhi Wiryawan (Tumbuh di Kotamu), Iman Budhi Santosa (Orang-orang Malioboro 1960), dan Dian Lufia Rahmawati yang berjudul Jokteng Wetan Dini Hari: …//laguku/ adalah jalanan yang tak kutemu/ karena kutahu/ kamu tetap ada di balik benteng itu//. Lalu ada sajak Badrul Munir Chair: …//di kota ini, kita berjalan mengikuti lelampu/ di sepanjang trotoar kau acapkali bertanya/ “mengapa kau tak pulang saja?”// (Yogyakarta). Dua sajak terakhir ini menjadi bahan diskusi menarik tentang Yogya—antara pendatang dan Yogyakarta itu sendiri.

Pertama, jarak dan pengalaman personal para pendatang itu terasa sulit bisa melting, lalu merasai Jogja. Tak jarang pelajar/mahasiswa tidak tahu apa itu Jogja, sehingga mereka terpisah dan merasa Keraton, sebagai simbol Jogja, ada di balik benteng/dinding—sesuatu yang terpisah. Kedua, kota ibarat setangkup tanya, begitu juga Jogja. Ada sangsi, sangsai, cemas, kemuraman di situ. Ketika seseorang tertarik ke kota (Jogja) hanya karena mengikuti atau tersedot oleh gemerlap perkotaan, tidak menyadari tentang dimensi lain yang kompleks tentang kota, ia pada satu titik tertentu akan sampai kepada keraguan tentang keberadaan dirinya di kta itu, dan pertanyaan mengapa kau tak pulang saja? akan selalu menghantuinya. Namun, seperti diucap nobelis Orhan Pamuk, keindahan sebuah kota itu terletak kepada kemuramannya (khuzun).

Akhirnya, sajak-sajak dalam antologi ini mempunyai tema yang sangat beragam tentang Yogyakarta. Meskipun ada beberapa penyair menulis dalam koteks yang luas atau bahkan tidak menemukan simbol puitik ke-Jogja-an dalam sajak itu, periksa misalnya sajak penyair Jufri Zaituna. Namun begitu, antologi ini mempunyai kontribusi positif bagi khazanah kesastraan di Yogyakarta.

0 comments: