|
personal doc. bali post |
Eskalasi konflik, kekerasan dan ancaman yang dialami warga negara adalah
salah satu indikator kuat tentang negara lemah. Negara lemah selalu bungkam
menghadapi eskalasi kekerasan dan konflik yang terus berkecamuk di bawah. Hal
itu bisa dilihat dari naiknya angka kriminalitas, terorisme internal negara,
konflik komunal dan kekerasan sipil yang drastis.
Negara dalam kondisi demikian diombang-ambingkan oleh segelitir kepentingan
kelompok yang bebas memaksakan kehendak dan melakukan kekerasan kepada warga
negara, khususnya kelompok minoritas. Sehingga negara tampak seperti sebuah rangka
kosong yang pincang dan bahkan melapuk.
Akhirnya kekerasan ibarat sebuah sindrom dalam disordered society. Di tengah
kondisi bangsa dan negara yang panik seperti sekarang kekerasan akan menjadi
ekstase bagi warga yang tidak terakomodasi rasa aman, kenyamanan sebagai
warga negara dan impunitas supremasi hukum. Artinya, masyarakat yang hidup di
tengah realitas sosial yang patologis akan tertekan dan merasa tidak puas
terhadap realitas lingkungannya. Sehingga penyimpangan-penyimpangan seperti
tindak kekerasan demi melampiaskan hasrat bawah sadar mereka akan membentuk
ekstase yang tak terkendali.
Melihat fenomena di atas, tidak mengejutkan bila kita menyaksikan hasil riset
The Fund for Peace bekerja sama dengan majalah Foreign Policy tentang indeks
negara gagal (failed state index) yang meletakkan Indonesia di posisi ke-63,
yakni posisi 'dalam peringatan' (warning) atau dalam bahaya (in danger), dari
178 negara yang diriset. Karena kenyataan di bawah, negara kita memang tidak
mempunyai orientasi jelas dalam memperjuangkan hak-hak warga sipil. Yang
sejauh ini dipraktikkan adalah politik transaksional berdasarkan pada
kepentingan-kepentingan kelompok sehingga apparatus state tersandera oleh
permainan busuk tersebut.
Kegagalan negara
Kekerasan dalam masyarakat semacam ini muncul dari akar masalah yang
kompleks. Di samping sistem pendidikan belum settle, peran negara dalam upaya
menciptakan kenyamanan bagi warganya adalah faktor penting yang kerapkali
terlalaikan. Akhir-akhir ini ada kecenderungan, seperti digelisahkan sebagian
pengamat, Indonesia seperti bukan lagi berdiri untuk kepentingan
kesejahteraan warganya. Indonesia seolah meninggalkan warganya yang bernaung
di bawah payung Pusaka Pancasila. Ada kepentingan-kepentingan baik kelompok
ataupun asing yang selalu menjadi prioritas dalam pengambilan kebijakan.
Sehingga negara tidak lebih dari sekadar organisasi yang menjadi boneka bagi
kepentingan asing yang telah memanfaatkan sumber daya kekayaan bangsa dan
negara Indonesia. Seharusnya, negara menjadi pihak yang musti cepat berbenah
di tengah kondisi sosial yang semakin sekarat ini.
Johan Galtung (1975) telah memperkenalkan teori kekerasan struktural
(structural violence) yang tampak rumit dan kompleks. Negara sebagai sumber
kebijakan sistem sosial masyarakat tentu menjadi pemain penting dalam konteks
ini, hingga kekerasan domestik dalam rumah tangga sekalipun. Semua itu, dalam
perspektif Galtung, merupakan kekerasan struktur yang secara tidak sadar
diabsahkan oleh negara sendiri. Artinya, kebijakan-kebijakan yang diambil
negara telah ikut andil dalam memperkeruh realitas sosial masyarkat ketika
pemerintah masih mendahulukan kepentingan personal dan pihak-pihak tertentu
yang saya maksud di atas. Sehingga tugas 'negara' sebagai negara yang
sebanarnya telah gagal dipraktikkan.
Sebagai 'perlawanan' dari kekerasan struktural di atas kita perlu memahami
teori spiral of violence sebagaimana dikemukakan Dom Helder Camara (1979).
Inti teori spiral of violence adalah bahwa kekerasan selalu memroduksi
kekerasan baru. Kekerasan yang paling utama adalah ketidakadilan sosial.
Karena itu untuk menghentikan produksi kekerasan, maka yang pertama harus
dilakukan adalah menciptakan keadilan sosial itu sendiri. Negara adalah
institusi yang paling bertangung jawab dan bisa melakukan semua itu. Namun
ironisnya, Indonesia ternyata tidak mau cepat berbenah.
Dalam terminologi Daniel Thürer, seorang profesor hukum internasional di
Universitas Zurich, kondisi negara yang demikian dikategorikan sebagai
'negara tanpa pemerintahan' (etats sans gouvernement). Fenomena failed state
catatan Thürer dapat diidentifikasi dalam tiga perspektif. Pertama, aspek
geographical and territorial dalam internal negara yang bergolak dan negara
tidak mampu mengatasinya. Kedua, aspek politikal, yaitu ketidakmampuan sistem
politik dalam menangani kekacauan (patologis) dan penyakit negara (seperti
korupsi) serta politik kebijakan yang tidak memihak kepentingan rakyat
banyak. Di sini pemerintahan seperti menara gading saja. Ketiga, aspek
fungsional, yaitu absennya badan fungsi yang bisa merepresentasikan semua
kepentingan internal ke dalam level internasional, yang piawai menegosiasi
secara bilateral dalam upaya penguatan internal suatu negara di mata negara
lain.
Negara kita ternyata hampir semua gagal dalam urusan yang disinyalir Thürer
di atas. Bukti bahwa kita masih belum mampu mengatasi stabilitas sosial skala
internal bisa dilihat dari berbagai konflik berkepanjangan dan tumbuh silih
berganti yang mengancam integrasi sosial kita. Demikian juga dengan lobi luar
negeri yang selalu ampuh di bawah diteksi negara-negara sekelas Amerika dan
kroni-kroninya. Ketidakberdayaan menjadi teritori pun menjadi misal yang
sangat mengenaskan bagi masa depan negara ini.
Stabilitas internal negara yang tidak menentu ini perlahan akan mengancam
integrasi NKRI kita. Praktik-praktik ketidakpuasan warga terhadap
ketidakadilan kebijakan negara akan marak bermunculan hingga pun dalam
praktik sipil-meliter yang makin marak akhir-akhir ini. Bahwa ketidakadilan
sosial akan memroduksi pemberontakan sipil, dan pemberontakan sipil akan
mengundang represi negara.
Efek domino semacam ini akan membentuk siklus dan terus berputar sebelum
negara tangkas mengambil sikap demi kesejahteraan (welfare) dan keamanan
warga (rakyat).
|