Saturday, April 14, 2012

Mimpi 100 Tahun Selanjutnya

Ask not what your country can do for you; ask what you can do for your country.
John F. Kennedy

Diktum di atas diucapkan oleh seorang negarawan kharismatik yang mantan presiden Amerika Serikat ke-35 demi memupuk kesadaran patriotisme bangsa Amerika yang berpijak kepada fondasi kerja keras dan independensi. Dalam konteks Amerika, pernyataan Kennedy sangat terang menantang rakyatnya agar bekerja keras, kreatif dan bahkan ambisius untuk mendukung centang perentang ideologi pragmatisme-kapitalis yang mereka anut. Namun bagi bangsa lain, ia adalah sebongkah spirit masa depan bagi negara-bangsa seperti Indonesia yang masih mencari bentuk ideal, dan membangun diri menuju kebangkitan, keagungan dan kesejehteraan dalam koridor humanisme dan prosperity state. Mewujudkan prosperity state (negara kesejahteraan) menunut kerja keras dalam berkarya dan berinovasi yang didasarkan kepada semangat pengorbanan dan gotong royong demi mewujudkan kesejahteraan dan keadilan bersama seperti tercermin dalam Pancasila.  

Namun begitu, adagium Kennedy selalu menjadi satir bagi bangsa yang malas dan bahkan menggaruk kekayaan sumber daya negaranya untuk kepentingan probadi maupun kelompok. Statemen di atas menjadi paradoks bagi kita. Satu sisi ia menjadi gugusan mutiara sangat berharga bagi kita, tetapi di sisi lain ia tak henti-henti menertawakan kita dari jarak dekat, di tengah proses penggembosan dan peringkihan negeri karena kasus korupsi dan perkara hukum yang tersandera mafia oleh pemerintahan sendiri.

Di tengah situasi yang serba rumit seperti ini, saya yakin bahwa bangsa dan negara masih mempunyai harapan dan aset besar yang bisa dipertahankan, yaitu cita-cita luhur yang sudah dideklarasikan oleh founding fathers Indonesia. Aset dan cita-cita itu kini sedang dipanggul oleh generasi-generasi muda yang visioner, inovatif, dan kreatif yang kelak akan menjadi pemimpin masa depan. Yang akan membangun negeri ke depan adalah mereka yang mendedikasikan diri dan bahkan mengorbankan—jiwa, raga, karya, dan karsa—untuk negeri (hubbul wathan) tanpa pengecualian, tanpa keraguan, dan menjadi orang Indonesia seutuhnya!

Namun sebelum itu, ada hal-hal yang perlu dikaji secara kritis tentang pola pikir dan paradigma kebangsaan yang sejauh ini didapatkan dari pengalaman baik di meja sekolah ataupun  melalui sejarah perjalanan negeri ini, khususnya setelah rezim Orde Baru dan Era Reformasi yang sudah mengajarkan politik licik dan mendustai cita-cita kemerdekaan bangsa sendiri. Imbroglio politik, destruksi sosial, dan pembiaran kekerasan sipil dan horribilitas oleh pemerintah tidak bisa dibiarkan terus menganga di tengah kehidupan berbangsa saat ini. Kita mempunyai masalalu politik dan administrasi birokrasi yang mencekam; kita hidup di negara yang sesak dengan para pemerintah, tetapi miskin pemerintahan, the government without governance. Namun hari ini ke depan, menatap 100 tahun mendatang, semua itu menjadi perlajaran sangat mahal.

Rekonstruksi atawa Restorasi?

Jika kita mempunyai mimpi bahwa Indonesia hendak dibawa menuju negeri yang adil, makmur dan sejahtera, pola pikir bangsa Indonesia—terutama stakeholders seperti apparatus state dan internal lembaga-lembaga pemerintahan—harus direkonstruksi berdasarkan cita-cita luhur kemerdekaan (untuk kesejahteraan dan kemakmuran) sebagai bentuk pengabdian kepada nusa dan bangsa. Sekarang harus dicamkan bersama bahwa negara bukanlah gudang harta karun dengan kekayaan sumber daya alam yang melimpah, lalu mereka yang mengelola negara ini punya alasan untuk menciduk dan melegonya kepada negara atau bangsa lain; beramai-ramai diperebutkan, dijual, dan dihabisi untuk kepentingan-kepentingan sendiri ataupun kelompok. Kekayaan negara adalah aset masa depan kesejahteraan rakyat, menjadi rumah bersama bagi mereka yang bernaung menuju kemakmuran.

Rekonstruksi kesadaran berpikir seperti di atas bukanlah hal mudah dilakukan di tengah carut-marut invasi gelombang KKN dan praktik politik transaksional para elit yang—secara langsung telah—mengajarkan kepalsuan bagi generasi muda tentang tata-kelola negara, dengan cara-cara licik dan bersekongkol di tengah labirin kelam plutokrasi dan dinasti. Cara-cara pengelolaan negara yang dipertontonkan oleh birokrasi sejauh ini telah terperosok kepada pencapaian kepentingan individu dan kelompok, melalui praktik pembusukan politik paranoid, imagologi politik pencitraan, dan sekaligus in absentia nilai-nilai keadilan hukum bagi seluruh rakyat Indonesia, sehingga kejengahan masyarakat terhadap para politisi dan dunia politik semakin memunculkan wajah antipatik yang sangat tragik. Ini semua adalah cermin retak yang tak boleh terulang lagi untuk Indonesia di masa mendatang!

Lalu, apa yang akan kita berikan kepada bangsa dan negara? Pertanyaan semacam ini harus selalu muncul di benak anak bangsa, tak peduli pejabat negara ataupun rakyat jelata, untuk mengukur sejauh mana patriotisme dan nasionalisme kepada negeri. Karena pertanyaan demikian akan menggali kesadaran prinsipil dan sekaligus meneropong jauh tentang masa depan negeri sendiri. Pola pikir kita tentang aktualisasi-diri, pengabdian tulus, dan patriotisme kepada bangsa dan negara harus selalu diasah dan lebih serius perlu diformat menjadi warisan pendidikan karakter kepada generasi penerus.

Ada jawaban radikal dari pertanyaan saya di atas: cut that worst history! Ya, dengan “memutus” sejarah busuk KKN dan praktik politik transaksional yang makin menyengsarakan rakyat, negeri ini perlahan akan menatap cahaya harapan menuju Indonesia yang kuat di masa depan. Karena sejatinya collective memory yang telah menyublim dari pergumulan sejarah sejak Orde Baru hingga Era Reformasi dalam benak bangsa adalah sejarah penuh-luka, kekecewaan dan antipati kepada birokrasi dan pengelola negara yang telah menginjak-injak prinsip kemerdekaan sejati bagi rakyat. Perlu dipahami bahwa “memutus sejarah” bukan “melupakan sejarah”, tapi praktik-praktik busuk dalam kekuasaan (power abuse) seperti terjadi sekarang harus diputus: akar, kultur, dan orang-orangnya.

Pemutusan sejarah, bagi saya adalah kata lain dari proses restorasi radikal, mengembalikan spirit dan gerakan kepada pijakan dan prinsip dasar yang sudah dibentuk berbasiskan nilai-nilai kemanusiaan yang holisitik. Saya yakin, generasi muda yang bisa belajar dan membaca secara jernih tentang situasi perjalanan sejarah politik kebangsaan akan memosisikan diri sebagai opposite side yang harus krtitis, selalu aware dan cepat tanggap menyuarakan proses pemulihan kondisi bangsa dan negara yang sedang berada di tubir titik nadir! Di tengah kondisi seperti ini, kita membutuhkan generasi yang punya passion, berkarakter kuat, progresif, dan siap berkorban atas nama bangsa dan negara.

Saya tidak ingin mendengar negeri ini digadang-gadang sedang menuju kegagalan (failed state) hanya karena kondisi politik luar negeri seperti mengurus perbatasan, hubungan bilateral, dan negosiasi hukum internasional lemah; kesenjangan ekonomi kaya-miskin semakin krtitis; kekerasan sipil menyeruak; ataupun proses hukum yang dihantui mafioso peradilan! Kelemahan-kelemahan tersebut akan menjadi bahan refleksi dan sekaligus otokritik menuju perbaikan di hari berikutnya untuk pembangunan kesadaran masyarakat.
Indonesia dalam 100 tahun mendatang berada dalam pikiran dan gengaman generasi muda. Jadi, sisi-sisi yang terkelupas dan terbengkalai tentang integritas republik Indonesia, seperti nilai-nilai luhur budaya bangsa dan proses internalisasi Pancasila dan UUD 45, harus direformulasi sebagai basis pijakan bagi paradigma dan pergerakan generasi muda ke depan. Budaya luhur bangsa dari semua daerah yang telah mewariskan spirit perjuangan dan etos kerja kebersamaan adalah harga mati yang harus diperjuangkan sebagai identitas nasional. Desain dan internalisasi pendidikan yang berbasis kepada kebudayaan nasional, nilai-nilai luhur bangsa, dan cita-cita kemerdekaan adalah gerakan dasar yang tidak boleh dilalaikan dalam pendidikan generasi muda saat ini agar mempunyai karakter kuat dan mumpuni sebagai basis kebudayaan dan perilaku. Realita seperti itu harus menjadi kultur-melekat dalam sistem pendidikan dan kesadaran sehari-hari kita karena setiap generasi lahir ke dalam ruang kebudayaan, terjadi proses adaptasi dan asimilasi yang pada gilirannya akan membentuk karakter mereka.

Bagi saya, Indonesia dalam 100 tahun mendatang berada dalam visi, ditimbang dan ditimang oleh tangan-tangan kreatif bangsa sendiri, yaitu generasi muda penerus cita-cita kemerdekaan. Pemuda dan generasi masa depan bangsa adalah jawaban final yang harus diberikan ruang pendidikan humanis, diskursus berpikir, dan sarana berkarya dan berinovasi sebagai persiapan menuju bangsa yang kuat dan berkarakter. Karena pemuda ibarat tongkat estafet bagi masa depan bangsa sendiri. Pemuda, bagi Kofi Annan, bukan hanya pemimpin masa depan tapi sekaligus partner yang bisa diajak bekerja hari ini. Di tengah proses pembangunan kapasitas karakter internal dan kesadaran pemuda yang kontinu, pesimisme tentang masa depan Indonesia, seperti disitir Parakitri T. Simbolon (2000: 2), sebagai bangsa yang penuh dengan “seolah-olah”: setumpukan delusi, dan bahkan opertunis, pelan-pelan akan berubah menjadi setangkup asa, optimisme, dan keyakinan menuju bangsa dan negara yang besar, agung, dan benar-benar merdeka..
Sekali lagi, hanya di pundak generasi-generasi muda yang terdidik dan mempunyai wawasan kebangsaan, dedikasi patriotis, kreatif, dan berkarakter, bangsa dan negara Indonesia menentukan masa depannya, dalam 100 tahun mendatang. Komitmen patriotik yang tersemat dalam dada sebagai pengabdian kepada nusa dan bangsa akan mendefinisikan eksistensi kita dan memberikan artikulasi kohesif sebagai bangsa yang multikultur.

The next 100 year Indonesian dreams depend on what we do for the country… 

2 comments:

Malihah Al Azizah said...

suka banget .. :D

Bernando J Sujibto said...

Wah... ada nenk Mal rupanya. Lnjutkan sukanya ya hee...mari menulis